Tradisi Peringatan Haul di Masyarakat

Tradisi Peringatan Haul di Masyarakat

Tradisi Peringatan Haul di Masyarakat

Sekitar sebulan yang lalu, keluarga besar saya baru saja memperingati haul simbah buyut saya. Para kerabat, saudara dan tetangga diundang untuk menghadiri acara haul yang diisi doa bersama, pembacaan yasin tahlil dan sebagainya. Pada haul kali ini memang diadakan lebih sederhana dibanding tahun-tahun sebelumnya. Biasanya acara haul ini diawali dengan ziarah ke makam yang dihauli dan diakhiri dengan doa bersama dan ceramah agama oleh seorang Kyai.

Tradisi haul memang sudah biasa diperingati oleh masyarakat Jawa. Bahkan di pesantren-pesantren berbasis NU, tradisi haul ini selalu diadakan setiap tahunnya. Hal ini  juga untuk mengenang para pendahulu (biasanya para pendiri pesantren yang telah wafat) yang berjuang dalam menyiarkan islam lewat pesantren. Tradisi haul di pesantren yang pernah saya rasakan bahkan terasa lebih berkesan karena diisi berbagai macam kegiatan dan biasanya berlangsung berhari-hari. 

Pada masa kini memang diakui islam di Jawa, bahkan di Indonesia semakin beragam. Berbagai aliran Islam muncul dan berkembang baik di kota maupun di desa. Pandangan mereka tentang tradisi haul ini juga bermacam-macam. Mereka yang tidak sependapat bahkan menolak tradisi ini juga banyak. Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan berani mencap kafir kepada saudara mereka sesama Islam yang melaksanakan tradisi haul ini.

Menurut pengertiannya, haul merupakan salah satu bentuk upacara peringatan atas wafatnya seseorang yang telah dikenal sebagai pemuka agama Islam, baik itu Wali, Ulama, atau orang Islam yang mempunyai jasa besar terhadap masyarakat. Kata haul berasal dari bahasa Arab yang artinya satu tahun atau genap setahun. Maka pada umumnya upacara haul diselenggarakan bertepatan dengan hari wafat orang yang dihauli. Istilah haul juga sering dipergunakan dalam kegiatan urusan zakat, yakni zakat suatu barang harus dikeluarkan apabila telah mencapai genap setahun atau haul.

Menanggapi kalangan Islam yang menolak tradisi haul, sebenarnya kita harus berfikir jernih. Kita harus menghindari berfikiran saklek. Sumber utama dalam menggali ajaran Islam adalah Al Qur'an dan Hadits, maka untuk menggalinya dibutuhkan peralatan dan perlengkapan tertentu yaitu pengetahuan ilmu-ilmu penting yang sudah disepakati oleh para Ulama seperti ilmu Qowa'id, Balaghah, ilmu Tafsir, ilmu Musthalah Hadits dan sebagainya. Penggalian dari Al Qur'an dan Hadits tidak boleh hanya dari penafsiran akal semata. Artinya kita tidak boleh mengartikan dan menyimpulkan hukum yang terkandung di dalamnya dengan tuntunan kemauan semata.

Kembali ke masalah peringatan haul, Al Qur'an memang tidak menyebut secara langsung istilah haul. Namun, jika kita mampu menggalinya lebih dalam dengan ilmu-ilmu di atas, sebenarnya Al Qur'an telah memberikan petunjuknya. Berdasarkan kepada mafhum (pengertian yang dapat dipaham) dari manthuq (bunyi lafadz) suatu ayat, kita bisa memahaminya. Dalam surat Adz Dzariyat ayat 55, Allah menyebutkan:

"Dan tetaplah memberi peringatan, karena peringatan itu dapat bermanfaat bagi orang-orang yang beriman."

Mafhum ayat ini menjelaskan tentang perintah Allah kepada kita untuk tetap selalu memberi peringatan kepada sesamanya. Oleh karena itu semua peringatan yang membawa kebaikan adalah memang diharuskan, karena akan bermanfaat bagi diri kita dalam kerangka mempertebal keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. 

