Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Terkait Pergaulan Dalam Menjalani Hidup

Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Terkait Pergaulan Dalam Menjalani Hidup

Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Sebagai individu, setiap manusia memiliki kepribadian yang berbeda antara satu dengan lainnya, mulai dari penampilan fisik, kemampuan, kebutuhan, sikap dan perasaan. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya. Bahkan sejak lahir, seseorang sudah membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.

pergaulan muslim
ilustrasi via al-ibar.net

Sebagai Muslim, kita juga memahami bahwa manusia pada kodratnya adalah makhluk sosial. Seseorang tidak akan memperoleh keutamaan dan menjadi baik dalam hidupnya jika dia tidak mempunyai teman dan terasing dari masyarakatnya. Artinya, ia harus bisa bergaul dan menunjukkan sikap sosial yang positif di dalam hidup bermasyarakat. Bentuk sikap sosial yang positif antara lain yaitu tenggang rasa, solidaritas, dan bekerja bersama dengan damai dalam masyarakat.  

Salah satu perilaku positif yang dapat kita biasakan adalah dengan selalu berbaik sangka (husnuddzan) dalam bergaul. Selain berprasangka baik kepada Allah, kita juga hendaknya selalu berpikir positif kepada sesama. Dengan sikap dan cara pandang seperti ini, maka seseorang dapat melihat sesuatu secara positif sehingga hati dan pikirannya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenarannya. Terkait hal ini, Sulthanul Auliya' Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpesan:

"Apabila engkau menjumpai seseorang yang kaulihat lebih utama atasmu, maka ucapkanlah: Bisa jadi dia menurut Allah lebih bagus daripada aku dan juga lebih tinggi derajatnya"

"Jika orang itu lebih kecil, maka ucapkanlah: Anak ini belum durhaka kepada Allah tetapi aku sudah, maka tidak ragu lagi ia lebih bagus daripada aku".

"Jika orang itu lebih tua, maka katakanlah: Orang ini telah mengabdi kepada Allah sejak sebelum aku".

"Jika orang itu alim maka ucapkanlah: Orang ini dianugerahi ilmu yang belum kuketahui dan mencapai sesuatu yang belum kucapai juga mengetahui sesuatu yang belum kuketahui, dan ia pun berbuat atas dasar ilmunya itu".

"Jika orang itu bodoh maka ucapkanlah: Orang ini durhaka kepada Allah karena ia belum tahu, tetapi aku durhaka kepadaNya justru karena sudah tahu, dan aku pun tidak tahu bagaimana nanti akhir hayatku dan akhir hayatnya"

"Jika orang itu kafir, maka katakanlah: Aku tidak tahu pasti, bisa jadi ia masuk Islam dan mati khusnul khatimah, bisa jadi pula aku kafir dan mati su-ul khatimah"

Selalu berprasangka baik memang banyak mengandung hikmah dan manfaat. Meskipun begitu, kita juga harus pandai dalam memilih pergaulan yang baik dan sesuai dengan ajaran kebenaran dalam Islam. Jangan sampai kita terbawa arus pergaulan buruk yang dapat menjerumuskan kita ke dalam jurang kehinaan. Dalam kesempatan lain, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga pernah mengatakan bahwa manusia itu ada 4 macam, yaitu: 

1. Orang yang tidak mempunyai lidah dan juga hati nurani. Dia adalah orang yang liar dan senantiasa berbuat durhaka kepada Tuhannya. Terhadap orang seperti itu, hendaknya kita waspada dan jangan bergaul dengannya. Sebab, ia terancam dengan siksa. 

2. Orang yang mempunyai lidah tetapi tidak punya nurani. Ia berbicara penuh hikmah tapi tidak melaksanakannya. Ia juga menyeru umat manusia ke jalan Allah, tetapi ia sendiri malah lari menjauh darinya. Orang ini hendaknya juga dijauhi, agar kita tidak terlahap oleh bicaranya yang manis, tidak terbakar oleh api maksiatnya, dan agar tidak terkena racun hatinya yang busuk. 

3. Orang yang mempunyai nurani tetapi tidak punya lidah. Dialah orang mukmin yang disembunyikan oleh Allah dari para hamba. Ia dikaruniai bisa melihat aib-aib dirinya sendiri, hatinya disinari nur Ilahi dan dapat mengetahui efek negatif dari pergaulan dengan umat manusia dari lontaran kata-kata. Dialah wali Allah yang senantiasa terlindungi dalam Tabir Allah Ta'ala. Padanyalah terdapat segala kebaikan. Dekatilah ia, bergaullah dengannya dan mengabdilah bersamanya, agar engkau dikasihi oleh Allah Ta'ala.

4. Orang yang senantiasa belajar, mengajar, dan mengamalkan ilmunya. Dialah ulama yang ahli tentang Allah dan ayat-ayat Allah. Dadanya dilapangkan dan di sini Allah menebarkan ilmu-ilmu-Nya yang tinggi. Hendaklah kita waspada, jangan sampai berselisih pendapat dengannya, jangan pula menjauh darinya, dan jangan lepas berpegangan dengan nasihatnya.

