Tentang Makna Cinta

Tentang Makna Cinta

Cinta

Begitu banyak orang mencoba memaknai akan arti cinta. Allah menciptakan manusia adalah karena cinta. Kehidupan akan menjadi damai dan tenteram jika bersandar pada cinta. Dengan cinta, hilanglah rasa sakit dan akan berganti menjadi kenikmatan. Meskipun demikian, mengapa kini justru kebencian yang semakin merajalela, sementara cinta menjadi sesuatu yang mahal harganya dan sulit untuk dicari.

Cinta memilki banyak makna, meski kadang kala banyak pula orang yang salah dalam mengartikan cinta. Cinta adalah hal yang paling suci. Mengucapkannya tanpa makna adalah pengulangan yang sia-sia. Cinta tidak musti harus diungkapkan. Sebab cinta adalah pengungkapan itu sendiri. Cinta bagi orang yang tidak mengerti hanyalah kata dalam kamus, yang dipakai dan dikutip ribuan kali tanpa dimaknai apa-apa. 

Cinta adalah harapan, kesabaran, ketabahan, keteguhan, kemurahan hati, toleransi, pengorbanan dan penghambaan. Segala hal seperti kelembutan, kesederhanaan, kerendahan hati, kedermawanan, kebaikan, dan sejenisnya, semua itu adalah wujud dari cinta. Cinta adalah semuanya dan semuanya adalah cinta.

Dunia adalah bayangan. Terkadang ia datang, lalu kemudian pergi, dan kemudian ia datang kembali. Kekayaan ataupun kemiskinan tidak pernah bisa menjamin untuk dapat meraih cinta. Tetapi ketika kita mencari dan berhasil meraih cinta, kita akan merasakan kehangatannya, kita akan menyaksikan cahaya dari cinta, dan menjaganya agar cahaya itu tetap kemilau, mengobarkan nyala sebagai suluh suci, untuk membimbing manusia dalam mengarungi kehidupan.

Cinta sejati bukanlah cinta atas dasar nafsu, namun ia berasal dari hati nurani. Cinta memang bisa ditujukan kepada siapa saja. Namun cinta sejati yang utama dan yang pertama adalah cinta yang ditujukan kepada Allah. Cinta Allah adalah satu-satunya cinta yang tidak ternilai harganya. Pecinta Allah akan mengetahui apa itu cinta ketika dia mencapai tahap cinta yang sempurna. 

Banyak orang mengatakan bahwa cinta itu buta, tetapi pada hakikatnya justru cinta adalah cahaya penglihatan. Mata hanya dapat melihat permukaan, tetapi cinta dapat melihat lebih dalam. Ketidak-tahuan adalah berasal dari tiadanya atau kurangnya cinta. Seperti bara api, jika tidak dinyalakan, ia mungkin hanya mengepulkan asap, tetapi ketika ia ditiup dan dinyalakan, maka nyala api pun akan menyembur dan berkobar. 

Demikian juga dengan cinta. Cinta adalah buta saat masih belum berkembang, tetapi ketika apinya dinyalakan, maka cahayanya akan menerangi jalan para pengembara dalam menjalani kehidupan di dunia dan kehidupan di hari kemudian.
Selengkapnya
Tanduran Walisongo di Tanah Jawa

Tanduran Walisongo di Tanah Jawa

Tanduran

Masyarakat Jawa yang hidup di desa pada umumnya bermata pencaharian bertani atau bercocok tanam. Tanduran yang dalam bahasa Indonesia berarti tanaman secara umum bisa berbentuk tanaman apa saja, seperti padi, palawija, sayur-sayuran dan sebagainya. Akan tetapi tanduran bagi masyarakat jawa secara khusus juga biasa diidentikan sebagai tanaman padi. Hal ini tentunya dikarenakan banyaknya areal persawahan di jawa pedesaan yang sebagian besar ditanami padi, hingga jawa pun termasuk salah satu lumbung padi di negeri ini. 

Dalam hal menanam padi, merawat sampai memanen padi banyak terdapat filosofi yang bisa kita ambil dan kita jadikan pelajaran. Kita tentu tidak asing dengan peribahasa 'Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk' yang berarti bahwa semakin tinggi ilmu seseorang maka akan semakin rendah hatilah dia.

