Tentang Aturan Shaf dalam Shalat Berjamaah

Tentang Aturan Shaf dalam Shalat Berjamaah

Ketika iqamat dikumandangkan, hendaknya kita bersiap dengan para jamaah lain untuk melaksanakan shalat berjamaah. Kita satukan pikiran yang sebelumnya bercabang untuk fokus menghadap serta bersimpuh ke hadirat Sang Ilahi. Kemudian berdiri memenuhi shaf secara tertib serta menghadap kiblat, berbaris lurus, tanpa membedakan status sosial atau pangkat maupun jabatan. Tua muda, pejabat rakyat jelata, kaya miskin semua bersatu dalam barisan jamaah shalat.

Shalat berjamaah
ilustrasi shalat berjamaah

Ada beberapa faktor yang harus dipersiapkan baik fisik maupun mental agar kita bisa khusyu' dan mendapat ketenangan dalam menjalankan shalat. Di antaranya yaitu menghentikan segala aktifitas yang tidak ada kaitannya dengan shalat, lepaskan pikiran dari kesibukan duniawi, pastikan kita siap dan fokus untuk menjalankan ibadah shalat bukan untuk lain, termasuk yang menyangkut hidangan, atau menahan kencing dan buang air besar. Aisyah RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Janganlah sekali-kali engkau melakukan shalat (sambil) menunda hidangan yang telah tersedia atau menahan buang air kecil atau besar untuk sesaat.” (H.R. Muslim dan Abu Daud). 

Perihal melepaskan pikiran-pikiran dari kesibukan duniawi, antara lain seperti dinyatakan dalam firman-Nya: 

"Hai Orang-Orang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan," (QS, An-Nisa: 43) 

Betapa banyak kita lihat orang seakan-akan mabuk karena beban pekerjaannya, memikirkan biaya sekolah anak, atau karena pusing membayar cicilan, padahal mereka tidak minum alkohol (arak), sehingga mereka juga tidak mampu memahami apa yang mereka ucapkan di dalam salatnya. Maka ketika hendak shalat, lepaskanlah pikiran dari kesibukan duniawi dan fokus pasrahkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.

Adapun terkait menghadap kiblat, dijelaskan dalam firmanNya: 

Palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya,” (QS, Al Baqarah: 14) 

Maknanya yaitu setiap mushalli (orang yang shalat) mengetahui bahwa seluruh umat Islam di penjuru dunia ini menghadapkan wajahnya ke kiblat ketika shalat. Perintah menghadap kiblat ini juga terkandung maksud bahwa semua umat Islam memiliki satu arah yang sama dalam beribadah dan menjadi identitas yang membedakannya dari umat-umat lain. Itulah Baitullah al Haram, sebagai lambang persatuan umat dan wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersatukan tujuan dan kesungguhan dalam memperjuangkan agama islam. 

Terkait urusan shaf, setiap mushalli hendaknya datang ke masjid lebih awal agar dapat menempati shaf pertama di belakang imam. Ada sebuah hadits perihal keutamaan memenuhi panggilan muadzin dan mengisi shaf pertama, Rasulullah SAW bersabda:

“Andaikan manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya..“ (H.R. Bukhari). 

Dari Abu Hurairah RA, dikatakannya bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Sebaik-baik shaf seorang laki-laki adalah yang paling pertama dan terjelek yang paling belakang. Adapun untuk kaum wanita yang paling baik adalah shaf yang paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf terdepan.” (H.R. Muslim)

Bahkan dalam shalat jum'at, dikatakan bahwasanya seseorang yang berada di barisan shaf pertama maka ia akan mendapatkan keutamaan seperti ia berkurban seekor unta, orang yang berada di barisan shaf kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi, di barisan shaf ketiga seolah berkurban dengan seekor kambing, di barisan shaf keempat seolah berkurban dengan seekor ayam, dan yang mendapatkan barisan shaf kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur.

Dalam barisan shaf shalat, yang harus diperhatikan adalah terciptanya suasana kerapian dalam menyusun shaf, agar shaf betul-betul lurus, sebab Allah tidak suka melihat shaf yang bengkok. Dari Anas RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Luruskan shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kesempurnaan shalat" (Muttafaq 'alaih). 

Dalam hadits lain dari Anas RA Rasulullah SAW juga bersabda: 

"Rapatkan shaf-shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat syetan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil." (H.R. Abu Daud)

Di dalam meluruskan shaf jamaah shalat terkandung maksud akan pentingnya memperkokohkan pendirian bahwa Islam menyeru pada tertibnya organisasi (nidzam atau jamaah) dengan prinsip yang teguh sehingga mampu menghilangkan segala bentuk kekacauan atau penyelewengan-penyelewengan. Dari sinilah tercipta suatu perasaan mementingkan nidzam secara keseluruhan di bawah kendali seorang imam (pemimpin) yang berjalan sesuai dengan aturan Islami.

Kerapian dan kerapatan shaf juga dapat melahirkan sikap kekerabatan dan persaudaraan (ukhuwah) dalam bentuk ikatan yang kokoh, serta meninggalkan bentuk-bentuk kompromi dengan setan, jin, ataupun manusia yang mencoba memecah belah diantara sesama umat Islam. Juga tidak sedikitpun memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk merusak barisan umat islam. Allah SWT berfirman: 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.." (QS, Ash-Shaff: 4).

Selain itu, tertibnya shaf juga seharusnya tidak melahirkan sikap perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara atasan dan bawahan, antara pejabat dan rakyatnya, dalam artian musaawah (persamaan hak) dan tawadhu' (kepatuhan) serta menghilangkan sifat egois dengan merasa lebih tinggi atau lebih besar. Sebab keutamaan seseorang hanyalah tergantung pada ketakwaannya, Allah SWT berfirman: 

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa kepada-Nya" (QS, Al-Hujurat: 3)

Bahkan, mungkin saja wajah seorang menteri yang sedang sujud dalam salat jamaah, menyentuh telapak kaki bawahannya atau rakyat jelata yang kebetulan berada di shaf di depannya tanpa harus memperhitungkan prestise atau gengsi. Disinilah terdapat pendidikan kepribadian dan khususnya bagi pembentukan sikap “tawadhu” karena Allah. 

Sudah sepatutnya bagi mushalli ketika bersimpuh di bawah kekuasaan Allah untuk menundukan kepala sebagai bentuk ketawadhu'annya, agar ia menyambut shalatnya itu seakan-akan merupakan shalat terakhir baginya di dunia ini, ibarat usia nya mungkin tidak berkesampaian menghantarkan ke shalat berikutnya. Dengan demikian ia akan berusaha untuk melakukan shalat dengan sebaik-baiknya dan sempurna-sempurnanya, sehingga kalaupun dia harus berpisah dengan dunia, maka persiapan itu merupakan kejadian yang menenteramkan hatinya. Wallahu A'lam bisshawaab

Selengkapnya
Khasiat Yang Terkandung dari Ayat-Ayat Al Qur'an

Khasiat Yang Terkandung dari Ayat-Ayat Al Qur'an

Di antara cabang dalam disiplin ilmu Al Qur'an adalah ilmu khawashsh al Qur'an, yaitu ilmu yang menerangkan tentang khasiat-khasiat yang dikandung oleh ayat-ayat al Qur'an. Para pakar ilmu al Qur'an seperti al-lmam al-Muhaddits Badruddin al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi Ulum al Qur'an dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al Itqan fi 'Ulum al Qur'an, membuat satu bab khusus tentang khawashsh al Qur'an. 

Al Qur'an sebagai obat penawar


Ada sekian banyak dalil yang menjelaskan bahwa Al Qur'an memiliki sekian banyak khasiat bagi kebutuhan manusia di dunia. Dalam al Qur'an al-Karim, Allah SWT berfirman: 

وَنُنَزِّلُ مِنَ الۡـقُرۡاٰنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَّرَحۡمَةٌ لِّـلۡمُؤۡمِنِيۡنَ‌ۙ

Dan kami turunkan dari al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. al-lsra' : 82). 

Menurut Ibnu Qayyim al Jauziyyah, ayat ini memberikan penjelasan bahwa seluruh kandungan al Qur'an itu dapat menjadi penyembuh yang sempurna dari segala penyakit, pelindung yang bermanfaat dari segala mara bahaya, cahaya hidayah dari segala kegelapan dan rahmat yang merata bagi orang-orang yang beriman. Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim mengatakan dalam kitabnya Zad al Ma'ad (4/162): 

“Dan telah diyakini bahwa sebagian perkataan manusia memiliki sekian banyak khasiat dan aneka kemanfaatan yang dapat dibuktikan. Apalagi ayat-ayat al Qur'an selaku firman Allah, Tuhan semesta alam, yang keutamaannya atas semua perkataan sama dengan keutamaan Allah atas semua makhluk-Nya. Tentu saja, ayat-ayat al Qur'an dapat berfungsi sebagai penyembuh yang sempurna, pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya, cahaya yang memberi hidayah dan rahmat yang merata. Dan andaikan al Qur'an itu diturunkan kepada gunung, niscaya ia akan pecah karena keagungannya. Allah telah berfirman: “Dan kami turunkan dari al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al Isra': 82). Kata-kata “dari al Qur'an”, dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan bermakna sebagian menurut pendapat yang paling benar. (Ibn al Qayyim, Zad al-Ma'd, 2/162).

Al-Hafizh al-Dzahabi dalam kitabnya 'al Thibb al-Nabawi' (hal. 165) secara lebih gamblang juga menyebutkan:

"Yakni, Kami (Allah SWT) menurunkan al Qur'an yang semuanya dapat berfungsi sebagai penyembuh..." 

Dari pernyataan-pernyataan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat kita petik, yaitu: 

Pertama, sebagian perkataan manusia diyakini memiliki sekian banyak khasiat dan faedah yang dapat dibuktikan melalui percobaan. 

Kedua, seluruh ayat-ayat al Qur'an al-Karim -yang tentu lebih utama daripada perkataan manusia-, jelas lebih banyak kandungan khasiat dan manfaatnya bagi kehidupan daripada perkataan manusia. 

Ketiga, ayat-ayat al Qur'an dapat berfungsi sebagai penyembuh dan penawar yang sempurna dari segala penyakit. 

Keempat, ayat-ayat al Qur'an dapat berfungsi sebagai pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya dan kejahatan. 

Kelima, ayat-ayat al Quran dapat berfungsi sebagai cahaya petunjuk dari kegelapan.

Keenam, ayat-ayat al Qur'an dapat berfungsi sebagai rahmat yang merata bagi orang-orang yang beriman. 

Kaitannya dengan hal ini, ada sebuah kisah menarik yang dijabarkan dalam sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudri RA:

“Abu Said al-Khudri RA berkata: “Suatu ketika beberapa orang sahabat Rasulullah SAW bepergian, hingga sampai pada satu perkampungan Arab. Mereka meminta penduduk kampung Arab itu agar menerima mereka sebagai tamu, tetapi mereka menolaknya. Lalu kepala suku kampung itu tersengat kalajengking beracun. Akhirnya penduduk kampung itu berupaya menolong kepala sukunya dengan segala cara, akan tetapi hasilnya nihil. Lalu sebagian mereka berkata: “Bagaimana kalau kita mendatangi rombongan yang lagi singgah itu, barangkali di antara mereka dapat menolong”. 

