Tentang Aturan Shaf dalam Shalat Berjamaah

Tentang Aturan Shaf dalam Shalat Berjamaah

Ketika iqamat dikumandangkan, hendaknya kita bersiap dengan para jamaah lain untuk melaksanakan shalat berjamaah. Kita satukan pikiran yang sebelumnya bercabang untuk fokus menghadap serta bersimpuh ke hadirat Sang Ilahi. Kemudian berdiri memenuhi shaf secara tertib serta menghadap kiblat, berbaris lurus, tanpa membedakan status sosial atau pangkat maupun jabatan. Tua muda, pejabat rakyat jelata, kaya miskin semua bersatu dalam barisan jamaah shalat.

Shalat berjamaah
ilustrasi shalat berjamaah

Ada beberapa faktor yang harus dipersiapkan baik fisik maupun mental agar kita bisa khusyu' dan mendapat ketenangan dalam menjalankan shalat. Di antaranya yaitu menghentikan segala aktifitas yang tidak ada kaitannya dengan shalat, lepaskan pikiran dari kesibukan duniawi, pastikan kita siap dan fokus untuk menjalankan ibadah shalat bukan untuk lain, termasuk yang menyangkut hidangan, atau menahan kencing dan buang air besar. Aisyah RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Janganlah sekali-kali engkau melakukan shalat (sambil) menunda hidangan yang telah tersedia atau menahan buang air kecil atau besar untuk sesaat.” (H.R. Muslim dan Abu Daud). 

Perihal melepaskan pikiran-pikiran dari kesibukan duniawi, antara lain seperti dinyatakan dalam firman-Nya: 

"Hai Orang-Orang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan," (QS, An-Nisa: 43) 

Betapa banyak kita lihat orang seakan-akan mabuk karena beban pekerjaannya, memikirkan biaya sekolah anak, atau karena pusing membayar cicilan, padahal mereka tidak minum alkohol (arak), sehingga mereka juga tidak mampu memahami apa yang mereka ucapkan di dalam salatnya. Maka ketika hendak shalat, lepaskanlah pikiran dari kesibukan duniawi dan fokus pasrahkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.

Adapun terkait menghadap kiblat, dijelaskan dalam firmanNya: 

Palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya,” (QS, Al Baqarah: 14) 

Maknanya yaitu setiap mushalli (orang yang shalat) mengetahui bahwa seluruh umat Islam di penjuru dunia ini menghadapkan wajahnya ke kiblat ketika shalat. Perintah menghadap kiblat ini juga terkandung maksud bahwa semua umat Islam memiliki satu arah yang sama dalam beribadah dan menjadi identitas yang membedakannya dari umat-umat lain. Itulah Baitullah al Haram, sebagai lambang persatuan umat dan wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersatukan tujuan dan kesungguhan dalam memperjuangkan agama islam. 

Terkait urusan shaf, setiap mushalli hendaknya datang ke masjid lebih awal agar dapat menempati shaf pertama di belakang imam. Ada sebuah hadits perihal keutamaan memenuhi panggilan muadzin dan mengisi shaf pertama, Rasulullah SAW bersabda:

“Andaikan manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya..“ (H.R. Bukhari). 

Dari Abu Hurairah RA, dikatakannya bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Sebaik-baik shaf seorang laki-laki adalah yang paling pertama dan terjelek yang paling belakang. Adapun untuk kaum wanita yang paling baik adalah shaf yang paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf terdepan.” (H.R. Muslim)

Bahkan dalam shalat jum'at, dikatakan bahwasanya seseorang yang berada di barisan shaf pertama maka ia akan mendapatkan keutamaan seperti ia berkurban seekor unta, orang yang berada di barisan shaf kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi, di barisan shaf ketiga seolah berkurban dengan seekor kambing, di barisan shaf keempat seolah berkurban dengan seekor ayam, dan yang mendapatkan barisan shaf kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur.

Dalam barisan shaf shalat, yang harus diperhatikan adalah terciptanya suasana kerapian dalam menyusun shaf, agar shaf betul-betul lurus, sebab Allah tidak suka melihat shaf yang bengkok. Dari Anas RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Luruskan shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kesempurnaan shalat" (Muttafaq 'alaih). 

Dalam hadits lain dari Anas RA Rasulullah SAW juga bersabda: 

"Rapatkan shaf-shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat syetan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil." (H.R. Abu Daud)

Di dalam meluruskan shaf jamaah shalat terkandung maksud akan pentingnya memperkokohkan pendirian bahwa Islam menyeru pada tertibnya organisasi (nidzam atau jamaah) dengan prinsip yang teguh sehingga mampu menghilangkan segala bentuk kekacauan atau penyelewengan-penyelewengan. Dari sinilah tercipta suatu perasaan mementingkan nidzam secara keseluruhan di bawah kendali seorang imam (pemimpin) yang berjalan sesuai dengan aturan Islami.

Kerapian dan kerapatan shaf juga dapat melahirkan sikap kekerabatan dan persaudaraan (ukhuwah) dalam bentuk ikatan yang kokoh, serta meninggalkan bentuk-bentuk kompromi dengan setan, jin, ataupun manusia yang mencoba memecah belah diantara sesama umat Islam. Juga tidak sedikitpun memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk merusak barisan umat islam. Allah SWT berfirman: 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.." (QS, Ash-Shaff: 4).