Tanaman padi atau tanduran pari dalam bahasa jawa juga kiranya mengilhami para Walisongo ketika menyebarkan Islam di tanah Jawa. Ketika para Wali generasi awal datang ke jawa, masyarakat jawa telah hidup sebagai masyarakat yang memiliki budaya luhur. Para wali melihat bahwa budaya yang telah ada sudah mengakar kuat bagi masyarakat jawa. Pemaksaan kehendak dalam menyebarkan agama Islam pastinya akan menimbulkan sikap pemberontakan dan penolakan terhadap ajaran yang baru bagi mereka. Tanduran pari itulah yang kemudian mengilhami para wali dalam menyusun dan menggali strategi agar ajaran Islam dapat mudah diterima dan diserap oleh masyarakat jawa pada saat itu. 

Masyarakat jawa dengan budayanya pada saat itu ibarat sawah yang begitu luasnya. Sawah atau lahan itulah yang hendak ditanami dengan ajaran islam oleh para Wali. Hidup subur hingga panen atau matinya tanduran ajaran Islam ini secara teori tergantung pada mereka, yakni para Wali yang menanamnya. Sebagaimana tanduran padi, tanduran ajaran Islam juga akan hidup subur dan bisa dipanen jika dirawat dengan baik, diberi pupuk, bahkan juga disiram. 

Pada prosesnya, ajaran Islam yang hendak ditanamkan para Wali harus menghadapi masyarakat jawa yang penuh dengan budaya mistis, ajaran Hindu-Budha  dan bangunan kepercayaan Animisme-Dinamisme. Kepercayaan-kepercayaan ini masih tumbuh subur dan telah mengakar kuat dalam sendi kehidupan masyarakat jawa. 

Ibarat sawah, tanah di jawa dan tanah timur tengah atau di Eropa atau bahkan daratan bumi lainnya pastilah bisa berbeda. Dari perbedaan ini, maka cara menanam dan perawatannya pun pastilah juga harus berbeda. Tanaman dapat tumbuh dengan subur salah satunya adalah dengan menyesuaikan bagaimana keadaan tanah yang akan ditanami, bagaimana pola musimnya dan sebagainya.

Dengan filosofi inilah Para Wali memandang bahwa Budaya yang ada di jawa tidak mungkin bisa diganti sepenuhnya dengan budaya dari bangsa lain. Maka sebagai jalan keluarnya adalah Islam harus dipadukan atau dikompromikan dengan budaya yang ada di jawa. Para Wali dengan kepiawaiannya menanamkan Islam dengan cara mempertemukan, memadukan dan menyesuaikan Islam dengan tradisi budaya yang telah menjadi jatidiri orang jawa. Pengkompromian ini dilakukan dengan cara mempertahankan tradisi-tradisi yang ada tetapi merubah praktek-praktek yang bertentangan dengan Islam dengan diisi ajaran-ajaran Islam. Cara ini bukan berarti membuat Islam keluar dari batasnya, karena justru dengan cara inilah, secara bertahap Islam dapat diterima sepenuhnya dan tumbuh subur dalam diri pribadi masyarakat jawa.

Banyak ritus milik orang jawa yang kemudian dimodifikasi dengan ditanami nilai-nilai Islam. Salah satu diantaranya adalah slametan. Slametan merupakan nilai yang sakral bagi masyarakat jawa, dilakukan sejak menyambut kelahiran seorang bayi, khitanan, pernikahan sampai pada kematian. Slametan yang sebelumnya sarat tradisi mitologis Hindu-Budha dengan berbagai macam sesaji, kemudian ditanami dengan diisi dengan pembacaan doa bersama dan bacaan-bacaan Al Quran yang dipimpin oleh seorang Kyai. 