Kemudian mereka mendatanginya, dan berkata: “Wahai rombongan, kepala suku kami disengat kalajengking. Kami sudah berusaha menolongnya dengan segala cara, tapi hasilnya nihil, Apakah di antara kalian ada yang bisa membantu?”. 

Sebagian mereka (para sahabat Nabi) menjawab: “Ya, demi Allah saya bisa meruqyah. Tetapi kalian telah menolak kami sebagai tamu. Jadi saya tidak mau meruqyah sehingga kalian menjanjikan upah buat kami”. Lalu mereka menyetujui dengan imbalan beberapa ekor kambing. 

Salah seorang sahabat kemudian meruqyahnya dan membaca surah al-Fatihah. Setelah itu sang kepala suku langsung sembuh. Ia segera dapat berjalan tanpa merasakan sakit sama sekali. 

Abu Sa'id al-Khudri berkata: “Lalu mereka memenuhi upah yang dijanjikan”. Sebagian rombongan mengatakan: “Bagi-bagi”. Lalu yang meruqyah berkata: “Jangan dulu, sehingga kita mendatangi Rasulullah SAW, kita laporkan apa yang terjadi. Kita lihat apa perintah beliau”. 

Lalu mereka mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadiannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jadi kamu tahu kalau itu ruqyah?” Beliau bersabda: “Kalian benar, bagi-bagikan hasilnya. Dan saya minta bagian juga”. 

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2115), Muslim (2201), Abu Dawud (3900), al-Tirmidzi (2064), al-Nasa'i dalam 'Amal al Yaum wa al-Lailah (1028), dan Ibn Majah (2156). Hadits ini juga menunjukkan bahwa sesuatu yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah belum tentu jelek dan keliru. Hadits ini juga menunjukkan bahwa al Qur'an itu dapat digunakan sebagai penyembuh. 

Selain sebagai penyembuh, al Qur'an juga dapat digunakan sebagai pelindung dari segala marabahaya dan kejahatan. Sebuah hadits menyebutkan:

Khaulah binti al Hakim al Salamiyah RA berkata “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa singgah di suatu tempat lalu mengatakan: “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan ciptaan Allah”, maka ia tidak akan ditimpa oleh marabahaya apapun sampai ia pergi dari tempat singgahnya itu.” (HR. Muslim) 

Hadits ini mengajarkan kita agar berlindung dengan kalimat-kalimat Allah, dan tentu saja termasuk al Qur'an al Karim, dari marabahaya dan kejahatan yang mungkin mengancam kita di suatu tempat. Sebenarnya hadits-hadits seperti di atas ini ada banyak sekali dan dapat dirujuk dalam kitab-kitab karya Ulama Salaf. 

Pengamalan Ulama Salaf Terkait Khasiat dari Ayat-Ayat Al Qur'an


Menurut al Hafizh al Suyuthi dalam al-Itqan fi 'Ulum al Qur'an, ada dua cara untuk mengetahui khasiat-khasiat yang dikandung al Qur' an al Karim. Pertama yaitu melalui keterangan dan hadits-hadits Rasulullah SAW. Kedua, melalui pengamalan orang-orang yang saleh. 

Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh khasiat-khasiat al Qur'an berdasarkan pengamalan dari Ulama Salaf yang Saleh. 

1. Abdurrahman bin 'Auf RA

Al-lmam al-Muhaddits Badruddin al-Zarkasyi menyebutkan dalam kitabnya al Burhan fi' Ulum al Qur'an (1/434) bahwa Sayyidina Abdurrahman bin Auf RA pernah menuliskan huruf-huruf yang ada di permulaan surat-surat Al Qur' an untuk tujuan menjaga harta benda dan perkakas rumahnya, sehingga semuanya aman dan terjaga. 

2. Imam Sufyan al-Tsauri RA

Al lmam Sufyan al-Tsauri, salah seorang ulama salaf terkemuka, pernah menuliskan untuk wanita yang akan melahirkan pada lembaran yang digantungkan di dadanya, yaitu ayat 1 - 4 Surat Al Insyiqaq: 

اِذَا السَّمَاۤءُ انْشَقَّتْۙ. وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۙ. وَاِذَا الْاَرْضُ مُدَّتْۙ. وَاَلْقَتْ مَا فِيْهَا وَتَخَلَّتْۙ 

3. Imam Syafi'i RA

Seorang laki-laki mengeluh kepada Imam al Syafi'i tentang matanya yang rabun. Lalu beliau menuliskan ayat (Surat Qaf ayat 22): 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ

lalu tulisan tersebut dijadikan kalung oleh laki-laki ini, sehingga matanya segera pulih dan dapat melihat dengan baik. 

4. lmam Ahmad bin Hanbal RA

Ibnu Qayyim meriwayatkan dalam Zad al Ma'ad fi Hady Khair al Ibad (4/326), bahwa al-Marwazi berkata: “Aku pernah terserang penyakit demam dan didengar oleh Abu Abdillah al lmam Ahmad bin Hanbal. Lalu beliau menuliskan pada satu kertas untukku: 

Doa dari Imam Ahmad


Dalam ta'widz yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal di atas mengandung tawassul dengan Nama Allah, nama Muhammad Rasulullah SAW, dan ayat-ayat al Qur'an. Ta'widz dari lmam Ahmad bin Hanbal ini, juga dianjurkan untuk diamalkan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya Zad al Ma'ad. 

5. Imam Ilkiya al-Harrasi RA

Al Imam Ilkiya al-Harrasi, faqih bermadzhab Syafi'i yang sangat populer dan rekan lmam Hujjatul Islam  Al Ghazali, apabila dalam perjalanan beliau membaca huruf-huruf yang terdapat di permulaan surat-surat. Dan ketika beliau ditanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Orang yang membaca atau menyimpan tulisan huruf-huruf itu, akan terjaga dirinya dan harta bendanya dari marabahaya.” 

6. Ibnu Taimiyah al-Harrani 

Ibnu Qayyim meriwayatkan dalam Zad al Ma'ad (4/326), bahwa Ibnu Taimiyah pernah menuliskan ayat berikut ini (Surat Hud Ayat 44) bagi orang yang mimisan atau keluar darah dari hidungnya. 

وَقِيلَ يَٰٓأَرْضُ ٱبْلَعِى مَآءَكِ وَيَٰسَمَآءُ أَقْلِعِى وَغِيضَ ٱلْمَآءُ وَقُضِىَ ٱلْأَمْرُ وَٱسْتَوَتْ عَلَى ٱلْجُودِىِّ ۖ وَقِيلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Ibnu Taimiyah menuliskan ayat ini di dahi orang yang hidungnya keluar darah. Ibnu Taimiyah berkata: “Beberapa kali aku melakukannya, dan berhasil sembuh”. 

Berdasarkan pengamalan-pengamalan dari ulama terkemuka di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat al Qur'an, dipastikan memiliki sekian banyak khasiat dan manfaat dalam segala kebutuhan umat manusia. Tentu saja khasiat dan manfaat ayat-ayat al Qur'an tersebut hanya dapat diketahui melalui nash-nash dari Nabi SAW atau pengamalan orang-orang saleh. Wallaahu A'lam


Selengkapnya
Hukum Bermain dan Menonton Sepak bola dalam Pandangan Islam

Hukum Bermain dan Menonton Sepak bola dalam Pandangan Islam

Apakah anda tahu siapa itu Lionel Messi?. Bagaimana dengan Cristiano Ronaldo?. Betul, keduanya adalah bintang sepak bola masa kini yang hampir setiap orang pernah mendengar namanya. Sepak bola memang telah menjadi salah satu olahraga paling populer di dunia. Tidak hanya di level internasional, sepak bola juga populer di pelosok negeri ini dengan sering tampilnya timnas kita di berbagai ajang yang disiarkan langsung lewat layar kaca. 

sepak bola
ilustrasi via pixabay

Pengertian dan Sejarah Sepak Bola

 
Melansir dari wikipedia, sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga tim yang dimainkan oleh dua tim dengan masing-masing tim beranggotakan 11 (sebelas) orang pemain inti dan beberapa pemain cadangan. Masing-masing pemain sepak bola umumnya memainkan suatu bola khusus (yang disebut bola sepak) dengan kaki mereka di atas lapangan khusus untuk permainan ini. 

Dalam sejarah, permainan sejenis sepak bola telah dimulai sejak abad ke-2 dan ke-3 sebelum Masehi di Tiongkok. Permainan serupa juga dimainkan di Jepang dengan sebutan Kemari. Sementara di Italia, permainan menendang dan membawa bola juga digemari terutama mulai abad ke-16. Sepak bola modern mulai berkembang di Inggris dengan menetapkan peraturan-peraturan dasar dan menjadi olahraga yang sangat digemari oleh banyak kalangan.

Hukum Sepak Bola dalam Islam


Sebagai salah satu dari cabang olahraga, bermain sepak bola termasuk ke dalam kategori olahraga yang dapat membuat kita menjadi berkeringat sehingga menyehatkan tubuh kita. Selain itu, bermain sepak bola juga dapat menambah teman dan melatih kekompakan dalam bekerja sama mencapai tujuan (terciptanya gol). 

Nah, sekarang pertanyaannya adalah Bagaimana hukum sepak bola menurut Islam?. Untuk menjawabnya, berikut ini sejumlah pandangan ulama mengenai sepak bola. 

Dalam kitab Bughyatul Musytaq fi Hukmil lahwi wal la'bi was sibaq disebutkan, “Para Ulama Syafi'iyyah telah mengisyaratkan diperbolehkannya bermain sepak bola, jika dilakukan tanpa taruhan (judi). Dan, mereka mengharamkannya jika pertandingan sepak bola dilakukan dengan taruhan. Dengan demikian, hukum bermain sepak bola dan yang serupa dengannya adalah boleh, jika dilakukan tanpa taruhan (judi).” 

As-Sayyid Ali Al-Maliki dalam kitabnya 'Bulughul Umniyah' halaman 224 menjelaskan bahwa dalam pandangan syariat, hukum bermain sepak bola secara umum adalah boleh dengan dua syarat. Pertama, sepak bola harus bersih dari unsur judi. Kedua, permainan sepak bola diniatkan sebagai latihan ketahanan fisik dan daya tahan tubuh sehingga si pemain dapat melaksanakan perintah sang Khalik (ibadah) dengan baik dan sempurna.

Syekh Abu Bakar Al-Jazairi dalam karyanya 'Minhajul Muslim' halaman 315 berkata, "Bermain sepak bola boleh dilakukan, dengan syarat meniatkannya untuk kekuatan daya tahan tubuh, tidak membuka aurat (bagian paha dan lainnya), serta si pemain tidak menjadikan permainan tersebut dengan alasan untuk menunda shalat. Selain itu, permainan tersebut harus bersih dari gaya hidup glamor yang berlebihan, perkataan buruk dan ucapan sia-sia seperti celaan, cacian, dan sebagainya.”

Hukum Menonton Pertandingan Sepak bola


Jika hukum bermain sepak bola adalah boleh, lantas bagaimana dengan hukum menonton atau menyaksikan pertandingan sepak bola?.

Berkaca pada kebolehan bermain sepak bola sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka hukum menonton atau menyaksikannya juga diperbolehkan. Baik itu yang menonton langsung di stadion atau pun yang hanya bisa menyaksikan lewat siaran televisi. Meskipun begitu, tentu saja ada syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi. Apa sajakah syarat-syarat tersebut?.