Selain itu, tertibnya shaf juga seharusnya tidak melahirkan sikap perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara atasan dan bawahan, antara pejabat dan rakyatnya, dalam artian musaawah (persamaan hak) dan tawadhu' (kepatuhan) serta menghilangkan sifat egois dengan merasa lebih tinggi atau lebih besar. Sebab keutamaan seseorang hanyalah tergantung pada ketakwaannya, Allah SWT berfirman: 

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa kepada-Nya" (QS, Al-Hujurat: 3)

Bahkan, mungkin saja wajah seorang menteri yang sedang sujud dalam salat jamaah, menyentuh telapak kaki bawahannya atau rakyat jelata yang kebetulan berada di shaf di depannya tanpa harus memperhitungkan prestise atau gengsi. Disinilah terdapat pendidikan kepribadian dan khususnya bagi pembentukan sikap “tawadhu” karena Allah. 

Sudah sepatutnya bagi mushalli ketika bersimpuh di bawah kekuasaan Allah untuk menundukan kepala sebagai bentuk ketawadhu'annya, agar ia menyambut shalatnya itu seakan-akan merupakan shalat terakhir baginya di dunia ini, ibarat usia nya mungkin tidak berkesampaian menghantarkan ke shalat berikutnya. Dengan demikian ia akan berusaha untuk melakukan shalat dengan sebaik-baiknya dan sempurna-sempurnanya, sehingga kalaupun dia harus berpisah dengan dunia, maka persiapan itu merupakan kejadian yang menenteramkan hatinya. Wallahu A'lam bisshawaab

Selengkapnya
Khasiat Yang Terkandung dari Ayat-Ayat Al Qur'an

Khasiat Yang Terkandung dari Ayat-Ayat Al Qur'an

Di antara cabang dalam disiplin ilmu Al Qur'an adalah ilmu khawashsh al Qur'an, yaitu ilmu yang menerangkan tentang khasiat-khasiat yang dikandung oleh ayat-ayat al Qur'an. Para pakar ilmu al Qur'an seperti al-lmam al-Muhaddits Badruddin al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi Ulum al Qur'an dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al Itqan fi 'Ulum al Qur'an, membuat satu bab khusus tentang khawashsh al Qur'an. 

Al Qur'an sebagai obat penawar


Ada sekian banyak dalil yang menjelaskan bahwa Al Qur'an memiliki sekian banyak khasiat bagi kebutuhan manusia di dunia. Dalam al Qur'an al-Karim, Allah SWT berfirman: 

وَنُنَزِّلُ مِنَ الۡـقُرۡاٰنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَّرَحۡمَةٌ لِّـلۡمُؤۡمِنِيۡنَ‌ۙ

Dan kami turunkan dari al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. al-lsra' : 82). 

Menurut Ibnu Qayyim al Jauziyyah, ayat ini memberikan penjelasan bahwa seluruh kandungan al Qur'an itu dapat menjadi penyembuh yang sempurna dari segala penyakit, pelindung yang bermanfaat dari segala mara bahaya, cahaya hidayah dari segala kegelapan dan rahmat yang merata bagi orang-orang yang beriman. Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim mengatakan dalam kitabnya Zad al Ma'ad (4/162): 

“Dan telah diyakini bahwa sebagian perkataan manusia memiliki sekian banyak khasiat dan aneka kemanfaatan yang dapat dibuktikan. Apalagi ayat-ayat al Qur'an selaku firman Allah, Tuhan semesta alam, yang keutamaannya atas semua perkataan sama dengan keutamaan Allah atas semua makhluk-Nya. Tentu saja, ayat-ayat al Qur'an dapat berfungsi sebagai penyembuh yang sempurna, pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya, cahaya yang memberi hidayah dan rahmat yang merata. Dan andaikan al Qur'an itu diturunkan kepada gunung, niscaya ia akan pecah karena keagungannya. Allah telah berfirman: “Dan kami turunkan dari al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al Isra': 82). Kata-kata “dari al Qur'an”, dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan bermakna sebagian menurut pendapat yang paling benar. (Ibn al Qayyim, Zad al-Ma'd, 2/162).

Al-Hafizh al-Dzahabi dalam kitabnya 'al Thibb al-Nabawi' (hal. 165) secara lebih gamblang juga menyebutkan:

"Yakni, Kami (Allah SWT) menurunkan al Qur'an yang semuanya dapat berfungsi sebagai penyembuh..." 

Dari pernyataan-pernyataan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat kita petik, yaitu: 

Pertama, sebagian perkataan manusia diyakini memiliki sekian banyak khasiat dan faedah yang dapat dibuktikan melalui percobaan. 

Kedua, seluruh ayat-ayat al Qur'an al-Karim -yang tentu lebih utama daripada perkataan manusia-, jelas lebih banyak kandungan khasiat dan manfaatnya bagi kehidupan daripada perkataan manusia. 

Ketiga, ayat-ayat al Qur'an dapat berfungsi sebagai penyembuh dan penawar yang sempurna dari segala penyakit. 

Keempat, ayat-ayat al Qur'an dapat berfungsi sebagai pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya dan kejahatan. 

Kelima, ayat-ayat al Quran dapat berfungsi sebagai cahaya petunjuk dari kegelapan.

Keenam, ayat-ayat al Qur'an dapat berfungsi sebagai rahmat yang merata bagi orang-orang yang beriman. 

Kaitannya dengan hal ini, ada sebuah kisah menarik yang dijabarkan dalam sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudri RA:

“Abu Said al-Khudri RA berkata: “Suatu ketika beberapa orang sahabat Rasulullah SAW bepergian, hingga sampai pada satu perkampungan Arab. Mereka meminta penduduk kampung Arab itu agar menerima mereka sebagai tamu, tetapi mereka menolaknya. Lalu kepala suku kampung itu tersengat kalajengking beracun. Akhirnya penduduk kampung itu berupaya menolong kepala sukunya dengan segala cara, akan tetapi hasilnya nihil. Lalu sebagian mereka berkata: “Bagaimana kalau kita mendatangi rombongan yang lagi singgah itu, barangkali di antara mereka dapat menolong”. 