Sumber rujukan: Nashaih al 'Ibaad karya Syaikh Nawawi Al Bantani

Selengkapnya
Peliknya Permasalahan Hidup Masyarakat Modern dan Solusinya

Peliknya Permasalahan Hidup Masyarakat Modern dan Solusinya

Masyarakat modern seringkali diidentikkan dengan masyarakat yang berkemajuan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, rasional, mandiri, dan bebas. Asumsi kita selama ini hanya orang yang pendidikannya rendah dan tidak menguasai teknologi canggih serta berasal dari masyarakat lapis bawah saja yang selalu mempunyai masalah. Mulai dari masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan kumuh, dan mentalitas rendah. 

Asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, karena masyarakat modern yang rasionalis, sekularis, materialis, dan menguasai teknologi canggih pun tidak semuanya mampu menghadirkan kenyamanan, kebahagiaan, kehangatan, dan ketenteraman dalam hidupnya. Bahkan ada kecenderungan, bahwa semakin modern kehidupan seseorang, maka tuntutan hidup juga akan semakin meningkat. Maka apabila seseorang tidak mampu mengendalikan kehidupannya, akan menimbulkan permasalahan baru bagi hidupnya, yakni kegelisahan spiritual dan kekeringan rohani serta tekanan kejiwaan. 

Penyebabnya tidak lain karena kehidupan masyarakat modern lebih banyak dipenuhi oleh rutinitas fisik, pemikiran, dan persaingan hidup, sehingga tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk menyuburkan kehidupan batiniah, kehidupan sosial (silaturahmi) dan kebutuhan rohaninya. Berkaitan dengan hal ini, Baginda Besar Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya: “Kebaikan yang paling cepat pahalanya ialah berbakti dan mengokohkan silaturahmi (mengokohkan hubungan kekerabatan). Dan kejahatan yang paling cepat siksanya ialah kezaliman dan memutuskan hubungan kerabat.” (H.R. Ibnu Maiah).

Kezaliman dalam bentuk modern bisa berupa realisasi paham kapitalisme, illegal logging, korupsi, manipulasi, monopoli, dan sebagainya. Adapun bentuk pemutusan silaturahmi modern bisa berupa individualisme, egoisme, ataupun sikap mementingkan golongan atau kelompoknya. Masyarakat modern yang cenderung rasional, sekuler, dan materialistik telah menyebabkan hilangnya visi keilahian dan nilai-nilai kerohanian mereka, sehingga dengan mudah menimbulkan gejala-gejala psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual. 

Banyak masalah
ilustrasi via pixabay

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat rasionalisme yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern tidak mampu memenuhi kebutuhan vital manusia, yakni kehangatan dan ketenangan rohaniah, yang semuanya itu hanya dapat diperoleh melalui wahyu Ilahi. Akibatnya, sekarang ini banyak dijumpai masyarakat yang mengalami stres karena adanya tekanan dan kelelahan psikologis. Mereka tidak lagi mempunyai pegangan dan sandaran hidup. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Naisbit dan Aburdene dalam bukunya yang sangat terkenal Megatrends 2000. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat di era modern sekarang ini, tidak memberikan makna tentang kehidupan. 

Semula banyak orang terpesona melihat gemerlapnya modernisasi. Mereka beranggapan bahwa modernisasi akan membawa kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Ternyata ada sisi yang tidak terdeteksi yakni ada gejala the agony of modernization, yaitu azab dan sengsara karena modernisasi. Gejalanya adalah meningkatnya angka kriminalitas yang diikuti dengan tindak kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat/narkotika, kenakalan remaja, prostitusi, gangguan jiwa, dan gejala psikopat. 

Abu al-Wafa al-Taftazani dalam The Role Sufisme mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisahan masyarakat modern sebagai berikut:

  • Perasaan takut akan kehilangan apa yang sudah dimiliki. 
  • Perasaan khawatir terhadap masa depan yang tidak disukainya. 
  • Perasaan kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan memenuhi kepuasan spiritual. 
  • Banyak melakukan pelanggaran dan dosa. 

Lantas Apa Solusinya? 

Kehidupan pada masa modern adalah kehidupan yang penuh tantangan dan godaan. Kehidupan yang serba permisif, serba boleh, serta tawaran hidup yang hedonis, konsumtif, dan serba instan, menyebabkan manusia mudah tergiur mengikuti tawaran-tawaran hidup yang serba mewah. Bagi yang tidak mampu mengendalikan diri dari jeratan keinginan menurutkan hawa nafsu duniawinya, maka ia akan semakin jauh dari ketenangan, kedamaian dan kesucian hidupnya.

Untungnya, ada sebagian masyarakat yang menyadari bahwa apabila manusia hanya mengejar kepuasan duniawi maka ada sesuatu yang lepas dari kehidupan kita, yakni ketenangan, kedamaian, jiwa welas asih, sifat kemanusiaan terhadap sesama sehingga menyebabkan jiwanya kering dan mudah retak atau stres karena tidak ada tempat untuk menyandarkan permasalahan hidup yang dihadapinya. Mereka mulai menyadari kebenaran dari firman Allah dalam Surah Ar-Ra'd ayat 28: 

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."