Menyaksikan pertandingan sepak bola adalah diperbolehkan asalkan bersih dari segala bentuk perjudian dan taruhan, tidak membuka aurat, tidak terjadi ikhtilat (campur-baur antara laki-laki dan perempuan), tidak diiringi dengan minuman keras, dan tidak melanggar norma-norma agama lainnya.

Artinya, kita sebagai umat Islam juga diperbolehkan dan patut didukung jika ada yang bercita-cita hendak menjadi atlet sepak bola berprestasi. Buktinya, kini telah banyak dijumpai pesepakbola-pesepakbola muslim dunia terkenal seperti halnya Karim Benzema, Sadio Mane, Mesut Ozil, Mohamed Salah, dan lain sebagainya. 

Hanya saja, kita juga harus mengetahui batasan-batasan yang sudah diatur dalam hukum Islam. Jika fokusnya adalah untuk berolahraga dan mencari kesehatan secara jasmani, atau pun ikut mendukung dan memberi semangat dengan menonton sepak bola, maka sama sekali tidak akan menjadi suatu masalah. Berbeda halnya apabila sudah menyalahi aturan dalam Islam, tentu hukumnya akan berubah menjadi haram.

Dengan demikian, jelaslah hukum dari permainan sepak bola ini. Dari hal ini maka dapat dipahami bahwa ajaran Islam selalu fleksibel dalam mengatur segala bentuk kehidupan umat manusia, termasuk dalam hal berolahraga. Semoga bermanfaat. (diolah dari berbagai sumber).

Selengkapnya
Makhluk-Makhluk Gaib (Malaikat, Jin, Syetan, Iblis), Asal Kejadian dan Sifatnya

Makhluk-Makhluk Gaib (Malaikat, Jin, Syetan, Iblis), Asal Kejadian dan Sifatnya

Makhluk gaib adalah makhluk ciptaan Allah yang tidak tampak atau tidak dapat dijangkau oleh indra manusia. Dalam Islam, keberadaan makhluk-makhluk tersebut diyakini sudah lebih dulu ada bahkan sebelum manusia pertama diciptakan. Oleh karenanya, beriman kepada yang ghaib juga merupakan salah satu ciri muslim yang bertakwa. Berikut ini sedikit informasi mengenai para makhluk gaib yang terdiri atas Malaikat, jin, syetan dan iblis. 

Makhluk-Makhluk Gaib (Malaikat, Jin, Syetan, Iblis), Asal Kejadian dan Sifatnya
ilustrasi

Malaikat, Asal Kejadian dan Sifat-Sifatnya


Malaikat adalah makhluk Allah yang diciptakan dari Nur (Cahaya). Malaikat termasuk makhluk ghaib yang tidak bisa dilihat oleh mata kita. Malaikat mempunyai tugas-tugas dari Allah SWT seperti menurunkan hujan, menyampaikan wahyu, mencatat amal baik dan buruk, mencabut nyawa (ruh), mengatur siang malam dan lain-lainnya. 

Sifat Malaikat berbeda dengan sifat manusia, Malaikat tidak dikaruniai nafsu. Mereka tidak makan dan tidak minum, tidak pernah tidur, tidak pernah melakukan dosa. Adapun jumlah Malaikat banyak sekali dan hal ini Allah-lah yang Maha Tahu. Tetapi diantara sekian banyak jumlah Malaikat, hanya 10 jumlah Malaikat yang wajib kita percayai dan diyakini baik nama maupun tugasnya masing-masing.

Adapun nama-nama Malaikat yang wajib kita imani adalah sebagai berikut:
  1. Malaikat Jibril, bertugas menyampaikan wahyu dari Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul.
  2. Malaikat Mikail, bertugas menyampaikan atau membagi Rizqi kepada seluruh mahluk. Dialah yang menurunkan hujan dan angin yang menyebabkan terjadinya bahan makanan dan minuman. 
  3. Malaikat Israfil, bertugas meniup trompet atau serunai sangkakala yaitu terjadinya kiamat, saat kebangkitan manusia dari dalam kubur dan saat manusia diperiksa, dihitung dan diadili amal perbuatan manusia oleh Allah SWT. 
  4. Malaikat Izrail, bertugas mencabut nyawa seluruh mahluk apabila ajalnya telah tiba. 
  5. Malaikat Raqib, tugasnya mencatat amal baik. 
  6. Malaikat Atid, tugasnya mencatat amal jelek. 
  7. Malaikat Munkar dan 
  8. Malaikat Nakir, tugasnya menanyai manusia di alam kubur. 
  9. Malaikat Ridwan, bertugas menjaga dan memelihara surga atau sebagai pengawal surga.
  10. Malaikat Malik, bertugas menjaga Neraka atau disebut juga Malaikat “Zabaniyah”.

Jin, Asal Kejadian dan Sifat-Sifatnya


Jin adalah salah satu dari sekian makhluk-makhluk ghaib. Jin berasal dari kata "Jinny" artinya yang tidak terlihat atau yang tersembunyi. Jin adalah makhluk ciptaan Allah, sadar dan punya kewajiban untuk mengabdi dan menyembah kepada Allah SWT. Ditegaskan dalam firman-Nya:

"Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (QS. Adz-Dzariyat: 56) 

Berbeda dengan Malaikat, Jin diciptakan Allah dari api. Jika Malaikat seluruhnya beriman dan taat kepada Allah, tidak pernah durhaka dan senantiasa melaksanakan perintah Allah SWT, maka Jin adalah makhluk ghaib yang sebagian di antara mereka ada yang beriman dan taat kepada Allah (disebut “Jin Islam”) dan ada juga Jin yang tidak beriman dan tidak taat kepada Allah (disebut "Jin Kafir"). 

Jin Islam senantiasa taat, patuh dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah SWT, mengerjakan hal-hal yang baik, dan mencari kawan dengan bangsa Jin yang baik maupun dari manusia. Sedangkan jin kafir yang ingkar, tidak taat kepada perintah Allah, maka dia selalu berusaha mencari kawan baik dari jenisnya maupun dari manusia. Mereka membujuk dan membisikkan agar mengikuti jejak (langkah) nya menuju jalan yang dilarang Allah atau yang dilarang agama. 

Manusia yang lemah imannya akan dengan mudah digoda oleh jin yang ingkar atau kafir. Nanti pada hari kiamat semua makhluk jin akan dikumpulkan di padang Mahsyar. Sama halnya seperti manusia, mereka akan diadili dan diteliti amal perbuatannya. Jin yang banyak amal baiknya akan dimasukkan kedalam surga, dan Jin yang ingkar atau kafir akan dimasukkan ke dalam neraka.

Syetan, Asal Kejadian dan Sifat-Sifatnya


Syetan adalah makhluk yang Allah ciptakan dari api. Syetan (syaitan) berasal dari kata Syatana artinya seperti kata “Ba'uda", maksudnya jauh dari kebenaran. Kata syathana juga mempunyai arti "khalafa" yang artinya menyalahi, maksudnya menyalahi hal-hal yang benar. Syathana juga mempunyai arti “dakhala” artinya masuk, maksudnya dia masuk ke dalam dada manusia atau ke dalam jiwa manusia untuk menggoda dan mempengaruhi manusia supaya mengikuti perbuatan atau langkah-langkah setan. 

Ada kesamaan dan perbedaan antara syetan dan Jin. Syetan dan Jin sama-sama makhluk ghaib dan sama-sama diciptakan dari api. Tetapi kalau jin ada yang beriman dan ada yang kafir. Sedangkan kalau syetan semuanya kafir, tidak ada yang beriman kepada Allah. Syetan merupakan sebutan untuk makhluk yang memiliki sifat-sifat jahat. Syetan dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu: 

1. Syetan yang berasal dari jenis Jin

Syetan jenis ini termasuk makhluk ghaib, mereka tidak dapat dilihat, tidak dapat didengar dan dirasa. Bujukan syetan jenis Jin langsung diarahkan ke hati manusia. Orang yang terkena bujukan syetan jenis ini tidak merasakan bahwa dia telah tergoda, dia tidak menyadari bahwa di dalam hatinya timbul keinginan untuk berbuat jahat dan maksiat, seperti mencuri, menyakiti hati orang lain, mengambil hak milik orang lain dan lain-lain yang termasuk perbuatan dosa dan maksiat. 

2. Syetan dari jenis manusia

Syetan dari jenis manusia termasuk dalam makhluk jasmani. Mereka adalah manusia biasa, dapat dilihat, dapat didengar suaranya dan dapat dilihat bentuk tubuhnya. Karena dia memang manusia biasa tetapi sikap perbuatannya seperti syetan. Syetan jenis manusia ini menggoda manusia dengan kata-kata dan perbuatannya yang selalu bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam. 

Kedua jenis syetan ini sangat berbahaya bagi keselamatan iman dan Islam seseorang. Kedua jenis syetan ini selalu menggoda dengan segala upaya dan berbagai siasat untuk mendorong, membisikan dan merayu manusia agar meninggalkan ajaran Islam, menghalalkan segala yang diharamkan dan mengaharamkan yang halal. 

Oleh karena itu, kita harus hati-hati dan waspada karena syetan telah berjanji kepada Allah untuk menggoda, merayu, dan membisiki anak cucu Nabi Adam sampai kiamat untuk menjerumuskan atau membinasakan mereka ke dalam neraka. Kita harus memiliki iman yang kuat dan memohon perlindungan dari Allah agar terhindar dari godaan, rayuan dan bisikan syetan. 

Iblis, Asal Kejadian dan Sifat-Sifatnya


Iblis adalah makhluk ghaib dan halus, tidak dapat dicapai oleh panca indera kita. Iblis diciptakan Allah dari api, termasuk golongan jin kafir, dan selalu mengingkari perintah-perintah Allah SWT. Sebelum Allah menciptakan Nabi Adam As, yang menjadi penghuni surga adalah para malaikat dan jin yang seluruhnya taat dan berbakti kepada-Nya dengan tekun, tidak pernah membantah. Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, mereka diperintahkan supaya bersujud kepada Nabi Adam, kecuali iblis yang menentang dan membangkang. 

Iblis beranggapan dirinya lebih mulia dari manusia yang diciptakan dari tanah, sehingga timbul sifat sombong dan takabbur (QS. Sad ayat 76). Allah pun murka kepada Iblis, kemudian mengusir iblis dari surga dan menjadikannya makhluk terkutuk (QS. Sad ayat 77). Iblis kemudian memohon kepada Allah SWT agar diijinkan menggoda anak cucu Adam dan memohon dipanjangkan umurnya sampai hari kiamat. 

Allah Maha Mengetahui dan mengabulkan permohonan Iblis. Namun bagi orang yang beriman tidak perlu takut akan godaan iblis dan syetan. Allah SWT telah menyatakan bahwa Iblis tidak akan berhasil menggoda dan meyesatkan orang-orang yang beriman, bertaqwa dan bertawakkal kepada Allah SWT. 

Agar supaya kita terhindar dari godaan mereka kita harus menjadi orang yang ikhlas dalam beribadah. Untuk menjadi orang yang ikhlas (mukhlis) antara lain: 

1. Beriman kepada Allah, memenuhi rukun iman dengan benar. 

2. Mengamalkan syari‘at dengan baik dan benar. 

3. Segala upaya diri dan pengabdiannya semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah SWT. 

4. Amal ibadah dan perbuatan kita harus dilakukan semata-mata karena Allah bukan karena kita ingin mendapat pujian orang lain atau karena tujuan-tujuan selain Allah.