Kemudian mereka mendatanginya, dan berkata: “Wahai rombongan, kepala suku kami disengat kalajengking. Kami sudah berusaha menolongnya dengan segala cara, tapi hasilnya nihil, Apakah di antara kalian ada yang bisa membantu?”. 

Sebagian mereka (para sahabat Nabi) menjawab: “Ya, demi Allah saya bisa meruqyah. Tetapi kalian telah menolak kami sebagai tamu. Jadi saya tidak mau meruqyah sehingga kalian menjanjikan upah buat kami”. Lalu mereka menyetujui dengan imbalan beberapa ekor kambing. 

Salah seorang sahabat kemudian meruqyahnya dan membaca surah al-Fatihah. Setelah itu sang kepala suku langsung sembuh. Ia segera dapat berjalan tanpa merasakan sakit sama sekali. 

Abu Sa'id al-Khudri berkata: “Lalu mereka memenuhi upah yang dijanjikan”. Sebagian rombongan mengatakan: “Bagi-bagi”. Lalu yang meruqyah berkata: “Jangan dulu, sehingga kita mendatangi Rasulullah SAW, kita laporkan apa yang terjadi. Kita lihat apa perintah beliau”. 

Lalu mereka mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadiannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jadi kamu tahu kalau itu ruqyah?” Beliau bersabda: “Kalian benar, bagi-bagikan hasilnya. Dan saya minta bagian juga”. 

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2115), Muslim (2201), Abu Dawud (3900), al-Tirmidzi (2064), al-Nasa'i dalam 'Amal al Yaum wa al-Lailah (1028), dan Ibn Majah (2156). Hadits ini juga menunjukkan bahwa sesuatu yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah belum tentu jelek dan keliru. Hadits ini juga menunjukkan bahwa al Qur'an itu dapat digunakan sebagai penyembuh. 

Selain sebagai penyembuh, al Qur'an juga dapat digunakan sebagai pelindung dari segala marabahaya dan kejahatan. Sebuah hadits menyebutkan:

Khaulah binti al Hakim al Salamiyah RA berkata “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa singgah di suatu tempat lalu mengatakan: “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan ciptaan Allah”, maka ia tidak akan ditimpa oleh marabahaya apapun sampai ia pergi dari tempat singgahnya itu.” (HR. Muslim) 

Hadits ini mengajarkan kita agar berlindung dengan kalimat-kalimat Allah, dan tentu saja termasuk al Qur'an al Karim, dari marabahaya dan kejahatan yang mungkin mengancam kita di suatu tempat. Sebenarnya hadits-hadits seperti di atas ini ada banyak sekali dan dapat dirujuk dalam kitab-kitab karya Ulama Salaf. 

Pengamalan Ulama Salaf Terkait Khasiat dari Ayat-Ayat Al Qur'an


Menurut al Hafizh al Suyuthi dalam al-Itqan fi 'Ulum al Qur'an, ada dua cara untuk mengetahui khasiat-khasiat yang dikandung al Qur' an al Karim. Pertama yaitu melalui keterangan dan hadits-hadits Rasulullah SAW. Kedua, melalui pengamalan orang-orang yang saleh. 

Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh khasiat-khasiat al Qur'an berdasarkan pengamalan dari Ulama Salaf yang Saleh. 

1. Abdurrahman bin 'Auf RA

Al-lmam al-Muhaddits Badruddin al-Zarkasyi menyebutkan dalam kitabnya al Burhan fi' Ulum al Qur'an (1/434) bahwa Sayyidina Abdurrahman bin Auf RA pernah menuliskan huruf-huruf yang ada di permulaan surat-surat Al Qur' an untuk tujuan menjaga harta benda dan perkakas rumahnya, sehingga semuanya aman dan terjaga. 

2. Imam Sufyan al-Tsauri RA

Al lmam Sufyan al-Tsauri, salah seorang ulama salaf terkemuka, pernah menuliskan untuk wanita yang akan melahirkan pada lembaran yang digantungkan di dadanya, yaitu ayat 1 - 4 Surat Al Insyiqaq: 

اِذَا السَّمَاۤءُ انْشَقَّتْۙ. وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۙ. وَاِذَا الْاَرْضُ مُدَّتْۙ. وَاَلْقَتْ مَا فِيْهَا وَتَخَلَّتْۙ 

3. Imam Syafi'i RA

Seorang laki-laki mengeluh kepada Imam al Syafi'i tentang matanya yang rabun. Lalu beliau menuliskan ayat (Surat Qaf ayat 22): 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ

lalu tulisan tersebut dijadikan kalung oleh laki-laki ini, sehingga matanya segera pulih dan dapat melihat dengan baik. 

4. lmam Ahmad bin Hanbal RA

Ibnu Qayyim meriwayatkan dalam Zad al Ma'ad fi Hady Khair al Ibad (4/326), bahwa al-Marwazi berkata: “Aku pernah terserang penyakit demam dan didengar oleh Abu Abdillah al lmam Ahmad bin Hanbal. Lalu beliau menuliskan pada satu kertas untukku: 

Doa dari Imam Ahmad


Dalam ta'widz yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal di atas mengandung tawassul dengan Nama Allah, nama Muhammad Rasulullah SAW, dan ayat-ayat al Qur'an. Ta'widz dari lmam Ahmad bin Hanbal ini, juga dianjurkan untuk diamalkan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya Zad al Ma'ad. 

