Kaum Ibu, Para Perempuan Perawat Alam Semesta

Kaum Ibu, Para Perempuan Perawat Alam Semesta

Alam selalu menawarkan kekayaannya untuk dapat mencukupi segala kebutuhan hidup manusia. Namun sayangnya, tidak banyak insan yang peduli untuk menjaga kelestariannya agar ia selalu dapat bermanfaat bagi semuanya. Merekalah, para ibu dan kaum perempuan, yang tahu benar bahwa selain harus dimanfaatkan, alam juga harus terus dijaga dan dirawat. Bukan semata demi alam itu sendiri, melainkan juga bagi kepentingan manusia dan makhluk hidup lainnya. 

wanita dan alam
via pixabay

Perempuan Perkasa dari Tasikmalaya

 
Menjelang akhir tahun 80 an, seorang ibu di Tasikmalaya, Jawa Barat mencatatkan namanya dalam sejarah dengan cara yang spektakuler. Dia, seorang diri, memapras bukit cadas liat yang panjangnya 45 meter. Dengan bergelantungan di tali rotan, ia memahat bukit cadas di timur laut Gunung Galunggung. la hanya bersenjatakan cangkul dan sebuah linggis. Keinginannya sederhana, ia ingin membuat saluran yang dapat mengalirkan air dari Sungai Cilutung ke kampungnya. Keinginan itu terkabul setelah Mak Eroh, demikian nama perempuan tua itu, dengan saraf baja bekerja tanpa putus selama 47 hari. 

Mak Eroh atau Nyi Eroh adalah seorang perempuan petani dari kampung Pasirkadu, Desa Santanamekar, Cisayong, Tasikmalaya. Namanya terkenal karena keberhasilannya memapras bukit cadas di lereng gunung Galunggung demi mengalirkan air menuju desanya yang kekeringan. Bahkan setelah proyek itu tuntas, Mak Eroh meneruskan kembali pekerjaannya. Kali ini jauh lebih gila. la berambisi membuat saluran air sepanjang 4,5 km mengitari delapan bukit yang berkemiringan 60-90 derajat. 

Kali ini, pekerjaannya dibantu oleh sejumlah warga desa. Mak Eroh pun mampu menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu 2,5 tahun. Hasilnya jelas, lahan pertanian di desanya, Santana Mekar, terairi sepanjang tahun. Dua desa tetangga pun ikut mendapat berkah. Kedua desa itu akhirnya terbebas dari kelangkaan air berkat jerih payah dari Mak Eroh. 

Berita tentang kegigihan Mak Eroh berembus hingga ke Jakarta. Pada 1988, Mak Eroh mendapatkan penghargaan lingkungan hidup nasional Kalpataru dari pemerintah sebagai perintis ­lingkungan. Setahun kemudian, Mak Eroh juga mendapat penghargaan lingkungan dari PBB. Mak Eroh sering diundang pada acara peringatan Hari Lingkungan Hidup dan Hari Kartini yang diselenggarakan oleh pemerintah. Tidak hanya itu saja, sebuah tugu juga dibangun di alun-alun Tasikmalaya untuk memperingati jasa Mak Eroh dan tokoh lainnya yakni Abdul Rozak, yang juga berjasa melakukan hal serupa.

tugu mak Eroh
via pikiran-rakyat.com

Mak Eroh adalah sebuah tamsil yang dapat kita kedepankan setiap kali kita hendak berbicara tentang bagaimana perempuan memandang, memahami, dan memperlakukan alam semesta. Bagi Mak Eroh, agar alam dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia maka hamparan keajaiban alam itu harus digarap. Akan tetapi, Mak Eroh menyadari bahwa demi kemanusiaan pula, tepatnya demi generasi mendatang, pemanfaatan alam tak dapat dilakukan sekenanya. Ada tapal batas yang tak dapat seenaknya dilanggar. jika tapal itu dilanggar, keseimbangan alam semesta terancam goncang. Jika itu terjadi, manusia pula yang akan menuai ulahnya. 

Akrab dengan Semesta 


Berdasarkan beberapa kasus yang ditemukan melalui penelitian di berbagai tempat di belahan dunia, kaum perempuan memang seringkali terbukti menjadi pihak yang memahami benar bagaimana cara memanfaatkan alam. Merekalah, para ibu dan perempuan, yang tahu benar bahwa selain dimanfaatkan, alam harus terus dijaga dan dirawat.

Ada banyak sebab yang membuat para ibu atau kaum perempuan mempunyai kepekaan ekologis. Secara empirik, terutama di unit-unit kebudayaan yang belum tersentuh oleh modernisasi, perempuan memang terkondisikan untuk selalu berdekatan dan mengakrabi alam semesta dibandingkan kaum laki-laki. 

Dalam sejumlah kasus di India, para ibu yang tinggal di pinggir hutan harus rela ditinggal pergi suaminya ke kota untuk mencari nafkah. Daripada tidak ada kegiatan, para ibu ini kemudian mencari kayu bakar di hutan. Mereka juga memetik sayuran dan mengambil air bersih dari mata air yang ada di hutan. Itulah sebabnya, di India pernah muncul gerakan Chipko. Gerakan yang dikomandani oleh Mrita Devi ini sadar bahwa jika hutan terus digunduli, mereka akan terkena imbasnya secara langsung. Sumber penghidupan mereka juga akan punah. 

Jadi, tidak mengherankan jika Mak Eroh dengan keteguhan hati nekat memapras bukit cadas meskipun seorang diri. Sebagai seorang ibu, ia tahu betul susahnya mendapatkan satu ember air bersih untuk memasak dan kebutuhan rumah tangga lainnya. 

Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa peran ibu tak boleh dianggap ringan. Dalam posisinya yang dikondisikan untuk lebih banyak di dapur, para ibu berhasil membangun jalinan komunikasi dua arah antara dirinya dengan alam semesta. Manfaatnya sangat jelas. Selain untuk masa sekarang juga untuk ribuan tahun ke depan, suatu masa yang diidamkan oleh generasi selanjutnya. Sumber: Nagara.

Selengkapnya
Biografi S. K. Trimurti, Wartawan Perempuan Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Biografi S. K. Trimurti, Wartawan Perempuan Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Ketika banyak perempuan Indonesia belum pandai membaca dan menulis, S. K. Trimurti sudah keluar-masuk bui karena aktivitas politiknya. Soerastri Karma Trimurti atau lebih dikenal sebagai S. K. Trimuti atau S.K. Trimoerti adalah seorang wartawan, penulis dan guru yang namanya tercatat dalam lembaran sejarah negeri ini. Sosok wanita cerdas ini juga turut mengambil bagian dalam gerakan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Kolonial Belanda.

S.K. Trimurti

S. K. Trimurti lahir pada 11 Mei 1912 di Ngemplak Sawahan, Boyolali, Jawa Tengah dengan nama Raden Roro Soerastri. Karma adalah salah satu nama samarannya kala mengirimkan tulisan-tulisannya ke media sekaligus untuk mengelabui pemerintah kolonial Belanda. Ayahnya, Raden Ngabehi Salim Bandjaransari Mangunsuromo adalah seorang pegawai pamong praja, sedangkan ibunya adalah Raden Ayu Saparinten binti Mangunbisomo. 

Pada usia 14 tahun, Soerastri menyelesaikan pendidikan dasar lima tahun di Sekolah goebernemen. Anak keempat dari delapan bersaudara ini lalu melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Putri Surakarta selama empat tahun. Setelah lulus, ia menjadi bulponderwijzeres (guru bantu) di almamaternya di Solo. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke Banyumas mengikuti ayahnya yang ditugaskan di kota tersebut. Di sana, ia mengajar di Sekolah Kepandaian putri pula. Selain mengajar, ia juga gemar menulis cerita pendek. Oleh karena hobinya tersebut, Soerastri tertarik pula menjadi wartawan. 

Sejak saat itu, ia sering mengirim kabar dan kisah perjuangan ke berbagai koran dan majalah. Akhirnya, ia tak bisa membendung lagi keinginannya untuk menjadi wartawan. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan sampai berhasil menjadi pemimpin redaksi Majalah Soeara Marhaen yang terbit di Yogyakarta pada pertengahan 1930-an. 

Selain menjadi wartawan, Soerastri juga berminat dalam dunia politik. Ia mengikuti rapat-rapat Boedi Oetomo, sebuah organisasi "nasionalisme jawa" yang didirikan oleh dr. Soetomo. Ia pun rajin mendengarkan pidato-pidato politik Bung Karno. Kontak dengan Bung Karno sendiri bermula pada paruh kedua 1930-an di Jakarta. Soekarno yang kala itu memimpin koran Fikiran Ra'jat di Bandung meminta kepada S. K. Trimurti untuk menyumbangkan tulisannya. Namun Trimurti menjawab "saya nggak bisa", karena ia merasa gamang dengan penulis-penulis di Fikiran Ra'jat yang kala itu diisi oleh tokoh-tokoh beken. 

