Asal Mula Panggilan Adzan dan Kalimatnya

Asal Mula Panggilan Adzan dan Kalimatnya

Orang sedang adzan

Adzan merupakan salah satu syi'ar (pilar) dari syi'ar-syi'ar Islam. Dengan adzan, syi'ar Islam semakin jelas dan tampak bergema di seluruh penjuru dunia. Adzan adalah seruan untuk melaksanakan ibadah shalat. Dengan adzan, kaum Muslimin diberi tahu akan masuknya waktu shalat, sehingga kaum Muslimin lekas bergegas ke masjid untuk bersama-sama melaksanakan ibadah shalat berjamaah. 

Mengumandangkan adzan adalah hak kaum Muslimin agar mereka berlomba-lomba dan bersaing untuk melakukannya. Dalam sebuah hadits disebutkan : ''Seandainya orang-orang tahu pahala mengumandangkan adzan dan pahala berdiri pada barisan (shaf) pertama ketika shalat berjamaah dan tidak bisa memperolehnya kecuali dengan mengundi, maka ia akan mengundinya.'' (HR. Bukhari).

Adzan pertama kali terjadi di Madinah, yaitu setelah peristiwa hijrah. Pendapat paling kuat mengatakan terjadi pada tahun pertama Hijriyah (1H.) dan pendapat lain mengatakan pada tahun kedua Hijriyah (2H.). Sedangkan kewajiban shalat lima waktu terjadi sebelum Nabi hijrah ke Madinah, tepatnya pada malam peristiwa Isra' Mi'raj. Hanya saja, waktu itu kaum Muslimin menjalankannya tanpa didahului dengan adanya kumandang adzan. Hal itu terjadi karena sebelum terjadi perintah hijrah, keadaan dan tempat tinggal kaum Muslimin masih memungkinkan untuk mengetahui waktu shalat dan dapat berjamaah sesegera mungkin. 

Namun setelah hijrah, jumlah kaum muslimin di Madinah semakin banyak, kondisi mereka juga semakin kuat, aman dan sejahtera. Karena itulah, syariat adzan kemudian diperkenalkan. Ada beberapa riwayat yang menceritakan tentang asal mula disyariatkannya adzan, di antaranya adalah sebagai berikut :

Pada suatu waktu, Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya perihal sarana yang dapat dipergunakan untuk mengumumkan telah tibanya waktu shalat. Sebagian ada yang mengusulkan dengan mengangkat tinggi bendera, sebagian lagi mengusulkan dengan menyalakan api di atas bukit. Selain itu ada pula yang mengusulkan menggunakan terompet mirip tanduk sebagaimana dilakukan umat Yahudi. Sebagian yang lain mengusulkan menggunakan lonceng seperti yang digunakan umat Nasrani. Dan yang terakhir ada sebagian sahabat yang mengusulkan dengan menggunakan panggilan seruan (nida'). Dari kesemuanya itu, Rasulullah tidak ada yang setuju, kecuali pada pendapat yang terakhir, yaitu dengan panggilan seruan. 

Demikianlah, pada akhirnya umat Islam menggunakan cara khusus lagi istimewa, yang tidak mengikuti tatacara agama lain, terutama Yahudi dan Nasrani, yaitu berupa panggilan seruan yang disebut adzan. Jika demikian halnya, lalu dari manakah asal mula kalimat adzan seperti yang kita kenal sekarang ini?

Dalam hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud disebutkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, dari az-Zuhri, dari Sa'id bin Musayyab, dari Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbah, Ia bercerita:

Ketika Rasulullah SAW tidak menyetujui tatacara seruan shalat dengan memukul lonceng karena ada kemiripan dengan tatacara kaum Nasrani, pada waktu itu saya sedang menunaikan thawaf. Malam harinya, saya tertidur dan bermimpi.

Dalam mimpi itu saya melihat seseorang yang mengenakan pakaian berwarna hijau sembari membawa lonceng. Saya bertanya padanya : ''Wahai hamba Allah! Apakah engkau mengikuti cara loncengan?''
Orang itu menjawab, : ''Apakah engkau juga melakukannya?''
Saya pun menjawab, : ''Saya menggunakan lonceng untuk seruan shalat.''
Orang itu lalu berkata, : ''Maukah aku tunjukkan kepadamu cara yang lebih baik dari itu?''
Saya menjawab,: ''Benar, tunjukkanlah.''
Orang itu kemudian berkata : ''Katakanlah olehmu ucapan : Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Asyhadu An Laa Ilaaha Illallaah. Asyhadu An Laa Ilaaha Illallaah. Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah. Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah. Hayya 'Alash-Shalaah. Hayya 'Alash-Shalaah. Hayya 'Alal Falaah. Hayya 'Alal Falaah. Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Laa Ilaaha Illallaah.''

Pada pagi harinya, saya menemui Rasulullah dan memberitahukan mimpiku semalam. Beliau menjawabnya seraya bersabda, : ''Mimpimu itu adalah mimpi yang benar (ru'ya ash-shaalihah). Insya Allaah.

Kemudian beliau menginstruksikan kepada para sahabatnya untuk menggunakan adzan dengan kalimat-kalimat tersebut sebagai seruan masuknya waktu shalat.

Sedangkan mengenai penambahan kalimat dalam adzan shubuh, kisahnya adalah pada saat Bilal mengumandangkan adzan untuk shalat shubuh, tiba-tiba ada seseorang yang memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah SAW masih tidur. Mendengar pemberitahuan itu, kemudian Bilal dengan suara melengking menambahkan kalimat Ash-Shalaatu Khairum Minan-Naum (Shalat itu lebih baik daripada tidur) dalam adzan shubuhnya. Ternyata Rasulullah kemudian pun menyetujui penambahan kalimat dari Bilal ini. Sa'id bin Musayyab (periwayat kisah ini) juga berpendapat, kemudian kalimat Bilal ini dimasukkan dalam adzan shubuh.

Masih mengenai asal mula panggilan adzan, dalam riwayat lain juga disebutkan : dari Muhammad bin Abdullah bin Zaid, dari ayahnya (Abdullah bin Zaid bin Abdu Rabbah), ia bercerita :

Pagi harinya (setelah bermimpi), saya menemui Rasulullah SAW dan memberitahukan mimpi yang saya alami semalam. Rasulullah menjawab : ''Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar (haq), insya Allaah. Sampaikanlah kepada Bilal perihal mimpimu itu agar ia mengumandangkan adzan seperti kalimat dalam mimpimu itu.''

Kemudian saya menemui Bilal bin Rabbah dan menyampaikan perintah Rasulullah SAW kepadanya, dan ia pun kemudian beradzan dengan kalimat-kalimat itu. Hal ini sampai terdengar oleh Umar bin Khatthab ra yang berada di rumah. Dengan secepatnya ia keluar rumah menemui Rasulullah sembari membawa selendang yang masih tergerai seraya berkata : ''Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq! Sungguh saya telah bermimpi yang sama dengan apa yang telah saya lihat dan saya dengar.'' Maka Rasulullah SAW bersabda,: ''Alhamdulillaah. Segala puji bagi Allah.''

Demikianlah sejarah latar belakang munculnya kalimat adzan. Ternyata, kalimat adzan yang kita kenal sekarang ini berasal dari mimpi. Tetapi meskipun dari mimpi, pernyataan Rasulullah SAW, ''Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar'', menunjukkan bahwasanya adzan itu disyariatkan berdasarkan wahyu Ilahi, bukan berdasarkan mimpi (ru'ya) biasa semata. Kisah pensyariatan adzan dan kalimat adzan di atas menjelaskan kepada kita tentang pentingnya adzan sebagai sarana syiar dan dakwah dalam kehidupan Islam.

Sumber :
Khulashah Nur al-Yaqiin, juz 2, karya Ustadz Umar Abdul Jabbar.
The Dream, Sketsa Mimpi dalam Tinjauan Islam, Kedokteran dan Psikologi, karya Miftahul Asror.
Selengkapnya
Ajaran dari Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Ajaran dari Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Memaafkan

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Surah Ali Imran : 134)

Rasulullah adalah teladan bagi umatnya. Sifat sabar, santun dan pemaaf adalah termasuk sifat-sifat yang melekat pada diri beliau, karena ketiga sifat ini mempunyai pengaruh besar dalam proses keberhasilan dakwah beliau. Rasulullah SAW telah menyatukan hati para sahabatnya dan menghiasi mereka dengan sifat-sifat terpuji, suka memaafkan dan berlapang dada. Ketika hak-hak mereka diserang, mereka membalasnya bukan sekedar memuaskan keinginan mereka, melainkan untuk menjaga hak-hak Allah.