Ayat di atas menegaskan bahwa ketenangan dan kebahagiaan hakiki berada di dalam hati manusia, bukan pada jumlah kekayaan yang dimiliki atau tingginya jabatan yang disandangnya. Adapun mengenai pentingnya hati, Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

"Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah anggota tubuh seluruhnya, dan apabila ia buruk, maka buruk pulalah anggota tubuh itu seluruhnya. Ingat, itulah hati." (H.R. Bukhari-Muslim) 

Berzikir memang merupakan upaya untuk merasakan ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Inilah cara yang sudah semestinya dilakukan oleh manusia modern untuk membina hati mereka, membina rohani mereka agar mempunyai tempat bersandar dari kelelahan perjalanan hidup mereka. 

Memang, ketika suatu masyarakat sudah terkena penyakit alienasi (keterasingan) karena adanya pengaruh dari proses pembangunan dan modernisasi, maka pada saat itulah manusia modern sebenarnya mulai membutuhkan pedoman hidup yang bersifat spiritual yang mendalam untuk menjaga integritas kepribadiannya. Hal ini penting agar mereka terbebas dari penyakit hati baik yang berupa kegelisahan, stres maupun kejahatan-kejahatan yang dimungkinkan muncul sebagai dampak dari kehidupan modern yang penuh dengan kompetisi. 

Itulah gambaran dari kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Ada kelebihan yang bisa dinikmati dari modernisasi tetapi juga ada celah kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat moralitas. Mulai dari rasa hampa dan keringnya jiwa hingga tingkah laku yang melampaui batas kemanusiaan dan kesusilaan. 

Masyarakat modern sangat membutuhkan sentuhan spiritual untuk menyejukkan dan menyirami hatinya yang telah kering dan beku, serta melabuhkan perasaan gundah dan gelisah. Ajaran agama menawarkan sebuah kegiatan yang dapat menghangatkan jiwa, menenteramkan hati dan menyejukkan rasa serta menghindarkan diri dari hawa nafsu dunia yang menyesatkan, sehingga akan melahirkan suatu kehidupan baru yang dihiasi dengan akhlakul karimah. 

Dengan kembali memperdalam agama dari para Ulama dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan masyarakat modern dapat mewujudkan keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, antara duniawi dan ukhrawi, sekaligus menekan tuntutan hidup duniawi yang berlebihan yang sering menyebabkan manusia lupa akan harkat dan martabatnya. Wallaahu A'lam

Selengkapnya
Arti Kesetiaan dan Pengorbanan Karna

Arti Kesetiaan dan Pengorbanan Karna

Dalam hidup, kita banyak disuguhi berbagai kisah yang menceritakan mengenai kesetiaan dan pengorbanan. Bahkan adakalanya kedua hal tersebut mesti diraih dengan menghinakan diri demi tergapainya tujuan yang mulia. Mungkin inilah tujuan yang hendak dicapai oleh Karna. Dalam tokoh pewayangan, Karna adalah kakak tertua dari para Pandawa. Meskipun begitu, dalam perang besar Mahabarata, ia justru berada di pihak yang berseberangan dengan para saudaranya, Pandawa. Ia menjadi pendukung besar pihak Kurawa, yang dipimpin Duryudana.

Basukarna
ilustrasi

Karna adalah putra angkat dari kusir kerajaan Hastinapura, Adirata. Ia lahir dari Kunti, ibu para Pandawa, dengan ayah Batara Surya. Ia 'dibuang' oleh ibunya dengan cara menghanyutkannya ke sungai. Karna dibekali anting-anting dan sebuah baju sakti oleh ayahnya, Batara Surya. Konon baju sakti ini tidak akan mampu ditembus senjata sakti apapun. Diceritakan, Karna adalah seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Meski terlihat angkuh, ia dikenal dermawan dan murah hati, terutama kepada fakir miskin dan kaum brahmana. Pada bagian akhir perang besar di ladang Kurusetra itu, Karna diangkat sebagai panglima pihak Kurawa, namun akhirnya gugur di tangan saudaranya sendiri, Arjuna.

Pada saat remaja, saat jati dirinya belum terungkap, ia berkesempatan mendapat pengalaman hidup bersama para pangeran dari Kurawa dan Pandawa. Hingga pada suatu hari, diadakanlah pertunjukan ketangkasan memanah yang diikuti oleh para pangeran Kurawa dan Pandawa. Dalam pertunjukan itu, Arjuna dari Pandawa berhasil membungkam lawan-lawannya dengan keahliannya memanah. Saat Karna hendak menantang Arjuna beradu keahlian memanah, Arjuna menolaknya mentah-mentah. Menurut Arjuna, Karna hanya seorang anak kusir dari kasta sudra, kasta yang terendah, maka tidak pantas baginya beradu kepandaian dengan seorang pangeran. 

Merasa dihina oleh Arjuna, batin Karna bergemuruh menahan amarah, gemeretak giginya dan kepalan tangannya bahkan dapat dilihat oleh siapapun juga di tengah lapang di mana perlombaan memanah antar murid Durna itu diselenggarakan. Melihat bara kebencian dari mata Karna saat dihina Arjuna, pangeran Duryudana dari Kurawa memainkan siasatnya. Ia mengetahui potensi besar yang dimiliki Karna, sehingga ia pun mendekati Karna dan merangkulnya sebagai kawan. Bahkan Duryudana akhirnya memberi Karna jabatan sebagai Raja di sebuah negeri jajahan Kurawa bernama Awangga. 