5. Imam Ilkiya al-Harrasi RA

Al Imam Ilkiya al-Harrasi, faqih bermadzhab Syafi'i yang sangat populer dan rekan lmam Hujjatul Islam  Al Ghazali, apabila dalam perjalanan beliau membaca huruf-huruf yang terdapat di permulaan surat-surat. Dan ketika beliau ditanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Orang yang membaca atau menyimpan tulisan huruf-huruf itu, akan terjaga dirinya dan harta bendanya dari marabahaya.” 

6. Ibnu Taimiyah al-Harrani 

Ibnu Qayyim meriwayatkan dalam Zad al Ma'ad (4/326), bahwa Ibnu Taimiyah pernah menuliskan ayat berikut ini (Surat Hud Ayat 44) bagi orang yang mimisan atau keluar darah dari hidungnya. 

وَقِيلَ يَٰٓأَرْضُ ٱبْلَعِى مَآءَكِ وَيَٰسَمَآءُ أَقْلِعِى وَغِيضَ ٱلْمَآءُ وَقُضِىَ ٱلْأَمْرُ وَٱسْتَوَتْ عَلَى ٱلْجُودِىِّ ۖ وَقِيلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Ibnu Taimiyah menuliskan ayat ini di dahi orang yang hidungnya keluar darah. Ibnu Taimiyah berkata: “Beberapa kali aku melakukannya, dan berhasil sembuh”. 

Berdasarkan pengamalan-pengamalan dari ulama terkemuka di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat al Qur'an, dipastikan memiliki sekian banyak khasiat dan manfaat dalam segala kebutuhan umat manusia. Tentu saja khasiat dan manfaat ayat-ayat al Qur'an tersebut hanya dapat diketahui melalui nash-nash dari Nabi SAW atau pengamalan orang-orang saleh. Wallaahu A'lam


Selengkapnya
Hukum Bermain dan Menonton Sepak bola dalam Pandangan Islam

Hukum Bermain dan Menonton Sepak bola dalam Pandangan Islam

Apakah anda tahu siapa itu Lionel Messi?. Bagaimana dengan Cristiano Ronaldo?. Betul, keduanya adalah bintang sepak bola masa kini yang hampir setiap orang pernah mendengar namanya. Sepak bola memang telah menjadi salah satu olahraga paling populer di dunia. Tidak hanya di level internasional, sepak bola juga populer di pelosok negeri ini dengan sering tampilnya timnas kita di berbagai ajang yang disiarkan langsung lewat layar kaca. 

sepak bola
ilustrasi via pixabay

Pengertian dan Sejarah Sepak Bola

 
Melansir dari wikipedia, sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga tim yang dimainkan oleh dua tim dengan masing-masing tim beranggotakan 11 (sebelas) orang pemain inti dan beberapa pemain cadangan. Masing-masing pemain sepak bola umumnya memainkan suatu bola khusus (yang disebut bola sepak) dengan kaki mereka di atas lapangan khusus untuk permainan ini. 

Dalam sejarah, permainan sejenis sepak bola telah dimulai sejak abad ke-2 dan ke-3 sebelum Masehi di Tiongkok. Permainan serupa juga dimainkan di Jepang dengan sebutan Kemari. Sementara di Italia, permainan menendang dan membawa bola juga digemari terutama mulai abad ke-16. Sepak bola modern mulai berkembang di Inggris dengan menetapkan peraturan-peraturan dasar dan menjadi olahraga yang sangat digemari oleh banyak kalangan.

Hukum Sepak Bola dalam Islam


Sebagai salah satu dari cabang olahraga, bermain sepak bola termasuk ke dalam kategori olahraga yang dapat membuat kita menjadi berkeringat sehingga menyehatkan tubuh kita. Selain itu, bermain sepak bola juga dapat menambah teman dan melatih kekompakan dalam bekerja sama mencapai tujuan (terciptanya gol). 

Nah, sekarang pertanyaannya adalah Bagaimana hukum sepak bola menurut Islam?. Untuk menjawabnya, berikut ini sejumlah pandangan ulama mengenai sepak bola. 

Dalam kitab Bughyatul Musytaq fi Hukmil lahwi wal la'bi was sibaq disebutkan, “Para Ulama Syafi'iyyah telah mengisyaratkan diperbolehkannya bermain sepak bola, jika dilakukan tanpa taruhan (judi). Dan, mereka mengharamkannya jika pertandingan sepak bola dilakukan dengan taruhan. Dengan demikian, hukum bermain sepak bola dan yang serupa dengannya adalah boleh, jika dilakukan tanpa taruhan (judi).” 

As-Sayyid Ali Al-Maliki dalam kitabnya 'Bulughul Umniyah' halaman 224 menjelaskan bahwa dalam pandangan syariat, hukum bermain sepak bola secara umum adalah boleh dengan dua syarat. Pertama, sepak bola harus bersih dari unsur judi. Kedua, permainan sepak bola diniatkan sebagai latihan ketahanan fisik dan daya tahan tubuh sehingga si pemain dapat melaksanakan perintah sang Khalik (ibadah) dengan baik dan sempurna.

Syekh Abu Bakar Al-Jazairi dalam karyanya 'Minhajul Muslim' halaman 315 berkata, "Bermain sepak bola boleh dilakukan, dengan syarat meniatkannya untuk kekuatan daya tahan tubuh, tidak membuka aurat (bagian paha dan lainnya), serta si pemain tidak menjadikan permainan tersebut dengan alasan untuk menunda shalat. Selain itu, permainan tersebut harus bersih dari gaya hidup glamor yang berlebihan, perkataan buruk dan ucapan sia-sia seperti celaan, cacian, dan sebagainya.”