Ketika Rasulullah dan para sahabatnya berhasil menaklukan Makkah (fathu Makkah), Rasulullah dapat menghancurkan kekuatan kaum musyrikin, dan menghancurkan berhala-berhala yang mereka sembah dengan tangan beliau yang mulia, tanpa perlawanan yang berarti dari mereka. Pada saat Rasulullah memasuki Makkah di siang hari, semua penduduk Makkah tertunduk lesu di hadapan Rasulullah menantikan balasan yang akan mereka terima atas perlakuan buruk mereka kepada beliau sewaktu beliau masih berada di Makkah, namun Rasulullah bersabda :

ماتظنون أني فاعل بكم؟ قالوا خيرا، أخ كريم وابن أخ كريم فقال 
لهم إذهبوا فأنتم الطلقاء 

''Apa yang kalian kira akan kulakukan terhadap kalian semua?'' Mereka menjawab : ''Kebaikan, Wahai saudara yang mulia, putra dari saudara yang mulia''. Rasulullah bersabda : ''Pergilah, kalian semua bebas''.

Masih banyak peristiwa lain dalam sirah kehidupan Rasulullah yang menceritakan kemuliaan dan sifat pemaafnya. Di dalam sejarah Rasulullah banyak sekali kita temukan kisah-kisah yang sarat dengan teladan beliau tentang kelapangan dada dan sifat beliau yang suka memaafkan.

Dalam kehidupan kita sebagai manusia, kita sering mengalami peristiwa yang menyakitkan atau mendengar berita tentang kita yang tidak menyenangkan. Tentunya jika kita mengalami peristiwa seperti ini, pada umumnya kita akan merasa kesal dan marah pada orang yang melakukannya. Namun, kalau saja kita dibiarkan untuk menuntut balas seenak hati atas perlakuan buruk yang kita terima, yaitu dengan membalas kejahatan dengan kejahatan, membalas dendam dengan dendam, maka niscaya kita akan hidup dalam permusuhan yang tidak berkesudahan, tenggelam dalam balas dendam yang berkepanjangan.

Kalau itu terjadi, maka tatanan masyarakat yang aman tidak akan pernah terwujud. Hubungan yang dapat mengikat kemesraan antar warga menjadi musnah, karena masing-masing dikuasai oleh dendam dan keinginan untuk menuntut balas. Maka Islam memberikan bimbingan kepada umatnya agar bersikap lapang dada, bersabar dan pemaaf, lebih mengedepankan kemaafan daripada balas dendam dan mengedepankan lapang dada daripada menuntut balas, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Sebab, adakalanya seseorang berbuat salah di suatu saat, tetapi di saat yang lain dia menyadari kesalahannya itu, dan menyesali kesalahan yang telah dilakukannya di masa lalu. Islam mengajarkan bahwa kejahatan bukanlah dibalas dengan kejahatan pula, melainkan membalas kejahatan dengan kebaikan, mengganti kemarahan dengan maaf dan lapang dada. 

Maka hendaklah kita menghias diri dengan kemuliaan budi pekerti dan akhlaqul karimah. Kita tunjukkan ketinggian Islam dalam kecintaannya kepada kebaikan bagi semua umat manusia. Akhlak Islam adalah ajaran yang sarat dengan nilai kemanusiaan dan kemuliaan. Sudah saatnya kita semai kembali kasih sayang dan maaf antara sesama, merajut persatuan yang sempat compang-camping, menjahit kembali kesatuan yang sempat carut marut untuk bekal kita menghadap kepada Allah SWT.



Penyejuk Hati Penjernih Pikiran
Selengkapnya
Menyambut Fenomena Alam Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016

Menyambut Fenomena Alam Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016

Gerhana Matahari Total

Beberapa hari ini sejumlah media surat kabar baik cetak maupun elektronik banyak mewartakan mengenai munculnya gerhana matahari yang akan terjadi pada besok rabu 9 maret 2016. Sejumlah Peneliti, pemerintah dan masyarakat luas mulai bersiap menyambut gerhana matahari total ini. Bahkan sejumlah event juga diselenggarakan dalam rangka menyambut terjadinya fenomena alam ini. Beberapa daerah juga memasukkan moment ini dalam kalender destinasi wisata mereka dalam menarik pengunjung atau wisatawan yang ingin menyaksikan langsung munculnya fenomena alam ini. Apa yang membuatnya istimewa sehingga banyak yang hendak meliput peristiwa alam ini?.

Munculnya gerhana merupakan fenomena kosmik yang menunjukkan kebesaran Allah. Oleh karenanya, untuk mengingat Allah Sang Maha Pencipta, umat muslim disunnahkan melakukan salat sunah khusus gerhana selama terjadinya fenomena gerhana ini. Gerhana matahari merupakan salah satu fenomena alam yang selalu menarik perhatian manusia sejak dahulu. Namun, yang membuat peristiwa gerhana yang diperkirakan terjadi besok rabu pagi 9 maret ini lebih istimewa adalah karena wilayah daratan yang dilalui gerhana total ini hanya berada di wilayah Indonesia.

Gerhana matahari total dianggap sebagai salah satu fenomena alam paling mengesankan yang terjadi di Bumi. Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, Gerhana matahari total ini pernah terjadi sebelumnya di Indonesia, yaitu pada 1983, 1988, dan 1995. Gerhana matahari total yang akan terjadi pada 9 Maret 2016 diperkirakan baru akan terjadi lagi pada 2023.

Sebenarnya, selain di Indonesia, negara lain seperti India dan Nepal juga akan mengalami gerhana matahari, akan tetapi hanya bersifat parsial. Begitu juga Malaysia, Filipina, dan Papua Nugini hanya akan dapat menyaksikan lebih dari 50% gerhana parsial. Sedangkan Kamboja, Myanmar, Vietnam dan Thailand akan melihat sekitar 50% gerhana matahari parsial. Sementara Australia, China, Jepang dan Alaska akan mendapatkan kurang dari 50% gerhana parsial.

Jalur totalitas gerhana membentang dari Samudra Hindia hingga utara Kepulauan Hawaii, Amerika Serikat. Jalur gerhana itu selebar 155-160 kilometer dan terentang sejauh 1.200-1.300 kilometer, yang kali ini melintasi 12 provinsi di Indonesia. Artinya, gerhana matahari total ini akan bisa disaksikan dengan jelas di 12 provinsi dari Indonesia bagian barat sampai timur. Provinsi-provinsi tersebut adalah Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Selain itu, juga bisa disaksikan di wilayah lain, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah, serta Maluku Utara. Namun, tidak semua daerah di provinsi itu dilintasi jalur totalitas gerhana.

Untuk wilayah Indonesia bagian barat, waktu puncak terjadinya gerhana adalah pada pukul 07.20 WIB. Untuk Indonesia bagian tengah, puncak gerhana matahari total akan terjadi pada pukul 08.35 WITA. Sedangkan untuk Indonesia bagian timur, puncak gerhana ini akan terlihat pada pukul 09.50 WIT.

Di pusat jalur gerhana, gerhana total terpendek terjadi di Seai, Pulau Pagai Selatan, Sumatera Barat, yaitu selama 1 menit 54 detik dan terpanjang terjadi di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, yaitu selama 3 menit 17 detik. Totalitas gerhana terlama terjadi di satu titik di atas Samudra Pasifik di utara Papua Nugini yaitu selama 4 menit 9 detik. Sedangkan di wilayah Indonesia barat, gerhana terjadi mulai pukul 06.20 WIB, sedangkan di Indonesia tengah dan timur pukul 07.25 Wita dan 08.35 WIT. Fase Gerhana Matahari Total (GMT) rata-rata terjadi satu jam kemudian. Selama GMT, piringan Matahari tertutup penuh oleh piringan Bulan dan hanya menyisakan cahaya korona atau bagian atas atmosfer Matahari. Sehingga yang akan terjadi pada saat itu adalah "Hari yang terang akan berubah seperti senja untuk sesaat,". Menurut LAPAN, gerhana matahari total ini hanya akan terlihat selama 1,5-3 menit.

Wilayah Indonesia lain yang tidak berada di 12 provinsi tersebut akan tetap bisa menyaksikan gerhana matahari meski hanya sebagian yang terlihat (GMS). Bahkan "Seluruh wilayah Indonesia, di luar yang mengalami GMT, akan mengalami GMS. Daerah yang mengalami Gerhana matahari sebagian ini akan melihat Matahari berbentuk sabit. 