Selengkapnya
Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf

Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf

Bagi anda yang sering mendengarkan ceramah, tausiyah, atau pengajian, pastinya sudah tidak asing lagi dengan sebuah hadits Nabi yang menyebutkan tentang 7 golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari Kiamat kelak. Terjemahan redaksi hadits tersebut kurang lebih seperti berikut ini:

"Tujuh (kelompok) orang akan dinaungi oleh Allah di bawah naunganNya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dewasa dengan senantiasa beribadah kepada Allah, orang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah sehingga bertemu dan berpisah karena-Nya, laki-laki yang diajak berbuat zina oleh wanita terhormat dan cantik namun ia menolaknya dengan menyatakan bahwa dirinya takut kepada Allah, orang yang bersedekah secara rahasia sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanannya, dan orang yang mengingat Allah dalam kesunyian lalu mencucurkan air mata.". (H.R. Bukhari, Muslim, Nasa'i, dan Malik dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id) 

Dari ketujuh kelompok ke atas, kita akan menyoroti golongan pertama yakni imam 'adil atau pemimpin yang adil. Penyebutan pemimpin/penguasa adil sebagai kelompok pertama pada hadits di atas tentu memiliki nilai penting yang bisa kita pahami dalam konteks kehidupan umat manusia dewasa ini. Penyebutan tersebut juga menyiratkan pemahaman bahwa penguasa yang adil mendapatkan posisi yang sedemikian terhormat di sisi Allah sehingga mereka akan mendapatkan kenikmatan yang abadi. 

Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf
ilustrasi

Terkait siapa dan bagaimana kriteria seseorang bisa dikatakan sebagai pemimpin yang adil, pada postingan kali ini kita akan menyimak bersama uraian dari beberapa tokoh muslim berpengaruh perihal pemimpin yang adil itu. 

Khalifah kedua, Umar bin Khaththab dalam suratnya kepada salah seorang gubernurnya, Abu Musa Al-Asy'ari, pernah mengemukakan:

"Penguasa yang paling beruntung adalah penguasa yang memberikan keberuntungan bagi rakyatnya dan penguasa yang paling celaka adalah penguasa yang mencelakakan rakyatnya. Janganlah kamu terlalu terbuka, karena para pegawaimu akan menganut kepadamu. Perumpamaanmu seperti binatang ternak yang melihat tempat penggembalaan yang menghijau lain lalu makan darinya hingga kenyang dan gemuk, padahal kegemukannya justru menjadi penyebab kepunahannya, karena dengan kegemukan itulah, ia disembelih dan dimakan". 

Dalam kesempatan lain, Umar bin Khattab juga mengemukakan kepada para gubernurnya secara umum:

"Sesungguhnya Allah itu Maha Agung, Hak-Nya berada di atas hak-hak makhluk-Nya. Dia menyatakan keagungan hak-Nya dalam firmanNYa:

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلٰٓئِكَةَ وَالنَّبِيِّۦنَ أَرْبَابًا  ۗ  أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ

"Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah dia (patut) menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim?" (QS. Ali 'Imran, ayat 80)

Ingatlah, aku tidak mengangkatmu sebagai amir (aparat) yang boleh berbuat sewenang-wenang, tapi aku mengangkatmu sebagai pemberi petunjuk. Maka kembalikan hak-hak umat muslim kepada mereka, janganlah kamu memukuli mereka, berendah hatilah kepada mereka, janganlah kamu menyanjung mereka karena sanjunganmu akan berakibat buruk bagi mereka, janganlah kamu menutup pintu bagi keperluan mereka karena hal itu bisa menyebabkan yang kuat akan memakan yang lemah dari mereka, dan janganlah kamu mendahulukan kepentinganmu atas kepentingan mereka karena dengan itu kamu menganiaya mereka."

Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib juga pernah mengatakan kepada Gubernur Mesir, Malik bin Al-Asytar Al-Nakha'i:

"Ketahuilah, hai Malik, aku menugaskan kamu untuk menghadapi negara-negara yang sebelumnya telah memiliki pemerintahan, baik yang adil maupun yang menyeleweng. Orang-orang memandang urusanmu seperti kamu memandang urusan penguasa sebelum kamu, Mereka menilai kamu seperti dahulu kamu menilai para penguasamu. Orang-orang yang saleh akan tampak setelah Allah menjadikan hamba-hamba-Nya memberikan penilaian kepadanya. Jadikanlah simpanan amal saleh sebagai harta simpananmu yang paling kamu cintai. Tumbuhkanlah dalam hatimu rasa sayang, cinta, dan kelembutan kepada rakyatmu. 

Janganlah kamu menjadi binatang buas yang lapar dan senantiasa mencelakakan dan memangsa mereka karena mereka terdiri atas dua kelompok, yaitu saudaramu seagama dan makhluk Allah yang sepadan denganmu. Apabila kamu menjadi seperti binatang buas, mereka akan semakin banyak bertindak salah dan kamu akan sering menyakiti mereka, yang pada gilirannya kamu akan tertangkap oleh mereka, baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu, berilah maaf kepada mereka dan berlapang dadalah kepada mereka seperti ampunan dan kemurahan yang ingin kamu dapatkan dari Allah, karena kamu berkuasa atas mereka, namun mereka yang mengangkatmu berkuasa, dan Allah berkuasa kepada orang yang mengangkatmu. 

Janganlah kamu menandingi keagungan Allah dan menyerupai kesewenang-wenangan-Nya karena Allah akan menghinakan orang-orang yang sewenang-wenang dan sombong. Bersikaplah objektif kepada Allah dan kepada manusia, dengan menghindari subjektivitasmu terhadap keluargamu yang terdekat, melainkan rakyatmulah yang kamu cenderungi. Apabila tidak demikian, kamu berbuat aniaya, dan barang siapa menganiaya hamba-hamba Allah, Allah akan menjadi pembela hamba tersebut. 

Dan barang siapa menjadi musuh Allah, Allah akan menggelincirkan hujjah-Nya dan Allah akan senantiasa memeranginya hingga ia meninggal atau bertobat. Tidak ada sesuatu yang lebih mempercepat terjadinya perubahan nikmat Allah dan menyegerakan siksaan-Nya ketimbang meluruskan tindakan orang yang zalim karena Allah senantiasa mendengarkan doa orang-orang yang teraniaya dan senantiasa melindungi orang-orang yang teraniaya. 

Janganlah sekali-kali kamu merusak sunnah shalihah (pola kepemimpinan baik) yang telah dilakukan oleh pendahulu umat ini, yang dapat merekatkan kerukunan dan membawa kemaslahatan rakyat. Janganlah sekali-kali kamu menciptakan pola kepemimpinan yang merusak pola-pola yang telah lalu. Pahala tetap akan mengalir kepada yang menciptakan sunnah, sedangkan kamu akan berdosa. Hendaklah perkara yang paling kamu cintai adalah perkara yang paling sederhana dalam urusan hak, yang paling detail dalam urusan keadilan, dan yang paling banyak mendapat persetujuan rakyat."

Sedangkan Imam Hasan Al-Bashri mengemukakan pandangannya tentang imam yang adil ketika menjawab pertanyaan Amir Al-Mu'minin, Umar bin Abdul Aziz. Beliau menyebutkan:

"Sesungguhnya Allah menjadikan imam yang adil untuk menegakkan segala sesuatu yang cenderung bengkok, meluruskan setiap perkara yang menyimpang, memperbaiki setiap perkara yang rusak, memperkuat setiap orang yang lemah, melindungi setiap orang yang teraniaya, menghentikan penganiayaan, dan menjadi penengah antara Allah dan hamba-Nya, yang mendengar firman Allah dan menyampaikannya kepada mereka, melihat (kekuasaan) Allah dan memperlihatkannya kepada mereka, dan tunduk kepada Allah serta membimbing mereka kepada-Nya. 

Ia bagaikan seorang hamba yang dipercaya oleh majikannya untuk menjaga harta dan keluarganya. Dialah orang yang menegakkan hukum kepada hamba-hamba Allah bukan dengan hukum jahiliyah, tidak mengajak mereka menempuh jalan orang-orang yang zalim, tidak memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang sombong atas orang-orang yang lemah. Dia adalah pengemban wasiat atas anak-anak yatim, bendahara bagi orang-orang miskin, mendidik anak-anak kecil, dan mengembangkan orang-orang dewasa mereka". 

Sementara Qadhi agung Abu Yusuf menyatakan dalam muqaddimah kitabnya, Al-Kharaj, yang ditujukan kepada Amir Al-Mu'minin, Harun Al-Rasyid:

"... dan sesungguhnya, Allah dengan anugerah dan rahmat serta ampunan-Nya telah menjadikan para ulul amri sebagai khalifah-Nya di muka bumi, menjadikan bagi mereka cahaya untuk menerangi rakyatnya apabila mereka kegelapan dalam suatu perkara, yaitu hak-hak dan kewajiban yang tidak transparan bagi mereka. 

Penerangan yang dilakukan seorang ulul amri adalah menegakkan hukuman, mengembalikan hak kepada pemiliknya secara tegas dan transparan dengan melestarikan pola kepemimpinan para pendahulu yang saleh sebagai pola yang sangat dijunjung tinggi, karena melestarikan pola tersebut merupakan kebaikan yang selalu hidup dan tidak pernah mati. Adapun jika ia menunjuk orang yang tidak dapat dipercaya dan bukan ahli kebaikan sebagai pembantunya, ia akan menimbulkan bencana umum". 

Itulah di antara beberapa uraian mengenai pemimpin adil dari tokoh-tokoh Muslim terkemuka seperti Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf. Semoga para pemimpin di negeri ini dapat selalu menjalankan dengan baik amanah yang mereka emban dari rakyat demi terciptanya kehidupan yang berkeadilan, aman dan damai sehingga negeri ini dapat menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafuur
 
Selengkapnya
Hadits Tentang Syafaat Nabi Muhammad SAW Kepada Umatnya

Hadits Tentang Syafaat Nabi Muhammad SAW Kepada Umatnya

Banyak hadits menyebutkan bahwa pada hari kiamat kelak, Baginda besar Nabi Muhammad SAW akan berdiri untuk memberikan syafaatnya kepada umatnya yang berdosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, dan Allah menerima syafaatnya. Di antara hadits-hadits tersebut, salah satu yang populer berkaitan dengan hal ini yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah RA. Dari Abu Hurairah, ia berkata:

Suatu ketika, kami bersama Rasulullah SAW sedang menghadiri sebuah jamuan makan. Kepada Rasulullah, dihidangkan daging paha kambing yang merupakan kesukaan beliau. Rasulullah SAW pun menggigitnya dan memakannya dengan lahap. Selanjutnya, beliau kemudian bersabda:

"Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat, tahukah kalian dari apakah hal itu?. Allah akan mengumpulkan seluruh umat manusia sejak dari pertama hingga akhir di sebuah dataran yang maha luas pada hari kiamat. Orang yang melihat bisa memandang seluruhnya dan orang yang menyeru bisa mendengar mereka.

manusia pada hari kiamat
ilustrasi via kabarmakkah.com

Pada hari itu, matahari didekatkan kepada mereka sehingga manusia pada saat itu mengalami kesusahan dan kesempitan yang tidak tertahankan. Orang-orang kemudian berkata, "Tidakkah kalian lihat apa yang menimpa kalian dan apa yang kalian derita? Tidakkah kalian mencari orang yang memintakan bagi kalian syafaat (pertolongan) kepada Tuhan?. Sebagian manusia kemudian berkata kepada yang lain, "Temuilah Nenek moyang kalian, Adam".