Hukum Menonton Pertandingan Sepak bola


Jika hukum bermain sepak bola adalah boleh, lantas bagaimana dengan hukum menonton atau menyaksikan pertandingan sepak bola?.

Berkaca pada kebolehan bermain sepak bola sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka hukum menonton atau menyaksikannya juga diperbolehkan. Baik itu yang menonton langsung di stadion atau pun yang hanya bisa menyaksikan lewat siaran televisi. Meskipun begitu, tentu saja ada syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi. Apa sajakah syarat-syarat tersebut?.

Menyaksikan pertandingan sepak bola adalah diperbolehkan asalkan bersih dari segala bentuk perjudian dan taruhan, tidak membuka aurat, tidak terjadi ikhtilat (campur-baur antara laki-laki dan perempuan), tidak diiringi dengan minuman keras, dan tidak melanggar norma-norma agama lainnya.

Artinya, kita sebagai umat Islam juga diperbolehkan dan patut didukung jika ada yang bercita-cita hendak menjadi atlet sepak bola berprestasi. Buktinya, kini telah banyak dijumpai pesepakbola-pesepakbola muslim dunia terkenal seperti halnya Karim Benzema, Sadio Mane, Mesut Ozil, Mohamed Salah, dan lain sebagainya. 

Hanya saja, kita juga harus mengetahui batasan-batasan yang sudah diatur dalam hukum Islam. Jika fokusnya adalah untuk berolahraga dan mencari kesehatan secara jasmani, atau pun ikut mendukung dan memberi semangat dengan menonton sepak bola, maka sama sekali tidak akan menjadi suatu masalah. Berbeda halnya apabila sudah menyalahi aturan dalam Islam, tentu hukumnya akan berubah menjadi haram.

Dengan demikian, jelaslah hukum dari permainan sepak bola ini. Dari hal ini maka dapat dipahami bahwa ajaran Islam selalu fleksibel dalam mengatur segala bentuk kehidupan umat manusia, termasuk dalam hal berolahraga. Semoga bermanfaat. (diolah dari berbagai sumber).

Selengkapnya
Makhluk-Makhluk Gaib (Malaikat, Jin, Syetan, Iblis), Asal Kejadian dan Sifatnya

Makhluk-Makhluk Gaib (Malaikat, Jin, Syetan, Iblis), Asal Kejadian dan Sifatnya

Makhluk gaib adalah makhluk ciptaan Allah yang tidak tampak atau tidak dapat dijangkau oleh indra manusia. Dalam Islam, keberadaan makhluk-makhluk tersebut diyakini sudah lebih dulu ada bahkan sebelum manusia pertama diciptakan. Oleh karenanya, beriman kepada yang ghaib juga merupakan salah satu ciri muslim yang bertakwa. Berikut ini sedikit informasi mengenai para makhluk gaib yang terdiri atas Malaikat, jin, syetan dan iblis. 

Makhluk-Makhluk Gaib (Malaikat, Jin, Syetan, Iblis), Asal Kejadian dan Sifatnya
ilustrasi

Malaikat, Asal Kejadian dan Sifat-Sifatnya


Malaikat adalah makhluk Allah yang diciptakan dari Nur (Cahaya). Malaikat termasuk makhluk ghaib yang tidak bisa dilihat oleh mata kita. Malaikat mempunyai tugas-tugas dari Allah SWT seperti menurunkan hujan, menyampaikan wahyu, mencatat amal baik dan buruk, mencabut nyawa (ruh), mengatur siang malam dan lain-lainnya. 

Sifat Malaikat berbeda dengan sifat manusia, Malaikat tidak dikaruniai nafsu. Mereka tidak makan dan tidak minum, tidak pernah tidur, tidak pernah melakukan dosa. Adapun jumlah Malaikat banyak sekali dan hal ini Allah-lah yang Maha Tahu. Tetapi diantara sekian banyak jumlah Malaikat, hanya 10 jumlah Malaikat yang wajib kita percayai dan diyakini baik nama maupun tugasnya masing-masing.

Adapun nama-nama Malaikat yang wajib kita imani adalah sebagai berikut:
  1. Malaikat Jibril, bertugas menyampaikan wahyu dari Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul.
  2. Malaikat Mikail, bertugas menyampaikan atau membagi Rizqi kepada seluruh mahluk. Dialah yang menurunkan hujan dan angin yang menyebabkan terjadinya bahan makanan dan minuman. 
  3. Malaikat Israfil, bertugas meniup trompet atau serunai sangkakala yaitu terjadinya kiamat, saat kebangkitan manusia dari dalam kubur dan saat manusia diperiksa, dihitung dan diadili amal perbuatan manusia oleh Allah SWT. 
  4. Malaikat Izrail, bertugas mencabut nyawa seluruh mahluk apabila ajalnya telah tiba. 
  5. Malaikat Raqib, tugasnya mencatat amal baik. 
  6. Malaikat Atid, tugasnya mencatat amal jelek. 
  7. Malaikat Munkar dan 
  8. Malaikat Nakir, tugasnya menanyai manusia di alam kubur. 
  9. Malaikat Ridwan, bertugas menjaga dan memelihara surga atau sebagai pengawal surga.
  10. Malaikat Malik, bertugas menjaga Neraka atau disebut juga Malaikat “Zabaniyah”.