Meski begitu, Bung Karno terus memaksanya dengan mengatakan "harus bisa". Pada akhirnya, Trimurti pun menurut dan kemudian secara intensif ikut menulis di koran oposisi tersebut. Ia turut gencar mengkritik berbagai ketidakadilan sistem kolonialisme seraya menyerukan tekad kemerdekaan. Tulisan-tulisannya itu sering membuat pemerintah kolonial Belanda, juga kemudian pemerintah pendudukan Jepang murka. 

Akibatnya, Trimurti pun sering keluar-masuk penjara. Pada tahun 1939, ia dihukum enam bulan penjara di Penjara Wanita Bulu, Semarang. Setelah bebas, ia masuk lagi ke hotel prodeo Ambarawa pada tahun 1941, dan selanjutnya dipindahkan ke Garut. Pada zaman pendudukan Jepang, ia kembali menghuni bui kempetai, polisi rahasia Jepang. Saat ditahan, ia sedang mengandung janin hasil pernikahannya dengan Mohammad Ibnu Sajuti alias Sayuti Melik, yang juga seorang wartawan pejuang. 

Menjelang proklamasi kemerdekaan, dinamika politik yang berlangsung cepat menarik pasangan Sajuti Melik dan S. K. Trimurti untuk datang ke Jakarta. Keduanya menjadi anggota kelompok penekan yang mendesak agar Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya. Trimurti juga sempat aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, yaitu badan legislatif yang dibentuk pada 18 Agustus 1945 dimana salah satu tugasnya antara lain menetapkan Ir. Soekarno sebagai presiden dan mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada masa awal kemerdekaan, Trimurti juga aktif sebagai pengurus Partai Buruh Indonesia. Ia bahkan sempat dipercaya menjadi Menteri Perburuhan dalam Kabinet Perdana Menteri (PM) Amir Sjarifuddin pada 3 Juli 1947 - 28 Januari 1948. Selanjutnya, ia kembali dipercaya sebagai menteri dalam Kabinet PM Wilopo pada periode 29 April 1952 - 30 Juli 1953.

Ketika pemerintahan kembali ke bentuk presidensial yang ditandai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Bung Karno menawari Trimurti sebagai menteri sosial, namun ia menolaknya. Ia lebih memilih menjadi anggota di Dewan Nasional. Sejumlah aktivitas pun terus digelutinya, antara lain menjadi anggota MPRS, dan pengurus Dewan Harian Nasional Angkatan 1945.

Pada zaman Orde Baru, Trimurti sempat aktif menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mawas Diri. Terakhir, ia terjun kembali di Partai Demokrasi Indonesia ketika Megawati, putri Bung Karno memimpin partai tersebut. Nama Trimurti juga dikenal sebagai tokoh yang menentang pemerintahan Presiden Soeharto. Bersama tokoh-tokoh yang tidak sependapat dengan penguasa Orde Baru itu, mereka membentuk petisi 50.

Perempuan yang juga dekat dengan Presiden Soekarno ini meninggal dunia di Jakarta, 20 Mei 2008 pada usia 96 tahun. S. K. Trimurti dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. (diolah dari berbagai sumber

Selengkapnya
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, Sang Pencetus Deklarasi Djuanda

Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, Sang Pencetus Deklarasi Djuanda

Tahukah anda sejak kapan Indonesia disebut sebagai negara kepulauan?. Atau tahukah anda apakah itu yang disebut "Deklarasi Djuanda"?. Ya, Deklarasi Djuanda adalah suatu pernyataan (deklarasi) yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi ini dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu yaitu Ir. H. Djuanda Kartawidjaja.

Ir. Djuanda

Ir. H. Raden Djoeanda Kartawidjaja atau yang lebih dikenal dengan nama Djuanda adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 (sekaligus terakhir) pada masa Demokrasi Liberal yang menjabat dari sejak 9 April tahun 1957 hingga 9 Juli tahun 1959. Djuanda lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 14 Januari 1911 dari pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat. Ayahnya adalah seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS).

Setelah menamatkan pendidikan sekolah dasarnya di HIS, Djuanda kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS) dan tamat pada tahun 1924. Selanjutnya, ayahnya memasukkan Djuanda ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung) dan lulus pada tahun 1929. Setelahnya, ia melanjutkan pendidikannya ke jurusan teknik sipil di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) --sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus pada tahun 1933.

Djuanda adalah seorang abdi negara dan abdi masyarakat yang patut diteladani. Pengabdiannya kepada bangsa dan negara itulah yang kemudian mengantarkannya menjadi seorang perdana menteri kala ditunjuk oleh Bung Karno pada tahun 1957. Selain pernah menjabat sebagai perdana menteri terakhir pada masa Demokrasi Liberal, Djuanda juga pernah beberapa kali menjabat sebagai menteri pada masa era Orde Lama, yaitu sebagai Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. 

Seperti yang telah disebutkan di atas, Djuanda merupakan tokoh yang berperan besar dalam penetapan batas laut wilayah Indonesia. Lewat Deklarasi Djuanda, ia mengumumkan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Adapun Isi dari Deklarasi Juanda menyatakan:

1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri. 

2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan. 

3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:
  1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat. 
  2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan. 
  3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Dalam perjalanannya, Deklarasi Djuanda ini tidak serta merta diterima oleh negara-negara lain. Bahkan setelah diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, deklarasi ini masih saja mendapat tentangan dari beberapa negara. Barulah pada tahun 1982, deklarasi ini akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya, deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Untuk memperingati peristiwa dicetuskannya Deklarasi Djuanda oleh Ir. H. Djuanda Kartawijaya, maka pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember diperingati sebagai Hari Nusantara. Penetapan ini kemudian dipertegas lagi oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember kemudian resmi diperingati sebagai hari Nusantara. 

Sedangkan tokoh pencetusnya, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, juga mendapatkan apresiasi tinggi dari pemerintah. Namanya banyak diabadikan di sejumlah tempat seperti Bandar Udara Djuanda di Surabaya, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda di Bandung, nama jalan, nama stasiun Kereta Api dan sebagainya. Bahkan pada akhir tahun 2016 lalu, Pemerintah Republik Indonesia juga mengabadikan Djuanda di pecahan uang kertas rupiah dengan nilai Rp. 50.000.

Ir. H. Djoeanda Kartawidjaja wafat di Jakarta, 7 November 1963 pada usia 52 tahun. Makamnya berada Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Atas jasa-jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja juga ditetapkan sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963. (wikipedia).

Selengkapnya
Profil Singkat Letjen TNI (Purn.) Mochamad Jasin, Jenderal TNI Asal Aceh

Profil Singkat Letjen TNI (Purn.) Mochamad Jasin, Jenderal TNI Asal Aceh

Letjen TNI (Purn.) Mochamad Jasin adalah salah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ABRI pada tahun 1970-an. Saat menjabat sebagai Panglima Kodam I/ Iskandar Muda (1960-1963), ia juga merupakan salah seorang tokoh penting yang berperan besar dalam menciptakan perdamaian di Aceh ketika berhasil menyelesaikan pemberontakan DI/ TII di Aceh melalui jalan damai. 

Profil Singkat Letjen TNI (Purn.) Mochamad Jasin, Jenderal TNI Asal Aceh

Mochamad Jasin lahir di Sabang, Pulau Weh, Aceh pada tanggal 22 Juli 1921 dari ibu berdarah Minangkabau dan ayah, Mochamad Iyas, yang berdarah Jawa. Sebelum masuk dunia militer, awalnya Mochamad Jasin adalah seorang guru. Namun saat revolusi fisik kemerdekaan, Jasin masuk PETA dan bermetamorfosis menjadi seorang tentara. Meski begitu, karakternya sebagai guru tidak hilang. Ia pernah menjadi pengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD/ kini Seskoad) yang merupakan lembaga pendidikan tinggi di Angkatan Darat. Di antara murid-muridnya saat itu antara lain yaitu Ahmad Yani dan Soeharto (Presiden kedua RI). 

Nama Mochamad Jasin mulai mencuat saat menjabat sebagai Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh pada 1960-1963. Ia berperan besar dalam memadamkan pemberontakan Darul Islam pimpinan Daud Beureuh secara damai. Saat itu, Mantan Gubernur militer Aceh, Daud Beureueh merasa kecewa dengan berbagai kebijakan pusat terhadap Aceh sehingga ia memproklamasikan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Daud Beureueh bersama kelompoknya juga melakukan gerakan serentak untuk menguasai kota-kota yang ada di Aceh. 