Tradisi haul melalui serangkaian acara seperti ziarah kubur, pembacaan ayat-ayat suci Al Qur'an, shalawat Nabi, doa yasin tahlil dan lain sebagainya adalah termasuk salah satu bentuk peringatan yang baik, karena di dalamnya terdapat amalan-amalan ibadah yang membawa kebaikan dan manfaat bagi kita yang hidup di dunia ini. Terlebih, amalan-amalan ini bahkan juga telah dianjurkan oleh Islam baik lewat Al Qur'an maupun Hadits Nabi. Jadi, tradisi peringatan haul, selama tidak menyimpang dari tatanan dan aturan serta tuntunan syara' yang sudah digariskan oleh Allah dan Rasulnya, maka jelas ini adalah tradisi yang baik, dan sudah selayaknya dilestarikan. 

Demikianlah yang perlu diketahui oleh kita semua, sehingga nantinya kita tidak mudah termakan oleh paham-paham atau pendapat yang mencoba menghilangkan dan menganggap sesat tradisi ini. Tradisi ini layak dilestarikan, karena sudah jelas landasannya juga bersumber dari ajaran Islam.

Selengkapnya
Jalan Hidup Samurai

Jalan Hidup Samurai

Jalan Hidup Samurai


Kelompok samurai di bawah pimpinan Tokugawa pernah berkuasa di Jepang pada zaman Edo, yakni selama kurun waktu 660 tahun. Namun sejak terjadinya era modernisasi pada masyarakat Jepang pada 1868, kelompok samurai pimpinan Tokugawa ini pun ikut runtuh. Padahal pada masa jayanya, para kesatria samurai telah berhasil menorehkan nilai-nilai kehidupan bagi masyarakat Jepang. Mereka dipuja, dielu-elukan dan menjadi panutan berbagai kalangan.

Sejak zaman Meiji, kelompok samurai memang telah dibubarkan. Meskipun begitu, ajaran kesetiaan dan kedisiplinan yang dianut para samurai tetap melekat pada diri masyarakat Jepang. Hal ini dikarenakan mereka telah terbiasa digembleng selama ratusan tahun dengan ajaran ala samurai ini. Kini, era samurai di Jepang telah berganti dengan era kecanggihan teknologi dan budaya hidup modern. Namun bagi kebanyakan masyarakat Jepang, etika hidup para samurai yang dikenal dengan etika bushido ternyata tidak serta - merta ditinggalkan. Mereka masih memegang teguh etika bushido dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan modern. 

Para samurai meyakini, saat seseorang kehilangan disiplin dalam dirinya, maka ia juga akan kehilangan fokus dirinya. Disiplin samurai muncul berkat harga diri yang sangat besar. Jika samurai melanggar peraturan, mereka akan merasa merendahkan diri sendiri. Selain menguasai ilmu pedang, para samurai juga belajar etiket, sastra dan sejarah. Hal ini membentuk karakter mereka menjadi kesatria beradab dan santun. Nilai- nilai inilah yang masih melekat pada kebanyakan pribadi masyarakat Jepang. Tidak heran, masyarakat Jepang sangat beradab dan patuh pada aturan dan komitmen yang telah disepakati.

Bagi seorang samurai, tiada yang lebih penting dari kehormatan dan etika. Maka, tak ada ampun bagi mereka yang gagal menjalankan tugas atau berkhianat. Konsekuensi bagi mereka yang berbuat demikian, status mereka terancam menjadi ronin (samurai tanpa majikan) atau nyawanya bisa saja berakhir di pedang sendiri dengan seppuku, yakni bentuk ritual bunuh diri yang dilakukan oleh samurai dengan cara merobek perut dan mengeluarkan usus untuk memulihkan nama baik setelah kegagalan saat melaksanakan tugas dan/atau kesalahan untuk kepentingan rakyat.