Jin, Asal Kejadian dan Sifat-Sifatnya


Jin adalah salah satu dari sekian makhluk-makhluk ghaib. Jin berasal dari kata "Jinny" artinya yang tidak terlihat atau yang tersembunyi. Jin adalah makhluk ciptaan Allah, sadar dan punya kewajiban untuk mengabdi dan menyembah kepada Allah SWT. Ditegaskan dalam firman-Nya:

"Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (QS. Adz-Dzariyat: 56) 

Berbeda dengan Malaikat, Jin diciptakan Allah dari api. Jika Malaikat seluruhnya beriman dan taat kepada Allah, tidak pernah durhaka dan senantiasa melaksanakan perintah Allah SWT, maka Jin adalah makhluk ghaib yang sebagian di antara mereka ada yang beriman dan taat kepada Allah (disebut “Jin Islam”) dan ada juga Jin yang tidak beriman dan tidak taat kepada Allah (disebut "Jin Kafir"). 

Jin Islam senantiasa taat, patuh dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah SWT, mengerjakan hal-hal yang baik, dan mencari kawan dengan bangsa Jin yang baik maupun dari manusia. Sedangkan jin kafir yang ingkar, tidak taat kepada perintah Allah, maka dia selalu berusaha mencari kawan baik dari jenisnya maupun dari manusia. Mereka membujuk dan membisikkan agar mengikuti jejak (langkah) nya menuju jalan yang dilarang Allah atau yang dilarang agama. 

Manusia yang lemah imannya akan dengan mudah digoda oleh jin yang ingkar atau kafir. Nanti pada hari kiamat semua makhluk jin akan dikumpulkan di padang Mahsyar. Sama halnya seperti manusia, mereka akan diadili dan diteliti amal perbuatannya. Jin yang banyak amal baiknya akan dimasukkan kedalam surga, dan Jin yang ingkar atau kafir akan dimasukkan ke dalam neraka.

Syetan, Asal Kejadian dan Sifat-Sifatnya


Syetan adalah makhluk yang Allah ciptakan dari api. Syetan (syaitan) berasal dari kata Syatana artinya seperti kata “Ba'uda", maksudnya jauh dari kebenaran. Kata syathana juga mempunyai arti "khalafa" yang artinya menyalahi, maksudnya menyalahi hal-hal yang benar. Syathana juga mempunyai arti “dakhala” artinya masuk, maksudnya dia masuk ke dalam dada manusia atau ke dalam jiwa manusia untuk menggoda dan mempengaruhi manusia supaya mengikuti perbuatan atau langkah-langkah setan. 

Ada kesamaan dan perbedaan antara syetan dan Jin. Syetan dan Jin sama-sama makhluk ghaib dan sama-sama diciptakan dari api. Tetapi kalau jin ada yang beriman dan ada yang kafir. Sedangkan kalau syetan semuanya kafir, tidak ada yang beriman kepada Allah. Syetan merupakan sebutan untuk makhluk yang memiliki sifat-sifat jahat. Syetan dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu: 

1. Syetan yang berasal dari jenis Jin

Syetan jenis ini termasuk makhluk ghaib, mereka tidak dapat dilihat, tidak dapat didengar dan dirasa. Bujukan syetan jenis Jin langsung diarahkan ke hati manusia. Orang yang terkena bujukan syetan jenis ini tidak merasakan bahwa dia telah tergoda, dia tidak menyadari bahwa di dalam hatinya timbul keinginan untuk berbuat jahat dan maksiat, seperti mencuri, menyakiti hati orang lain, mengambil hak milik orang lain dan lain-lain yang termasuk perbuatan dosa dan maksiat. 

2. Syetan dari jenis manusia

Syetan dari jenis manusia termasuk dalam makhluk jasmani. Mereka adalah manusia biasa, dapat dilihat, dapat didengar suaranya dan dapat dilihat bentuk tubuhnya. Karena dia memang manusia biasa tetapi sikap perbuatannya seperti syetan. Syetan jenis manusia ini menggoda manusia dengan kata-kata dan perbuatannya yang selalu bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam. 

Kedua jenis syetan ini sangat berbahaya bagi keselamatan iman dan Islam seseorang. Kedua jenis syetan ini selalu menggoda dengan segala upaya dan berbagai siasat untuk mendorong, membisikan dan merayu manusia agar meninggalkan ajaran Islam, menghalalkan segala yang diharamkan dan mengaharamkan yang halal. 

Oleh karena itu, kita harus hati-hati dan waspada karena syetan telah berjanji kepada Allah untuk menggoda, merayu, dan membisiki anak cucu Nabi Adam sampai kiamat untuk menjerumuskan atau membinasakan mereka ke dalam neraka. Kita harus memiliki iman yang kuat dan memohon perlindungan dari Allah agar terhindar dari godaan, rayuan dan bisikan syetan. 

Iblis, Asal Kejadian dan Sifat-Sifatnya


Iblis adalah makhluk ghaib dan halus, tidak dapat dicapai oleh panca indera kita. Iblis diciptakan Allah dari api, termasuk golongan jin kafir, dan selalu mengingkari perintah-perintah Allah SWT. Sebelum Allah menciptakan Nabi Adam As, yang menjadi penghuni surga adalah para malaikat dan jin yang seluruhnya taat dan berbakti kepada-Nya dengan tekun, tidak pernah membantah. Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, mereka diperintahkan supaya bersujud kepada Nabi Adam, kecuali iblis yang menentang dan membangkang. 