Selain slametan ada juga nyadran. Nyadran adalah salah satu bentuk upacara untuk mengagungkan arwah leluhur dengan pemanggilan roh-roh halus dan mengadakan berbagai macam sesaji. Ditangan para Wali, nyadran yang dilakukan pada bulan Ruwah (Jawa) atau Sya'ban (Islam) pada prakteknya upacara ziarah dan tabur bunga tetap dijalankan, tetapi upacara pemanggilan roh kemudian diganti dengan pembacaan doa (tahlil) dan pembacaan ayat-ayat suci dari Al Qur'an. Nyadran juga dilakukan dalam rangka untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Dari segi bahasa juga banyak istilah yang berasal dari tradisi jawa pra islam yang tetap dipakai penyebutannya, hanya saja prakteknya yang telah dirubah dengan ajaran Islam. Orang jawa hingga sekarang masih banyak yang menyebut sholat dengan sebutan sembahyang. Sembahyang dalam arti secara bahasa berasal dari kata sembah Hyang yang artinya menyembah Dewa atau Tuhan. Para Wali tidak mengganti atau merubah sebutan sembahyang itu, tetapi mereka merubah praktek dari sembahyang itu dengan ibadah sholat yang secara esensinya juga bermakna beribadah kepada Tuhan yaitu Allah SWT.

Selain sembahyang, ada juga yang disebut puasa. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa sebutan kata puasa pada asalnya adalah berasal dari kata bahasa jawa sansekerta 'upawasa' yang berarti mendekat pada Tuhan dengan brata (pengendalian diri) yang mesti dilakukan umat Hindu pada Siwaratri. Upawasa juga dilakukan dengan tidak makan dan tidak minum apapun selama sehari semalam pada hari itu juga dengan melaksanakan tapa brata. Ketika Islam datang, sebutan puasa yang berasal dari kata upawasa tersebut pada prakteknya diganti dengan praktek ibadah yang dalam bahasa arab disebut shiyam atau shoum. 

Dari segi seni dan budaya kita juga mengenal Seni Wayang. Seni Wayang yang sudah ada sebelum zaman pra Islam juga mengalami modifikasi dengan dimasukannya ajaran-ajaran Islam ke dalam seni pertunjukan wayang. Wayang sebagai seni hiburan masyarakat jawa juga berisi tuntunan mengenai gambaran kehidupan manusia.

Selain wayang ada juga seni Tembang Macapat. Karya sastra jawa pada asalnya berisi ajaran-ajaran mistik yang juga berupa mantra-mantra yang bersumber dari ajaran Animisme-Dinamisme dan Hindu-Budha, tetapi melalui tembang macapat, karya sastra yang dibuat para Wali ini berisikan ajaran-ajaran Islam yang luhur. Selain itu dalam tembang macapat juga berisi pitutur mengenai kehidupan manusia dari sejak lahir hingga datangnya kematian.

Itulah diantara kreasi Para Wali dalam usahanya menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat jawa. Tentunya masih banyak hasil kreasi mereka yang lain dalam upaya menumbuhsuburkan ajaran Islam di tanah jawa. Sebagai hasilnya, Islam ternyata telah mewarnai hampir seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat jawa. Kini, 'tanduran' Islam telah tumbuh subur di jawa, bahkan dalam lingkup lebih luas, Islam juga menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia. Tepatlah kiranya apa yang disenandungkan Sunan Kalijaga dalam syairnya :

Lir-ilir, lir-ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo…
Selengkapnya
Seni Khat Kaligrafi Islam

Seni Khat Kaligrafi Islam

Contoh contoh khat

Perkembangan Islam ke luar jazirah Arab membawa pengaruh bagi perkembangan seni dan budaya yang ada pada saat itu. Seni dan budaya dapat beradaptasi dengan ajaran islam sepanjang tidak keluar dari nilai-nilai islam dan dapat dimanfaatkan dalam penyebaran islam. Salah satu diantaranya adalah seni tulis menulis kaligrafi atau biasa disebut seni khat. Seni Khat termasuk daripada cabang-cabang kesenian islam yang masih terpelihara hingga hari ini.

Secara bahasa, khat berarti garis atau garisan, tetapi yang dimaksud disini adalah garisan indah yang membentuk tulisan. Seni menulis khat terikat dengan peraturan dan kaedah tertentu yang mempunyai estetika tinggi dan telah dikaji serta ditentukan oleh mereka yang terlibat dengan kemajuan seni khat ini. 

Pada dasarnya Seni kaligrafi atau seni khat bertujuan untuk mempermudah dan memperindah dalam membaca dan menulis kalimat arab. Selain itu, dalam seni khat juga terkandung nilai abstrak yang disimpulkan dengan kehalusan, kelembutan, kesinambungan, pergerakan, keharmonian, dan sebagainya.