Mereka pun kemudian mendatangi Nabi Adam dan berkata, "Wahai Adam, Engkau adalah nenek moyang manusia. Allah menciptakanmu dengan kedua tangan-Nya, dan meniupkan ruh-Nya ke dalam tubuhmu, memerintahkan para malaikat maka mereka pun sujud kepadamu, dan menempatkanmu di surga. Tidakkah engkau memintakan syafaat bagi kami kepada Tuhanmu?. Tidakkah engkau lihat apa yang telah kami alami dan kami derita?". 

Nabi Adam menjawab, "Tuhan sangat marah hari ini kepadaku. Dia tidak pernah marah seperti ini sebelum dan sesudahnya. Dia telah melarangku dari pohon terlarang namun aku melanggarnya, aku hanya bisa memikirkan diriku sendiri!. Pergilah kalian (minta tolong) kepada selain diriku. Pergilah kalian kepada Nuh!". 

Mereka pun kemudian mendatangi Nabi Nuh dan berkata, "Wahai Nuh, engkau adalah Rasul pertama kepada umat Manusia, Allah telah menyebutmu sebagai hamba yang bersyukur. Tidakkah engkau lihat apa yang telah menimpa kami?. Tidakkah engkau lihat apa yang telah kami alami?. Sudikah engkau untuk memintakan syafaat bagi kami kepada Tuhan?". 

Nabi Nuh menjawab, "Tuhanku sangat marah kepadaku hari ini. Dia tidak pernah marah seperti ini sebelum dan sesudahnya, karena aku pernah mendoakan kaumku dengan kejelekan. Diriku, diriku, diriku!. Pergilah kalian kepada selain diriku!. Temuilah Ibrahim!".

Mereka pun segera pergi menemui Nabi Ibrahim dan berkata, "Engkau adalah Nabi Allah dan kekasih-Nya, mintalah syafaat kepada Tuhan untuk kami. Tidakkah engkau melihat apa yang kami alami?". Nabi Ibrahim kemudian berkata kepada mereka, "Tuhanku sangat marah kepadaku hari ini. Dia tidak pernah marah seperti ini sebelum dan sesudahnya, karena aku telah berbohong tiga kali". Beliau kemudian menyebutkannya, diriku, diriku, diriku!. Pergilah kalian kepada selain diriku, temuilah Musa!". 

Mereka pun menemui Nabi Musa dan berkata, "Wahai Musa, engkau utusan (Rasul) Allah, Allah telah memberimu keistimewaan dengan risalah-Nya dan kalam-Nya. Mintalah syafaat kepada Tuhan untuk kami. Tidakkah engkau lihat apa yang telah menimpa kami?". 

Nabi Musa pun berkata, "Tuhanku telah marah kepadaku hari ini, tidak pernah Dia marah seperti ini sebelum dan sesudahnya, aku telah membunuh seorang manusia yang tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Jiwaku, jiwaku, jiwaku!. Pergilah kalian kepada selain diriku, temuilah Isa!"

Mereka pun akhirnya menemui Nabi Isa dan berkata, "Wahai Isa, engkau Rasulullah dan kalam-Nya yang dititipkan kepada Maryam. Engkau telah berbicara kepada manusia ketika engkau masih dalam gendongan. Mintalah syafaat kepada Tuhan untuk kami. Tidakkah engkau lihat apa yang telah menimpa kami?". Nabi Isa berkata:

"Tuhanku sangat marah kepadaku hari ini. Tidak pernah Dia marah seperti ini sebelum dan sesudahnya - Isa tidak menyebutkan dosa atau kesalahan - jiwaku, jiwaku, jiwaku!. Pergilah kalian kepada selainku, temuilah Muhammad!". 

Akhirnya, rombongan manusia itu pun menemuiku dan berkata, "Wahai Muhammad. Engkau adalah Rasul (utusan) Allah dan penutup para Nabi. Allah telah mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu atau yang akan datang. Mintalah syafaat kepada Tuhanmu untuk kami. Tidakkah engkau melihat apa yang telah menimpa kami?". 

Kemudian aku (Muhammad) pergi menuju ke 'Arsy, aku bersujud di hadapan Tuhanku, kemudian Tuhan membukakan kepadaku simpanan pujian dan penghormatan-Nya yang tidak pernah dibuka kepada seorang pun sebelumku. Allah berfirman, "Wahai Muhammad, bangunlah!. Mintalah, niscaya Aku kabulkan. Mintalah syafaat, pasti Aku berikan!". 

Aku pun mengangkat kepalaku dan berkata, "Umatku ya Tuhan, umatku ya Tuhan". Maka Allah berfirman, "Wahai Muhammad, masukkanlah umatmu yang tanpa hisab dari pintu surga yang kanan, mereka bersekutu dengan yang lain selain pintu tersebut". 

Beliau (Nabi Muhammad SAW) kemudian berkata, "Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, lebar pintu surga seperti jarak antara Makkah dan Himyar atau seperti Makkah dan Basra". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga memperjuangkan umatnya yang masuk neraka agar mendapatkan syafaatnya. Beliau berkata, "Saat itu aku kembali bersujud kepada-Nya. Allah SWT kemudian berfirman, "Angkatlah kepalamu Muhammad. Mintalah, pasti akan Aku kabulkan". Aku pun mengangkat kepalaku dan memohon, "Umatku, umatku, ya Tuhanku". Maka Allah berfirman, "Temuilah umatmu, siapa saja yang kau temukan di hatinya keimanan walau seberat biji sawi, maka masukkanlah ke dalam surga". Lalu aku pun melakukan apa yang diperintahkan dan memasukkannya ke dalam surga".

Selengkapnya
Misteri Hari Kiamat, Rahasia Allah Yang Hanya Bisa Kita Ketahui dari Tanda-Tandanya

Misteri Hari Kiamat, Rahasia Allah Yang Hanya Bisa Kita Ketahui dari Tanda-Tandanya

Hari Kiamat biasa diartikan sebagai hari berakhirnya kehidupan di dunia, atau hari kehancuran alam semesta beserta isinya. Jika ditinjau dari segi penyebutannya, istilah ini berasal dari bahasa Arab "يوم القيامة‎" yang artinya adalah "Hari Kebangkitan" seluruh umat manusia dari Nabi Adam hingga manusia terakhir. Ajaran ini diyakini oleh umat dari tiga agama samawi di dunia yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Bahkan kata Al-Qiyaamah juga merupakan nama surat ke 75 di dalam kitab suci Al-Qur'an.

bumi hancur
ilustrasi via pixabay

Misteri tentang waktu tiba hari kiamat memang menjadi rahasia Allah. Hanya Allah yang tahu kapan datangnya hari kiamat itu. Meski begitu, prediksi-prediksi manusia tentang kapan hari kiamat ini sering kita jumpai muncul dari waktu ke waktu. Mungkin ada yang masih ingat bahwa dulu ada yang meramal bahwa kiamat akan terjadi pada tahun 1999 bulan 9 jam 9.09. Atau dunia juga sempat dihebohkan dengan isu kiamat pada 21 Desember 2012 yang konon berawal dari ramalan Suku Maya. Bahkan sampai dibuat buku dan filmnya. Namun ternyata, ramalan-ramalan itu hanyalah isapan jempol belaka.

Memang, sebagai muslim kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat. Bahkan keyakinan ini juga merupakan salah satu dari rukun iman yaitu rukun iman kelima. Pada hari kiamat nanti, Allah akan membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:

وَأَنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِى الْقُبُورِ

"Dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya; dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur." (QS. Al-Hajj, 7)

Senada dengan hal itu, ilmu pengetahuan juga tidak menyangkal akan datangnya hari dimana kehidupan di dunia ini akan berakhir. Pada tanggal 15 Januari 1997, para ahli astronomi yang tergabung dalam Organisasi masyarakat Astronomi Amerika pernah mengadakan pertemuan di Toronto Kanada. Pertemuan para ahli yang notabene mendasarkan pemikirannya pada ilmu yang mereka kuasai ini menghasilkan adanya persamaan persepsi bahwa dunia ini dibatasi oleh umur. Artinya, pada waktunya nanti dunia pasti akan berakhir alias kiamat. 

Meskipun begitu, lagi-lagi kita mesti ingat bahwa sejak zaman Rasulullah SAW, Al Qur'an sudah menjelaskan bahwa tentang kapan terjadinya hari kiamat itu merupakan rahasia Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan terjadinya, termasuk kekasih dan RasulNya, Nabi Muhammad SAW. Firman Allah dalam Surah Al A'raf ayat 187 menegaskan:

يَسْئَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسٰىهَا  ۖ  قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّى  ۖ  لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَآ إِلَّا هُوَ  ۚ  ثَقُلَتْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ  ۚ  لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً  ۗ  يَسْئَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِىٌّ عَنْهَا  ۖ  قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, Kapan terjadi? Katakanlah, Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu, kecuali secara tiba-tiba. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Al-A'raf, 187)

Sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kita mempercayai Al Qur'an dengan sepenuh hati. Percaya bahwa datangnya hari kiamat adalah rahasia Allah dan hanya Allah sajalah yang tahu. Artinya, janganlah kita percaya kepada para tukang prediksi atau tukang tebak hari kiamat yang jelas-jelas tidak pernah terbukti. Sebab, informasi tentang hal itu boleh jadi datangnya dari syetan karena betapa lihainya syetan di dalam mengelabui umat manusia. Untuk itu, kita hanya boleh meyakini apa yang sudah digariskan oleh Allah dan RasulNya.
Meski menjadi rahasia Allah, kepastian akan datangnya hari kiamat ini bisa kita ketahui lewat berbagai fenomena dan tanda-tandanya. Di antara tanda-tanda dekatnya peristiwa hari kiamat menurut penuturan Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:

1. Banyak Terjadi Fitnah dan Orang Menjual Agama demi Harta

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya suasana mendekati kiamat itu ada berbagai fitnah bagaikan potongan malam yang gelap. Seorang lelaki di waktu pagi masih mukmin, sore harinya menjadi kafir, dan sorenya mukmin paginya kafir. Dia menjual agamanya dengan imbalan kesenangan dunia yang hanya sedikit." (HR. At Tirmidzi dari Abi Musa).

2. Amanat Disia-siakan

Suatu ketika Rasulullah SAW ditanyai oleh seseorang yang datang dari pedusunan, "Kapan hari kiamat akan tiba?". Rasulullah menjawab, "Apabila amanat disia-siakan, tunggu saja saat kehancurannya". Orang itu bertanya lagi, "Bagaimana menyia-nyiakannya?". Beliau menjawab, "Bila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya". (HR. Bukhari).

3. Berlomba-lomba dalam Bangunan

Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang tanda-tanda hari kiamat oleh Malaikat Jibril, beliau menjawab, "Budak wanita melahirkan tuannya, dan kamu melihat para penggembala kambing yang miskin tanpa busana dan alas kaki berlomba-lomba dalam bangunan". (HR. Bukhari).