Kesetiaan Karna


Dari sini kita bisa melihat awal mula mengapa Karna yang tahu bahwa Duryudana sebetulnya bukanlah orang baik, namun ia justru sumpah setia terhadapnya. Kesetiaan Karna kepada Duryudana dan Kurawa telah diikat oleh persahabatan yang erat di antara keduanya. Bahkan saat terjadinya perang besar Bharatayuda, ia bersumpah setia untuk membela Kurawa sampai mati. 

Dilihat dari kacamata orang awam seperti kita, kadang timbul pertanyaan mengapa Karna yang tahu arti kebenaran justru berada di pihak yang disimbolkan dengan keangkara murkaan. Ia tahu betul bahwa kebenaran di pihak Pandawa, yang nyata-nyata adalah saudaranya. Bahkan dengan sifat kesatrianya itu, tidaklah pantas baginya mendampingi Kurawa. Meskipun begitu, menurut pendiriannya, apa yang ia lakukan adalah semata-mata hanya ingin membalas budi pada orang yang pernah mendukung dan menolongnya, yakni Duryudana. Karena itulah, meski nyawa jadi taruhannya, ia tetap memegang teguh janji setia untuk tetap berada di barisan pendukung Duryudana di pihak Kurawa sepanjang hidupnya.

Pengorbanan Karna


Dikisahkan saat Kresna menjadi duta ke Hastinapura, ia pernah menemui Karna dan memintanya agar bergabung dengan Pandawa. Terlebih Karna juga sebenarnya sudah tahu bahwa dia adalah kakak tertua para Pandawa. Namun Karna menolak permintaan Kresna. Karna beralasan bahwa sebagai seorang kesatria, ia harus menepati janji bahwa ia akan selalu setia kepada Duryudana. Kresna juga telah menjelaskan kepada Karna bahwa dharma seorang kesatria yang lebih utama adalah menumpas keangkara murkaan. Namun Karna tetap teguh pada pendiriannya. 

Karna setia
ilustrasi

Dalam versi pewayangan Jawa, karena terus didesak oleh Kresna, Karna akhirnya terpaksa membuka rahasia bahwa ia tetap membela Kurawa agar supaya bisa menghasut Duryudana agar berani berperang melawan Pandawa. Ia yakin bahwa dengan kemenangan para Pandawa, angkara murka di Hastinapura juga akan hilang bersama dengan kematian Duryudana. Ia bahkan rela dirinya menjadi korban demi tertumpasnya keangkara murkaan. Ia juga siap dengan sepenuh hati menyerahkan dirinya sebagai tumbal demi kebahagiaan saudara-saudaranya, para Pandawa.

Saat meletusnya perang Baratayudha, Karna yang menjadi panglima perang Kurawa akhirnya tewas di tangan Arjuna. Saat menghadapi kematiannya, Karna dengan gagah beraninya tetap memegang senjata busurnya. Ia tewas bersamaan dengan hujan yang seketika turun. Sungguh sebuah ungkapan duka yang mendalam dari para dewata. Duka yang muncul karena mayapada telah kehilangan seorang manusia kinasih, yakni manusia yang menjaga janji dan kesetiaannya.

Selengkapnya
Marilah Kita Jauhi Berperilaku Sombong, Berdusta, dan Berkhianat

Marilah Kita Jauhi Berperilaku Sombong, Berdusta, dan Berkhianat

Perilaku tercela merupakan segala sikap, ucapan, dan perbuatan buruk yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sifat atau perilaku tercela juga merupakan perilaku yang harus kita jauhi agar tetap berada di jalan keimanan yang diridhai Allah SWT. Ada banyak perilaku yang tergolong sifat tercela. Berikut ini di antara sifat tercela yang mesti kita jauhi dan hindari yaitu sifat sombong, dusta, dan berkhianat. 


Sombong (Takabbur) 


Sombong atau takabbur merupakan salah satu sifat tercela yang dibenci oleh Allah. Sifat ini juga dimiliki oleh syetan sehingga marilah kita berusaha memahami dan menjauhi sifat ini. Orang yang memiliki sifat ini akan senantiasa mengagumi dirinya, membanggakan dirinya, memuji dirinya sendiri, dan membesar-besarkan dirinya di hadapan orang lain. Ia tidak pernah merasa dirinya banyak kekurangan. 

Allah sangat membenci orang yang memiliki sifat sombong. Dalam firmanNya disebutkan:

“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS. Luqman, 18) 

sombong
sekedar ilustrasi via depositphotos

Seseorang yang memiliki sifat sombong atau takabbur tidak akan mengakui dan tidak akan merasakan kebesaran nikmat Allah, sehingga ia senantiasa jauh dari rasa bersyukur. Orang yang memiliki sifat sombong akan beranggapan bahwa kenikmatan atau keberhasilan yang diperolehnya itu adalah semata-semata hasil keringatnya sendiri tanpa bantuan dari yang lain. 

Apabila dia memiliki darah keturunan ningrat, maka dijadikanlah itu sebagai kesombongan, apabila dia punya harta berlimpah, dijadikanlah hartanya itu sebagai kesombongan, apabila dia punya pangkat dan kedudukan maka dijadikan pangkat dan kedudukan itu sebagai kesombongan. Yang menjadi sebab kesombongan bisa karena keturunan, bentuk wajah, harta, keilmuan, status sosial, pangkat, kedudukan, dan lain sebagainya. 

