Biografi Mbah Kholil Bangkalan, Madura


Jika sebelumnya telah diuraikan mengenai biografi Mbah Nawawi Banten dan Mbah Sholeh Darat Semarang, maka kurang afdhol jika tidak diuraikan pula mengenai biografi Mbah Kholil Bangkalan Madura. Ketiga tokoh tersebut di atas bisa dikatakan merupakan Tiga Serangkai Ulama yang berperan besar dalam perkembangan keilmuan islam di Indonesia, khususnya jawa. Ketiga tokoh tersebut juga merupakan Guru Besar yang melahirkan beberapa Ulama-Ulama ternama di bumi Nusantara.

Potret Mbah Kholil Bangkalan

Biografi Mbah Kholil Bangkalan


Mbah Kholil/ Syekh Kholil atau KH. Muhammad Kholil Bangkalan adalah seorang Ulama kharismatik yang berasal dari Pulau Madura. Banyak Ulama ternama Nusantara yang pernah berguru kepada Mbah Kholil Bangkalan. Selain merupakan Ulama, masyarakat pesantren juga mengenal Mbah Kholil sebagai seorang Waliyullah yang memiliki banyak karomah. Banyak riwayat cerita yang berkisah mengenai kelebihan atau karamah dari Syekh Kholil. Kisah-kisah tersebut dituturkan dari lisan ke lisan dan berkembang di beberapa wilayah pesantren di pulau jawa. 

Mbah Kholil Bangkalan bernama lengkap Al-'Alim al-'Allamah asy-Syaikh Haji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Basyaiban al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i. Beliau lahir pada hari Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, dan meninggal di Martajasah, Bangkalan tahun 1925 pada usia antara 104 – 105 tahun. 

Mbah Kholil lahir di lingkungan keluarga Ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, adalah seorang Kyai di kampungnya. Bahkan menurut garis keturunannya, jalur silsilah Mbah Kholil masih memiliki pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati, salah seorang anggota Walisongo. Ayah Mbah Kholil, KH. Abdul Lathif adalah putra dari Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu dari Sunan Gunung Jati. Oleh karenanya KH. Abdul Lathif juga sangat berharap sembari berdoa agar putranya kelak menjadi pemimpin umat di kemudian hari. 

Pendidikannya


Awalnya Mbah Kholil dididik langsung oleh ayahnya, KH. Abdul Lathif. Ayahnya mendidik Mbah Kholil dengan sangat ketat. Begitu pula Mbah Kholil kecil juga bersemangat dalam menerima ilmu yang diajarkan kepadanya. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan Nahwu, membuat Mbah Kholil kecil mudah menyerap apa yang diajarkannya. Bahkan sejak usia muda, beliau telah hafal nadzam Alfiyah Ibnu Malik dengan baik. Melihat potensi yang dimiliki putranya, ayahnya kemudian mengirim Mbah Kholil kecil untuk menimba ilmu ke beberapa pesantren di daerah jawa timur.

Pada awal pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Setelah belajar di Pesantren Langitan, beliau berpindah untuk belajar ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari Bangil, Pasuruan, beliau pindah kembali ke Pondok Pesantren Keboncandi. Mbah Kholil memang tergolong santri yang cerdas. Beliau mampu menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab) dengan baik. Disamping itu, beliau juga seorang Hafidz (penghafal) Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira'at Sab'ah (tujuh cara membaca Al-Quran). 

Sewaktu belajar di Pesantren Keboncandi, beliau juga belajar kepada Kyai Nur Hasan di Sidogiri, yang berjarak 7 kilometer dari Keboncandi. Meski jarak antara Keboncandi dan Sidogiri lumayan jauh, Mbah Kholil muda rela untuk menempuh perjalanan bolak-balik setiap harinya demi untuk mendapatkan ilmu. Konon beliau selalu membaca Surat Yasin dalam setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri. Sebenarnya bisa saja Mbah Kholil  tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, apalagi Mbah Kholil juga sejatinya masih ada hubungan kerabat dengan Kyai Nur Hasan, namun beliau tidak melakukannya. Ternyata alasan beliau tetap tinggal di Keboncandi adalah agar beliau bisa nyambi menjadi buruh batik. Jadi selain belajar, beliau juga hidup mandiri dengan bekerja menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah beliau memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Mbah Kholil muda memang tergolong pemuda yang mandiri. Beliau tidak mau menjadi beban yang merepotkan kedua orang tuanya. Bahkan saat beliau berkeinginan untuk melanjutkan pencarian ilmunya ke tanah Makkah, beliau juga berusaha sendiri untuk bisa mewujudkannya. Pada masa itu, dapat belajar ke Makkah memang merupakan cita-cita semua santri. Makkah saat itu merupakan pusatnya keilmuan Islam. Begitu pula dengan Mbah Kholil, beliau pun berencana untuk dapat ke Makkah. Maka dengan jiwa mandirinya, beliau pun memutar otak agar dapat belajar ke sana. 