Dalam memoar pemimpin besar Jepang, Toyotomi Hideyoshi-The Swordless Samurai (Kitami Masao & Tim Clark, 2010), pengabdian menjadi kunci utama Hideyoshi meraih penghargaan besar dari atasannya. Hideyoshi membuktikan bahwa pandangan sinis terhadap penghargaan, kerja keras, ketegasan dan pengabdian sebagai hal-hal sederhana dan sepele adalah kekeliruan. Menurut Hideyoshi, mereka yang memiliki aspirasi untuk memimpin mula-mula harus belajar melayani dan harus menjadi majikan bagi mereka sendiri.

Bushido secara harfiah berarti Jalan Ksatria, tepatnya tata cara perilaku samurai, baik dalam profesi maupun kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, Bushido adalah kaidah prinsip moral yang harus ditaati setiap samurai. Etika samurai, Bushido, sebenarnya diadopsi dari ajaran Kong Fu Tse dan berkembang menjadi sebuah sekte di agama Budha yang juga bermakna sama 'kesetiaan'. Kesetiaan, disiplin dan pengabdian merupakan tiga nilai utama yang patut diteladani siapa saja, terutama mereka yang ingin meraih kesuksesan dengan jalan terhormat ala samurai.



dikutip dari Kick Andy Magazine, 2011.
Selengkapnya
Riwayat Hidup Joko Sangkrip (Arung Binang I)

Riwayat Hidup Joko Sangkrip (Arung Binang I)

Riwayat Hidup Joko Sangkrip (Arung Binang I)

Beberapa bulan yang lalu, majlis ta'lim Darussalam Satinem di desa saya kembali mengadakan rangkaian acara ziarah para Wali. Seperti tahun sebelumnya (baca disini), kami kembali berziarah mengunjungi makam - makam para Wali di sekitar wilayah Kebumen, Purworejo hingga Magelang. Pada kesempatan kali ini kami juga menambahkan lokasi baru yaitu makam Arung Binang. 

Makam Arung Binang berlokasi di Dusun Kebejen, Desa Kuwarisan, Kecamatan Kutowinangun, Kabupaten Kebumen. Kami sampai di sana sehabis waktu dhuhur. Di lokasi makam kami disambut oleh juru kunci makam yang juga sempat menjelaskan kepada kami mengenai sejarah tokoh Arung Binang. Sebenarnya makam Arung Binang adalah kompleks makam dinasti keluarga Arung Binang beserta trah keturunannya yaitu dari Arung Binang I hingga Arung Binang ke VIII. Namun disini saya hanya akan menjabarkan sejarah dari Arung Binang I. Siapakah Arung Binang?

Arung Binang I atau yang juga dikenal dengan nama Joko Sangkrip adalah salah seorang tokoh yang berhasil memindahkan keraton Kartosuro ke kota Surakarta. Dia juga berhasil ketika mengemban misi memadamkan pemberontakan yang ada di daerah Banyumas, karena jasa dan kesetiannya kepada Raja, dia akhirnya memperoleh kedudukan yang tinggi di lingkungan Keraton Surakarta. Namun pada masa tuanya ia memilih hidup di Kutowinangun Kebumen sampai saat wafatnya.

Ada beberapa versi mengenai silsilah dari Arung Binang. Versi pertama (PATRAB = Paguyuban Trah Aroeng Binang) mengatakan bahwa Arung Binang adalah putra dari Pangeran Puger yang tidak lain adalah Raja ketiga Kasunanan Kartasura (1704 - 1719) yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I. Pangeran Puger adalah putra Sunan Amangkurat I, raja terakhir Kesultanan Mataram.