Seni khat yang berkembang seiring dengan berkembangnya wilayah Islam turut menciptakan berbagai macam jenis khat yang muncul dalam khazanah islam. Ada banyak sebutan untuk berbagai macam jenis kaligrafi. Ibnu Nadim menyebutkan ada 40 jenis kaligrafi dengan sebutan sendiri sendiri. Sementara Muhammad Bin Sulaiman al-Rawandi menyebutnya ada 70. Yang lain menyebutkan ada 150 jenis kaligrafi. Bahkan ada yang menyebutkan 120 jenis untuk kaligrafi model kufi saja.

Akan tetapi sebutan-sebutan itu sebenarnya bukan jenis-jenis yang betul-betul memiliki karakteristik sendiri, hal ini karena adanya bentuk yang mirip satu sama lain, sehingga bisa dimasukkan dalam satu kategori saja. Sebagai misal, nama-nama jenis kaligrafi saat itu antara lain : jalil, tsulus, tsulutsain, tsulus tsaqil, gubar, tumar, lu'lu'iy, musalsal, mudabbaj, masyaq, tajawid, muhaqqaq, munamnam, musahham, mabsuth dan seterusnya.

Maka pada perkembangan selanjutnya, jenis jenis kaligrafi yang dikelompokan dalam beberapa kategori tersebut pada akhirnya menjadi paten dan memiliki kaidah kaidah masing masing. Jenis jenis kaligrafi yang masih dikenal pada masa kini diantaranya yaitu :

1. Kufi
Kufi ialah bentuk jenis khat Arab tertua yang dikenal dalam Islam. Namanya diambil dari kota Kufah, Iraq. Jenis khat ini telah digunakan di semenanjung Arab sebelum datangnya Islam. Salinan-salinan terawal al Quran juga diketahui ditulis dalam jenis khat ini.

Ciri khat kufi pada asalnya adalah tidak bertitik, tidak bersyakal serta dibiarkan asli tanpa hiasan. Namun dalam perkembangannya bentuk khat kufi diolah dan dipercantik dengan menyisipkan unsur-unsur ornament, sehingga lahirlah beragam corak kufi yang baru. Diantaranya macamnya adalah Khat Kufi Basit dan Khat Kufi Musattar atau Murabba’ atau Handassi Tarbi’i. Kaligrafi dengan menggunakan gaya khat kufi banyak digunakan untuk karya karya arsitektur Islam dalam menghias masjid, istana dan makam.

2. Naskhi
Disebut "naskhi" yang berarti naskah, karena secara luas khat ini digunakan untuk "naskh al-Quran". Ia muncul mengiringi maraknya penulisan buku dan Al-Quran.  Jenis Tulisan ini muncul pada akhir abad ke 5 Hijriyah dan merupakan modifikasi dari tulisan Kufi dengan bentuk yang lebih lentur. Kaligrafi jenis Naskhi ini biasanya diajarkan pertama kali sebelum mempelajari yang lain. Perlu latihan tekun dan banyak pengulangan untuk benar benar menguasainya. 

Pada awal kemunculannya, jenis kaligrafi ini disebut "badi'". Kaidah kaidah kaligrafi ini di sempurnakan oleh al- Wazir Ibnu Muqlah. Kaligrafi Naskhi ini memiliki karakteristik lembut, dan jelas dibaca. Apalagi bila kemudian diberi syakal dan titik. Naskhi tidak digunakan dalam bentuk "tarkib" (bertumpuk tumpuk seperti halnya Tsuluts), melainkan datar mengikuti garis. Pada masa kini, gaya naskhi menjadi tulisan baku untuk buku buku dan karya karya ilmiyah (termasuk untuk penulisan menggunakan mesin cetak dan komputer).

3. Tsuluts
Dinamakan Khat Tsuluts karena khat ini ditulis dengan pena yang ujung pelatuknya dipotong dengan ukuran sepertiga (tsuluts) goresan pena. Khat tsuluts adalah jenis kaligrafi yang dianggap paling gagah, mewah dan elegan. Khat tsuluts juga dianggap paling sulit dibandingkan gaya-gaya lain baik dari segi kaidah ataupun proses penyusunannya yang menuntut harmoni dan seimbang. 