Pemerintah pun bergerak cepat untuk meredam pemberontakan ini. Ketika kelompok separatis ini semakin terdesak oleh pasukan TNI, Mochamad Jasin sebagai Panglima Kodam Iskandar Muda kemudian membujuk Daud Beureueh untuk turun gunung dan mengadakan musyawarah bersama. Usahanya pun membuahkan hasil. Lewat jalan damai, Mochamad Jasin berhasil membujuk sang mantan gubernur militer itu untuk duduk bersama tanpa satu pun peluru meletus. Mochamad Jasin pun akhirnya dapat merangkul kembali Daud Beureueh untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. 

Atas keberhasilannya, Mochamad Jasin kemudian ditugaskan untuk menumpas PKI di Jawa Timur dengan diangkat sebagai Panglima Brawijaya pada tahun 1967. Lewat Operasi Trisula, dalam tiga tahun, Jasin sukses membersihkan unsur komunis di Jawa Timur. Selesai bertugas di Jawa Timur, Jasin kemudian kembali ditarik ke Jakarta. Jabatan terakhirnya di TNI adalah sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada tahun 1970. 

Mochamad Jasin dikenal sebagai jenderal yang jujur, sederhana, disiplin, dan berpendirian sangat kukuh. Bersama beberapa tokoh lainnya, ia pernah menandatangani dokumen yang berisi kritik terhadap Presiden Soeharto yang dianggap telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai presiden. Dokumen yang ditandangani di Jakarta pada tanggal 5 Mei 1980 ini kemudian dikenal sebagai Petisi 50. Sebagai salah seorang anggota Petisi 50, ia dikenal paling vokal dalam mengkritik kebijakan Soeharto pada masa Orde Baru yang dianggapnya telah banyak menyimpang. 

Mochamad Jasin dikarunia umur panjang. Suami dari Siti Abesanti ini wafat pada 7 April 2013 dalam usia lanjut 91 tahun. Tempat peristirahatan terakhirnya berada di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan. (diolah dari berbagai sumber).
 
Selengkapnya
Prof. Dr. Emil Salim, Bapak Lingkungan Hidup Indonesia

Prof. Dr. Emil Salim, Bapak Lingkungan Hidup Indonesia

Prof. Dr. Emil Salim lahir di Lahat, Sumatera Selatan pada 8 Juni 1930. Ia merupakan putra dari pasangan Baay Salim dan Siti Syahzinan dari Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Emil Salim adalah seorang ahli ekonomi, cendekiawan, pengajar, politikus, dan tokoh lingkungan hidup Indonesia. Tidak hanya di lingkup nasional, Emil Salim juga merupakan salah seorang tokoh di antara sedikit tokoh Indonesia yang berperan dalam dunia internasional. 

Prof. Emil Salim
via jatimtimes.com

Emil Salim merupakan tokoh yang dikenal sangat peduli pada persoalan lingkungan hidup. Pada tahun 2012, World Wide Fund (WWF), suatu lembaga konservasi mandiri terbesar dan sangat berpengalaman di dunia menganugerahkan penghargaan The Leader for the Living Planet Award kepada Emil Salim atas dedikasi, kepemimpinan, dan kontribusinya pada upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan dunia. 

"The Leader for the Living Planet Award" adalah penghargaan yang diberikan WWF bagi individu di dunia yang berkontribusi secara signifikan terhadap pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan. Selain menerima penghargaan tersebut, Emil Salim juga merupakan penerima anugerah Blue Planet Prize pada tahun 2006 dari The Asahi Glass Foundation. 

Sebelumnya, pada tahun 1994, Emil Salim beserta beberapa koleganya seperti Koesnadi Hardjasoemantri, Ismid Hadad, Erna Witoelar, M.S. Kismadi, dan Nono Anwar Makarim mendirikan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Yayasan KEHATI), sebuah organisasi non-pemerintah  yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan. Selain itu, pada tahun 1996, ia juga menjadi salah satu pendiri Yayasan WWF Indonesia. 

Emil Salim menjadi tokoh kunci dalam KTT Bumi (Earth Summit) Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang menjadi fondasi lahirnya deklarasi politis mengenai pembangunan dan lingkungan hidup. Emil Salim juga berperan penting dalam penentuan kebijakan pemerintah RI tentang mitigasi perubahan iklim global dalam berbagai forum internasional mengenai kerangka kerja perubahan iklim (UNFCCC) dan keanekaragaman hayati (CBD). 

Dalam lingkungan pemerintahan, Emil Salim adalah menteri lingkungan hidup Indonesia yang pertama. Bahkan ia merupakan salah seorang putra bangsa yang paling lama mengabdi sebagai menteri dan beberapa jabatan lainnya. Jabatan menteri lingkungan hidup pertama kali ia pangku sejak tahun 1978 hingga tahun 1993. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara, merangkap Wakil Kepala Bappenas pada 1971-1973, selanjutnya sebagai Menteri Perhubungan pada 1973-1978. 

Ketika menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978-1983), Emil Salim pernah mencetuskan gagasan kepada Tjokropranolo (Gubernur DKI saat itu) agar isu lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. Mereka kemudian melakukan pertemuan bersama organisasi non-pemerintah dari berbagai daerah di Indonesia yang dikemudian hari menjadi cikal bakal dari berdirinya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Pada tahun 2007 hingga 2010, Emil Salim juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2007 hingga 2010. Selanjutnya pada tahun 2010 hingga 2014, ia dilantik kembali untuk periode kedua sekaligus menjabat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Presiden, merangkap Anggota Bidang Ekonomi dan Lingkungan Hidup. Atas pengabdian dan perhatian besarnya pada lingkungan, Emil Salim juga dijuluki sebagai Bapak Lingkungan Hidup Indonesia.

Selengkapnya
Profil Singkat Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi Indonesia

Profil Singkat Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi Indonesia

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah salah seorang Pahlawan Revolusi Indonesia yang lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Juni 1922. Ia merupakan putra dari pasangan Sarjo (ayah) dan Murtini (ibu). Ayahnya bekerja di sebuah pabrik gula yang dimiliki oleh orang Belanda. Pada tahun 1927, Ahmad Yani bersama keluarganya pindah ke Batavia karena ayahnya dipindahkan bekerja disana.

Jenderal Ahmad Yani

Ahmad Yani mengawali pendidikan formalnya di HIS (setingkat sekolah dasar) di Bogor dan selesai pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke MULO (setingkat sekolah menengah pertama) kelas B di Bogor. Setelah tamat dari MULO (1938), Ahmad Yani melanjutkan sekolah di AMS (setingkat sekolah menengah atas) bagian B di Jakarta. Di sekolah ini, ia hanya sampai di kelas dua karena pada tahun 1940 ia mengikuti pendidikan militer Pemerintah Hindia Belanda.

Ahmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang yang dilanjutkan secara lebih intensif di Bogor. Dari sinilah Ahmad Yani mengawali karier dalam militernya dengan pangkat Sersan. Akan tetapi, pendidikannya ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Ahmad Yani dan keluarganya kemudian memutuskan untuk pindah kembali ke Jawa Tengah. 

Pada masa pendudukan Jepang (1942), Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang, Jawa Tengah. Selanjutnya pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihannya, Ahmad Yani mengikuti pelatihan sebagai komandan peleton PETA di Bogor. Setelah pelatihan ini selesai, ia dikirim kembali ke Magelang dan bertugas sebagai instruktur. 

Pada masa perang kemerdekaan, Ahmad Yani berhasil menyita senjata tentara Jepang di Magelang. Ketika terbentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan TKR Purwokerto. Selama bulan-bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, Ahmad Yani membentuk batalion dan berhasil memenangkan pertempuran melawan Inggris di Magelang. 

Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I, pasukan Ahmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Oleh karenanya, ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Ahmad Yani diberikan kepercayaan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. 

Ahmad Yani juga berperan penting ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta melawan Belanda. Sebelum dilakukan serangan, pasukan yang dipimpin Ahmad Yani melakukan serangan gerilya sehingga berhasil mengalihkan perhatian tentara Belanda dan memudahkan jalan bagi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. 

Setelah pengakuan kedaulatan, Ahmad Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah pada Desember 1949. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Untuk menghadapi kelompok pemberontakan ini, Ahmad Yani membentuk pasukan khusus yang diberi nama The Banteng Raiders. Pasukan ini mendapatkan pelatihan khusus sehingga pasukan DI/TII berhasil dikalahkan. Setelah menumpas DI/TII, Ahmad Yani kembali ke Staf Angkatan Darat. 

Pada bulan Desember 1955, Ahmad Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk bersekolah di Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat selama 9 bulan. Pada tahun 1956, ia kembali mengikuti pendidikan selama dua bulan di Spesial Warfare Course di Inggris.

Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Ahmad Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta yang dipimpin oleh A. H. Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat ini, Ahmad Yani kemudian menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat. 

Saat terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat pada tahun 1958, Ahmad Yani yang pada waktu itu masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan terhadap pemberontakan PRRI. Pasukan Ahmad Yani berhasil menumpas pemberontakan tersebut dengan merebut kembali Padang dan Bukittinggi. 