Sedang versi kedua (Babad Aroeng Binang) mengatakan bahwa Arung Binang adalah putra dari Demang Kyai Hanggayudha dari Kutowinangun. Kyai Hanggayudha sendiri merupakan keturunan dari Pangeran Bumidirjo, tokoh yang menjadi cikal bakal berdirinya kabupaten Kebumen (baca disini). Silsilahnya yaitu Kyai Hanggayudha putra dari Kyai Ragil, Kyai Ragil putra dari Kyai Bekel, dan Kyai Bekel putra dari Pangeran Bumidirjo, yang merupakan putra Panembahan Sedakrapyak putra sulung Panembahan Senopati, Raja pertama Kesultanan Mataram. 

Jika ditelusuri lebih lanjut, baik dari versi pertama maupun versi kedua sebetulnya bisa dikatakan bahwa Arung Binang kemungkinan besar masih keturunan dari Pangeran Bumidirjo meskipun dari jalur yang berbeda. Dikatakan bahwa Pangeran Bumidirjo memiliki 4 putra, yaitu Kyai Gusti, Kyai Bagus, Nyai Ageng, dan Kyai Bekel. Nyai Ageng berputra Wergonoyo, Demang di Wawar / Mirit. Demang Wergonoyo mempunyai dua anak perempuan, yang pertama menjadi istri Kyai Hanggayudha, sedangkan anak kedua diperistri Pangeran Puger.

Pada masa mudanya, Arung Binang dikenal dengan nama Joko Sangkrip. Ia diasuh oleh Kyai Hanggayudha di Kutowinangun. Joko Sangkrip mempunyai penyakit kulit yang tidak kunjung sembuh, bahkan hingga bernanah dan mengeluarkan bau amis, sampai-sampai saudara dan ayah ibunya tidak mau mendekat dan bahkan mengabaikannya. Ia kadang tidur di bawah pohon pisang, di emperan, kadang di kandang, dan kalau makan selalu di belakang sendirian. Karena tidak tahan dengan penyakit dan perlakuan yang diterimanya, Joko Sangkrip kemudian mengembara mencari kesembuhan. 

Dalam pengembaraannya ia masuk ke dalam hutan. Di sana ia mengalami beberapa peristiwa hingga konon sempat bertapa di dalam perut kerbau sampai akhirnya ia menemukan sendang yang airnya bening. Malam hari ia berendam dalam sendang, sedangkan siang harinya ia berjemur. Dia juga hanya makan dari buah - buahan dan dedaunan untuk mengisi perutnya. Setelah 40 hari, penyakit kulitnya sembuh sama sekali, tak ada satu pun belang yang tersisa.

Pengembaraan ia lanjutkan ke Bojong Sari untuk berguru pada Kyai Ahmad Yusuf yang tersohor tinggi ilmunya. Joko Sangkrip menggunakan nama Surawijaya, agar tidak dikenali. Karena sikap dan tutur katanya yang baik, ia diterima menjadi murid oleh Kyai Ahmad Yusuf. Setelah semua ilmu diturunkannya, sang Kyai meminta Surawijaya untuk pergi mengabdi ke Kutowinangun. Di perjalanan menuju Kutowinangun, ia menyimpang ke dusun Selang untuk berguru kepada Kyai Jahiman, namun ditolak karena sang kyai melihat bahwa Surawijaya atau Joko Sangkrip adalah orang yang sudah "berisi". Surawijaya kemudian tiba di Dusun Prajuritan dan bertapa ngalong di sebuah pohon Benda yang bawahnya gelap dan wingit.

Saat ia bertapa, pemilik pekarangan dimana pohon Benda itu berada, datang pada hari kesembilan dan menurunkan Surawijaya dari pohon serta merawatnya hingga pulih. Pemilik pekarangan yang bernama Nalagati kemudian mendapat petunjuk lewat mimpi bahwa orang yang ada di pohon inilah yang bisa menyembuhkan keluarganya dari penyakit lumpuh. Benar saja penyakit keluarganya bisa disembuhkan oleh Surawijaya. Surawijaya kemudian diminta tinggal dan akan dibuatkan rumah, namun ia menolaknya. Ketika pamit pergi dan hendak dibawakan bekal, ia hanya meminta karag, manis jangan, dan kajeng legi.