Dalam rentang perjalanannya, Khat Tsuluts berkembang menjadi beberapa gaya, diantaranya yaitu khat Tsuluts Adi dan khat Tsulus Jali. Karena kelenturannya, khat tsuluts biasa digunakan untuk dekorasi dinding dan berbagai media lainnya.

4. Farisi
Jenis khat ini disebut farisi karena ia muncul dan populer dinegeri negeri Persia atau kini Iran. Sebagaimana khat Naskhi, khat farisi juga menjadi gaya tulisan standar bagi buku buku pengetahuan, bahkan sampai hari ini buku buku pengetahuan berbahasa Persia dan website website mereka masih menggunakan khat Farisi. 

Keindahan khat ini terletak pada bentuk lengkungannya yang menarik, bentuk hurufnya yang condong kekanan dan tidak berbaris. Diantara jenis dari khat ini ialah khat ta'liq atau nasta'liq. Jenis khat ini banyak digunakan untuk menulis syair, dan untuk berbagai kegunaan harian. 

5. Diwani
Diwani adalah salah satu gaya khat yang diciptakan oleh masyarakat Turki Usmani. Peletak dasar-dasar kaidah dan ukuran huruf-hurufnya adalah Ibrahim Munif. Jenis ini mulai dipelajari dan popular setelah penaklukan kota Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al-Fatih pada 875 H. Penamaan Diwani karena dinisbahkan kepada kantor-kantor pemerintahan dimana tulisan tersebut digunakan dan karena dewan-dewan pemerintah itulah khat ini menyebar keseluruh kalangan masyarakat.

Keindahan Diwani terletak pada keluwesannya dan banyak menggunakan huruf huruf memutar. Karakter Diwani terkenal dengan putarannya sehingga tidak satu pun huruf yang tidak mempunyai lengkungan. Goresannya yang lentur dan lembut memudahkan Diwani beradaptasi dengan tulisan apapun. Diwani memiliki kreasi selanjutnya yang disebut diwani jaliy. Sebagian besar bentuk hurufnya mirip dengan diwani biasa, hanya saja hiasannya lebih ramai. Selain itu juga dibedakan dengan adanya mahkota-mahkota di kepala kepala hurufnya.

6. Riq'ah
Khat jenis ini termasuk khat yang indah, sederhana dan mudah dipelajari. Peletak dasar kaidah khat jenis ini adalah Musytasyar Mumtaz Bik, seorang pengajar kaligrafi Sultan Abdul Majid Khan, Raja Dinasti Usmani pada tahun 1280 H. Kaidah ini kemudian disempurnakan oleh Muhammad Izzat At-Turky. Ciri khat riq'ah tidak memiliki struktur yang rumit. Huruf hurufnya yang pendek juga lebih mudah dan cepat ditulis jika dibandingkan dengan khat yang lain. Riq’ah sering digunakan karena dapat mencakup kata-kata panjang dengan goresan-goresan yang tidak banyak makan tempat. Khat Riq’ah juga biasa digunakan untuk catatan tangan atau dikte.

Itulah diantara jenis-jenis khat yang masyhur dan masih dipelajari hingga kini. Kiranya butuh perhatian bagi kita umat Islam untuk melestarikannya, sehingga dapat terus dipelajari oleh generasi generasi yang akan datang.

Selengkapnya
Penemuan Naskah Kuno Al Quran Tertua di Birmingham, Inggris.

Penemuan Naskah Kuno Al Quran Tertua di Birmingham, Inggris.

Naskah Al Qur'an

Al Qur'an merupakan kitab suci dan pedoman bagi Umat Islam di seluruh dunia. Salah satu keunikan Al Qur'an adalah bahwa Keaslian dan kemurnian Al Qur'an tidak berubah dan terjaga hingga akhir zaman. Sejarah penulisan dan pembukuan Al Qur'an banyak diterangkan dalam buku-buku sejarah islam, hingga naskah Al Qur'an dapat tersebar keseluruh penjuru dunia.

Pada juli 2015, berita mengejutkan muncul ketika pihak Universitas Birmingham di Inggris mengungkapkan bahwa mereka memiliki fragmen dari salah satu Al Quran tertua di dunia. Fragmen tersebut diketahui terbuat dari kulit domba dengan tulisan bergaya khat kufi yang masih dapat terbaca. Meskipun hanya dua lembar naskah yang ada, tetapi pihak Birmingham menyatakan bahwa koleksi lengkap akan terdiri dari sekitar 200 lembar yang terpisah. 