4. Tercampaknya Ilmu Agama dan Merajalelanya Kebobrokan Akhlak

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya di antara tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah hilangnya ilmu agama dan tetapnya kebodohan, diminumnya minuman keras, merajalelanya perzinaan dengan terang-terangan dan banyaknya wanita serta sedikitnya laki-laki, sehingga satu laki-laki menguasai 50 perempuan". (HR. Bukhari).

Adapun tanda-tanda akan datangnya hari kiamat yang termasuk dalam kategori Alaamatul Kubra di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Terbitnya Matahari dari arah barat. 

2. Keluarnya Dajjal. 

3. Keluarnya Daabbah. 

4. Keluarnya Dukhan. 

5. Turunnya Nabi Isa AS. 

6. Munculnya Ya'juj dan Ma'juj. 

7. Datangnya api yang menggiring manusia ke negeri Syam.

Selengkapnya
Keutamaan Bulan Sya'ban dan Anjuran Perbanyak Ibadah di Dalamnya

Keutamaan Bulan Sya'ban dan Anjuran Perbanyak Ibadah di Dalamnya

Bulan Sya'ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan hijriyah yang jatuh setelah bulan Rajab dan sebelum bulan Ramadhan. Bisa juga dikatakan, Sya'ban merupakan bulan pengantar ke gerbang Ramadhan sehingga sangat tepat jika bulan ini dijadikan sebagai momentum bagi umat Islam untuk melatih pencucian jiwa agar pada saat memasuki bulan Ramadhan kelak tidak mengalami kesulitan atau merasa berat dalam menjalankan puasa Ramadhan. 

bulan Sya'ban

Mengenai pengertian "Sya'ban", para Ulama memberikan penafsiran berbeda sesuai dengan versi masing-masing. Ada yang menafsirkan bulan ini disebut sya'ban karena muncul (sya'aba) di antara dua bulan yang mulia, yakni Rajab dan Ramadhan. Ada juga yang menafsirkan disebut Sya'ban karena pada zaman dahulu di bulan ini orang-orang Arab berpencar (yatasya'abuun) untuk mencari sumber air. Ada juga yang mengartikan karena orang-orang Arab dahulu berpencar (tasya'ub) di gua-gua.

Yahya bin Mu'adz memberikan penjelasan bahwa kata sya'ban terdiri dari lima huruf yaitu syiin, 'ain, ba', alif, dan nun. Masing-masing huruf ini memiliki makna sendiri dengan penjabaran sebagai berikut:
  • Huruf syiin menunjukan bahwa di bulan tersebut orang-orang mukmin akan diberi syaraf (kehormatan) dan syafaat.
  • Huruf 'ain merupakan pertanda mereka juga akan diberi 'izzah (keperkasaan) dan karamah (kemuliaan).
  • Huruf ba' menunjukan mereka akan diberi birr (kebajikan).
  • Huruf alif pertanda mereka akan diberi ulfah (kelemah-lembutan). 
  • Huruf nun pertanda mereka akan diberi nur (cahaya).
Sedangkan bila dihubungkan dengan makna bulan Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan, maka ketiga-tiganya memiliki keterkaitan makna yang sangat penting, dimana pada bulan Rajab adalah saat manusia memohon ampun atas segala dosa-dosanya, bulan Sya'ban merupakan bulan rehabilitasi qalbu dari segala cacat, dan bulan Ramadhan merupakan bulan peleburan dosa. Pantaslah bila Rasulullah SAW diketahui banyak menjalankan ibadah puasa di bulan Sya'ban.

Betul, Rasulullah memang biasa menjalankan puasa di bulan Sya'ban. Bahkan kabarnya melebihi bulan-bulan lainnya selain Ramadhan. Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Nabi SAW perihal ini, "Ya Rasulullah, aku belum pernah melihat engkau berpuasa di bulan lain (selain Ramadhan) lebih banyak dari puasa engkau di bulan Sya'ban?". Rasul pun menjelaskan, "Bulan itu sering dilupakan orang karena diapit oleh bulan Rajab dan Ramadhan. Padahal pada bulan itu (Sya'ban) diangkat amalan-amalan (manusia dan dilaporkan) kepada Tuhan Rabbul 'Alamiin. Karena itu aku ingin agar ketika amalanku diangkat naik, aku tengah berpuasa". (HR. Ahmad dan Nasa'i). 

Dalil-Dalil Tentang Keutamaan Beribadah di Bulan Sya' ban


1. Sayyidina Ali RA pernah menyampaikan sabda Rasulullah SAW agar di malam Nisfu Sya'ban kita memperbanyak ibadah dan berpuasa di siang harinya. Rasulullah bersabda:

"Jika malam nisfu sya'ban tiba, maka shalatlah di malam harinya, dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah menyampaikan pemberitahuanNya pada malam itu hingga ke langit dunia sejak matahari tenggelam. (Isi pemberitahuannya): Ketahuilah! Siapa saja yang minta, akan Aku beri permintaannya, jika ada yang meminta ampun, akan Aku ampuni, jika ada yang meminta rizki maka Aku beri dia rizki, .... Hingga terbit fajar". (HR. Ibnu Majah). 

2. Aisyah RA pernah menceritakan, pada suatu malam, ia kehilangan Rasulullah SAW lalu ia mencarinya dan mendapatkan beliau di Baqi' sedang menengadahkan wajah beliau ke langit. Beliau berkata, "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya' ban dan mengampuni dosa yang banyaknya melebihi jumlah bulu domba Bani Kalb" (HR. Turmudzi, Ahmad, dan Ibnu Majah). 

3. Dalam riwayat lain Aisyah RA juga pernah menyebutkan, "Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain dalam bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau dalam bulan-bulan yang lain berpuasa lebih banyak daripada bulan Sya'ban" (HR. Bukhari dan Muslim). 

4. Abu Musa Al- Asy'ari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah pada malam Nisfu Sya'ban mengawasi seluruh makhluk-Nya dan mengampuni semuanya kecuali orang musyrik dan orang yang saling bermusuhan". (HR. Ibnu Majah). 

5. Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya "Lathaiful Maarif" menyebutkan bahwa puasa di bulan sya'ban lebih utama dari berpuasa di bulan-bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Kedudukan puasa sya'ban di antara yang lain itu laksana kedudukan shalat Rawatib terhadap shalat fardhu sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan dalam melaksanakan shalat wajib. 

Itulah sekelumit tentang keutamaan bulan sya'ban dan anjuran untuk memperbanyak amal ibadah di dalamnya. Marilah kita isi bulan Sya'ban kali ini dengan koreksi diri (muhasabah) akan berbagai kesalahan dan kekhilafan, serta memohon ampun kepada Allah karena pada bulan sya'ban segala amalan kita akan diangkat dan dilaporkan kepada Allah SWT sebagaimana keterangan yang tertera pada salah satu hadits di atas.

Selain itu, seyogyanya kita juga memperbanyak amal ibadah, berpuasa sunnah, menjauhi persengketaan dan perpecahan sesama Muslim, serta banyak memohon ampun kepada Allah SWT. Biasanya pada saat malam nisfu sya'ban, banyak masjid, mushalla, dan khususnya kalangan pesantren sehabis maghrib mereka menjalankan shalat, membaca Al-Qur'an terutama surah Yasin dan juga memanjatkan doa agar diberikan kesejahteraan, diampuni segala dosanya, dijauhkan dari segala mara bahaya, dan diberikan limpahan rizki yang berkah dan melimpah. Wallahu A'lam. 

(Artikel di atas dinukil dan diolah dari tulisan S. Usman dalam Majalah Asy Syifaa' Edisi 321-330)

Selengkapnya
Ziarah Kubur, Dasar Hukum, Tujuan, dan Pendapat Ulama Tentangnya

Ziarah Kubur, Dasar Hukum, Tujuan, dan Pendapat Ulama Tentangnya

Bagi warga NU, ziarah kubur merupakan tradisi yang sudah turun temurun dijalankan. Tidak hanya ziarah ke makam keluarga atau para pendahulu, mereka juga biasanya mengadakan rangkaian ziarah ke makam para Wali atau Ulama seperti ziarah Walisongo dan semacamnya. Meski begitu, kadang ada sebagian orang yang masih saja menanyakan tentang hukum ziarah kubur bagi seorang muslim. 

ziarah kubur
ilustrasi via republika.co.id

Ziarah kubur adalah aktivitas mengunjungi kuburan (makam) dengan maksud untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia, ingat akan kematian, atau ingat akan tujuan akhir manusia yaitu di akhirat kelak. 

Dasar Hukum


Pada zaman dahulu, yakni pada masa permulaan agama Islam disampaikan oleh Rasul kepada sekalian manusia di alam ini, khususnya di negeri Arab, beliau pernah melarang umatnya untuk melakukan ziarah kubur. Akan tetapi setelah akidah Islamiyah sudah menjadi kuat tertanam di dalam kalbu pengikutnya, maka kemudian ziarah kubur diizinkan oleh Nabi SAW. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits bahwa suatu saat Nabi bersabda:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

"Aku melarang kepada kamu sekalian untuk berziarah kubur, maka berziarahlah..." (HR. Muslim) 

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa semula praktek ziarah kubur itu memang dilarang oleh Nabi SAW, namun kemudian diizinkan bahkan dianjurkan oleh beliau ketika iman kaum Muslimin telah menjadi kuat. Oleh karenanya, para Ulama kemudian sepakat bahwa ziarah kubur itu hukumnya sunnah. 

Tujuan Ziarah Kubur


Adapun maksud dari ziarah kubur antara lain yaitu mempunyai tujuan untuk memberi peringatan akan kehidupan akhirat bagi orang yang masih hidup. Hal ini sebagaimana bunyi hadits:

.. فإنها تذكر الأخرة

"Sesungguhnya ziarah kubur itu akan dapat mengingatkan kepada akhirat" (HR. Muslim)

Di samping itu, ziarah kubur akan dapat pula mengingatkan kepada kematian, dalam artian orang yang masih hidup diingatkan kembali bahwa dirinya pun kelak akan mengalami mati seperti halnya yang diziarahi. Hal ini sesuai dengan lafadz hadits:

.. فإنها تذكر الموت

"Sesungguhnya ziarah kubur itu akan dapat mengingatkan kepada kematian" (HR. Abu Daud) 

Selain itu, ziarah kubur juga mempunyai maksud untuk mendo'a kepada Allah agar dirinya diampuni dosa-dosanya oleh Allah dan sekalian para ahli kubur. Hal ini sebagaimana firman Allah:

... رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوٰنِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمٰنِ .. 

"Ya Tuhan kami, ampunilah (dosa-dosa) kami dan (dosa-dosa) sudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami" .. (QS. Al-Hasyr, 10) 

Sebuah riwayat juga menyebutkan bahwa Nabi sendiri pernah berziarah kubur yaitu ke kubur Baqi' seraya memberi salam dan mendo'akan kepada ahli kubur Baqi'. Rasulullah SAW berdo'a:

اللهم اغفر لأهل البقيع

"Ya Allah, semoga Engkau memberi ampun kepada para ahli kubur Baqi'" (HR. Bukhari dan Muslim) 

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dimengerti bahwa sebenarnya praktek ziarah kubur adalah sudah sesuai dengan tuntunan syara' yang diajarkan oleh Allah SWT dan RasulNya. 