Melanjutkan pengembaraannya, Surawijaya sampai di Karangbolong dan masuk ke Gua Menganti untuk menyepi. Samadinya diterima dan ia mendapat pusaka berupa cemeti (Naga Geni). Keluar dari gua, Surawijaya berjalan hingga masuk ke dalam hutan Moros yang dikenal sangat angker, dan berhenti di tengah hutan yang sangat asri, tempat kerajaan para demit. Malamnya muncul wujud tinggi besar hitam bergigi putih bermuka menakutkan. Makhluk itu bernama Kumbang Ali-Ali yang merupakan nujumnya Kanjeng Ratu Kidul. Kumbang Ali-Ali berkata bahwa kelak Surawijaya akan menjadi prajurit berpangkat tinggi yang dekat dengan raja. Kumbang Ali-Ali juga mengajari Surawijaya Aji Pametik. Jika sewaktu -waktu membutuhkan pertolongannya, Surawijaya diminta menancapkan tombak, merapal Aji Pametik, dan Kumbang Ali-Ali akan datang membantu dalam wujud kera besar berbulu putih.

Kembali melanjutkan perjalanan, Surawijaya sampai di Gunung Brecong dan berhenti di sana. Pagi ia berjalan ke timur, siang ia berjalan ke barat mengikuti jalannya matahari. Selama 15 hari melakukan itu ia hanya makan karag, dan dilanjut tapa pendhem di pinggir laut. Yang terlihat hanya leher ke atas. Setelah 20 hari, karena merasa kasihan, Surawijaya dikeluarkan dari dalam pasir oleh Nayadipa dari Dusun Gunaman dan dirawat hingga badannya kuat kembali. Setelah sebulan di sana, Surawijaya melanjutkan perjalan dan sampai ke Bukit Bulupitu, istana Dyah Ayu Dewi Nawangwulan, adik Dewi Nawangningrat ratunya para lelembut Laut Selatan. 

Sampai di tengah bukit, Surawijaya menemukan sendang yang airnya bening, dan bersemedi di dekatnya. Setelah beberapa hari, lelembut penghuni bukit pun geger karena hawa yang panas. Dewi Nawangwulan tahu siapa yang membuat gara-gara. Ia pun datang menemui, dan singkat cerita ia diperistri oleh Surawijaya. Saat sang dewi membuka pintu kajiman, wujud bukit Bulupitu berubah menjadi kerajaan yang sangat besar. Sebelum meninggalkan Bulupitu dan memberi nama Soma Gedhe pada sendang tempat ia bersemedi, Surawijaya diberi pusaka Naraca Bala oleh Dewi Nawangwulan. Sesaat setelah keluar dari pintu, istana Bulupitu lenyap dan berubah menjadi bukit lagi.

Selanjutnya Babad Aroeng Binang menceritakan kembalinya Surawijaya ke Kutowinangun untuk mengembalikan kekuasaan ayahnya yang direbut oleh Prawirawigati, Demang Pakacangan. Setelah itu pengembaraan masih diteruskan dengan harapan bisa masuk ke dalam lingkungan istana Mataram.

Ada dua versi dari kisah ini. Versi pertama ia menuju Mataram dengan harapan bertemu dengan orang tuanya dan diakui sebagai bagian dari keluarga  Istana Mataram. Caranya, dengan mempercepat petugas pembawa upeti yang akan menuju ke Mataram. Usaha ini berhasil melancarkan perjalanan ke Istana Mataram. Namun sebelum diakui sebagai keluarga Istana, Surawijaya diminta memadamkan pemberontakan di Banyumas.

Versi kedua saat Surawijaya berusaha mendapat perhatian dari raja Mataram, atas saran Dewi Nawangwulan, Surawijaya meminta para demang untuk tidak lagi mengirim pajak ke keraton. Permintaan Surawijaya ternyata membuat keraton marah, utusan dari keraton pun datang untuk menangkapnya. Ketika dihadapkan pada patih dalem keraton, pada saat itu utusan dari Banyumas baru saja melaporkan keadaan genting di Banyumas karena diserang pasukan pemberontak yang dipimpin Damarwulan dan Menakkoncar, dibantu Ki Nurmungalam dan Kertabau, serta didukung pasukan dari Tegal dan Brebes.