Mereka telah melakukan penelitian melalui serangkaian tes ilmiah yang membuktikan bahwa naskah Al Quran yang mereka miliki adalah salah satu teks tertua dan mungkin ditulis oleh orang dekat Nabi Muhammad. Muncul klaim yang mengatakan bahwa fragmen ini bisa jadi merupakan fragmen dari versi lengkap Al Quran pertama, yang ditulis pada masa Abu Bakar, Khalifah pertama. Jika demikian tentunya ini menjadi penemuan penting bagi dunia Islam.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah bagaimana naskah Al Qur'an tersebut bisa sampai kesana. Fragmen Al Qur'an di Birmingham diketahui setidaknya telah berusia 1.370 tahun dan pernah tersimpan  di masjid tertua di Mesir, Masjid Amr ibn al-As di Fustat. Berdasarkan penelitian dan uji coba yang dilakukan para akademisi, mereka percaya bahwa fragmen naskah Al Qur'an yang berada di Birmingham memiliki kecocokan dengan fragmen Al Qur'an yang berada di Perpustakaan Nasional Perancis, Bibliotheque Nationale de France.

Pakar Sejarawan Quran dan akademisi di College de France, Francois Deroche menegaskan bahwa fragmen di Paris merupakan bagian dari Al Quran yang sama dengan fragmen yang ada di Birmingham. Hal itu juga dikuatkan dengan pernyataan yang sama dari Alba Fedeli, peneliti yang pertama kali mengidentifikasi naskah di Birmingham. Bahkan diketahui juga bahwa ternyata naskah Al Qur' an yang berada di Paris juga berasal dari Masjid Amr ibn al -As di Fustat.

Deroche menjelaskan bahwa pada abad ke-19, manuskrip dipindahkan dari masjid di Fustat ke perpustakaan nasional di Kairo. Namun dalam perjalanannya beberapa lembar dijual diam-diam memasuki pasar barang antik. Lembaran-lembaran tersebut mungkin dijual dan dijual kembali, sampai pada tahun 1920 mereka diakuisisi oleh Alphonse Mingana, warga Suriah yang melakukan perjalanan ke Timur Tengah dengan didanai oleh keluarga Cadbury, dan akhirnya dibawa ke Birmingham. Deroche juga mengatakan bahwa fragmen sejenis lainnya juga dijual ke para kolektor Barat, dan hingga kini masih menunggu untuk ditemukan.

Sementara Fragmen yang berada di Paris dibawa dari Mesir oleh Asselin de Cherville, seorang pejabat wakil konsul di Mesir ketika Mesir masih berada di bawah kendali tentara Napoleon pada awal abad ke-19. Deroche mengatakan bahwa janda Asselin de Cherville sepertinya telah mencoba untuk menjual manuskrip ini dan manuskrip Islam kuno lainnya ke Perpustakaan Inggris pada tahun 1820-an, tetapi akhirnya mereka justru berakhir di perpustakaan nasional di Paris, dan tetap di sana sejak saat itu.

Hal yang masih menjadi perdebatan adalah mengenai berasal dari tahun berapa dan pada zaman siapa naskah Al Qur'an di Birmingham itu ditulis. David Thomas, profesor Kristen dan Islam Universitas Birmingham menjelaskan bahwa naskah diperkirakan berasal dari tahun-tahun awal Islam. Hal itu dibuktikan melalui pengujian radiokarbon yang menempatkan naskah itu berasal antara kisaran tahun 568 dan 645 M. Studi lebih lanjut juga mengungkap bahwa naskah itu bertanggal dalam kisaran 13 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad pada 632 M.

Jamal bin Huwareib, managing director dari Mohammad bin Rasyid Al Maktoum Foundation, sebuah yayasan pendidikan yang didirikan oleh penguasa Uni Emirat Arab, mengatakan bahwa hasil penelitian ini membuktikan naskah di Birmingham adalah bagian dari versi pertama Al Quran yang ditulis komprehensif dan dirakit oleh Abu Bakar, khalifah pertama Muslim yang memerintah antara 632 dan 634 M. Bahkan setelah ia menyaksikan sendiri naskah tersebut di Universitas Birmingham, ia yakin bahwa naskah tersebut adalah Al Quran dari Abu Bakar.