Pendapat Ulama Tentang Ziarah Kubur


Pada dasarnya, para Ulama sepakat satu pendapat bahwa ziarah kubur itu sunnah hukumnya, selama diletakkan sesuai tatacara aturan syara'.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata:

والإستجاب في زيارة القبور خص بالرجال

"Hukum sunnah berziarah kubur itu hanya untuk laki-laki" (Fathul Majid, 251)

Menurut pendapat ini, yang terkena sasaran hukum sunnah berziarah kubur adalah khusus bagi kaum pria, sedangkan bagi wanita tidak sunnah bahkan bisa haram hukumnya. 

Prof. Dr. Mahmud Saltout berpendapat bahwa berziarah kubur itu sunnah hukumnya baik bagi laki-laki maupun perempuan. Beliau mengatakan:

إذااتخذت فيها الأداب الشرعية كانت مشروعة للرجال والنساء

"Dan apabila di dalam berziarah kubur itu dipakai adab atau tatacara syara', maka ziarah kubur itu disyariatkan (dianjurkan) bagi laki-laki maupun perempuan" (Al-Fatawa, 221)

Pendapat kedua ini tampak jelas, bahwa apabila di dalam berziarah kubur itu sudah dipakai adab (tatacara) syara', maka sesungguhnya hukum ziarah kubur itu sunnah baik bagi pria maupun wanita. Sebaliknya, hukumnya bisa menjadi haram, baik bagi pria maupun wanita, apabila dalam berziarah kubur tidak mengindahkan tatacara aturan syara', karena hal ini dikatakan akan mudah terjerumus dalam jurang syirik. 

Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur juga berpendapat bahwa:

زيارة القبور إما لمجرد تذكر الموت والأخرة فتكون برؤية القبور من غير معرفة أصحابها أولنحو دعاء فتسن لكل مسلم

"Ziarah kubur itu hanyalah bertujuan agar ingat kepada mati dan akhirat, maka dapat dilakukan dengan melihat ke kuburannya, meskipun tidak mengetahui siapa ahli kubur di dalamnya, atau juga bertujuan untuk mendo'akan (berdo'a), maka ziarah kubur yang demikian ini disunnahkan bagi setiap muslim" (Bughyatul Mustarsyidin, 97)

Menurut pendapat di atas, berziarah kubur itu sunnah hukumnya bagi setiap muslim, asalkan bertujuan untuk mengingatkan kepada mati dan akhirat dan juga untuk berdoa (baik untuk dirinya maupun untuk diri mayit) meskipun tanpa mengetahui ahli kubur yang diziarahinya. 

Sementara itu, Syaikh Zakariya Al-Anshari berpendapat bahwa:

وزيارة القبور اي قبور المسلمين لرجل

"Ziarah kubur itu, yakni kubur orang-orang Islam, adalah (sunnah hukumnya) bagi laki-laki" (Fathul Wahab, 100)

Menurut pendapat Al-Anshari di atas, sunnah hukumnya berziarah kubur bagi laki-laki. Sedangkan bagi wanita dan orang banci, beliau mengatakan:

ولغيره اي غير الرجل من انثى وخنثى مكروهة لقلة صبر النثى وكثرة جزعها. والحق بها الخنثى إحتياطا

"Dan berziarah kubur yang dilakukan oleh orang yang bukan laki-laki, yaitu kaum perempuan dan orang banci, maka hukumnya makruh, karena mereka itu sedikit kesabarannya dan banyak dukanya. Disamakannya orang banci dengan perempuan dalam hal ini adalah untuk kehati-hatian" (Fathul Wahab, 100)

Jadi menurut pendapat ini, ziarah kubur yang dilakukan oleh perempuan dan orang banci hukumnya adalah makruh dengan alasan bahwa perempan itu pada umumnya sedikit kesabarannya, mudah terbawa emosi, dan banyak duka citanya. Begitu pula hukum makruh bagi orang banci dengan tujuan untuk lebih berhati-hati di dalam meletakkan hukum tersebut. 

Selanjutnya, beliau juga berpendapat bahwa "terhadap ziarah kubur makam Nabi, keduanya (perempuan dan banci) hukumnya adalah sunnah sebagaimana ketetapan hukum haji bagi keduanya. Demikian pula sama halnya terhadap kubur para Wali, Ulama dan Nabi-Nabi yang lain" (Fathul Wahab, 101).

Dari uraian dan penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa berziarah kubur itu menurut mayoritas Ulama adalah hukumnya sunnah baik bagi laki-laki maupun perempuan (terutama laki-laki) selama dipakai tatacara syara' yakni bertujuan untuk berdoa, mengingat akan mati dan akhirat.

Sebagai catatan, dapat dilihat bahwa mereka yang berziarah kubur tidak dijumpai ada yang menyimpang dari tatanan syara'. Kalau seandainya ada, maka itu adalah suatu kemungkinan kecil dan ini biasanya terjadi pada diri seseorang yang masih belum mengetahui apa yang harus dikerjakan dalam tatacara berziarah kubur yang benar. Praktek ziarah kubur semacam inilah yang kadang bisa membawa kecenderungan menyimpang dari aqidah Islam. 

Meskipun begitu, kejadian semacam ini tidaklah berarti boleh digeneralisir secara umum, dalam artian bahwa setiap orang yang berziarah kubur pasti terselip di dalamnya unsur syirik sehingga timbul kesimpulan sempit yang keliru bahwa setiap orang yang berziarah kubur itu dianggap musyrik. Oleh karenanya, bagi para Ulama, Kyai, Ustadz, hendaknya selalu mengatur dan mengarahkan jamaahnya/ para za-iriin agar amalan ziarah kubur mereka tidak keliru jalannya, sehingga praktek ziarah kubur tersebut benar-benar cocok dengan ketentuan-ketentuan sesuai ajaran Islam. Wallahu A'lam

Selengkapnya
Ringkasan Materi Fiqih Mawaris Lengkap

Ringkasan Materi Fiqih Mawaris Lengkap

Mawaris atau mawarits berarti hal-hal yang berhubungan dengan waris dan warisan. Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang mawarits disebut dengan ilmu faraid. Ilmu faraid adalah ilmu pengetahuan yang menguraikan cara membagi harta peninggalan seseorang kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Terkait pentingnya ilmu faraid, Rasulullah SAW bersabda:

تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا، فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى، وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي

"Pelajarilah ilmu faraid, dan ajarkanlah dia kepada manusia, karena faraid itu separuh ilmu, ia akan dilupakan orang kelak dan ia pulalah yang mula-mula akan tercabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni)

fiqh waris

Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam, ilmu faraid bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits. Tujuan disyariatkannya ilmu faraid adalah agar pembagian warisan dilakukan secara adil, tidak ada ahli waris yang merasa dirugikan sehingga tidak akan terjadi perselisihan atau perpecahan di antara ahli waris karena masalah pembagian warisan. 

Rukun dan Syarat-Syarat Waris


Rukun dan syarat dalam waris Islam ada 3 (tiga), yaitu:
  1. Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit yang diwarisi oleh orang lain yang berhak mewarisinya. 
  2. Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang bertalian dengan mayit dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi. 
  3. Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang ditinggalkan mayit setelah kematiannya.

Sedangkan syarat-syarat dalam waris adalah sebagai berikut:
  1. Meninggalnya seorang pewaris baik secara hakiki maupun secara hukum. 
  2. Adanya ahli waris yang masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia. 
  3. Diketahui dengan jelas hubungan ahli waris dengan si mayit. 
  4. Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara rinci (lewat sidang pengadilan). 

Sebab-Sebab Ahli Waris Berhak Memperoleh Harta Warisan


Dalam ajaran Islam, sebab-sebab seseorang (ahli waris) dapat memperoleh harta warisan ada empat, yaitu:
  • Kekeluargaan, misalnya: anak, cucu, ayah, ibu, dan saudara-saudara, berhak memperoleh harta warisan yang ditinggalkan pewaris karena adanya hubungan kekeluargaan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 7).
  • Perkawinan, istri mendapat bagian dari harta warisan peninggalan suami atau sebaliknya. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12). 
  • Wala', yaitu berhak mendapat bagian dari harta warisan karena memerdekakan hamba sahaya. Rasulullah SAW bersabda, "Hubungan orang yang memerdekakan dengan yang dimerdekakannya itu seperti hubungan turunan dengan turunan, tidak dijual dan tidak diberikan" (HR. Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim). 
  • Hubungan seagama, yakni sama-sama Islam. Dalam hal ini, seseorang yang meninggal namun tidak memiliki ahli waris yang memiliki sebab-sebab di atas untuk bisa mewarisinya, maka harta tinggalannya tersebut diserahkan kepada baitul maal untuk dikelola demi kemaslahatan umat Islam.

Sebab-Sebab Ahli Waris Tidak Berhak Memperoleh Harta Warisan


Sebab-sebab seseorang (ahli waris) tidak berhak untuk memperoleh harta warisan yang ditinggalkan keluarganya adalah sebagai berikut:
  • Budak belian (hamba), ahli waris yang kedudukannya sebagai budak belian tidak berhak memperoleh harta warisan peninggalan keluarganya karena kalau mereka diberi bagian dari harta warisan, maka bagiannya itu akan menjadi milik tuannya. 
  • Membunuh, ahli waris yang membunuh pewaris tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang dibunuhnya. Rasulullah SAW bersabda, "Yang membunuh tidak berhak mewarisi harta peninggalan keluarga yang dibunuhnya" (HR. An-Nasai). 
  • Murtad, ahli waris yang murtad (keluar dari Islam) tidak berhak memperoleh harta warisan peninggalan keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya, seorang Muslim/ Muslimah tidak berhak mewarisi harta peninggalan keluarganya yang bukan Islam.
  • Beda Agama, orang yang tidak beragama Islam (kafir) tidak berhak menerima harta warisan peninggalan keluarganya yang beragama Islam. Demikian pula sebaliknya, orang Islam tidak berhak mewarisi harta pusaka peninggalan keluarganya yang tidak beragama Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Seorang Muslim tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang kafir, dan orang kafir tidak berhak pula mewarisi harta peninggalan orang Islam". (HR. Al-Jamaah). 

Ahli Waris


Ditinjau dari segi jenis kelamin, ahli waris dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris wanita. Ahli waris laki-laki berjumlah lima belas orang atau golongan sedangkan ahli waris wanita berjumlah sepuluh orang atau golongan.

1. Ahli Waris Laki-laki

  • Anak laki-laki. 
  • Cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki) dan terus ke bawah asalkan pertaliannya masih terus laki-laki.
  • Bapak. 
  • Kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas. 
  • Saudara laki-laki sekandung. 
  • Saudara laki-laki sebapak. 
  • Saudara laki-laki seibu. 
  • Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung. 
  • Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak. 
  • Paman yang sekandung dengan bapak. 
  • Paman yang sebapak dengan bapak. 
  • Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak. 
  • Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak. 
  • Suami. 
  • Laki-laki yang memerdekakan si pewaris. 

Jika lima belas orang ahli waris tersebut semuanya ada, maka yang memperoleh bagian dari harta warisan hanya tiga orang yaitu ayah (bapak), suami, dan anak laki-laki.