Lolos dari hukum dipancung, Surawijaya akhirnya diperintah raja untuk menumpas pemberontakan di Banyumas agar kesalahannya diampuni. Pada hari kedua bertempur menghadapi pemberontak, saat mulai terdesak, Surawijaya turun dari kuda, menancapkan tombak (Kyai Regol), dan merapal Aji Pametik. Tiba-tiba prahara besar datang dengan bunyi yang menakutkan. Kera putih besar muncul berdiri di atas tombak dengan suara menggelegar memenuhi seluruh medan pertempuran, membuat pasukan musuh lari tunggang langgang. Damarwulan dan Menakkoncar berhasil dikalahkan Surawijaya dan dipancung kepalanya untuk dibawa ke Surakarta. Atas jasanya, Surawijaya kemudian diwisuda dengan pangkat mantri gladhag dan bergelar Kyai Hanggawangsa.

Saat menjadi mantri gladhag, Kyai Hanggawangsa diambil menantu oleh Patih Dalem. Karena kesetiaannya pada raja dan hatinya yang bersih, Kyai Hanggawangsa sering diminta membantu mengatasi persoalan ruwet terkait urusan kerajaan dan keprajuritan. Melihat jasanya yang begitu besar, Ngarsa Dalem Sang Prabu (Sunan Pakubuwono III) akhirnya mengangkatnya menjadi Bupati Nayaka dengan gelar Raden Tumenggung Aroeng Binang (tahun 1749).

Sumber lainnya tentang Arung Binang adalah Babad Kebumen yang dikeluarkan oleh Patih Yogyakarta. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa RT Aroeng Binang I bersama Pangeran Wijil dan Tumenggung Yosodipuro I berhasil memindahkan Keraton Kartosura yang hancur saat Geger Pecinan ke Surakarta. Tumenggung Aroeng Binang I juga secara diam-diam melakukan misi rahasia untuk membantu membiayai perjuangan Pangeran Mangkubumi dalam apa yang disebut sebagai "Perang Kendang". Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi raja pertama Kasultanan Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.

Adapun mengenai keturunannya, dalam Lembar PATRAB disebutkan bahwa dengan Dewi Nawangwulan di Bulupitu, Aroeng Binang I (1679 - 1762) berputra Raden Bagus Klantung, Raden Bagus Cemeti, dan Raden Ayu Isbandiah. Sedang dengan istri Mas Ajeng Kuning asal Kalegen berputra R. Ayu Pangeran Blitar, R. Hanggadirjo (Kliwon, Kabupaten Sewu Surakarta), dan R. Ayu Kromo Wijoyo (Solo). Dengan istri Mas Ajeng Dewi asal Winong berputra R. Ayu Wonoyudo (Tlogo Mirit), R. Wongso Dirjo (R.T. Aroeng Binang II), dan Mas Ajeng Wongsodiwiryo (Prembun). Sedangkan dengan Mas Ajeng Ragil dari Prajuritan berputra R. Wongsodikromo, penewu Sewu Solo yang dimakamkan di cungkup Makam Aroeng Binang II.

Saat sudah sepuh, Kyai Hanggawangsa (Arung Binang I) tidak mau tinggal di Surakarta. Ia akhirnya kembali ke Kutowinangun hingga sampai wafatnya. Kedudukannya digantikan oleh Raden Tumenggung Arung Binang II. Arung Binang III memerintah di daerah Kutowinangun. Sedangkan Arung Binang IV (tahun 1883) hingga Arung Binang ke VIII secara resmi menjadi Bupati Panjer yang kemudian berubah menjadi Kabupaten Kebumen.

Sumber dari sini dan sini

Selengkapnya