Dia juga mengatakan bahwa kualitas tinggi tulisan tangan dan perkamen menunjukkan bahwa lembaran tersebut merupakan mahakarya yang dibuat untuk seseorang yang penting. Naskah tersebut adalah akar Islam dan akar dari Al Quran.

Adapun mengenai keakuratan hasil uji radiokarbon, Staf di unit akselerator radiokarbon Oxford University, yang menguji tanggal perkamen, yakin bahwa temuan mereka benar. Mereka juga yakin bahwa mereka telah melakukan penanggalan dengan akurat. Peneliti David Chivall juga mengatakan bahwa keakuratan penanggalan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan pendekatan yang lebih dapat diandalkan untuk menghilangkan kontaminasi dari sampel.

Meskipun hasil uji radiokarbon diyakini telah akurat, sejumlah pakar menganggap hasil tersebut tidak berarti menunjukan bahwa naskah tersebut berasal dari periode awal Islam. Diantara alasannya adalah bahwa hasil penanggalan uji radiokarbon bertentangan dengan temuan akademisi yang berdasar pada analisis mereka terhadap gaya teks naskah.

Mustafa Shah, dari Departemen Studi Islam di School of Oriental and African Studies in London, mengatakan bahwa "bukti grafis", seperti bagaimana ayat-ayat dipisahkan dan tanda gramatikal, menunjukkan naskah tersebut berasal dari tanggal sesudahnya.

Selain dari gaya teks naskah, ada juga kemungkinan bahwa penanggalan hasil uji radiokarbon didasarkan pada kematian hewan yang kulitnya digunakan untuk perkamen, bukan ketika naskah itu selesai ditulis. Jika demikian berarti bisa saja naskah tersebut ditulis beberapa tahun kemudian dari rentang akhir di tahun 645, dengan Prof Thomas menunjukkan kemungkinan dari 650-655 M.

Hal ini tentunya akan menjadi tumpang tindih dengan produksi salinan mushaf Al Qur'an pada masa pemerintahan khalifah Utsman antara 644 dan 656 M. Pada masa itu telah dibuat beberapa salinan Al Qur'an versi standar yang disebut Mushaf Utsmani dan disebarkan kepada komunitas-komunitas Muslim pada masa itu.

Memang tidak mungkin membuktikan atau menyangkal teori tersebut, artinya jika naskah Birmingham adalah sebuah fragmen dari salah satu salinan tersebut, maka ini juga tetap akan menjadi hasil penemuan yang spektakuler.

Hasil pengujian bisa saja benar dan tidak bisa diabaikan bahwa bisa saja fragmen tersebut berasal dari naskah kuno yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit di bawah kepemimpinan Abu Bakar. Tetapi tidak bisa diabaikan pula bahwa bisa saja naskah Birmingham merupakan salinan dari salinan Al Qur'an produksi Usman yang dibuat khusus untuk masjid di Fustat.

Meskipun begitu, penemuan ini tetap merupakan salah satu penemuan penting yang pernah ada bagi dunia Islam. Penemuan yang tidak ternilai ini juga bisa menjadi sebuah revolusi dalam mempelajari Islam. Selain itu, penemuan ini juga seperti mengirim pesan saling toleransi antar agama.


Disarikan dari kompas.com
Selengkapnya
Curug Lawe dan Curug Benowo, 'Surga' Tersembunyi di Kaki Gunung Ungaran

Curug Lawe dan Curug Benowo, 'Surga' Tersembunyi di Kaki Gunung Ungaran

Curug Lawe

Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya dan teman-teman saat mengunjungi wisata air terjun yang masih berada di sekitar kota Semarang. Pada sabtu 25 april 2015 tahun lalu, saya dan beberapa teman saya yaitu Fakhri, Deni, Ulil, Akhis dan Thohir berangkat dari Ngaliyan Semarang dengan bersepeda motor menuju wisata air terjun yang kami cari.

Berjarak 12 km dari kota Semarang atau 7 km dari kota Ungaran, tepatnya di desa Kalisidi, Kec. Ungaran Barat, Kab. Semarang, terdapat dua wisata air terjun yang letaknya berdekatan, yaitu curug lawe dan curug benowo. Pada awalnya kami tidak mengetahui bahwa ada dua air terjun, yang kami tahu dari informasi teman hanya curug lawe, tetapi begitu sampai di lokasi ternyata ada dua yakni curug lawe dan benowo. Jalur masuk menuju kedua curug ini termasuk dalam kawasan perkebunan cengkeh milik PT Cengkeh Zanzibar. 