Padahal jika dipahami, sejatinya yang paling berhak untuk sombong hanyalah Allah semata, karena Dialah yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Hanya Tuhan Allah SWT saja, sedangkan manusia tidak akan sanggup untuk melakukannya. Oleh karenanya tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk berperilaku menyombongkan dirinya di antara sesama manusia.

Berdusta (Bohong) 


Dusta atau bohong berarti memberitakan sesuatu tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat. Orang yang memiliki sifat tersebut disebut pendusta atau pembohong. Seorang pendusta akan memberi tahu sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kebenarannya. Ciri utama pendusta adalah mengatakan apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Sifat ini merupakan sifat tercela yang perlu kita jauhi. 

Pada dasarnya, pendusta itu berdusta kepada berbagai pihak. Dusta kepada dirinya sendiri, dusta kepada sesama manusia, dusta kepada Allah dan Rasulnya. Dusta kepada pihak manapun sangat tercela. Lebih-lebih terhadap Allah dan Rasul-Nya. Akibat orang yang suka berdusta adalah akan kehilangan kepercayaan dari orang lain, makin banyak kedustaannya semakin banyak orang yang tidak percaya kepadanya. Maka jauhilah dusta, karena sifat dusta merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain. 

Selain daripada itu, sikap suka berbohong atau berdusta juga merupakan salah satu tanda dari sifat orang munafiq. Seorang pendusta atau orang munafik akan terbiasa menipu, suka berpura-pura, padahal hatinya tidak sehat, penuh dengan kebimbangan, dan berat untuk melaksanakan kebaikan. Di akhirat nanti, golongan para pendusta ini akan diberikan siksa oleh Allah dan dijadikan sebagai penghuni neraka paling bawah. 

Berkhianat


Khianat berasal dari kata yang sama dalam bahasa Arab "khianat" yang artinya tipu daya, tidak setia dan durhaka. Berkhianat berarti berbuat sesuatu disertai dengan unsur tipu daya. Berkhianat biasa juga diartikan "tidak lagi memiliki kesetiaan". Sifat ini sangat tercela karena selain dapat merugikan dan membahayakan orang lain, juga dapat merugikan dan membahayakan diri sendiri.

Berkhianat juga sering diartikan tidak Amanah. Orang yang suka berkhianat tidak akan dapat dipercaya, karena jika diberi kepercayaan ia akan selalu mengkhianati dan menyalahgunakan kepercayaan itu. Berkhianat termasuk dalam bentuk kedurhakaan yang nyata, dimana tidak ada balasan bagi para pelakunya kecuali siksa yang sangat pedih di dasar Api Neraka.

Jika ingin tetap berada dalam keimanan, maka jangan sekali-kali kita berkhianat. Baik berkhianat terhadap diri sendiri, keluarga, maupun Agama, Bangsa dan Negara. Berkhianat terhadap diri sendiri contohnya menjadi pelajar tapi malas belajar. Berkhianat terhadap keluarga contohnya tidak peduli dengan keluarganya. Berkhianat terhadap Agama contohnya mengaku Islam tapi malas sholat dan mengaji. Berkhianat terhadap bangsa dan Negara contohnya lebih mencintai hasil karya bangsa lain dari pada hasil karya bangsa sendiri.

Selengkapnya
3 Tabiat Waktu Menurut DR. Yusuf Al Qardhawi dan Cara Memanfaatkan Waktu

3 Tabiat Waktu Menurut DR. Yusuf Al Qardhawi dan Cara Memanfaatkan Waktu

3 Tabiat Waktu Menurut DR. Yusuf Al Qardhawi dan Cara Memanfaatkan Waktu

Waktu adalah salah satu karunia termahal yang Allah SWT berikan kepada hambaNya. Sayangnya, banyak manusia tertipu oleh hawa nafsu dan bujuk rayu syetan sehingga waktunya habis berlalu tanpa arti. Agar kita tidak termasuk orang yang merugi karena telah menyia-nyiakan waktu, mari kita pahami 3 tabiat waktu sebagaimana telah dijelaskan oleh DR. Yusuf Al Qardhawi berikut ini. 

1. Waktu yang Kita Jalani Sangat Cepat Berlalu


Menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, bahkan tahun demi tahun begitu cepat berlalu. Hal ini dapat dirasakan dengan melihat usia hidup kita di dunia ini. Banyak dari kita suatu waktu terhenyak dan baru tersadar ternyata umurnya telah mencapai 30 tahun, 40 tahun, 50 tahun dan seterusnya, padahal amal kebaikan belumlah banyak. 

Ini pula yang dirasakan oleh Ashabul Kahfi. Mereka telah tidur selama 309 tahun, namun mereka merasakan seolah baru setengah atau satu hari saja (Al-Kahfi: 19 dan 25). Demikian pula yang dirasakan oleh seorang yang bertanya bagaimana Allah menghidupkan negeri yang mati?. Lalu Allah matikan (tidurkan) dia selama 100 tahun. Ketika ia dibangunkan dan ditanya tentang berapa lama ia tidur?, dia menjawab hanya setengah atau satu hari saja (Al-Baqarah: 259). 