Atas keberhasilannya, pada tanggal 1 September 1962, Ahmad Yani dipromosikan menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Kemudian pada tanggal 13 November 1963, dengan pangkat Letnan Jenderal, ia diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jenderal A. H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab). 

Ahmad Yani merupakan seorang jenderal yang sangat dekat dan setia kepada Presiden Soekarno. Saking cinta dan setianya, ia pernah berkata, "Siapa yang berani menginjak bayang-bayang Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966), Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya". Bahkan berkembang isu bahwa Ahmad Yani telah dipersiapkan oleh Presiden Soekarno sebagai calon penggantinya menjadi presiden RI. 

Meski dekat dengan Bung Karno, Ahmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari Soekarno. Tidak mengherankan, Ahmad Yani memang dikenal sebagai seorang jenderal yang sangat berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itulah ia menjadi salah satu target penculikan PKI ketika terjadi peristiwa G30S/PKI 1965.

Ahmad Yani ditembak didepan kamar tidurnya oleh para penculik pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Jasadnya ditemukan beberapa hari kemudian pada tanggal 4 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazah Ahmad Yani kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965, Ahmad Yani dinyatakan gugur sebagai Pahlawan Revolusi dan dinaikkan pangkatnya dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal Anumerta.

Selengkapnya
Slamet Riyadi, Pahlawan Muda Asal Solo Yang Gagah Berani

Slamet Riyadi, Pahlawan Muda Asal Solo Yang Gagah Berani

Bagi warga kota Solo, mendengar nama Slamet Riyadi mungkin tidak asing lagi. Ia adalah pahlawan nasional asal kota Surakarta (Solo) yang gagah berani, rela berkorban jiwa dan raga hingga gugur pada usia muda (23 tahun) demi memperjuangan keutuhan kedaulatan NKRI. Meski begitu, harum namanya masih dikenang dan diabadikan, bahkan patungnya yang berada di jalan yang juga diambil dari namanya (Jl. Slamet Riyadi) kini menjadi salah satu landmark terkenal di Kota Solo.

pahlawan Slamet Riyadi
patung Slamet Riyadi via shutterstock

Slamet Riyadi lahir di Donokusuman, Surakarta, pada tanggal 28 Mei 1926. Ia adalah putra kedua dari pasangan Raden Ngabehi Idris Prawiropralebdo, seorang perwira anggota legium Kasunanan Surakarta dan Soetati, seorang penjual buah. Pada mulanya, Slamet Riyadi terlahir dengan nama Soekamto. Namun sebagaimana lazimnya dalam tradisi jawa, orang tuanya kemudian mengganti namanya menjadi Slamet karena sewaktu kecil ia sering sakit-sakitan. 

Sebagai putra seorang prajurit, sejak kecil Slamet Riyadi sudah diajarkan disiplin oleh ayahnya. Slamet Riyadi menempuh pendidikan dasar di HIS kemudian melanjutkan MULO Afd B di Mangkunegaran. Ketika bersekolah di sekolah menengah ini, ia memperoleh nama belakang Riyadi karena banyaknya siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut. 

Sewaktu Jepang menduduki Indonesia, Slamet Riyadi melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dan lulus dengan menyandang predikat sebagai lulusan terbaik. Setelah lulus, kemudian ia bekerja sebagai navigator pada kapal laut milik Jepang. Ketika sedang tidak bekerja di laut, ia tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Pada saat itu, ia juga sering menyempatkan diri untuk bertemu dengan para pejuang bawah tanah. 

Setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi bersama rekannya sesama pelaut berhasil melarikan kapal kayu Jepang dan mengambil sejumlah persenjataan. Slamet Riyadi kemudian pulang ke Surakarta dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana. Ia menggalang kekuatan dari para pemuda eks PETA, Heiho, dan Kaigun sehingga terbentuk pasukan setingkat batalion. Salah satu keberhasilan pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi yaitu saat mereka berhasil merebut dan melucuti senjata tentara Jepang. 

Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia lewat Agresi Militernya, Slamet Riyadi pun mengkampanyekan perang gerilya melawan Belanda. Oleh karena itulah ia mendapatkan kepercayaan untuk memimpin Resimen 26 di Surakarta. Saat meletus Agresi Militer Belanda I, Slamet Riyadi memimpin pasukan di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang. Ia juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu. Selanjutnya pada bulan September 1948, Slamet Riyadi mendapatkan kepercayaan untuk memimpin empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. 

Ketika Belanda melancarkan serangan Agresi Militer keduanya ke Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibu kota negara, pasukan yang dipimpin oleh Slamet Riyadi melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten. Dengan menerapkan siasat "berpencar dan menaklukan", Slamet Riyadi berhasil menghalau tentara Belanda dalam waktu empat hari (7-11 Agustus 1949). Meski akhirnya tentara Belanda berhasil memasuki kota Solo, serangan pasukan Slamet Riyadi yang dilakukan secara frontal dan berlangsung siang malam telah mengakibatkan kerugian besar bagi Belanda. 

Ketika terjadi gencatan senjata yang disusul dengan penyerahan Solo ke pangkuan Indonesia, Panglima Divisi Belanda di Jawa, Mayor Jenderal Frits Mollinger dan Komandan pasukan Belanda di Solo, Letkol Van Ohl terkejut saat berhadapan dengan Slamet Riyadi. Keduanya tidak mengira jika komandan gerilyawan yang telah memporak-porandakan pasukannya itu ternyata masih muda belia, bahkan belum genap berumur 24 tahun.

Slamet Riyadi 2
Mollinger menyalami Slamet Riyadi via kaskus.co.id

Tugas selanjutnya, pasukan Brigade V/Senopati yang dipimpin oleh Slamet Riyadi kemudian diberangkatkan ke Jawa Barat untuk mengejar sisa-sisa gerombolan APRA di Bandung. Ketika meletus pemberontakan RMS yang dipimpin oleh Dr. C.S.R Soumokil, pasukan Slamet Riyadi sedang sibuk melaksanakan tugas lanjutan untuk menumpas pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Pemerintah Indonesia pun mencoba mengupayakan misi damai dengan mengutus Dr. Leimena untuk menyelesaikan pemberontakan RMS. 

Setelah upaya penyelesaian damai dengan RMS menemui jalan buntu, maka dibentuklah operasi militer gabungan dengan nama Komando Pasukan Maluku Selatan (KOPASMALSEL) di bawah pimpinan Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Komando Tentara dan Teritorium Indonesia Timur yang bermarkas di Makassar. Sedangkan Komando Operasi, ditetapkan Letnan Kolonel Ign. Slamet Riyadi, Komandan Brigade V/Panembahan Senopati dari Solo, Jawa Tengah. 

Bersama Kolonel Alex E. Kawilarang, Slamet Riyadi memimpin tiga serangan; pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Slamet Riyadi berhasil merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau dengan perjalanan memakan waktu selama sebulan. Selama dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Slamet Riyadi hingga sering kali membuat mereka terjepit.

Setibanya di Benteng New Victoria, pasukan Slamet Riyadi langsung diserang oleh pasukan RMS. Ketika ia sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, selongsong peluru senjata mesin menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal, Rijadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Slamet Riyadi gugur pada malam itu, dan pertempuran juga berakhir pada hari yang sama. Slamet Riyadi dimakamkan di Ambon.

Atas jasa-jasa dan perjuangannya, pemerintah Indonesia menganugerahi beberapa tanda kehormatan secara anumerta pada tahun 1961. Slamet Riyadi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 2007. Selain itu, Pemerintah Kota Surakarta juga membangun monumen patung Slamet Riyadi di tengah persimpangan jalan Kelurahan Gladak, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Namanya juga kemudian diabadikan sebagai nama jalan di lokasi patung tersebut dengan nama Jalan Slamet Riyadi.

Selengkapnya
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Perannya dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Perannya dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI

Sultan Hamengkubuwono IX
via shutterstock 

Memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Dorojatun, Sultan Hamengku Buwono IX lahir pada Sabtu 12 April 1912 di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 Yogyakarta dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Hamengku Buwono IX memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930 -an, Sang Sultan muda juga pernah merantau ke negeri kincir angin untuk menimba ilmu dengan kuliah di Universiteit Leiden, Belanda.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, keadaan perekonomian saat itu sangatlah buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri pun rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri menjadi terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di wilayah Yogyakarta. 

Sebagai Raja sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal diam melihat sulitnya keadaan pada masa itu. Untuk menjamin agar roda pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengku Buwono IX pun menyumbangkan kekayaannya sekitar enam juta Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan atau memenuhi kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya. 