Kabarnya, sejumlah peneliti atau ilmuwan, baik dari dalam negeri maupun peneliti asing akan mengamati dan meneliti terjadinya peristiwa gerhana matahari total ini. Mereka akan tersebar di sejumlah wilayah yang menjadi tempat pengamatan. 

Menurut Kepala Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG, Jaya Murjaya mengatakan bahwa tim BMKG akan meneliti variasi medan magnet Bumi dan anomali gravitasi Bumi selama gerhana. Sementara itu, Kepala Observatorium Bosscha ITB, Mahasena Putra juga mengatakan bahwa sejumlah peneliti yang tersebar di beberapa daerah itu juga berencana menyiarkan langsung GMT ini melalui fasilitas live streaming, sehingga totalitas gerhana tetap bisa dinikmati masyarakat di daerah lain.

Selain sebagai kegiatan ilmiah, peneliti, komunikator astronomi, dan astronom amatir itu juga akan mengadakan berbagai kegiatan edukasi publik, mengajak menikmati GMT dengan aman. Kemudian juga menjadikannya sebagai peristiwa budaya yang menyenangkan.



Sumber :
Selengkapnya
Renungan Hidup dari Imam Hatim al-Asham

Renungan Hidup dari Imam Hatim al-Asham

Renungan

Imam al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, pada kitab tentang Ilmu, sebuah kisah berkenaan dengan Syaikh Hatim al-Asham. Dalam kisah ini banyak terdapat renungan dan pembelajaran yang dapat kita ambil sebagai bekal dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dalam kitabnya, Imam al-Ghazali menyebutkan :

ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﺣﺎﺗﻢ ﺍﻷﺻﻢ، ﺗﻠﻤﻴﺬ ﺷﻘﻴﻖ ﺍﻟﺒﻠﺨﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ﺷﻘﻴﻖ : " ﻣُﻨْﺬُ ﻛَﻢْ ﺻﺤﺒﺘَﻨِﻲ؟ "،
ﻗﺎﻝ ﺣﺎﺗﻢ : " ﻣﻨﺬُ ﺛﻼﺙٍ ﻭﺛﻼﺛﻴﻦ ﺳﻨﺔً " ، ﻗﺎﻝ : " ﻓَﻤَﺎ ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖَ ﻣِﻨِّﻲ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺪﺓ؟ " ، ﻗﺎﻝ " : ﺛَﻤﺎﻧﻲ ﻣَﺴَﺎﺋِﻞَ " ، ﻗﺎﻝ ﺷﻘﻴﻖ ﻟﻪ " : ﺇﻧﺎ ﻟﻠﻪ ﻭﺇﻧﺎ ﺇﻟﻴﻪ ﺭﺍﺟﻌﻮﻥ، ﺫَﻫَﺐَ ﻋُﻤْﺮِﻱ ﻣَﻌَﻚَ ﻭﻟَﻢ ﺗَﺘَﻌَﻠَّﻢْ ﺇِﻻَّ ﺛَﻤَﺎﻧِﻲَ ﻣَﺴَﺎﺋِﻞَ؟ "! ، ﻗﺎﻝ : " ﻳﺎ ﺃﺳﺘﺎﺫُ، ﻟَﻢْ ﺃَﺗَﻌَﻠَّﻢْ ﻏَﻴْﺮَﻫَﺎ . ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﻻَ ﺃُﺣِﺐُّ ﺃَﻥْ ﺃَﻛْﺬِﺏَ " ، ﻓﻘﺎﻝ : " ﻫَﺎﺕِ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺜَّﻤَﺎﻧِﻲ ﻣﺴﺎﺋﻞَ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺳْﻤَﻌَﻬَﺎ " ، ﻗﺎﻝ ﺣﺎﺗﻢ : " ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻠﻖِ ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖُ ﻛُﻞَّ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻳُﺤِﺐُّ ﻣَﺤْﺒُﻮْﺑًﺎ، ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﻊَ ﻣَﺤْﺒُﻮْﺑِﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻘَﺒْﺮِ . ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻭَﺻَﻞَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻘَﺒْﺮِ ﻓَﺎﺭَﻗَﻪُ . ﻓَﺠَﻌَﻠْﺖُ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺎﺕِ ﻣَﺤْﺒُﻮْﺑِﻲ . ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻠْﺖُ ﺍﻟﻘَﺒْﺮَ ﺩَﺧَﻞَ ﻣَﺤْﺒُﻮﺑﻲ ﻣَﻌِﻲ
" ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : " ﺃَﺣْﺴَﻨْﺖَ ﻳَﺎ ﺣَﺎﺗِﻢُ، ﻓَﻤَﺎ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔُ؟ "

ﻓﻘﺎﻝ : " ﻧﻈﺮﺕُ ﻓِﻲ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ : " ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻑَ ﻣَﻘَﺎﻡَ ﺭَﺑِّﻪِ ﻭَﻧَﻬَﻰ ﺍﻟﻨَّﻔْﺲَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻬَﻮَﻯ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﺠَﻨَّﺔَ ﻫِﻲَ ﺍﻟﻤَﺄْﻭَﻯ " ، ﻓَﻌَﻠِﻤْﺖُ ﺃَﻥَّ ﻗﻮﻟَﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻫُﻮَ ﺍﻟﺤَﻖُّ، ﻓَﺄَﺟْﻬَﺪْﺕُ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﻓِﻲ ﺩَﻓْﻊِ ﺍﻟﻬَﻮَﻯ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺳْﺘَﻘَﺮْﺕُ ﻋﻠﻰ ﻃﺎﻋﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗﻌﺎﻟﻰ؛

ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔُ ﺃﻧﻲ ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻠﻖِ ﻓﺮﺃﻳﺖُ ﻛﻞّ ﻣﻤﻦ ﻣﻌﻪ ﺷﻲﺀٌ ﻟﻪ ﻗﻴﻤﺔٌ ﻭﻣﻘﺪﺍﺭٌ ﺭَﻓَﻌَﻪ ﻭَﺣَﻔِﻈَﻪُ، ﺛﻢ ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ " : ﻣَﺎ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻳَﻨْﻔَﺪُ ﻭَﻣَﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑَﺎﻕٍ ." ﻓَﻜﻠﻤﺎ ﻭﻗﻊ ﻣﻌﻲ ﺷﻲﺀٌ ﻟﻪ ﻗﻴﻤﺔٌ ﻭﻣﻘﺪﺍﺭٌ ﻭَﺟَّﻬْﺘُﻪُ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻟِﻴَﺒْﻘَﻰ ﻋِﻨْﺪَﻩ ﻣﺤﻔﻮﻇﺎ؛

ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ ﺃﻧﻲ ﻧﻈﺮﺕ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﻓﺮﺃﻳﺖ ﻛﻞَّ ﻭﺍﺣﺪٍ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﺮﺟِﻊُ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺎﻝِ، ﻭﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﺴﺐ، ﻭﺍﻟﺸﺮﻑ، ﻭﺍﻟﻨﺴﺐ، ﻓﻨﻈﺮﺕُ ﻓﻴﻬﺎ ﻓﺈﺫﺍ ﻫﻲ ﻻ ﺷﻲﺀَ، ﺛﻢ ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : " ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍ
ﻟﻠﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ " ، ﻓﻌﻤﻠﺖُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﻘْﻮَﻯ ﺣﺘﻰ ﺃﻛﻮﻥَ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﺮﻳﻤﺎ؛

ﺍﻟﺨﺎﻣﺴﺔ ﺃﻧﻲ ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻠﻖ، ﻭﻫﻢ ﻳَﻄْﻌُﻦ ﺑﻌﻀُﻬﻢ ﻓﻲ ﺑﻌﺾٍ ﻭﻳُﻠْﻌِﻦ ﺑﻌﻀُﻬﻢ ﺑﻌﻀﺎ . ﻭﺃﺻﻞُ ﻫﺬﺍ ﻛﻠﻪ ﺍﻟﺤﺴﺪُ، ﺛﻢ ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ : " ﻧَﺤْﻦُ ﻗَﺴَﻤْﻨَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻣَﻌِﻴْﺸَﺘَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ " ، ﻓﺘﺮﻛﺖُ ﺍﻟﺤﺴﺪَ ﻭَﺍﺟْﺘَﻨَﺒْﺖُ ﺍﻟﺨﻠﻖَ ﻭَﻋَﻠِﻤْﺖُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻘﺴﻤﺔَ ﻣِﻦ ﻋِﻨْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ، ﻓَﺘَﺮَﻛْﺖُ ﻋَﺪَﺍﻭَﺓَ ﺍﻟﺨﻠﻖِ ﻋَﻨِّﻲ؛