2. Ahli Waris Perempuan


Adapun ahli waris perempuan rinciannya adalah sebagai berikut:
  • Anak perempuan. 
  • Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannya dengan pewaris masih terus laki-laki. 
  • Ibu. 
  • Nenek (ibu dari ibu) dan seterusnya ke atas. 
  • Nenek (ibu dari bapak) dan seterusnya ke atas. 
  • Saudara perempuan seibu sebapak. 
  • Saudara perempuan sebapak. 
  • Saudara perempuan seibu. 
  • Istri. 
  • Wanita yang memerdekakan pewaris. 

Jika sepuluh orang ahli waris tersebut semuanya ada, maka yang memperoleh bagian dari harta warisan hanya lima orang, yaitu: anak perempuan, cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki), ibu, saudara perempuan seibu-sebapak, dan istri. 

Jika ahli waris laki-laki dan wanita yang berjumlah dua puluh lima orang ini semuanya ada, maka yang memperoleh bagian harta warisan hanya lima orang saja yaitu anak laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak, dan suami/istri. 
Ditinjau dari segi ketentuan perolehan bagian dari harta warisan, ahli waris dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu Dzawil Furud (Ahlul Furud) dan Ashabah. 

a. Dzawil Furud


Dazwil Furud adalah ahli waris yang perolehan bagian harta warisannya sudah ditentukan oleh syara' (Al-Qur'an dan Hadits). Di antara mereka ada yang memperoleh bagian: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 dari harta warisan. 

▪ Ahli waris yang bagiannya 1/2 dari harta warisan:
  1. Anak perempuan tunggal. (Lihat Surah An-Nisa, ayat 11). 
  2. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki. 
  3. Saudara perempuan tunggal yang seibu sebapak (Lihat QS. An-Nisa, ayat 176). 
  4. Saudara perempuan tunggal yang sebapak. 
  5. Suami, apabila pewaris (istrinya) tidak meninggalkan anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12). 

▪ Ahli waris yang bagiannya 1/4 dari harta warisan:
  1. Suami, apabila istrinya yang meninggal mempunyai anak atau cucu. (Lihat Surah An-Nisa, ayat 12). 
  2. Istri, seorang atau lebih, bila pewaris (suaminya) tidak meninggalkan anak atau cucu. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12). 

▪ Ahli waris yang bagiannya 1/8 dari harta warisan:
  1. Istri, seorang atau lebih, apabila pewaris (suami) meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12).

▪ Ahli waris yang bagiannya 2/3 dari harta warisan:
  1. Dua orang anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 11). 
  2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila anak perempuan tidak ada. 
  3. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu sebapak. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 176). 
  4. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak. 

▪ Ahli waris yang bagiannya 1/3 dari harta warisan:
  1. Ibu, apabila si pewaris (anaknya) tidak meninggalkan anak atau cucu (dari anak laki-laki), atau dua orang saudaranya (lebih) laki-laki maupun perempuan, sekandung/sebapak atau seibu saja. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 11).
  2. Dua orang saudara seibu atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12).

▪ Ahli waris yang bagiannya 1/6 dari harta warisan:
  1. Bapak atau kakek, apabila ada anak/cucu. 
  2. Ibu, apabila ada anak atau cucu atau ada dua orang saudara (lebih). 
  3. Nenek, seorang atau lebih, bila tidak ada ibu. 
  4. Seorang saudara seibu, baik laki-laki maupun wanita. 
  5. Cucu perempuan, seorang atau (lebih), apabila ada seorang anak perempuan, tetapi apabila anak perempuannya lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat bagian apa-apa. 
  6. Seorang saudara perempuan sebapak, atau lebih, apabila ada seorang saudara perempuan sekandung, tetapi apabila saudara sekandungnya lebih dari seorang, maka saudara-saudara perempuan sebapak menjadi terhalang (tidak dapat waris). 

b. Ashabah


Ashabah adalah ahli waris yang bagian dari harta warisannya tidak tertentu. Misalnya, seluruh harta warisan jatuh ke tangannya karena tidak ada ahli waris dzawil furud, sisa dari harta warisan setelah diambil oleh dzawil furud, atau tidak berhak memperoleh bagian pusaka karena harta warisan itu habis dibagikan kepada dzawil furud yang berhak menerimanya. 

Ashabah dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

▪ Ashabah binafsihi, yaitu ahli waris yang menjadi ashabah karena secara otomatis, bukan karena ditarik oleh ahli waris dzawil furud. Ashabah binafsihi terdiri dari 13 orang, semuanya laki-laki dengan urutan sebagai berikut:
  1. Anak laki-laki. 
  2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah. 
  3. Bapak. 
  4. Kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas. 
  5. Saudara laki-laki seibu sebapak.
  6.  Saudara laki-laki sebapak.
  7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak. 
  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak. 
  9. Paman yang seibu sebapak dengan bapak.
  10. Paman yang sebapak dengan bapak.
  11. Anak laki-laki paman yang seibu sebapak dengan bapak. 
  12. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak. 
  13. Anak laki-laki yang memerdekakan si pewaris ketika masih menjadi budak. 

Apabila ahli waris termasuk ashabah binafsihi tersebut semuanya ada, yang mendapat bagian harta warisan hanyalah ahli waris yang mempunyai hubungan terdekat dengan si pewaris (sesuai dengan urutan di atas). Ahli waris yang hubungannya jauh dengan si pewaris terhalang. Misalnya, cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki, kakek terhalang oleh bapak, dan seterusnya. 

Jika ahli waris terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, mereka memperoleh bagian seluruh harta warisan (bila tidak ada dzawil furud yang berhak memperoleh bagian harta warisan) atau memperoleh sisa harta pusaka setelah diambil oleh dzawil furud yang berhak memperolehnya seperti istri (suami), ibu, dan bapak. Cara pembagiannya untuk anak laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dari bagian anak perempuan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 11).

▪ Ashabah bighairihi, yaitu ahli waris yang menjadi ashabah dengan sebab ditarik oleh ahli waris tertentu dari ashabah binafsihi. Mereka adalah sebagai berikut:
  1. Anak perempuan dengan sebab adanya anak laki-laki. Ketentuan bagian harta pusakanya untuk anak laki-laki sebanyak dua kali lipat bagian anak perempuan. 
  2. Cucu perempuan dari anak laki-laki dengan sebab adanya cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ketentuan bagian harta warisannya sama dengan anak perempuan dan anak laki-laki seperti tersebut di atas.
  3. Saudara perempuan seibu sebapak dengan sebab adanya saudara laki-laki seibu sebapak.
  4. Saudara perempuan sebapak dengan sebab adanya saudara laki-laki sebapak.

Ketentuan bagian harta warisan saudara perempuan bila ada saudaranya yang laki-laki adalah untuk saudara laki-laki dua kali lipat dari bagian saudaranya yang perempuan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 176).

▪ Ashabah ma'a ghairihi, yaitu ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tertentu dari dzawil furud. Mereka adalah sebagai berikut:
  1. Saudara perempuan sekandung, apabila bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. 
  2. Saudara perempuan sebapak, apabila bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. 

Saudara perempuan sekandung (sebapak) memperoleh bagian harta warisan berupa sisanya setelah diambil oleh anak perempuan seorang atau lebih, atau cucu perempuan seorang atau lebih. 

Hijab


Hijab berarti tabir atau penghalang bagi ahli waris untuk menerima harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat atau yang lebih berhak. Hijab dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Hijab Nuqshan, yaitu hijab yang dapat mengurangi bagian dari harta warisan bagi ahli waris tertentu karena bersama-sama dengan ahli waris lain tertentu pula. Misalnya, jika si pewaris hanya meninggalkan ahli waris istri dan ahli waris lain, tetapi tidak meninggalkan anak/cucu, maka besarnya bagian harta warisan istri adalah 1/4 dari harta warisan. Meskipun demikian, apabila pewaris meninggalkan juga anak/cucu, bagian istri berubah menjadi 1/8 dari harta warisan. Dalam hal ini anak/cucu menjadi hijab nuqshan bagi istri. 

2. Hijab Hirman, yaitu hijab yang menyebabkan ahli waris kehilangan haknya atas harta warisan karena terhalang ahli waris yang lebih dekat atau lebih berhak, antara lain sebagai berikut:
  • Cucu laki-laki tidak berhak memperoleh harta warisan, apabila ada anak laki-laki. 
  • Kakek tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada bapak.
  • Nenek tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada ibu. 
  • Saudara seibu sebapak tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada anak laki-laki dan bapak. 
  • Saudara laki-laki/perempuan sebapak tidak berhak memperoleh harta warisan apabila ada anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung jika ber ashabah bersama-sama dengan anak perempuan (cucu perempuan). 

Penghitungan Warisan


Sebelum penghitungan warisan dilaksanakan, hendaknya harta warisan digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi empat macam keperluan, yakni zakat, biaya pengurusan jenazah dan biaya perawatan ketika sakit, melunasi utang si pewaris, dan memenuhi wasiatnya. Jika sudah, langkah-langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
  1. Menentukan ahli waris laki-laki dan ahli waris wanita. 
  2. Menentukan dzawil furud dan siapa-siapa yang termasuk ashabah. 
  3. Menentukan ahli waris yang bagiannya berkurang karena terhalang oleh ahli waris hijab nuqshan. 
  4. Menentukan ahli waris yang sama sekali tidak berhak memperoleh bagian warisan karena terhalang oleh ahli waris hijab hirman. 
  5. Menentukan apakah ahli waris terdiri dari dzawil furud saja, ashabah saja, atau terdiri dari dzawil furud dan ashabah. 

Jika ternyata ahli waris hanya terdiri dari dzawil furud, maka harta warisan dibagikan kepada mereka sesuai dengan yang telah ditentukan. Jika ternyata ahli waris hanya terdiri dari ashabah, maka seluruh harta warisan dibagikan kepada mereka sesuai dengan ketentuan. Sedangkan jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan ashabah, maka mula-mula harta warisan dibagikan kepada dzawil furud dan sisanya baru untuk ashabah.

Hal Lain Yang Perlu Diketahui dalam Penghitungan Warisan

a. Al-Gharawain


Al-Gharawain terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari istri atau suami serta bapak dan ibu. Al-Gharawain berarti dua masalah aneh karena cara pembagian warisan untuk ibu dan bapak menyalahi ketentuan umum. Menurut ketentuan semula bagian ibu adalah 1/3 dari harta warisan, sedangkan bapak menghabiskan sisa harta warisan, setelah harta warisan itu diambil oleh dzawil furud istri/suami dan ibu. Akan tetapi, dalam masalah al gharawain ini, bagian ibu menjadi 1/3 dari sisa harta warisan, setelah diambil oleh istri (suami) dan bapak 2/3 dari sisa harta setelah diambil oleh istri (suami). Hal ini sesuai dengan ketentuan, bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita. 

b. Al-Aul


Al-Aul terjadi apabila jumlah bagian dzawil furud melebihi jumlah pokok masalahnya. Dalam hal seperti ini maka bagian dari masing-masing ahli waris dzawil furud tetap seperti semula, hanya pokok masalahnya berubah, yakni menurut jumlah bagian-bagian tersebut. Ini berarti bahwa bagian masing-masing ahli waris lebih kecil dari bagian semula. 

c. Radd


Menurut istilah, radd adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka, apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya. Masalah ini terjadi apabila pembilangan lebih kecil daripada penyebut, dan pada dasarnya merupakan kebalikan dari masalah aul. Namun penyelesaiannya tentu berbeda dengan masalah aul, karena aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.

Selengkapnya