Setelah berlangsungnya perundingan Renville pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali ke Indonesia untuk melakukan agresi miiternya yang ke - 2. Sasaran penyerbuan mereka adalah ibukota Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya ditangkap Belanda dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. 

Sementara Sultan Hamengku Buwono IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa sehingga dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, Belanda pada waktu itu juga sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat. 

Meski begitu, Sultan menolak ketika Belanda mengajaknya untuk bekerja sama dengan mereka. Untuk itu, Sultan Hamengku Buwono IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh wilayah Yogyakarta. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunduran diri Sultan ini kemudian juga diikuti oleh Sri Paku Alam di kadipaten Pakualaman. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu, langkah ini diambil agar Sultan tidak dapat diperalat untuk membantu musuh (Belanda). 

Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono IX secara diam-diam membantu perjuangan para pejuang RI dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI, dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton, Sultan juga menyediakan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI.

Pada bulan Februari 1949, Sultan mencoba menghubungi Panglima Besar Sudirman lewat bantuan seorang kurir. Sultan meminta persetujuan Panglima Sudirman untuk melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapatkan persetujuannya, Sultan langsung menghubungi Letnan Kolonel Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Pada akhirnya, sesuai dengan hasil perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama proses penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu pun dilaksanakannya dengan baik.

Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat). Sultan Hamengku Buwono IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.

Sepanjang hayatnya, Sultan Hamengku Buwono IX telah banyak mengabdikan dirinya demi kedaulatan bangsa dan negaranya. Selain ikut berjuang pada masa kemerdekaan, Sultan juga pernah mengemban amanah sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir hingga Kabinet Hatta I (1946-1949), sebagai Menteri Pertahanan pada masa kabinet Hatta II hingga masa RIS (1949-1950), menjabat Wakil Perdana Menteri pada masa Kabinet Natsir (1950 - 1951), bahkan dipercaya menjabat sebagai Wakil Presiden RI yang kedua (1973-1978).

Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat di Washington DC, Amerika Serikat pada 2 Oktober 1988 pada usia 76 tahun. Atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara, tokoh yang juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia ini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasar SK Presiden Repulik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990.

Selengkapnya
Kisah Sukses Perjalanan Hidup Jokowi Hingga Menjadi Presiden RI

Kisah Sukses Perjalanan Hidup Jokowi Hingga Menjadi Presiden RI

Tidak mudah memang menjadi figur seorang pemimpin, apalagi memimpin negara sebesar Indonesia. Berbagai pro dan kontra selalu mengiringi langkah Bapak Jokowi dalam menahkodai jalannya pemerintahan di negeri ini. Namun terlepas dari perbedaan pandangan politik yang ada, beliau tetap adalah seorang kepala negara yang wajib dihormati dan ditaati oleh rakyatnya. 

Sebagai motivasi dan penggugah semangat kita dalam berjuang menggapai kesuksesan, berikut ini sekelumit kisah perjalanan hidup Jokowi dari menjalani hidup sebagai orang biasa hingga berhasil menjadi sosok presiden di negeri kita tercinta ini. 

Jokowi Presiden RI
via shutterstock

Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama Jokowi lahir di Solo pada 21 Juni 1961 dari pasangan Notomihardjo dan Sujiatmi. Putra sulung dari empat bersaudara ini bukanlah berasal dari keluarga yang berkecukupan. Jokowi dibesarkan dari keluarga sederhana, bahkan dia pernah mengalami beberapa kali pindah rumah karena tempat tinggalnya digusur. Masa kecilnya dilalui dengan hidup prihatin dan besar di sekitar bantaran sungai sehingga ia mengetahui bagaimana menjadi orang miskin yang sebenarnya. 

Ayahnya, Notomihardjo adalah seorang pedagang kayu di pinggir jalan. Meski demikian, Jokowi tidak ingin menyusahkan kedua orang tuanya. Sejak duduk di sekolah dasar (SD), ia telah berupaya hidup mandiri dengan cara berdagang apa saja demi mengumpulkan rupiah demi rupiah. Ia bahkan lebih memilih untuk tetap berjalan kaki saat pergi ke Sekolah meskipun anak-anak lain pergi ke sekolah dengan menaiki sepeda. 

Berbagai pekerjaan lain seperti mengojek payung atau menjadi kuli panggul juga pernah ia lakoni untuk membiayai keperluan sekolah dan kebutuhan hidup lainnya. Hidup prihatin telah membawa Jokowi dalam suasana disiplin. Keadaan ini membuat Jokowi mampu menerjemahkan kehidupan prihatinnya melalui bahasa kemanusiaan bahwa dalam kondisi susah orang akan menghargai tindakan-tindakan manusiawi, di sinilah ia belajar untuk rendah hati. 

Saat menginjak usia 12 tahun, ia belajar untuk menekuni usaha penggergajian kayu. Latar belakang orang tuanya sebagai tukang kayu cukup membantunya dalam mengasah keahliannya. Keahlian inilah yang membawanya ingin lebih memahami lagi ilmu tentang kayu. Selepas SMA, Jokowi pun memutuskan untuk menimba ilmu di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Di perguruan tinggi ini, Jokowi dengan tekun mempelajari tentang struktur, pemanfaatan kayu, serta teknologinya. 

Setelah lulus kuliah, ia tetap menggeluti usaha penggergajian kayu. Namun dengan wawasan yang dimilikinya, Jokowi mampu mengembangkan usahanya tersebut hingga berhasil menjadi pengusaha mebel yang sukses. Kemajuan bisnis mebelnya ini tentu saja didorong oleh kerja keras dan kejujurannya dalam berbisnis. Dalam perkembangannya, produk mebelnya bahkan telah menembus pasar Eropa, Amerika, dan Timur Tengah.

Setelah sukses di dunia bisnis, Jokowi terjun ke dunia politik sebagai bentuk tanggung jawab moralnya untuk terus berkontribusi pada negara. Diawali dengan menjadi Walikota Solo pada periode 2005-2011, nama Jokowi kian melambung dalam kancah politik nasional. Pembawaannya yang sederhana, pekerja keras, serta gaya kepemimpinannya yang dekat dengan rakyat menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat luas untuk memberi dukungan kepadanya. 

Pada tahun 2012, bersama Basuki Cahaya Purnama, Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017. Namun, belum genap masa jabatannya berakhir, banyak masyarakat menginginkan Jokowi untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Berbagai hasil survey yang diadakan jelang Pemilu Presiden 2014 menempatkannya pada urutan teratas sebagai tokoh yang paling populer sebagai calon presiden. 

Pada Pilpres 2014, dengan diusung oleh PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem dan Hanura, Joko Widodo pun terpilih sebagai Presiden ke 7 Republik Indonesia untuk masa bhakti 2014-2019. Jokowi menjadi Presiden Indonesia pertama sepanjang sejarah yang bukan berasal dari latar belakang elite politik atau militer Indonesia. Pada Pilpres 2019, Joko Widodo kembali terpilih untuk kedua kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2019 hingga 2024. (dirangkum dari berbagai sumber

Selengkapnya
R. Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut, Perintis Bidang Pertambangan di Indonesia

R. Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut, Perintis Bidang Pertambangan di Indonesia

Sejarah pertambangan dan geologi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran Raden Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut. Keduanya merupakan tokoh perjuangan yang berjasa besar dalam membangun kelembagaan tambang dan geologi nasional pada masa awal kemerdekaan Indonesia. 

pahlawan pertambangan Indonesia

Raden Soenoe Soemosoesastro (lahir 5 Oktober 1913 di Klaten, Jawa Tengah) dan Arie Frederik Lasut (lahir 6 Juli 1918 di Minahasa, Sulawesi Utara), keduanya adalah sedikit dari pemuda Indonesia yang menaruh minat pada bidang geologi dan pertambangan pada masa itu. 

Pertemuan R. Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut terjadi ketika keduanya menjadi peserta Asistent Geologen Cursus (Kursus Asisten Geologi) angkatan pertama yang diselenggarakan oleh Dienst van den Mijnbouw pada tahun 1939 hingga tahun 1941. Setelahnya, keduanya kemudian diangkat menjadi pegawai Mijnbouw, Dinas Pertambangan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Jepang, Mijnbouw berganti nama menjadi Chisitsu Chosasho

Pasca kemerdekaan, tepatnya pada 28 September 1945, sekelompok pemuda yang dipelopori oleh Raden Soenoe Soemosoesastro, Arie Frederik Lasut, dan Sjamsoe M. Bahroem mengambil alih paksa kantor Chisitsu Chosasho dari pihak Jepang. Sejak saat itu, Chisitsu Chosasho kemudian berganti nama menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi yang dipimpin oleh Raden Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut. 

Selama perang kemerdekaan (Desember 1945-Desember 1949), kantor Poesat Djawatan Tambang dan Geologi sempat berpindah-pindah tempat. Untuk mengembangkan Poesat Djawatan Tambang dan Geologi, Raden Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut kemudian mendirikan Sekolah Pertambangan Geologi Tinggi (SPGT), Sekolah Pertambangan Geologi Menengah (SPGM), dan Sekolah Pertambangan Geologi Pertama (SPGP). 