Penamaan Curug Lawe konon dikarenakan air yang jatuh dari tebing yang curam terlihat bagai benang-benang putih, yang dalam bahasa jawa disebut lawe. Versi lain juga mengatakan bahwa dinamakan Curug Lawe karena konon jumlah air terjun yang ada, baik dari yang besar hingga yang terkecil berjumlah 25 buah yang dalam bahasa jawa disebut Selawe.

Pesona alam yang ditawarkan kedua curug ini memang sangat indah dengan kondisi alam yang hijau asri dengan panorama pegunungan kaki gunung Ungaran. Air yang mengalir dari kedua air terjun ini juga menjadi sumber kehidupan bagi apapun yang dilaluinya karena debit airnya tidak berkurang walau di musim kemarau.

Sebelum mulai menjelajah, kami membayar tiket masuk 4000 perorang dan biaya parkir 2000 untuk setiap sepeda motor. Awal perjalanan kondisi jalan setapak relatif datar dengan sedikit tanjakan. Di beberapa lokasi juga terdapat tempat untuk melihat satwa liar seperti lutung yang biasa muncul bergelantungan di pohon.

Sepanjang perjalanan kami berjalan menyusuri parit saluran irigasi yang tidak terlalu besar, namun air mengalir begitu derasnya, sementara disisi kami yang lain adalah jurang dan tebing yang tinggi. Jalan yang curam dan licin serta medan yang sempit membuat kami harus ekstra hati-hati. Bahkan di beberapa sudut jalan juga terpasang tanda peringatan agar pengunjung berhati-hati dan berjalan bergantian karena licin dan sempitnya medan.

Papan peringatan curug lawe

Meskipun begitu, pemandangan alam yang indah dan suara kicauan burung sedikit mengurangi ketegangan kami. Dalam perjalanan, kami juga melewati sebuah jembatan kayu yang masih cukup kuat dan bagian bawahnya berfungsi sebagai saluran air. Di bagian bawah jembatan berdiri tiang pancang dari besi yang menyangganya.

Jembatan kayu

Setelah melewati jembatan, kami sampai di bendungan irigasi, dari sini kami menemui dua jalur bercabang yang masing-masing menuju curug lawe dan curug benowo. Waktu itu kami sepakat menuju curug lawe terlebih dahulu.

Dengan berjalan menanjak dan sedikit menurun, beberapa menit kemudian akhirnya sampailah kami di lokasi curug lawe berada. Curug lawe berada tersembunyi di lengkungan tebing yang diselimuti air dan membentuk lingkaran dengan ketinggian lebih dari 40 meter.

Curug lawe 3

Derasnya aliran air yang jatuh dari atas tebing menghantam batuan di bawahnya menimbulkan cipratan air tipis seperti embun yang ketika terkena sinar matahari akan membentuk pelangi yang indah. Keindahan dan kesejukan yang di suguhkan air terjun Curug Lawe ini juga membuat rasa lelah menjadi hilang.

Curug lawe

Setelah puas menikmati keindahan curug lawe, kami meneruskan perjalanan menuju curug benowo. Dengan mengambil jalur putar balik, kami sampai di percabangan jalur menuju lokasi curug benowo berada. Letak curug benowo sedikit berada di atas dari lokasi curug lawe. Berbeda dengan curug lawe yang letaknya agak gelap tersembunyi, curug benowo berada di tempat yang terbuka. Curug benowo juga terlihat berbentuk air terjun tunggal yang cukup tinggi.

Curug benowo

Puas rasanya menikmati keindahan dua curug ini. Harapan kami semoga peran pemerintah dan masyarakat dapat lebih memperhatikan pengelolaan kawasan wisata alami ini, sehingga kedepannya curug lawe dan benowo dengan pesona alamnya tetap terjaga keasrianya, kebersihannya, dan keindahannya. Baca juga: Goa Kreo dan Waduk Jatibarang, Wisata Alam Kota Semarang

Benowo 2

Jembatan kayu

Selengkapnya