ﺍﻟﺴﺎﺩﺳﺔ ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻠﻖِ ﻳَﺒْﻐِﻲ ﺑَﻌْﻀُﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾٍ ﻭَﻳُﻘَﺎﺗِﻞ ﺑﻌﻀُﻬﻢ ﺑﻌﻀﺎ، ﻓﺮﺟﻌﺖُ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ : " ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻋَﺪُﻭٌّ ﻓَﺎﺗَّﺨِﺬُﻭْﻩُ ﻋَﺪُﻭًّﺍ " ، ﻓﻌﺎﺩﻳﺘُﻪ ﻭﺣﺪَﻩ ﻭَﺍﺟْﺘَﻬَﺪْﺕُ ﻓِﻲ ﺃَﺧﺬ ﺣﺬﺭﻱ ﻣﻨﻪ ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺷﻬِﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﺃَﻧَّﻪُ ﻋَﺪُﻭٌّ ﻟِﻲ، ﻓَﺘَﺮَﻛْﺖُ ﻋَﺪَﺍﻭَﺓَ ﺍﻟﺨَﻠْﻖِ ﻏَﻴْﺮَﻩُ؛

ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻠﻖِ ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖُ ﻛﻞَّ ﻭﺍﺣﺪٍ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﻄﻠﺐ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻜﺴﺮﺓَ ﻓَﻴﺬِﻝُّ ﻓِﻴﻬﺎ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳَﺤِﻞُّ ﻟﻪ، ﺛﻢ ﻧﻈﺮﺕُ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ " : ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺩَﺍﺑَّﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﺇِﻻَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺭِﺯْﻗُﻬَﺎ " ، ﻓَﻌَﻠِﻤْﺖُ ﺃﻧﻲ ﻭﺍﺣﺪٌ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﻭﺍﺏِ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺯﻗُﻬﺎ، ﻓﺎﺷﺘﻐﻠﺖُ ﺑﻤﺎ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻲَّ ﻭَﺗَﺮَﻛْﺖُ ﻣﺎ ﻟﻲ ﻋﻨﺪﻩ؛

ﺍﻟﺜﺎﻣﻨﺔ ﻧﻈﺮﺕ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﻓﺮﺃﻳﺘُﻬﻢ ﻛﻠَّﻬﻢ ﻣُﺘَﻮَﻛِّﻠِﻴﻦَ ﻋﻠﻰ ﻣﺨﻠﻮﻕٍ : ﻫﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﺿَﻴْﻌَﺘﻪ، ﻭﻫﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﺗِﺠَﺎﺭﺗِﻪ، ﻭﻫﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﺻِﻨَﺎﻋﺘﻪ، ﻭﻫﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺔ ﺑَﺪَﻧِﻪ . ﻭﻛﻞ ﻣﺨﻠﻮﻕ ﻣﺘﻮﻛﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺨﻠﻮﻕٍ ﻣﺜﻠَﻪ . ﻓﺮﺟﻌﺖ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : " ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺴْﺒُﻪُ " ، ﻓﺘﻮﻛﻠﺖُ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻓﻬﻮ ﺣﺴﺒﻲ .

ﻗﺎﻝ ﺷﻘﻴﻖ : " ﻳﺎ ﺣﺎﺗﻢ، ﻭﻓﻘﻚ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ …"
[ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ، ﺇﺣﻴﺎﺀ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ، ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻌﻠﻢ ]

Diriwayatkan dari Hatim al-Asham, murid Syaqiq al-Balkhi Radhiyallahu 'anhuma, Syaikh Syaqiq al-Balkhi pernah bertanya kepada muridnya, Hatim al-Asham: Sudah sejak kapan kamu bersahabat (belajar) denganku?
Hatim menjawab: Sudah sejak 33 tahun.
Syaqiq bertanya lagi: Apa yang kamu pelajari dariku selama itu?
Hatim menjawab: Ada delapan perkara.
Syaqiq berkata: Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Aku habiskan umurku bersamamu selama itu, dan kamu tidak belajar kecuali delapan perkara?
Hatim menjawab: Wahai Guru, saya tidak belajar selainnya. Sungguh saya tidak berbohong.
Syaqiq kemudian berkata lagi: Coba jelaskan kepadaku apa saja yang sudah kamu pelajari itu, sehingga aku dapat mendengarnya.

Hatim menjawab:

“Pertama, saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyukai kekasihnya hingga ke kuburannya. Tapi ketika dia sudah sampai di kuburnya, kekasihnya justru berpaling darinya. Maka saya kemudian menjadikan amal kebaikan sebagai kekasih saya, yang apabila saya meninggal dan masuk ke liang kubur, dia akan ikut bersama saya.

Syaqiq berkata: “Bagus Hatim, Sekarang apa yang kedua?”

Kedua, saya memperhatikan firman Allah Ta’ala:

ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻑَ ﻣَﻘَﺎﻡَ ﺭَﺑِّﻪِ ﻭَﻧَﻬَﻰ ﺍﻟﻨَّﻔْﺲَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻬَﻮَﻯ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﺠَﻨَّﺔَ ﻫِﻲَ ﺍﻟﻤَﺄْﻭَﻯ
Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. (Surat an-Nazi’at : 40-41).

Maka saya ketahui bahwa firman Allah adalah haq benar adanya. Oleh karena itu saya meneguhkan diri saya dalam menolak hawa nafsu, hingga saya mampu menetapi ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Ketiga, saya memperhatikan manusia, dan saya amati masing-masing memiliki sesuatu yang berharga, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak hilang. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala:

ﻣَﺎ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻳَﻨْﻔَﺪُ ﻭَﻣَﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑَﺎﻕٍ
Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah kekal. (Surat an-Nahl : 96).

Dari situ, apabila saya memiliki sesuatu yang berharga, maka segera saja saya serahkan kepada Allah, agar milikku tetap berada dalam penjagaanNya.

Keempat, saya memperhatikan manusia dan saya ketahui masing-masing mereka membanggakan harta, kemuliaan leluhur, pangkat dan nasabnya. Padahal saya lihat pada hal yang seperti itu tidaklah ada gunanya. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala:

ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (Surat al-Hujurat : 13).

Maka saya bertakwa, hingga menjadikan saya mulia di sisi Allah Ta’ala.

Kelima, saya memperhatikan manusia, dan (saya tahu) mereka mencela dan mencaci antara satu dengan yang lainnya. Saya tahu masalah utamanya di sini adalah sifat iri hati. Maka saya kemudian membaca firman Allah Ta’ala:

ﻧَﺤْﻦُ ﻗَﺴَﻤْﻨَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻣَﻌِﻴْﺸَﺘَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ
Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia. (Surat az-Zukhruf : 32)

Maka saya kemudian menanggalkan sifat iri hati dan menghindar dari manusia, karena saya tahu bahwa pembagian rizki itu benar-benar dari Allah Ta’ala, yang menjadikanku tidak patut memusuhi dan iri kepada orang lain.

Keenam, saya memperhatikan manusia, yang mereka saling menganiaya dan memerangi antara satu dengan yang lainnya. Kemudian saya melihat firman Allah Ta’ala:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻋَﺪُﻭٌّ ﻓَﺎﺗَّﺨِﺬُﻭْﻩُ ﻋَﺪُﻭًّﺍ
Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh kalian). (Surat Fatir : 6).

Maka saya tumbuhkan rasa benci dan permusuhan hanya pada syaitan, bersungguh-sungguh mengambil kewaspadaan darinya, karena Allah juga telah bersaksi bahwa sesungguhnya syaitanlah musuhku, maka dari itu saya menghindari memusuhi manusia lainnya.

Ketujuh, saya memperhatikan manusia, maka saya lihat masing-masing menghinakan diri mereka sendiri dalam mencari rizki. Bahkan ada di antara mereka yang berani menerjang hal-hal yang tidak halal. Saya kemudian melihat kepada firman Allah Ta’ala:

ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺩَﺍﺑَّﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﺇِﻻَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺭِﺯْﻗُﻬَﺎ
Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya. (Surat Hud : 6)

Saya kemudian menyadari bahwa saya adalah salah satu dari binatang yang Allah telah menanggung rizkinya. Maka saya kemudian menyibukkan dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadaku, dan sebaliknya saya meninggalkan apa-apa yang tidak dibagikan kepadaku.