Untuk menghargai jasa-jasa serta perjuangan kedua tokoh tersebut dalam memperjuangkan bidang pertambangan di Indonesia, maka pemerintah indonesia menetapkan tanggal 28 September sebagai Hari Pertambangan dan Energi. Penetapan tanggal ini diambil berdasarkan peristiwa saat para tokoh geologi dan pertambangan mengambil alih kantor jawatan dari pihak Jepang. Penetapan ini juga tersurat dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2008.

Selengkapnya
Profil Singkat Jenderal Besar A. H. Nasution

Profil Singkat Jenderal Besar A. H. Nasution

Abdul Haris Nasution (biasa disingkat A. H. Nasution) adalah sosok pahlawan nasional Indonesia yang menerima pangkat kehormatan sebagai Jenderal Besar bersama Sudirman dan Soeharto. Ia juga merupakan tokoh penentang ideologi komunisme di Nusantara sehingga namanya menjadi salah satu target penculikan oleh gerombolan G-30-S/PKI. Ia berhasil lolos dari upaya penculikan tersebut. Namun putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban dari gerakan tersebut.

Jenderal A.H. Nasution
via sorotindonesia.com

A. H. Nasution lahir pada 3 Desember 1918 di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara dari keluarga Batak Muslim. Ia merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan H. Abdul Halim Nasution (ayah) dan Zahara Lubis (ibu). Ayahnya adalah seorang pedagang tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. 

Sejak kecil, A.H Nasution dikenal memiliki kegemaran membaca cerita-cerita sejarah. Ia melahap buku-buku sejarah mulai dari kisah Nabi Muhammad SAW hingga sejarah perang kemerdekaan Belanda dan Prancis. Ia memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan tamat pada tahun 1932. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan menengahnya dan tamat pada tahun 1935. Selanjutnya, ia melanjutkan sekolahnya di sekolah guru dan lulus pada tahun 1938. Setelah lulus, ia sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang selama dua tahun. 

A. H. Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas, demikian sebutannya, dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilyanya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal berjudul Fundamentals of Geurilla Warfare. Buku tersebut telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing dan dijadikan sebagai buku wajib Akademi Militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia di West Point, Amerika Serikat.

Selain itu, A. H. Nasution juga dikenal sebagai penggagas Dwifungsi ABRI. Konsep Dwifungsi ABRI menempatkannya sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, tetapi pada saat yang sama tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer. Konsep ini disampaikannya pada tahun 1958 dan kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. 

Keterlibatannya dalam dunia militer bermula ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia pun turut serta sebagai siswanya. Selepas dari pendidikan tersebut, A. H. Nasution menjadi pembantu letnan dan ditempatkan di Surabaya. Pertempuran pertamanya terjadi pada tahun 1942 saat pasukannya melawan tentara Jepang di Suarabaya. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat pada Maret 1946. 

Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, ia mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan. Pada Februari 1948, ia ditunjuk menjadi Wakil Panglima Besar (orang kedua setelah jenderal Soedirman). Sebulan kemudian jabatan tersebut dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Pada September 1948, ia dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan PKI pimpinan Musso di Madiun. Di penghujung tahun 1949, A. H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat. 
Ketika peristiwa G30/S PKI meletus pada tahun 1965, A.H Nasution menjadi salah satu target penculikan PKI bersama beberapa jenderal lainnya. Namun ia berhasil lolos dari upaya penculikan tersebut setelah melompati jendela rumahnya. Sayangnya, ia harus kehilangan putrinya, Ade Irma Suryani. Putrinya terluka parah karena tembakan penculik dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Selain itu, seorang ajudannya yaitu Letnan Satu Pierre Andreas Tendean menjadi sasaran penculikan karena wajahnya mirip dengan A. H. Nasution.

Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Besar bintang lima. A. H. Nasution menikah dengan Johana Sunarti dan dikaruniai dua orang anak perempuan yaitu Hendrianti Saharah dan Ade Irma Suryani yang wafat ketika G30S/PKI meletus. A. H. Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. (diolah dari berbagai sumber)

Selengkapnya
Kisah Mbah Moedjair, Sang Penemu Ikan Mujair

Kisah Mbah Moedjair, Sang Penemu Ikan Mujair

Saat saya memposting artikel tentang beberapa jenis ikan budidaya, ada satu hal membuat saya penasaran yaitu ketika pada pembahasan ikan mujair. Beberapa sumber menyebutkan bahwa dahulu ikan ini ditemukan oleh pak Mujair sehingga kemudian dinamakan ikan Mujair. Awalnya, saya mengira ini semacam cerita dari mulut ke mulut yang dipercayai hingga saat ini. Namun ketika saya coba mencari tahu tentang hal ini, ternyata kisah tersebut memang benar-benar nyata dan tercatat dalam sejarah.

mbah Mudjair

Kisah Inspiratif Mbah Moedjair 

Mbah Moedjair, atau pemilik nama asli Iwan Dalauk adalah sosok yang berjasa besar dalam mengawali budidaya ikan mujair di Nusantara. Beliau adalah warga dusun Papungan, desa Kuningan, kecamatan Kanigoro, Blitar yang pertama kali menemukan dan membudidayakan ikan mujair pada zaman Hindia Belanda. Mbah Moedjair adalah putra dari pasangan Bayan Isman dan Rubiyah yang lahir pada tahun 1890 di desa Kuningan, dekat kota Blitar, Jawa Timur. Sang penemu ikan mujair ini meninggal pada September 1957 dan dimakamkan di Blitar. 

Pada mulanya, ikan mujair merupakan ikan air asin yang sengaja dikembangbiakan oleh mbah Moedjair melalui percobaan habitat. Sebelum menemukan ikan ini, awalnya mbah Moedjair diajak acara tirakatan oleh Kepala Desa Papungan pada tanggal 1 Suro di pantai Serang. Setibanya di muara sungai pantai Serang, mbah Moedjair melihat ikan unik yang memasukkan anak-anaknya ke dalam mulutnya saat bahaya mengancam. Karena penasaran, mbah Moedjair pun berniat membawa pulang ikan-ikan ini untuk dipeliharanya. Ia menggunakan kain udeng (ikat kepala) yang biasa beliau pakai untuk menangkap ikan-ikan tersebut. 

Dengan ditemani oleh 2 orang temannya, Mbah Moedjair pun membawa pulang ikan ini ke desa Papungan. Namun sayangnya, ikan-ikan tersebut mati sewaktu dimasukkan ke kolam air tawar yang berada di halaman rumahnya. Tidak heran, habitat ikan ini berasal dari air asin sehingga tidak cocok dengan air tawar. Meski begitu, mbah Moedjair tidak menyerah, ia berusaha sekuat tenaga untuk mengupayakan ikan ini agar bisa hidup di air tawar. Ia pun melakukan beberapa kali percobaan untuk membuat ikan ini mampu bertahan hidup di air tawar.  

Kabarnya, mbah Moedjair sampai harus bolak balik Papungan - Serang yang berjarak sekitar 35 km dari rumahnya. Ia rela berjalan kaki dengan melewati hutan belantara, naik turun bukit dan akses jalan yang sulit, serta memakan waktu dua hari dua malam untuk mengambil lagi spesies ikan ini dari Pantai Serang. Ia menggunakan gentong dari tanah liat untuk membawa pulang ikan-ikan ini. 

Mbah Moedjair melakukan percobaan dengan cara sedikit demi sedikit menurunkan kadar air asinnya. Ia mencampurkan air laut yang asin dengan air tawar secara terus menerus dengan tingkat konsentrasi air tawar semakin lama semakin lebih banyak dari air laut, hingga kedua jenis air yang berbeda ini dapat menyatu. Berulang kali bolak balik antara Papungan - Serang, usahanya ini akhirnya membuahkan hasil pada percobaannya yang ke 11. Empat ekor ikan jenis baru ini akhirnya mampu beradaptasi dengan habitat air tawar.

Empat ekor ikan ini kemudian beliau kembangbiakkan hingga akhirnya beranak pinak dan bisa mempunyai 3 kolam. Hasil budidayanya ini juga beliau bagikan ke tetangganya dan sebagian lagi dijual. Keberhasilannya ini kemudian terdengar pihak penguasa hingga akhirnya Pemerintah Belanda melalui Asisten Residen Kediri pun tertarik untuk mendatanginya. Asisten Residen Kediri yang merupakan seorang peneliti mengatakan bahwa ikan temuan Mbah Moedjair ini berasal dari perairan Afrika. 