Setelah menemukan jalan keluarnya, beliau akhirnya memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Beliau mengetahui bahwa Pengasuh pesantren itu mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Maka selama belajar di Pesantren Banyuwangi ini, Mbah Kholil juga nyambi menjadi 'buruh' pemetik kelapa milik Kyainya. Konon untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Dari uang yang beliau hasilkan sebagai pemetik kelapa, beliau tabung untuk 'rencana besarnya'. Sedangkan untuk kebutuhan makan sehari-hari, beliau menyiasatinya dengan bertugas mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak bagi teman-temannya. Dari sanalah Mbah Kholil bisa mendapat makan gratis.

Saat berusia 24 tahun, Mbah Kholil menikah dengan Nyai Asyik, putri Lodra Putih. Meski begitu, beliau tetap tidak melupakan rencana belajarnya ke negeri Makkah. Maka setelah menikah, beliau segera mempersiapkan segala keperluannya untuk berangkat ke Makkah. Dari hasil tabungannya selama menjadi buruh pemetik kelapa itulah, yang beliau gunakan untuk ongkos pelayaran. Pada masa itu untuk menuju Makkah, dilalui menggunakan kapal laut. Butuh berbulan-bulan untuk kapal sampai ke Makkah. Konon selama dalam perjalanan, Mbah Kholil lalui dengan berpuasa. Hal tersebut beliau lakukan bukan dalam rangka berhemat, namun semata-mata untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya diberi keselamatan.

Belajar di Makkah


Setelah sampai di Makkah, Mbah Kholil memulai kembali pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Di Makkah, beliau belajar kepada Syaikh (Mbah) Nawawi Al Bantani (Guru Ulama Indonesia asal Banten). Selain berguru kepada Mbah Nawawi Banten, Mbah Kholil juga berguru kepada Ulama lain, diantaranya yaitu kepada Syaikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syaikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Selain itu, Mbah Kholil juga belajar kepada para Ulama dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Meski begitu, beliau lebih cenderung untuk mengikuti Madzhab Syafi'i. Oleh karenanya, tidak heran jika kemudian beliau lebih banyak mengaji kepada para Ulama yang bermadzhab Syafi'i.

Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari di Makkah, konon Mbah Kholil seringkali makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Tampaknya apa yang beliau lakukan ini kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya. Sewaktu di Makkah, Mbah Kholil juga bekerja sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Dari hasil bekerja ini beliau mendapat upah yang dapat beliau gunakan untuk mencukupi kebutuhan beliau sehari-hari. 

Sewaktu belajar di Mekkah, Mbah Kholil seangkatan dengan KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Meski demikian, ada kebiasaan bagi Ulama-Ulama masa itu yang memanggil guru kepada sesama rekannya. Maka di antara mereka, Mbah Kholil lah yang lebih dituakan dan dimuliakan di antara mereka. Diriwayatkan tiga tokoh Ulama asal Indonesia (Jawa) yakni Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Nawawi Mbanten dan Mbah Soleh Darat Semarang, ketiganya bersepakat untuk menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. Dari ketiga tokoh inilah konon aksara tulisan pegon tercipta dan kemudian banyak dipakai dalam pembelajaran pesantren-pesantren di Indonesia. 

Pulang ke Tanah Air


Setelah menghabiskan waktunya untuk belajar kepada para Ulama di Makkah, Mbah Kholil memutuskan untuk pulang dan menyebarkan ilmunya di tanah kelahirannya. Sepulangnya dari Makkah, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan beliau dianggap sebagai salah seorang Ulama yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Selain itu, beliau juga dikenal ahli dalam ilmu alat (nahwu dan sharaf) dan seorang hafidz Al Qur'an. Pada akhirnya, Mbah Kholil mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, Bangkalan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dengan berdirinya pesantren, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya untuk belajar kepada beliau. Namun setelah putri beliau, Siti Khatimah, dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha, pesantren di Cengkubuan itu pun kemudian diserahkan kepada menantunya itu. Mbah Kholil sendiri kemudian mendirikan pesantren lagi di daerah Demangan, pusat kota. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama. Di pesantren yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat medapatkan santri kembali. Bahkan santri-santrinya juga bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang, yakni Pulau Jawa. Hampir semua Ulama besar di Madura dan Jawa pada saat itu adalah murid dari Mbah Kholil. 