Kedelapan, saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyerahkan diri kepada makhluk lain seumpamanya: sebagian karena sawah ladangnya, sebagian karena perniagaannya, sebagian karena hasil karya produksinya, dan sebagian lain karena kesehatan badannya. Maka saya melihat kepada firman Allah Ta’ala:

ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺴْﺒُﻪُ
Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluannya). (Surat al-Thalaq : 3)

Maka saya kemudian menyerahkan diri dan mempercayakan semuanya kepada Allah Ta’ala, karena Dia akan mencukupi segala keperluanku.

Mendengar pernyataan-pernyataan Hatim, sang guru yaitu Imam Syaqiq al-Balkhi berkata dan mendoakannya: Wahai Hatim, “Semoga Allah memberi pertolongan kepadamu.”
Selengkapnya
Pelajaran Hidup dari Menjaga Kehormatan dan Menghargai Perasaan Orang Lain

Pelajaran Hidup dari Menjaga Kehormatan dan Menghargai Perasaan Orang Lain

Hargai perasaan

Alkisah, Seorang wanita datang kepada Syaikh Hatim bin Alwan untuk menanyakan suatu masalah yang menimpa dirinya. Tetapi di tengah perbincangan itu, secara tidak sengaja wanita itu mengeluarkan suara kentut yang cukup keras. Akibatnya wanita itu pun sangat malu dibuatnya. Maka Syaikh Hatim kemudian berkata : "Keraskan suaramu'', beliau memperlihatkan kepada wanita itu bahwa seakan-akan beliau tuli. Wanita itu kemudian lega karena mengira bahwa Syaikh Hatim tidak mendengar suara kentutnya. Karena peristiwa inilah, Syaikh Hatim ini kemudian dikenal dengan nama Hatim al-Asham.

Bagi para pengkaji kitab klasik atau kalangan santri, kisah di atas mungkin sudah sangat sering kita dengar. Sepintas kita memahami kisah tersebut adalah kisah humor belaka, karena itu merupakan hal yang nampak jelas dipahami dari kisah di atas. Tetapi sebenarnya ada hikmah penting yang bisa kita ambil dari kisah di atas. 

Dalam profil mengenai sosok Hatim al Asham dalam kisah di atas, kita mendapati bahwa ternyata beliau adalah figur seorang tokoh besar kalangan ahli zuhud, yaitu Imam Hatim al-Asham. Beliau juga dikenal sebagai ahli ibadah dan orang yang dermawan. Nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Hatim ibn Alwan al-Asham. Beliau termasuk tokoh guru besar (syaikh) khurasan, murid Syaikh Syaqiq, guru Ahmad bin Khadrawaih. Beliau pernah mengunjungi Baghdad dan menetap di kota ini sampai meninggal. Tercatat, beliau meninggal di Wasyjard, dekat kota Tarmidz, pada tahun 237 H (852 M). 

Dari kisah di atas, kita dapat mengambil hikmah bahwa demi menjaga kehormatan seseorang, Imam Hatim al asham rela untuk dianggap sebagai orang yang tuli. Syaikh Abu 'Ali ad-Daqaq mengatakan bahwa Syaikh Hatim sebenarnya tidak tuli. Syaikh Hatim hanya berpura-pura tuli untuk menjaga perasaan dan menjaga kehormatan seorang wanita tersebut karena tidak sengaja mengeluarkan kentut dengan suara cukup keras. 

Bahkan konon dikatakan bahwa semenjak peristiwa itu, dan sampai 15 tahun, yaitu selama wanita itu masih hidup, Hatim Al Asham selalu berpura-pura tuli, dan selama itu pula tidak ada seorangpun yang menceritakan kepada wanita itu bahwa sebenarnya pendengaran Hatim Al Asham masih normal selayaknya orang lain. 

Sungguh begitu baik budi pekerti Hatim, sehingga beliau rela untuk berpura-pura selama 15 tahun demi menjaga nama baik dan perasaan wanita itu. Syaikh Hatim sadar wanita itu pasti akan sangat malu kalau mengetahui bahwa suara kentutnya didengar oleh sang Syaikh. Oleh karenanya Syaikh Hatim mencoba menyembunyikan hal itu dengan pura-pura tidak mendengarnya. Setelah wanita itu meninggal dunia, Hatim Al Asham sudah tidak berpura-pura tuli, jika ditanya orang lain, beliau dapat menjawabnya dengan mudah, tetapi beliau selalu mengatakan : "Keraskan suaramu!", kata-kata itu sudah menjadi kebiasaannya, karena sudah 15 tahun lamanya beliau selalu mengucapkan hal itu kepada siapa saja yang menjadi lawan bicaranya. Semenjak itulah, maka sebutan yang sebetulnya tidaklah mengenakkan, yaitu ''Al Asham'' yang artinya si tuli semakin melekat pada Sang Syaikh, jadi Hatim al-Asham berarti Hatim yang tuli.

Dalam hidup banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai pembelajaran. Dengan pembelajaran dan terus berproses, akan membuat kita semakin arif dan bijaksana dalam mengarungi kehidupan. Setiap orang yang kita temui dapat kita jadikan guru yang mengajarkan sesuatu yang baik tentang makna kehidupan dan arti pergaulan. Karena itulah kita harus bisa menghargai siapa pun orang di dunia ini, termasuk orang-orang biasa yang setiap kita temui dengan peran-perannya yang sederhana. Termasuk orang-orang yang kadang-kadang kita pandang sebelah mata dan kita anggap mungkin tidak sepadan dengan kita.

Manusia adalah makhluk yang berperasaan. Perasaan tumbuh dalam diri setiap manusia, tidak peduli bagaimana statusnya, seberapa usianya, dan bagaimana keadaannya, perasaan itu selalu ada dalam dirinya. Anak kecil punya perasaan sebagaimana orang dewasa pun mempunyai perasaan. Rakyat jelata pun memiliki perasaan sebagaimana juga penguasa maupun bangsawan. Dan kita, wajib memahami dan memaklumi perasaan itu agar bisa menghargai setiap orang yang kita temui. 

Selain menjaga hubungan baik dengan Dzat yang Maha Pencipta, dalam konsep ‘hablum minannas’ kita diajarkan bahwa ada tujuan dan maksud yang sangat jelas bahwa kita perlu menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Maknanya adalah, menjaga perasaan orang lain sama pentingnya dengan menjaga perasaan diri sendiri, karena Allah Ta’ala telah menjadikan manusia itu senang akan penghargaan, pujian, dan kelembutan dalam bertutur kata. Namun setiap penghargaan, hanya bisa diraih jika kita menjaga kehormatan dan menghargai perasaan orang lain. 

Menjaga kehormatan dan perasaan orang lain juga dapat kita lakukan dengan saling menutupi aib saudara kita sesama muslim. Islam adalah agama yang mengajarkan tuntunan hidup bagi umatnya, termasuk dalam hal pergaulan sesama manusia. Islam juga mengajarkan kepada umatnya agar tidak membuka aib orang lain yang hanya akan membuat orang tersebut terhina. Ada 3 keutamaan yang bisa didapatkan bagi mereka yang mau menutupi aib saudaranya.

1. Allah akan menutupi aibnya di akhirat kelak

ﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘُﺮُ ﻋَﺒْﺪٌ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺳَﺘَﺮَﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ

“Tidaklah seseorang yang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim)

ﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺳَﺘَﺮَﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ

“Barangsiapa menutupi (aib) saudaranya sesama muslim di dunia, Allah menutupi (aib) nya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)

Sebaliknya, siapa yang mengumbar aib saudaranya, Allah akan membuka aibnya hingga aib rumah tangganya.

ﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﻋَﻮْﺭَﺓَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺳَﺘَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻮْﺭَﺗَﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺸَﻒَ ﻋَﻮْﺭَﺓَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻛَﺸَﻒَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻮْﺭَﺗَﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻔْﻀَﺤَﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺘِﻪِ

“Barang siapa yang menutupi aib saudaranya muslim, Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat, dan barang siapa mengumbar aib saudaranya muslim, maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya.” (HR. Ibnu Majah)

2. Allah juga menutupi aibnya di dunia ini

ﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﺳَﺘَﺮَﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ

“Barang Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah)

ﻣَﻦْ ﻧَﻔَّﺲَ ﻋَﻦْ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَﺏِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻧَﻔَّﺲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَﺏِ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺴَّﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻌْﺴِﺮٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻳَﺴَّﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺳَﺘَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْﻥِ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْﻥِ ﺃَﺧِﻴﻪِ

“Barangsiapa yang meringankan (menghilangkan) kesulitan seorang muslim kesulitan-kesulitan duniawi, maka Allah akan meringankan (menghilangkan) baginya kesulitan di akhirat kelak. Barangsiapa yang memberikan kemudahan bagi orang yang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memudahkan baginya kemudahan (urusan) di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selalu ia menolong saudaranya.” (HR. Tirmidzi)

3. Keutamaan menutup aib saudara seperti menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup

ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻋَﻮْﺭَﺓً ﻓَﺴَﺘَﺮَﻫَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﻤَﻦْ ﺃَﺣْﻴَﺎ ﻣَﻮْﺀُﻭﺩَﺓً

“Siapa melihat aurat (aib orang lain) lalu menutupinya, maka seakan-akan ia menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup.” (HR. Abu Daud)

ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻋَﻮْﺭَﺓً ﻓَﺴَﺘَﺮَﻫَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﻤَﻦْ ﺍﺳْﺘَﺤْﻴَﺎ ﻣَﻮْﺀُﻭﺩَﺓً ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﺮِﻫَﺎ

“Barangsiapa melihat aurat lalu ia menutupinya maka seolah-oleh ia telah menghidupkan kembali Mau`udah dari kuburnya.” (HR. Ahmad)

ﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﻤَﻦْ ﺃَﺣْﻴَﺎ ﻣَﻮْﺀُﻭﺩَﺓً ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﺮِﻫَﺎ

“Barangsiapa menutupi aib seorang mukmin maka ia seperti seorang yang menghidupkan kembali Mau`udah dari kuburnya.” (HR. Ahmad)

Sesungguhnya hubungan kita dengan orang lain bukanlah sekedar interaksi dan pergaulan biasa. Tetapi kita hidup untuk saling berbagi, memberi, maupun menerima dalam hal apapun. Dalam kehidupan ini, sesungguhnya kita saling mengisi, dan saling belajar untuk berusaha mencapai kesempurnaan hidup.

Baca juga :


Kisah dinukil dari kitab Qami'ut Thughyan, karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi.

Selengkapnya
Biografi Imam An-Nawawi Ad-Dimasyqi As-Syafi'i

Biografi Imam An-Nawawi Ad-Dimasyqi As-Syafi'i

Salah satu karya an Nawawi

Ada sebagian umat Islam yang salah dalam mengenali kedua Ulama agung yang hampir sama dalam penyebutan namanya. Beliau berdua adalah Syaikh Nawawi dari Banten dan Imam an-Nawawi dari Damaskus. Keduanya adalah sama-sama Ulama besar di zamannya masing-masing, dan keduanya juga merupakan Ulama yang sama-sama produktif dalam menghasilkan karya-karya yang berguna bagi Umat Islam. Jika pada sekitar abad ke 14 H/ 19 M kita mengenal nama Syaikh Nawawi al-Bantani, maka jauh sebelumnya yaitu pada abad ke 7 H kita mengenal pula nama Imam agung yaitu Imam an-Nawawi dari Damaskus, Syria.

Imam An-Nawawi


Beliau adalah al-Imam al-'Allamah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Nama kunyah beliau adalah Abu Zakariya, meskipun Zakariya bukanlah nama anaknya, karena beliau termasuk salah satu ulama yang tidak menikah sampai akhir hidupnya. Kaum Muslimin juga memberi beliau nama laqob (gelar) yaitu ''Muhyiddin'' yang artinya orang yang menghidupkan agama. Namun beliau sendiri membenci gelar ini, sampai-sampai beliau berkata “Aku tidak ridho orang menggelariku .''Muhyiddin''. Ini menunjukkan ketidaksenangannya dengan gelar ini sekaligus menunjukkan ketawadhuannya karena ia menyadari bahwa di dalamnya terdapat tazkiyah (penyucian) atas dirinya, sedangkan beliau tidak suka akan hal itu. Meskipun demikian, laqob tersebut tetap melekat dan selalu menyertai nama beliau di dalam kitab-kitabnya dikarenakan keikhlasan beliau dalam berdakwah dan hampir seluruh kaum muslim menerima dan mengakui keilmuwan dan dakwah beliau.

Kebanyakan kaum muslimin lebih mengenal beliau dengan nama Imam An-Nawawi. Nama An-Nawawi adalah nisbat (penyandaran) kepada tanah kelahirannya yaitu ''Nawa'', suatu perkampungan di Hauran, yang berada di Damaskus, Syria. Beliau adalah Ulama Besar dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya. 

Masa Kecil dan Perkembangannya


Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan Nawa dari kedua orang tua yang shalih. Ayahnya bernama Syaraf, seorang syaikh yang zuhud dan wara’. Berada di tengah-tengah keluarga yang shalih, sejak kecil ayahnya telah membiasakan Imam An-Nawawi untuk belajar dan menuntut ilmu, bahkan ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.

Dikisahkan ketika berumur 7 tahun, beliau terjaga dimalam hari pada malam ke 27 Ramadhan yang merupakan salah-satu malam yang diperkirakan turunnya Lailatul Qadar. Pada malam itu beliau melihat seberkas cahaya yang menerangi rumahnya, beliau pun terkaget karena pada saat itu Imam An-Nawawi masih kanak-kanak dan belum mengerti apa kejadian yang menimpanya, maka beliau pun segera membangunkan orangtuanya dan menceritakan tersebut. Sang ayah memahami bahwa ini adalah tanda dari Allah terhadap anaknya. Mereka pun berdoa agar Allah memberkahi anaknya. Maka sejak kejadian inilah sang ayah memberikan perhatian yang khusus kepada Imam An-Nawawi.

Pada usianya yang ke 10, sang ayah memasukkan Imam Nawawi ke madrasah untuk menghafal Al-Qur’an dan mempelajari ilmu fiqih kepada beberapa ulama di sana. Dan beliau sangat antusias untuk menghafal Al-Qur’an. Dikisahkan pada suatu hari ketika Imam An-Nawawi berusia 10 tahun, beliau diajak bermain oleh teman-temannya, tetapi beliau menolak dan lebih memilih untuk membaca Al-Qur’an. Namun mereka tetap saja memaksanya untuk bermain hingga akhirnya beliau pun berlari sambil menangis. Kejadian itu dilihat oleh syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi yang kebetulan lewat, kemudian ia mendatangi kedua orang tuanya dan memberikan nasihat agar mengkhususkan Imam An-Nawawi untuk menuntut ilmu. Orang tuanya menerima usulan tersebut, dan sejak kejadian itu pula perhatian sang ayah dan gurunya pun semakin besar terhadap Imam An-Nawawi.

Perjalanannya Dalam Menuntut Ilmu


Pada usianya yang ke-19 tahun, sang ayah melihat lingkungan di Nawa sudah tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan ilmu anaknya. Maka ia memutuskan untuk membawanya ke madrasah ar-Rawahiyyah di pojok timur Masjid Al-Jami’ al-Umawiy di Damaskus. Ketika itu Damaskus merupakan salah satu daerah yang menjadi pusat kajian ilmu. Beliau sangat tekun dalam menuntut ilmu. Selama 2 tahun di sana ia senantiasa belajar siang dan malam, sampai-sampai ia tidak tidur kecuali karena ketiduran ketika belajar. Dan waktu-waktunya ia habiskan untuk mendalami ilmu dan menghafal berbagai kitab.

Imam Nawawi menceritakan tentang dirinya sendiri, ia berkata “Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku membawaku pindah ke Damaskus pada saat beliau (ayahnya) berusia 49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah tersebut. Aku pun berhasil menghafal At-Tanbih (red: at-Tanbiih fii Furuu’isy-Syaafi’iyyah, karya Abu Ishaq asy-Syirazi) kurang lebih selama 4,5 bulan. Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari kitab Al-Muhadzdzab (red: Al-Muhadzdzab fil Furuu’ ) di sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut. 

Aku juga banyak memberikan komentar dan masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga sangat intens dalam bermulazamah dengannya. Beliau pun lalu merasa tertarik kepadaku ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam semua aktifitasku dan tidak pernah nongkrong dengan kebanyakan orang. Beliaupun sangat senang kepadaku dan akhirnya beliau mengangkatku menjadi assisten dalam halaqahnya, mengingat jama’ahnya yang begitu banyak.”