Dari peristiwa inilah Asisten Residen kemudian menamai ikan ini dengan nama ikan mujair untuk menghormati jerih payah Mbah Moedjair. Masyarakat sekitar pun menyebut ikan ini dengan sebutan ikan mujair sesuai nama penemunya yakni Mbah Moedjair. Menurut harian Pedoman edisi 27 Agustus 1951, pemerintah juga mengapresiasi usaha mbah Moedjair ini dengan memberinya santunan sebesar Rp 6,- per bulan. Begitu pula pada masa pendudukan Jepang, mbah Moedjair diangkat sebagai pegawai negeri tanpa harus mendapat beban kerja.

Tidak hanya itu saja, berbagai penghargaan pun diterima Mbah Moedjair atas temuan dan hasil kerja kerasnya ini. Pada 17 Agustus 1951, Kementerian Pertanian Republik Indonesia memberikan penghargaan kepada Mbah Moedjair. Ia menerima surat tanda jasa dari Kementerian Pertanian atas jasanya sebagai penemu dan perintis perkembangan ikan mujair. Selain itu, ia juga mendapatkan penghargaan lain dari Eksekutif Comitte Indo Pasifik Fisheries Council pada 30 Juni 1954.

makam Mbah Moedjair
via kontenpedia.com

Untuk mengenang jasa-jasanya, pada tahun 1960, atas inisiatif Departemen Perikanan Indonesia, makam Mbah Moedjair pun dipindahkan ke area khusus yang difungsikan sebagai makam keluarga. Pada nisan makamnya, tertulis "MOEDJAIR, PENEMU IKAN MUDJAIR DI PANTAI SERANG TGL. 25 MARET 1936" disertai dengan gambar relief ikan mujair di bawahnya. Kini, warisan peninggalan Mbah Moedjair pun telah menjadi ikan populer dan banyak ditemukan di kolam-kolam, sungai, telaga, waduk, dan danau di seluruh Indonesia. (diolah dari berbagai sumber

Selengkapnya
H.O.S Tjokroaminoto, Guru Bagi Para Aktivis Pergerakan di Indonesia

H.O.S Tjokroaminoto, Guru Bagi Para Aktivis Pergerakan di Indonesia

Sejarah mencatat sosok bernama H.O.S Tjokroaminoto sebagai salah seorang guru bangsa, guru bagi para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia, sekaligus salah satu pelopor pergerakan di indonesia ketika menjadi pimpinan organisasi pertama di Indonesia yaitu Sarekat Islam (SI). Pada tahun 2015 lalu, sebuah film dengan judul Guru Bangsa: Tjokroaminoto juga telah dibuat dengan mengangkat sebagian kisah dari sosok besar ini. 

Cokroaminoto

Haji Oemar Said Tjokroamimoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882 dan meninggal dunia di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Terlahir dari 12 bersaudara, ayahnya bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Sementara kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro II, juga pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo pada 1882 - 1914.

Semasa kecil, ia yang akrab dipanggil Oemar Said mulai mengenyam pendidikannya di sekolah Belanda yang khusus diperuntukkan untuk orang Belanda dan para pejabat pemerintahan. Oemar Said menyelesaikan pendidikannya di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah Administrasi Pemerintahan yang dikenal sebagai pencetak para pegawai-pegawai pemerintahan kolonial Belanda di Magelang pada tahun 1902.

Setelah lulus, Oemar Said kemudian bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi selama sekitar tiga tahun. Selanjutnya, ia pindah ke Surabaya pada tahun 1906 dan memutuskan untuk menetap di sana. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan Burgerlijke Avondschool (Sekolah Teknik Mesin). Tahun berikutnya, ia kemudian bekerja sebagai seorang teknisi yang kemudian diangkat sebagai ahli kimia di pabrik gula di wilayah Rogojampi, Jawa timur. Sembari bekerja, HOS Tjokroaminoto juga rajin menulis artikel pada harian Bintang Surabaya.

Pelopor Pergerakan dan Guru Bagi Para Pemimpin Besar Indonesia

Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota", Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia lewat organisasi Sarekat Islam yang dipimpinnya. Sarekat Islam sendiri pada mulanya merupakan sebuah perkumpulan para pedagang Islam bernama Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi di kota Solo pada tahun 1905. Organisasi ini didirikan dengan tujuan menentang politik Belanda yang membiarkan banyaknya pedagang asing yang masuk ke Nusantara sehingga kemudian menguasai sendi perekonomian rakyat kala itu.

Setelah HOS Tjokroaminoto bergabung, pada tanggal 18 September 1912, SDI kemudian diubah menjadi SI (Sarekat Islam) dan HOS Tjokroaminoto diangkat sebagai ketuanya. Pusat perjuangan Sarekat Islam kemudian juga dipindahkan dari kota Solo ke kota Surabaya. Sejak saat itu, lingkup perjuangan SI yang awalnya hanya di bidang perdagangan pun sudah merambah ke panggung politik yang menghendaki persatuan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia sebagai satu bangsa.

Sebagai sosok berpengaruh, HOS Tjokroaminoto telah menjadi guru bagi para tokoh-tokoh pergerakan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan guru bagi nasionalisme dan aktivis pergerakan di Indonesia. Rumahnya menjadi kost bagi para pelajar yang melanjutkan sekolah di Surabaya. Di antara para pelajar tersebut di kemudian hari tercatat sebagai tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, Semaun, Alimin, Musso, dan S. M. Kartosoewirjo. Tokoh-tokoh tersebut adalah pencetus tiga ideologi politik berbeda yang kelak dianut oleh bangsa Indonesia.

Selain itu, rumah HOS Tjokroaminoto juga dipergunakan sebagai tempat berdiskusi berbagai hal yang berkaitan dengan politik. Di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Mas Mansyur sering bertukar pikiran. Bisa dikatakan, rumah Tjokroaminoto merupakan tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh pergerakan, baik nasionalis, agama, maupun tokoh kiri. Meskipun berbeda ideologi, tujuan mereka semua satu, yakni kemerdekaan Indonesia. Dari sebuah ruangan sederhana di rumah Tjokroaminoto itulah, berbagai ide-ide awal Indonesia merdeka dicetuskan dan didiskusikan.

Soekarno, Kartosuwiryo, Musso, Alimin, Darsono, Semaun hingga Tan Malaka menganggap H.O.S Tjokroaminoto sebagai guru besar mereka. Di rumahnya, mereka akrab satu sama lain dan belajar banyak mengenai semangat kebangsaan dari HOS Tjokroaminoto. Maka tidak heran jika di kemudian hari pertarungan antara kelompok Nasionalisme yang dipimpin oleh Soekarno dan kelompok Islam yang dipimpin oleh Kartosoewirjo serta komunis yang dipimpin oleh Musso dan Alimin merupakan pertarungan antara murid-murid Tjokroaminoto.

HOS Tjokroaminoto menikah dengan Raden Ajeng Soeharsikin dan dikaruniai putra-putri bernama Siti Oetari, Oetaryo Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Siti Islamiyah, dan Ahmad Suyud. Setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin, HOS Tjokroaminoto meninggal dunia pada 17 Desember 1934 dan jasadnya dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa dan perjuangannya, H.O.S Tjokroaminoto dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Selengkapnya
Mahatma Gandhi dan Ajaran-Ajarannya

Mahatma Gandhi dan Ajaran-Ajarannya

Semangat nasionalisme rakyat India dalam memperjuangkan kemerdekaannya telah memunculkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah India. Salah satu yang begitu berpengaruh adalah tokoh bernama Mahatma Gandhi. Dia adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus India yang mempunyai peran penting dalam Gerakan Kemerdekaan India. Begitu berpengaruhnya, masyarakat India bahkan menetapkan Mahatma Gandhi sebagai Bapak Kemerdekaan India.

Mahatma Gandhi

Mahatma Gandhi lahir di Porbandar, negara bagian Gujarat, India pada 2 Oktober 1869 dan meninggal di New Delhi, India, 30 Januari 1948 pada usia 78 tahun. Nama kecilnya adalah Mohandas Karamchand Gandhi dan merupakan putra dari seorang politisi senior bernama Karamchand Gandhi. Saat remaja, Gandhi pindah ke Inggris untuk mempelajari hukum. Dia juga pernah menjadi pengacara di Afrika Selatan (1893–1914) dan terjun menjadi seorang aktivis politik agar dapat mengubah hukum-hukum yang bersifat diskriminatif.

Ketika kembali ke India, Mahatma Gandhi ikut membantu dalam proses kemerdekaan India dari jajahan Inggris. Ia adalah salah satu dari sekian banyak pemimpin India yang dikenal sebagai tokoh yang penuh dengan kedamaian. Gandhi dikenal sebagai seorang sosok yang memimpin rakyat India untuk lepas dari belenggu penjajahan Inggris dengan berasaskan kedamaian. Gandhi sering mengatakan kalau nilai-nilai ajarannya sangat sederhana, yakni berdasarkan kepercayaan Hindu tradisional, yakni kebenaran dan non-kekerasan.