Mbah Kholil hidup pada masa penjajahan Belanda, maka beliau pun tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Meski tidak ikut melakukan perlawanan secara terbuka, Mbah Kholil turut berkontribusi dengan menggunakan caranya sendiri. Beliau senantiasa mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Meski berjuang di balik layar, beliau juga tidak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada para pejuang yang maju ke medan pertempuran. Mbah Kholil juga tidak keberatan kala pesantrennya dijadikan sebagai tempat persembunyian bagi para pejuang. 

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi dengan ditangkapnya Mbah Kholil, justru membuat pusing pihak Belanda. Banyak kejadian-kejadian tidak biasa yang mereka alami, seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri. Di hari-hari berikutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta untuk ikut ditahan bersamanya. Dari kejadian-kejadian seperti itu maka pihak Belanda akhirnya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. 

Demikianlah riwayat hidup Simbah Syaikh Kholil Bangkalan, seorang Ulama besar Nusantara yang juga peduli akan nasib bangsanya. Selain dikenal sebagai ahli Fiqh, ilmu Alat (nahwu dan sharaf), dan ahli tarekat, di kalangan masyarakat pesantren beliau juga dikenal sebagai tokoh yang waskita, weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi) dan memiliki banyak karomah. Setelah banyak mendarma baktikan hidupnya bagi agama dan bangsa, Mbah Kholil wafat pada hari Kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M). Jenazah beliau dishalatkan di Masjid Agung Bangkalan, dan kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.

Murid-Muridnya


Banyak murid-murid Mbah Kholil yang mengikuti beliau dalam memperjuangkan agama dan bangsanya. Bahkan banyak di antara mereka yang berhasil mendirikan pesantren dan menjadi tokoh-tokoh berpengaruh bagi bangsa ini. Di antara murid-murid Mbah Kholil yaitu:

1. KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga merupakan sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.

2. KH. Wahab Hasbullah, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. 

3. KHR. As'ad Syamsul Arifin, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo.

4. KH. Bisri Syamsuri, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.

5. KH. Maksum, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren di Rembang, Jawa Tengah. 

6. KH. Bisri Mustofa, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren di Rembang. 

7. KH. Muhammad Siddiq, Pendiri dan Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.

8. KH. Muhammad Hasan Genggong, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. 

9. KH. Zaini Mun’im, Pendiri dan Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

10. KH. Abdullah Mubarok, Pendiri dan Pengasuh Pondok, kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.

11. KH. Asy’ari, Pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.

12. KH. Abi Sujak, Pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.

13. KH. Ali Wafa, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember.

14. KH. Toha, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.

15. KH. Mustofa, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan. 

16. KH Usmuni, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.

17. KH. Karimullah, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.

18. KH. Manaf Abdul Karim, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

19. KH. Munawwir, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

20. KH. Khozin, Pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.

21. KH. Abdul Fatah, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung. 

22. KH. Sayyid Ali Bafaqih, Pendiri dan pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.

23. KH. Nawawi, Pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. 

24. KH. Zainudin, Nganjuk. 

25. KH. Maksum, Lasem. 

26. KH. Abdul Hadi, Lamongan.

27. KH. Zainul Abidin, Kraksan Probolinggo.

28. KH. Munajad, Kertosono. 

29. KH. Romli Tamim, Rejoso jombang. 

30. KH. Muhammad Anwar, Pacul Gowang, Jombang. 

31. KH. Abdul Madjid, Bata-bata, Pamekasan, Madura. 

32. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi. 

33. KH. Muhammad Thohir jamaluddin, Sumber Gayam, Madura.

34. KH. Zainur Rasyid, Kironggo, Bondowoso. 

35. KH. Hasan Mustofa, Garut Jawa Barat. 

36. KH. Raden Fakih Maskumambang, Gresik.

37. KH. Mohammad Ma'roef, Pendiri Ponpes Kedunglo, Rais Syuriyah Pertama NU Kediri.

Labels: Profil Tokoh

Thanks for reading Biografi Mbah Kholil Bangkalan, Madura. Please share...!

1 comments on Biografi Mbah Kholil Bangkalan, Madura

  1. Informasinya lumayan komplit bagi saya yang awam.....matur nuwun

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.