2. Waktu yang Telah Berlalu Tidak Akan Pernah Kembali Lagi


Hasan Al-Bashri berkata: “Tidak ada waktu yang menampakkan fajarnya kecuali ia berkata: ‘Wahai anak Adam, aku adalah harimu yang baru yang akan menjadi saksi atas amal perbuatanmu. Maka carilah bekal dariku sebanyak-banyaknya, karena jika aku telah berlalu maka aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” 

Waktu dalam kehidupan kita bagaikan kereta, ia datang dan pergi sesuai jadwal. Dan ketika telah berlalu maka ia tidak akan kembali lagi. Al Qur’an menceritakan tentang penghuni neraka yang memohon kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia supaya dapat memperbaiki amal perbuatan mereka, namun Allah menolak. 

Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah Orang-orang yang yakin” (A Sajdah: 12)

Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?, maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.’ (Fathir: 37). 

3. Waktu Adalah Aset Yang Sangat Berharga


Waktu menjadi berharga karena padanyalah terekam seluruh aktivitas kehidupan kita. Segala perbuatan, yang baik maupun yang buruk tercatat di dalamnya. Maka waktu menjadi penting untuk kita perhatikan karena ia akan membeberkan semua perbuatan kita di dunia, bahkan sesuatu yang dahulu kita sembunyikan dari orang lain. 

Hasan Al-Bashri pernah berkata: “Saya mendapati orang-orang yang memberikan perhatian lebih terhadap waktu daripada terhadap dinar dan dirham.” Karena waktu adalah harta yang tak ternilai, ia tak dapat dibeli oleh apapun. Maka ketika seseorang memiliki waktu hendaknya ia pergunakan sebaik-baiknya. Karena selamat atau celaka dirinya bergantung bagaimana ia memanfaatkan waktunya. 

Itulah tiga tabi’at waktu yang harus diperhatikan oleh setiap muslim. Sebab seorang muslim yang baik adalah yang dapat memanfaatkan waktunya untuk memperbanyak amal kebaikan. Lantas kemudian bagaimana cara kita dalam memanfaatkan waktu?. Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita lakukan, yaitu:

Pertama, melakukan hal yang bermanfaat dan meninggalkan yang tidak bermanfaat. 

Rasulullah SAW bersabda: “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” Maksud “manfaat” di sini mencakup kebaikan dunia dan akhirat.
 
Kedua, memanfaatkan waktu luang. 

Rasulullah SAW bersabda: "Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu olehnya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang." Karena manusia jika tidak sibuk dengan kebaikan, maka ia akan sibuk dengan kemaksiatan. Sering seseorang merasa bingung memanfaatkan waktu luang, lalu setan membisikkan kepadanya untuk berbuat sesuatu yang tidak ada manfaatnya bahkan kemaksiatan. Padahal mereka juga sering mengeluh karena kesibukan yang mereka jalani dan tidak punya banyak waktu untuk beribadah. 

Ketiga, memanfaatkan waktu untuk menjalankan kewajiban dan memenuhi hak dengan seimbang. 

Rasulullah SAW pernah menasehati seorang sahabatnya yang gemar puasa sepanjang hari dan qiyamul lail sepanjang malam. Beliau bersabda: “Jangan begitu, puasalah dan berbukalah sholatlah dan tidurlah. Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, Istrimu memiliki hak atasmu, dan tetanggamu memiliki hak atasmu”. 

Demikianlah mengenai 3 tabiat waktu menurut DR. Yusuf Al Qardhawi dan cara kita dalam memanfaatkan waktu agar tiada waktu terbuang sia-sia, sehingga dapat selalu kita isi dengan amal-amal kebajikan yang diridhai Allah SWT. Semoga Allah selalu menuntun langkah hidup kita untuk selalu berada di jalanNya. Wallahu A'lam bisshawab

Sumber: 
https://www.eramuslim.com
https://www.dakwatuna.com
Majalah Give UNS edisi Januari 2018

Selengkapnya
Kata-Kata Bijak Imam Hasan Al Bashri Tentang Pentingnya Menghargai Waktu

Kata-Kata Bijak Imam Hasan Al Bashri Tentang Pentingnya Menghargai Waktu

jam pasir waktu
via pixabay 

Masih berkaitan akan pentingnya menghargai waktu, kali ini kita akan coba merenungi beberapa untaian hikmah yang disampaikan oleh Imam Hasan Al Bashri, salah seorang Ulama Sufi yang banyak dinukil petuah-petuah bijaksananya. Beliau termasuk ke dalam golongan Tabi'in (generasi setelah sahabat) yang hidup pada masa awal kekhalifahan Bani Umayyah.

Hasan al Bashri (Abu Sa'id al-Hasan ibn Abil-Hasan Yasar al-Bashr) lahir di Madinah pada 642 M dan sempat menetap di rumah Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah SAW. Saat berusia 14 tahun, Hasan bersama kedua orang tuanya pindah ke kota Basrah, Irak, dan menetap di sana. Dari sinilah Hasan kemudian mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri. 

Sebagai generasi tabi'in, beliau pernah berguru kepada para sahabat terkemuka seperti Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Abu Musa Al-Asy'ari, dan masih banyak lagi lainnya. Tidak heran beliau dikenal akan keluasan ilmunya baik dalam bidang fiqih, hadits, tafsir, maupun ilmu qiraah. Hasan Al Bashri kemudian menjadi guru di Basrah, Irak, dan juga mendirikan madrasah di sana.