Meski dia seorang Hindu, Gandhi juga dikenal menyukai pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain termasuk Islam dan Kristen. Dia percaya bahwa manusia dari segala agama harus mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai di dalam satu negara. Sementara dalam perjuangannya, Gandhi meninggalkan kekerasan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan kemerdekaan. Hal ini terlihat dari salah satu ajarannya yaitu ahimsa (gerakan anti kekerasan yang melarang membunuh).

Selain itu, Mahatma Gandhi juga dikenal sebagai seorang pejuang bagi hak asasi wanita dengan menentang pernikahan dini. Namun, selain mendapatkan sanjungan sebagai pemimpin ulung, Gandhi juga memiliki banyak musuh. Gandhi ditembak oleh Nathuram Godse ketika ia hendak beribadah pada tanggal 30 Januari 1948. Nathuram Godse merupakan seorang nasionalis ekstrimis Hindu yang tidak setuju dengan keputusan Gandhi terhadap Pakistan.

Sebagai seorang tokoh berpengaruh dalam pergerakan kemerdekaan di India, Mahatma Gandhi mengajarkan banyak hal kepada umat manusia lewat ajaran-ajarannya. Berikut ini adalah beberapa ajaran dari Mahatma Gandhi.

1. Swadesi

Swadesi berarti hidup dengan usaha sendiri. Swadesi adalah gerakan untuk mempergunakan produksi sendiri dan tidak menggantungkan kepada produk bangsa lain. Tiap bangsa harus berusaha untuk membangun bangsanya sendiri dengan kekuatan sendiri. Gerakan swadesi menganjurkan untuk menenun dan memakai pakaian buatan sendiri dan melarang memakai pakaian orang asing.

2. Satyagraha

Satyagraha berarti tetap setia kepada kebenaran. Satyagraha juga dikenal sebagai gerakan nonkooperasi, artinya tidak bekerja sama dengan segala sesuatu yang dianggap tidak benar. Kalau pemerintahan Inggris dianggap tidak benar, maka rakyat India juga tidak boleh bekerja sama dengan mereka.

3. Ahimsa

Ahimsa adalah gerakan anti kekerasan yang melarang pembunuhan. Menentang sesuatu yang salah dengan kekerasan berarti melayani apa yang ditentangnya itu. Oleh karena itu, jika apa yang ditentang itu dianggap sepi, maka sesuatu yang ditentang itu akan kehilangan kekuatannya. Ahimsa berarti tidak berbuat apa-apa bukan karena takut melainkan karena jiwa yang luhur. Artinya, Ahimsa mengalahkan lawan dengan kekuatan batin.

4. Hartal

Hartal berarti berkabung karena adanya kejadian yang menyedihkan. Hartal juga berarti tanda protes terhadap sesuatu yang dipandang tidak baik. Bisa juga diartikan meletakkan pekerjaan sebagai tanda protes terhadap peraturan yang dianggap kurang adil. Protes ini mereka lakukan dengan cara tidak berbuat apa-apa (mogok massal).

Dari kesemuanya, gerakan swadesi ternyata mampu meningkatkan perekonomian bangsa India. Gerakan ini juga cukup efektif untuk mengadakan perlawanan terhadap imperialisme Inggris. Sebagai tanda penghormatan terhadap gerakan swadesi, maka gambar "roda pemintal" kemudian disematkan pada bendera kebangsaan India yang mulai berkibar pada tanggal 15 Agustus 1947.

bendera India

Memang betul bahwa cinta terhadap produksi dalam negeri merupakan bagian dari penerapan semangat nasionalisme pada masa kini. Oleh karenanya, sudah sepatutnya pula bagi setiap warga negara untuk mencintai produksi dalam negerinya sendiri. Bukankah kita juga menginginkan industri bangsa kita lebih maju dan berkembang?.

Selengkapnya
Profil Sastrawan: Sapardi Djoko Damono

Profil Sastrawan: Sapardi Djoko Damono

SDD

Dalam dunia sastra tanah air, siapa yang tak kenal dengan Sapardi Djoko Damono. Sastrawan kebangsaan Indonesia ini dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan. Dalam karya-karyanya, Sapardi Djoko Damono dikenal selalu memasang diksi-diksi yang tepat sehingga terkesan sederhana namun sarat makna. "Hujan Bulan Juni" dan "Aku Ingin" adalah dua di antara karya monumentalnya yang cukup populer baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai salah seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar pada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia. Salah satu sumbangan terbesar guru besar Fakultas ilmu Pengetahuan Budaya UI ini adalah melanjutkan tradisi puisi lirik dan berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah muncul di zaman para pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar.

Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940 ini mengaku tak pernah berencana menjadi penyair. Dia berkenalan dengan puisi pun secara tidak sengaja. Sejak masih belia, putra Sadyoko dan Apariyah itu sering membenamkan diri dalam tulisan-tulisan. Bahkan, ia pernah menulis sebanyak delapan belas sajak hanya dalam satu malam. Kegemarannya pada sastra sudah mulai tampak sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kemudian, ketika duduk di SMA, ia memilih jurusan sastra dan kemudian melanjutkan pendidikan di Fakuktas Sastra UGM.

Anak sulung dari dua bersaudara abdi dalem Keraton Surakarta itu mungkin mewarisi jiwa seni dari kakek dan neneknya. Kakeknya dari pihak ayah pintar membuat wayang hanya sebagai kegemaran dan pernah memberikan sekotak wayang kepada sang cucu. Nenek dari pihak ibunya gemar menembang (menyanyikan puisi jawa) dari syair yang dibuat sendiri. "Tapi, saya tidak bisa menyanyi, suara saya jelek", ujar bekas pemegang gitar melodi band FS UGM Yogyakarta itu. Sadar akan kelemahannya, Sapardi kemudian mengembangkan diri sebagai penyair.

Selain menjadi penyair, ia juga melaksanakan cita-cita lamanya yaitu menjadi dosen. "Jadi dosen kan enak, kalau pegawai kantor harus duduk dari pagi sampai petang", ujar lulusan jurusan Sastra Barat FS&K UGM ini. Begitu meraih gelar Sarjana Sastra pada 1964, ia mengajar di IKIP Malang Cabang Madiun selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro, Semarang, juga selama empat tahun. Sejak tahun 1974, Sapardi mengajar di FS UI.

Sapardi menulis puisi sejak kelas 2 SMA. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah surat kabar di Semarang. Tidak lama kemudian, karya sastranya berupa puisi-puisi banyak diterbitkan di berbagai majalah sastra, majalah budaya, dan diterbitkan dalam buku-buku sastra. Beberapa karyanya yang sudah berada di tengah-tengah masyarakat antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau, dan Aquarium (1974).

Sebuah karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, serta kumpulan sajak Sihir Hujan - yang ditulisnya ketika ia sedang sakit - memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6, 3 juta saat memperoleh saat memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia itu langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu, ia juga pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand.


Para pengamat menilai, sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. "Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan, bersama kehidupan itu pula lah maut tumbuh", tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984.

Bekas Anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esai dan kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan bekerja di redaksi Horison berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi, tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Akan tetapi, di dalam tema belum banyak.

Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, AS ini juga menulis buku ilmiah, satu di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas, tahun 1978. Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel, serta menerjemahkan berbagai sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di tanah air. Selain menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru.

Dengan kepekaan dan wawasan seorang sastrawan, Sapardi ikut mewarnai karya-karya terjemahannya seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik, dan Puisi Parsi Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain itu, dia menerjemahkan karya asing seperti karya Hemingway, The Old Man and The Sea, Daisy Manis (Henry James), semuanya pada tahun 1970 - an. Juga sekitar 20 naskah drama, seperti Syakuntala karya Kalidasa, Murder in Cathedral karya T. S. Elliot, dan Morning Become Electra, sebuah trilogi karya Eugene O'Neill.

Sumbangsih Sapardi juga cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar, aktif sebagai administrator dan pengajar, serta menjadi Dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas pengajaran Mata Kuliah Ilmu Budaya Dasar di Fakultas Sastra.

Dia menyadari bahwa menjadi seorang sastrawan tidak akan memperoleh kepuasan finansial. Kegiatan menulis adalah sebagai waktu istirahat, saat dia ingin melepaskan diri dari rutinitas pekerjaannya sehari-hari. Menikah dengan Wardiningsih, ia dikaruniai dua anak yaitu Rasti Suryandani dan Rizki Henriko. Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di Tangerang Selatan pada Minggu, 19 Juli 2020 dalam usia 80 tahun. Namanya terukir indah sebagai salah seorang penyair dan pujangga tanah air yang karya-karyanya akan selalu dikenang dalam berbagai kajian sastra.
 
Selengkapnya