Iblis beranggapan dirinya lebih mulia dari manusia yang diciptakan dari tanah, sehingga timbul sifat sombong dan takabbur (QS. Sad ayat 76). Allah pun murka kepada Iblis, kemudian mengusir iblis dari surga dan menjadikannya makhluk terkutuk (QS. Sad ayat 77). Iblis kemudian memohon kepada Allah SWT agar diijinkan menggoda anak cucu Adam dan memohon dipanjangkan umurnya sampai hari kiamat. 

Allah Maha Mengetahui dan mengabulkan permohonan Iblis. Namun bagi orang yang beriman tidak perlu takut akan godaan iblis dan syetan. Allah SWT telah menyatakan bahwa Iblis tidak akan berhasil menggoda dan meyesatkan orang-orang yang beriman, bertaqwa dan bertawakkal kepada Allah SWT. 

Agar supaya kita terhindar dari godaan mereka kita harus menjadi orang yang ikhlas dalam beribadah. Untuk menjadi orang yang ikhlas (mukhlis) antara lain: 

1. Beriman kepada Allah, memenuhi rukun iman dengan benar. 

2. Mengamalkan syari‘at dengan baik dan benar. 

3. Segala upaya diri dan pengabdiannya semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah SWT. 

4. Amal ibadah dan perbuatan kita harus dilakukan semata-mata karena Allah bukan karena kita ingin mendapat pujian orang lain atau karena tujuan-tujuan selain Allah.

Selengkapnya
Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf

Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf

Bagi anda yang sering mendengarkan ceramah, tausiyah, atau pengajian, pastinya sudah tidak asing lagi dengan sebuah hadits Nabi yang menyebutkan tentang 7 golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari Kiamat kelak. Terjemahan redaksi hadits tersebut kurang lebih seperti berikut ini:

"Tujuh (kelompok) orang akan dinaungi oleh Allah di bawah naunganNya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dewasa dengan senantiasa beribadah kepada Allah, orang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah sehingga bertemu dan berpisah karena-Nya, laki-laki yang diajak berbuat zina oleh wanita terhormat dan cantik namun ia menolaknya dengan menyatakan bahwa dirinya takut kepada Allah, orang yang bersedekah secara rahasia sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanannya, dan orang yang mengingat Allah dalam kesunyian lalu mencucurkan air mata.". (H.R. Bukhari, Muslim, Nasa'i, dan Malik dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id) 

Dari ketujuh kelompok ke atas, kita akan menyoroti golongan pertama yakni imam 'adil atau pemimpin yang adil. Penyebutan pemimpin/penguasa adil sebagai kelompok pertama pada hadits di atas tentu memiliki nilai penting yang bisa kita pahami dalam konteks kehidupan umat manusia dewasa ini. Penyebutan tersebut juga menyiratkan pemahaman bahwa penguasa yang adil mendapatkan posisi yang sedemikian terhormat di sisi Allah sehingga mereka akan mendapatkan kenikmatan yang abadi. 

Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf
ilustrasi

Terkait siapa dan bagaimana kriteria seseorang bisa dikatakan sebagai pemimpin yang adil, pada postingan kali ini kita akan menyimak bersama uraian dari beberapa tokoh muslim berpengaruh perihal pemimpin yang adil itu. 

Khalifah kedua, Umar bin Khaththab dalam suratnya kepada salah seorang gubernurnya, Abu Musa Al-Asy'ari, pernah mengemukakan:

"Penguasa yang paling beruntung adalah penguasa yang memberikan keberuntungan bagi rakyatnya dan penguasa yang paling celaka adalah penguasa yang mencelakakan rakyatnya. Janganlah kamu terlalu terbuka, karena para pegawaimu akan menganut kepadamu. Perumpamaanmu seperti binatang ternak yang melihat tempat penggembalaan yang menghijau lain lalu makan darinya hingga kenyang dan gemuk, padahal kegemukannya justru menjadi penyebab kepunahannya, karena dengan kegemukan itulah, ia disembelih dan dimakan". 

Dalam kesempatan lain, Umar bin Khattab juga mengemukakan kepada para gubernurnya secara umum:

"Sesungguhnya Allah itu Maha Agung, Hak-Nya berada di atas hak-hak makhluk-Nya. Dia menyatakan keagungan hak-Nya dalam firmanNYa:

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلٰٓئِكَةَ وَالنَّبِيِّۦنَ أَرْبَابًا  ۗ  أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ

"Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah dia (patut) menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim?" (QS. Ali 'Imran, ayat 80)

Ingatlah, aku tidak mengangkatmu sebagai amir (aparat) yang boleh berbuat sewenang-wenang, tapi aku mengangkatmu sebagai pemberi petunjuk. Maka kembalikan hak-hak umat muslim kepada mereka, janganlah kamu memukuli mereka, berendah hatilah kepada mereka, janganlah kamu menyanjung mereka karena sanjunganmu akan berakibat buruk bagi mereka, janganlah kamu menutup pintu bagi keperluan mereka karena hal itu bisa menyebabkan yang kuat akan memakan yang lemah dari mereka, dan janganlah kamu mendahulukan kepentinganmu atas kepentingan mereka karena dengan itu kamu menganiaya mereka."

Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib juga pernah mengatakan kepada Gubernur Mesir, Malik bin Al-Asytar Al-Nakha'i:

"Ketahuilah, hai Malik, aku menugaskan kamu untuk menghadapi negara-negara yang sebelumnya telah memiliki pemerintahan, baik yang adil maupun yang menyeleweng. Orang-orang memandang urusanmu seperti kamu memandang urusan penguasa sebelum kamu, Mereka menilai kamu seperti dahulu kamu menilai para penguasamu. Orang-orang yang saleh akan tampak setelah Allah menjadikan hamba-hamba-Nya memberikan penilaian kepadanya. Jadikanlah simpanan amal saleh sebagai harta simpananmu yang paling kamu cintai. Tumbuhkanlah dalam hatimu rasa sayang, cinta, dan kelembutan kepada rakyatmu. 