Bagi pengamal tasawuf, Hasan Al Bashri juga merupakan tokoh sufi yang mendukung kuat nilai tradisional dan cara hidup zuhud. Menurut beliau, kehidupan dunia hanyalah perjalanan untuk ke akhirat, dan kesenangan dinafikan untuk mengendalikan nafsu. Tokoh besar Islam ini wafat di Basrah, Irak, pada hari jum'at 5 Rajab 110 H/728 M pada usia 89 tahun.

Untaian Hikmah Kata-Kata Bijak Imam Hasan Al Bashri


"Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan dari beberapa hari, bila berlalu satu hari maka berlalulah sebagian darimu. Dan bila sebagian sudah berlalu, maka dekat sekali akan berlalu semuanya." 

"Waktu adalah salah satu karunia termahal yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Dengan waktu yang Allah berikan, manusia punya potensi dan peluang untuk melaksanakan berbagai aktifitas dalam kehidupannya." 

“Tidak ada waktu yang menampakkan fajarnya kecuali ia berkata: ‘Wahai anak Adam, aku adalah harimu yang baru yang akan menjadi saksi atas amal perbuatanmu. Maka carilah bekal dariku sebanyak-banyaknya, karena jika aku telah berlalu maka aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat”

“Aku sangat terpukul oleh satu kalimat yang pernah kudengar dari al-Hajjaj, ketika ia berkhutbah di atas mimbar ini. Sesungguhnya ‘sesaat’ dari umur seseorang yang telah hilang dan atau sirna untuk sesuatu di luar hakikat manusia diciptakan, maka pantas jika ‘sesaat’ itu menjadi penyesalan seumur hidupnya hingga hari Kiamat tiba.”

"Saya mendapati orang-orang yang memberikan perhatian lebih terhadap waktu daripada terhadap dinar dan dirham. Karena waktu adalah harta yang tak ternilai, ia tak dapat dibeli oleh apapun. Maka ketika seseorang memiliki waktu hendaknya ia pergunakan sebaik-baiknya. Karena selamat atau celaka dirinya bergantung bagaimana ia memanfaatkan waktunya."

"Diantara tanda berpalingnya Allah Subhanahu Wata'ala dari seorang hamba adalah Allah menjadikan kesibukannya pada hal-hal yang tidak bermanfaat baginya."

Benar-benar ada, dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan shalat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: "Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa dia sedang ada keperluan."

“Ingatlah! Sisa umur yang tersisa bagimu di dunia tak ternilai harganya dan tak dapat tergantikan dengan yang lain. Dunia dan seisinya tak akan mampu menyamai nilai satu hari yang tersisa dari usiamu. Maka, jangan engkau tukar sisa usiamu yang sangat bernilai dengan kenikmatan dunia yang hina. Koreksilah dirimu setiap harinya, waspadalah atas kenikmatan dunia, jangan sampai engkau menyesal ketika telah datang ajal kematianmu. Semoga nasehat ini bermanfaat bagi kita dan Allah berikan kita akhir hidup yang baik”

Selengkapnya
Hadits-Hadits Nabi Pilihan Terkait Pentingnya Menghargai Waktu

Hadits-Hadits Nabi Pilihan Terkait Pentingnya Menghargai Waktu

Dalam tradisi masyarakat barat, waktu adalah uang. Sementara bagi bangsa Arab, waktu adalah pedang. Meski beda pengibaratan, kedua pepatah tersebut menunjukkan betapa berharganya waktu sehingga siapa pun kehilangan waktu, maka sungguh ia tak kan pernah mampu mendapatkannya kembali. Amat sayang jika ada waktu kita lalui tanpa bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. 

Mereka yang suka menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, tentu lebih bodoh dari orang yang membakar uangnya sendiri. Sebab, harta dapat diganti, sedangkan umur bila sudah berlalu, tak mungkin dapat kembali. Ibnu Mas'ud RA pernah berkata, “Aku tidak pernah menyesali sesuatu seperti aku menyesali hari yang mataharinya sudah terbenam, sedang umurku berkurang dan amalku tidak bertambah’’. 

jam waktu
via pixabay

Sesungguhnya, waktu tidak lain adalah hidup itu sendiri. Oleh karenanya, mengetahui serta menyadari akan urgennya waktu berarti memahami pula nilai hidup dan kehidupan. Sebaliknya, orang yang tidak mengenal pentingnya waktu, maka ia seakan-akan hidup dalam keadaan mati, meskipun ia masih bernapas di muka bumi ini. Membuang-buang waktu dapatlah diartikan melemparkan hidup itu sendiri dan menyia-nyiakannya.
Waktu akan selalu menjadi patokan dalam hidup manusia. Oleh karenanya, mesti kita sadari kembali bahwa hidup ini selalu berpacu dengan waktu. Ibarat pedang yang tajam, dapatlah waktu digunakan sebagaimana yang dikehendaki, atau jika tidak, ia akan siap memotong anda. Mari kita pergunakan waktu yang tersisa ini dengan sebaik mungkin, karena jika telah tiada tentu waktu pun sudah habis bagi kita. 

Sebagai bahan renungan, di bawah ini kami rangkumkan beberapa hadits Nabi SAW pilihan berkaitan dengan urgensi waktu. Semoga kita dapat memanfaatkan waktu dalam hidup ini dengan sebaik-baiknya. 