Imam An-Nawawi memiliki wawasan ilmu dan tsaqafah yang luas. Ini dapat dilihat dari kesungguhannya dalam menimba ilmu. Berkata salah seorang muridnya, yakni ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar, bahwa beliau setiap hari mempelajari dua belas pelajaran baik syarahnya maupun tashhihnya pada para syaikh beliau. Dua pelajaran pengantar, satu pelajaran muhadzdzab (sopan santun), satu pelajaran gabungan dari dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim), satu pelajaran tentang shahih Muslim, satu pelajaran kitab Al–Lam’u oleh Ibnu Jinni dalam pelajaran nahwu, satu pelajaran dalam lshlahul Manthiq oleh Ibnu As-Sikiit dalam pelajaran bahasa, satu pelajaran sharaf, satu pelajaran Ushul Fiqh, dan kadang kitab Al-Lam ‘u oleh Abi Ishaq dan kadang Al-Muntakhab oleh Fakhrur Raazi; dan satu pelajaran tentang Asma’u Rijal, satu pelajaran Ushuluddin, dan adalah beliau menulis semua hal yang bersangkutan dengan semua pelajaran ini, baik mengenai penjelasan kemusykilannya maupun penjelasan istilah serta detail bahasanya.

Imam An-Nawawi sangat tekun dan telaten dalam mudzakarah dan belajar siang dan malam, selama sekitar dua puluh tahun hingga mencapai puncaknya. Beliau rajin sekali dan menghafal banyak hal sehingga mengungguli teman-temannya yang lain. Allah SWT telah memberikan berkah kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga ia berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah karya dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah disimpulkannya. Ia Imam An-Nawawi menuliskan dalam sebuah kitabnya:

“Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].

Pengabdiannya Dalam Menyebarkan Ilmu


Ketika usia beliau menginjak 30 tahun beliau mulai aktif menulis. Beliau menuangkan pikiran-pikirannya dalam berbagai buku dan karya ilmiah lainnya yang sangat mengagumkan. Beliau menulis dengan bahasa yang mudah, argumentasi yang kuat, pemikiran yang jelas, dan objektif dalam memaparkan berbagai pendapat para ahli fiqih. Hingga sampai saat ini, karya-karya yang ditulisnya mendapatkan perhatian yang besar dari setiap muslim dan diterima oleh setiap kalangan di seluruh negeri islam. 

Kemudian pada tahun 665 H, beliau diberi tugas untuk menjadi guru di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah dan mengelola bidang pendidikan. Saat itu, usianya baru menginjak 34 tahun. Dan mengajar di sana hingga wafat. Gaji yang diberikan Madrasah Darul Hadits Al-Asyrafiyyah sangat besar, ia tidak pernah mengambilnya, tetapi mengumpulkannya pada kepala madrasah. Dan apabila telah sampai setahun, uang tersebut digunakan untuk membeli aset dan mewakafkannya untuk Darul Hadits tempat beliau mengajar atau digunakan untuk membeli kitab dan mewakafkannya untuk perpustakaan madrasah.

Guru-Gurunya


Seumur hidupnya, beliau menuntut ilmu dari banyak guru, diantaranya :

Di bidang fiqih dan ushulnya

1. Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi Al-Maqdisi, wafat pada 650 H. 

2. Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi, wafat pada tahun 654 H. 

3. Sallar bin aI-Hasan al-Irbali al-Halabi ad-Dimasyqi, wafat pada tahun 670 H. 

4. Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’i, wafat pada tahun 672 H. 

5. Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari yang lebih dikenal dengan al-Farkah, wafat pada tahun 690 H.

Di bidang ilmu hadits

1. Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, yang wafat pada tahun 661 H. 

2. Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari, yang wafat pada tahun 662 H. 

3. Khalid bin Yusuf an-Nablusi, yang wafat pada tahun 663 H. 

4. Ibrahim bin ’Isa al-Muradi, yang wafat pada tahun 668 H. 

5. Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi, yang wafat pada tahun 672 H. 

6. Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi, yang wafat pada tahun 682 H.

Di bidang ilmu nahwu dan bahasa

1. Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, wafat pada tahun 664 H. 

2. al-’Izz al-Maliki, salah seorang ulama bahasa dari madzhab imam malik.

Murid-Muridnya


Adapun murid-murid beliau yang melalui didikannya bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar an-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin an–Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya.

Karya - Karya Beliau 


Karya-Karya yang beliau tulis cukup banyak, berikut adalah di antara beberapa kitab yang beliau tulis :

Dalam Bidang Fiqh

1. Al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab

Kitab ini merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq As-Syirozi. Banyak ulama mengakui dan memuji kitab ini, namun sayangnya kitab ini belum sempat beliau selesaikan, hanya sampai pada penjelasan kitab riba pada jilid ke 9. Namun kitab ini kemudian diteruskan oleh As-Subki sebanyak 3 jilid dan kemudian dilengkapi oleh Sayyid Muhammad Najib Al-Muthi’i. 

2. Raudhatut Thalibin

Kitab ini tergolong kitab-kitab besar yang terdiri dari 12 Jilid. Di dalamnya, beliau membahas hukum-hukum As-Syarhul Kabir (karya Imam Rafi’ asy-Syafi’i) berikut penjelasan cabang-cabangnya secara detail dan mengumpulkan sekaligus mengoreksi berbagai cabang permasalahan yang semula berserakan di sana sini: Sehingga kitab ini menjadi rujukan dalam taljih, panduan dalam tash-hih, referensi para cerdik pandai dalam mengeluarkan fatwa, dan acuan para tokoh dalam membahas berbagai persoalan kontemporer.

3. Minhaj at-Thalibin

Kitab ini adalah mukhtashar (ringkasan) dari kitab Muharrar, karya Imam Rofi’i. Kitab ini sangat mashyur (terkenal) dan dijadikan sebagai sandaran dalam mempelajari madzhab Syafi’i.

4. Al-Fatawa

Kitab ini merupakan kumpulan berbagai persoalan yang tidak disusun berdasarkan tema per tema. Kitab ini lalu disusun secara tematis oleh murid beliau Syaikh ‘Alauddin Al-’Aththar dengan tambahan beberapa hal penting yang didengarnya langsung dari beliau.

Dalam Bidang Hadits

1. Syarah Shahih Bukhari

Kitab tidak sempat beliau selesaikan dan baru beliau tulis sebanyak 1 jilid.

2. Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim

Kitab ini adalah kitab syarah Shahih Muslim yang paling besar dan terkenal. Kitab ini terdiri dari 9 jilid dan termasuk karya terakhir beliau.

3. Syarah Sunan Abu Dawud

Kitab ini juga tidak selesai.

4. Arba’in An-Nawawi

Kitab ini adalah kitab hadits yang banyak dirokemendasikan oleh ulama, karena di dalamnya termuat berbagai hadits seputar dasar-dasar agama islam yang sangat penting untuk dipelajari, seperti tentang iman, islam, ihsan dan lain sebagainya.

5. Riyadhush Shalihin

Ini adalah salah satu kitab beliau yang paling terkenal di kalangan kaum muslimin, hampir di setiap masjid-masjid dan pesantren-pesantren di Indonesia banyak dikaji kitab ini.

6. At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir

Dalam Bidang Biografi dan Bahasa Arab

1. Tahdzibul Asma’ wal Lughat

Di dalamnya beliau menulis sejumlah biografi singkat dari ulama-ulama baik laki-laki maupun wanita yang disebutkan di dalam kitab Mukhtasor al-Muzzani, Al-Muhadzdzab, At-Tanbih, Al-Wasith dan Al-Wajiz. Selain itu juga menjelaskan tentang bahasa Arab. Kitab ini mendapat pujian dari beberapa ulama.

2. Thabaqat Asy-Syafi’iyyah

Kitab ini menjelaskan tentang biografi ulama-ulama syafi’i.

3. Manaqib Asy-Syafi’i

Kitab ini menjelaskan mengenai kedudukan dan keutaman Imam Asy-Syafi’i rahimahullah serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya.

Dalam Bidang Akhlak

1. At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an

Kitab ini membahasa mengenai adab-adab bagi penghafal Al-Qur’an.