Janganlah kamu menjadi binatang buas yang lapar dan senantiasa mencelakakan dan memangsa mereka karena mereka terdiri atas dua kelompok, yaitu saudaramu seagama dan makhluk Allah yang sepadan denganmu. Apabila kamu menjadi seperti binatang buas, mereka akan semakin banyak bertindak salah dan kamu akan sering menyakiti mereka, yang pada gilirannya kamu akan tertangkap oleh mereka, baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu, berilah maaf kepada mereka dan berlapang dadalah kepada mereka seperti ampunan dan kemurahan yang ingin kamu dapatkan dari Allah, karena kamu berkuasa atas mereka, namun mereka yang mengangkatmu berkuasa, dan Allah berkuasa kepada orang yang mengangkatmu. 

Janganlah kamu menandingi keagungan Allah dan menyerupai kesewenang-wenangan-Nya karena Allah akan menghinakan orang-orang yang sewenang-wenang dan sombong. Bersikaplah objektif kepada Allah dan kepada manusia, dengan menghindari subjektivitasmu terhadap keluargamu yang terdekat, melainkan rakyatmulah yang kamu cenderungi. Apabila tidak demikian, kamu berbuat aniaya, dan barang siapa menganiaya hamba-hamba Allah, Allah akan menjadi pembela hamba tersebut. 

Dan barang siapa menjadi musuh Allah, Allah akan menggelincirkan hujjah-Nya dan Allah akan senantiasa memeranginya hingga ia meninggal atau bertobat. Tidak ada sesuatu yang lebih mempercepat terjadinya perubahan nikmat Allah dan menyegerakan siksaan-Nya ketimbang meluruskan tindakan orang yang zalim karena Allah senantiasa mendengarkan doa orang-orang yang teraniaya dan senantiasa melindungi orang-orang yang teraniaya. 

Janganlah sekali-kali kamu merusak sunnah shalihah (pola kepemimpinan baik) yang telah dilakukan oleh pendahulu umat ini, yang dapat merekatkan kerukunan dan membawa kemaslahatan rakyat. Janganlah sekali-kali kamu menciptakan pola kepemimpinan yang merusak pola-pola yang telah lalu. Pahala tetap akan mengalir kepada yang menciptakan sunnah, sedangkan kamu akan berdosa. Hendaklah perkara yang paling kamu cintai adalah perkara yang paling sederhana dalam urusan hak, yang paling detail dalam urusan keadilan, dan yang paling banyak mendapat persetujuan rakyat."

Sedangkan Imam Hasan Al-Bashri mengemukakan pandangannya tentang imam yang adil ketika menjawab pertanyaan Amir Al-Mu'minin, Umar bin Abdul Aziz. Beliau menyebutkan:

"Sesungguhnya Allah menjadikan imam yang adil untuk menegakkan segala sesuatu yang cenderung bengkok, meluruskan setiap perkara yang menyimpang, memperbaiki setiap perkara yang rusak, memperkuat setiap orang yang lemah, melindungi setiap orang yang teraniaya, menghentikan penganiayaan, dan menjadi penengah antara Allah dan hamba-Nya, yang mendengar firman Allah dan menyampaikannya kepada mereka, melihat (kekuasaan) Allah dan memperlihatkannya kepada mereka, dan tunduk kepada Allah serta membimbing mereka kepada-Nya. 

Ia bagaikan seorang hamba yang dipercaya oleh majikannya untuk menjaga harta dan keluarganya. Dialah orang yang menegakkan hukum kepada hamba-hamba Allah bukan dengan hukum jahiliyah, tidak mengajak mereka menempuh jalan orang-orang yang zalim, tidak memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang sombong atas orang-orang yang lemah. Dia adalah pengemban wasiat atas anak-anak yatim, bendahara bagi orang-orang miskin, mendidik anak-anak kecil, dan mengembangkan orang-orang dewasa mereka". 

Sementara Qadhi agung Abu Yusuf menyatakan dalam muqaddimah kitabnya, Al-Kharaj, yang ditujukan kepada Amir Al-Mu'minin, Harun Al-Rasyid:

"... dan sesungguhnya, Allah dengan anugerah dan rahmat serta ampunan-Nya telah menjadikan para ulul amri sebagai khalifah-Nya di muka bumi, menjadikan bagi mereka cahaya untuk menerangi rakyatnya apabila mereka kegelapan dalam suatu perkara, yaitu hak-hak dan kewajiban yang tidak transparan bagi mereka. 

Penerangan yang dilakukan seorang ulul amri adalah menegakkan hukuman, mengembalikan hak kepada pemiliknya secara tegas dan transparan dengan melestarikan pola kepemimpinan para pendahulu yang saleh sebagai pola yang sangat dijunjung tinggi, karena melestarikan pola tersebut merupakan kebaikan yang selalu hidup dan tidak pernah mati. Adapun jika ia menunjuk orang yang tidak dapat dipercaya dan bukan ahli kebaikan sebagai pembantunya, ia akan menimbulkan bencana umum". 

Itulah di antara beberapa uraian mengenai pemimpin adil dari tokoh-tokoh Muslim terkemuka seperti Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf. Semoga para pemimpin di negeri ini dapat selalu menjalankan dengan baik amanah yang mereka emban dari rakyat demi terciptanya kehidupan yang berkeadilan, aman dan damai sehingga negeri ini dapat menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafuur
 
Selengkapnya