2. Bustanul Arifin

3. Al-Adzkar, kumpulan dzikir dan doa-doa Rasulullah SAW.

Dan lain-lain:

1. Tahdzib al-Asma

2. Ma Tamas Ilaihi Hajah al-Qari li Shahih al-Bukhari

3. Tahrir al-Tanbih

4. Adab al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti

5. At-Tarkhis bi al-Qiyam

Akhlak dan Sifatnya


Para penulis biografi sepakat bahwa Imam an-Nawawi adalah seorang pemimpin dalam bidang zuhud, panutan dalam hal wara’, orang yang selalu memberikan pandangan yang bijak di bidang hukum, orang yang bersungguh-sungguh dalam menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta beliau senantiasa memberi nasihat kepada penguasa. Beliaupun termasuk orang yang senantiasa beribadah di siang dan malamnya. Berikut adalah beberapa sifat dan akhlak beliau yang mulia :

1. Zuhud

Imam An-Nawawi tidak terlena dengan kenikmatan dunia, sikap ini dapat terlihat dari sikap beliau yang menolak untuk diberi gaji, karena bagi beliau puncak kenikmatan adalah melalui ilmu yang dipelajarinya. Beliau menulis dalam Muqadimah Syarh Al-Muhadzdzab dan ini adalah pesan emas bagi para penuntut ilmu-, “Ketahuilah, apa-apa yang kami sebutkan terkait dengan keutamaan menimba ilmu, sesungguhnya itu semua hanya diperuntukkan bagi orang yang mempelajarinya karena menginginkan ridha Allah ta’ala (ikhlas), bukan karena motivasi duniawi. Barangsiapa yang belajar karena dorongan dunia seperti; harta, kepemimpinan, jabatan, kedudukan, popularitas, atau supaya orang-orang cenderung kepadanya, atau untuk mengalahkan lawan debat dan tujuan semacamnya maka hal itu adalah tercela. ”

Selain itu yang menarik perhatian adalah bahwa beliau pindah dari sebuah perkampungan sederhana menuju kota Damaskus yang penuh dengan kesenangan dan kenikmatan, sedangkan ketika itu usia beliau masih sangat muda dan dalam kondisi fisik yang masih kuat. Meskipun demikian, beliau tidak pernah berpaling untuk memperhatikan semua kesenangan dan syahwat tersebut. Beliau justru membenamkan diri dalam kesungguhan dan kehidupan yang sederhana.

2. Wara’

Dalam kehidupannya banyak yang menggambarkan kewaraannya. Dan di antaranya adalah beliau tidak mau memakan sayuran yang berasal dari damaskus. Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab “Karena di sana banyak tanah wakaf dan kepemilikan yang dikelola oleh orang yang seharusnya dilarang melakukan pengelolaan.” Sedangkan untuk kasus itu, tanah tersebut tidak boleh dikelola kecuali untuk maslahat umum, dan kerja sama yang ada haruslah dalam bentuk kontrak kerja sama dengan sistem masaqat . Dan dalam hal ini banyak ulama berbeda pendapat. Dan karena sifat wara’nya, beliau tidak mau memakan sayuran tersebut.

3. Seorang Alim Penasihat

Dalam diri Imam an-Nawawi tercermin sifat-sifat alim, suka memberi nasihat, seorang yang berjihad di jalan Allah dengan lisannya, menegakkan kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar. Seorang yang mukhlish dalam memberi nasihat, tidak mempunyai tendensi apapun, seorang yang pemberani, tidak takut celaan di jalan Allah terhadap orang yang mencelanya. Seorang yang mempunyai bayan dan hujjah untuk memperkuat dakwaannya.

Beliau dijadikan rujukan oleh manusia bila mereka menghadapi perkara yang sulit dan pelik, serta minta fatwa kepadanya. Dan beliau menanggapinya serta berusaha memecahkan permasalahannya, seperti ketika berkenaan dengan hukum penyitaan atas dua taman di Syam; ketika Damaskus kedatangan penguasa dari Mesir, dari Raja Bibiris, setelah mereka dapat mengusir pasukan Tartar, maka wakil (pejabat) baitul maal menyangka bahwa kebanyakan dari taman-taman yang berada di Syam tersebut adalah milik negara. Maka sang raja memerintahkan untuk memagarinya, yakni menyitanya. Maka orang-orang melaporkan hal itu kepada Imam An-Nawawi di Daarul Hadits. Kemudian beliau menulis surat kepada sang penguasa yang dinyatakan di dalamnya sebagai berikut:

“Kaum muslimin merasa dirugikan atas adanya penyitaan hak milik mereka, oleh karena itu mereka menuntut supaya hak milik mereka dikembalikan. Dan penyitaan ini tidak dihalalkan oleh seorang ulama’ pun dari kalangan kaum muslimin. Karena barangsiapa yang di tangannya sesuatu maka dialah pemiliknya, tidak boleh seorang pun merampasnya dan tidak dibenarkan menjadikannya sebagai status miliknya.”

Maka marahlah sang penguasa tersebut terhadap nasihat yang ditujukan kepadanya itu, lalu ia memerintahkan supaya gaji syaikh itu dihentikan dan dicopot dari jabatannya. Akan tetapi orang-orang menyatakan bahwa syaikh itu tidak mendapat gaji dan tidak pula mempunyai jabatan. Akhirnya ketika penguasa itu memandang bahwa tidak bermanfaat lagi surat-menyurat, maka ia pergi sendiri untuk menemui Imam An-Nawawi dan hendak mengumpatnya habis-habisan dan ia ingin mengamuknya. Akan tetapi Allah memalingkan hati penguasa itu dari berbuat yang demikian itu dan melindungi Imam An-Nawawi dari hal semacam itu. Bahkan sang penguasa itu kemudian mencabut penyitaan dan Imam an-Nawawi pun dilepaskan Allah dari kejahatannya.

Pujian-Pujian Para Ulama Terhadapnya


Semasa hidupnya Imam an-Nawawi selalu menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, ibadah, wirid, puasa, dzikir dan sabar atas terpaan badai kehidupan. Pakaian beliau adalah kain kasar, sementara serban yang beliau kenakan berwarna hitam dan berukuran kecil.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah syaikhul madzhab (maksudnya guru besar dalam madzhab Syafi’i) dan ahli fikih besar di masanya.” Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah ahli fatwa umat ini, syaikhul islam, seorang Hafizh (penghafal hadits) yang cemerlang, salah seorang imam besar dan pemimpin para wali.”

Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak.”

Abul Abbas bin Faraj rahimahullah mengatakan tentangnya, “Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar.”

Ibnul Aththar rahimahullah mengatakan tentangnya, “Guru kami An Nawawi disamping selalu bermujahadah, wara’, muraqabah, dan mensucikan jiwanya, beliau adalah seorang yang hafidz terhadap hadits, bidang – bidangnya, rijalnya, dan ma’rifat shahih dan dha’ifnya, beliau juga seorang imam dalam madzhab fiqh.”

Ibnul Aththar rahimahulah juga berkata, “Guru kami An Nawawi menceritakan kepadaku bahwa beliau tidak pernah sama sekali menyia – nyiakan waktu , tidak di waktu malam atau di waktu siang bahkan sampai di jalan beliau terus dalam menelaah dan manghafal.”

Quthbuddin Al Yuniny rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah teladan zamannya dalam ilmu, wara’, ibadah, dan zuhud.”

Syamsuddin bin Fakhruddin Al Hanbaly rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah seorang imam yang menonjol, hafidz yang mutqin, sangat wara’ dan zuhud.”

Rasyid bin Mu’aliim rahimahullah mengatakan tentangnya, “Syaikh Muhyiddin An Nawawi sangat jarang masuk kamar kecil, sangat sedikit makan dan minumya, sangat takut mendapat penyakit yang menghalangi kesibukannya, sangat menghindari buah – buahan dan mentimun karena takut membasahkan jasadnya dan membawa tidur, beliau sehari semalam makan sekali dan minum seteguk air di waktu sahur.”

Wafatnya


Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya di Nawa. Sebelumnya mengembalikan berbagai kitab yang dipinjamnya dari sebuah badan waqaf, dan menziarahi makam para guru beliau juga bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: “Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?” Beliau menjawab: “Sesudah 200 tahun.” Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.

Beliau berziarah ke makam orang tuanya, Baitul Maqdis, dan makam AI-Khalil (Ibrahim) ‘Alaihissalam. Setelah itu barulah beliau meneruskan perjalanannya ke Nawa. Di sanalah (Nawa) beliau lalu jatuh sakit dan akhirnya wafat pada malam Rabu tanggal 24 Rajab (tahun 676 H.). Ketika kabar wafatnya beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan sosok Imam An-Nawawi. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya. Beliau ditangisi oleh tidak kurang dari 20.000 orang atau 600 keluarga lebih. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat yang luas kepada beliau.



Sumber :
https://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com/manakib/imam-nawawi/
https://catatanngajiku.wordpress.com/2013/02/25/biografi-imam-an-nawawi/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/An-Nawawi
Selengkapnya