Dari lbnu Abbas RA dia berkata: Nabi SAW bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. (HR Bukhari). 

Dari Ibnu Umar RA berkata: Rasulullah SAW pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir.’ Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati.’ (HR. Bukhari) 

“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari) 

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: 

1. Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, 

2. Waktu sehatmu sebelum tiba waktu sakitmu, 

3. Waktu kayamu sebelum datang waktu kefakiranmu, 

4. Waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, 

5. Waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu.” (HR. Al Hakim) 

“Apa peduliku dengan dunia?. Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi )

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Barzah, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat sebelum ditanya tentang 4 perkara: 

1. Tentang umurnya untuk apa ia habiskan, 

2. masa mudanya untuk apa ia gunakan, 

3. hartanya dari mana diperoleh dan kemana dibelanjakan, dan 

4. ilmunya, apa yang telah diamalkannya.” (HR. Tirmidzi)

Selengkapnya
Permasalahan Sampah dan Penanganannya Untuk Lingkungan Yang Sehat

Permasalahan Sampah dan Penanganannya Untuk Lingkungan Yang Sehat

Perubahan lingkungan sering kali berhubungan dengan meningkatnya populasi manusia dan kemajuan teknologi. Namun seiring dengan meningkatnya populasi manusia dan aktivitas industri, berbagai masalah lingkungan telah bermunculan. Salah satu yang cukup mencolok perhatian adalah permasalahan sampah atau limbah industri yang sering kali terabaikan dan berakibat pada kualitas lingkungan yang tidak sehat.

sampah dan lingkungan
via pixabay

Munculnya permasalahan sampah sangat dipengaruhi oleh tingkat sosial, ekonomi, dan kehidupan suatu masyarakat serta kondisi alamnya. Semakin modern kehidupan masyarakat dengan dunia industri yang berkembang pesat, maka akan semakin meningkat dan beragam pula jumlah limbah sampah yang dihasilkan. Sebelum menjadi masalah yang kompleks dan sulit diatasi, permasalahan ini memang harus segera terpecahkan agar dapat tertangani dengan baik. 

Pemilahan Sampah


Terkait hal ini, ada baiknya kita belajar dari apa yang sudah diterapkan oleh masyarakat di negeri Jepang. Jepang adalah negara yang sangat mementingkan kebersihan. Tingginya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan merupakan kunci keberhasilan manajemen pengelolaan sampah di negara ini. Jepang memiliki sembilan kategori pemilahan sampah, yaitu sampah yang dapat dibakar, kaleng, kaleng semprot, botol plastik, botol kaca, lampu bohlam dan baterai, sampah tak terbakar, sampah besar, serta sampah komersial. 
Sampah-sampah tersebut kemudian harus disortir sendiri oleh warga kota sebelum dibuang pada tempat yang ditentukan sesuai jadwal. Pemerintah Jepang juga memiliki kalender sampah untuk menentukan jenis dan waktu pengumpulan sampah, misalnya tanggal berwarna merah muda untuk sampah yang dapat dibakar pada hari senin. Atau tanggal berwarna kuning untuk sampah plastik pada hari selasa, dan sebagainya. Selain itu, pemilahan sampah ini juga menentukan metode penanganan tiap jenis sampah, misalnya hendak didaur ulang atau dibakar. 

Daur Ulang Sampah


Selain pemusnahan sampah, sebagian limbah organik nyatanya memang dapat dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang. Daur ulang merupakan pemrosesan kembali barang/materi yang pernah digunakan untuk mendapatkan produk baru. Proses daur ulang sampah umumnya tidak mendatangkan berbagai masalah. Berbeda dengan penanganan lain seperti mengubur sampah atau membakarnya yang justru seringkali menyebabkan terjadinya pencemaran dan mengancam kehidupan organisme. 

daur ulang sampah
via pixabay

Inisiatif daur ulang sampah pertama kali telah dimulai di belahan bumi Amerika Utara selama beberapa tahun yang lalu. Di Amerika Serikat, kebijakan pemerintah untuk daur ulang sampah sudah dilakukan semenjak akhir abad ke 19. Pada tahun 1900, sebanyak 1.000 kota di Amerika Serikat telah menggiatkan program daur ulang dan meningkat menjadi 9.000 kota pada tahun 1997. Sementara itu, beberapa kota besar di Kanada juga telah giat melakukan program yang sama. 

Ada banyak manfaat dari proses ini. Selain menurunkan tingkat pencemaran, proses daur ulang juga berkontribusi dalam menjaga kelestarian sumber daya alam di sekitarnya. Melalui proses daur ulang, beberapa sisa material organik yang terbuang dapat diolah lagi untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Bukan hanya itu saja, beberapa limbah juga dapat dikonversikan kembali menjadi produk-produk baru yang tentunya memiliki nilai ekonomi.

Beragam limbah seperti kertas, logam, dan kaca dapat dimanfaatkan kembali dengan mula-mula dipilah-pilah menurut jenisnya. Selanjutnya, masing-masing limbah dihancurkan oleh mesin penghancur sehingga siap digunakan untuk membuat produk baru yang memiliki nilai ekonomi. Contohnya, limbah kertas dapat didaur ulang untuk menghasilkan kertas baru. Limbah kertas dijadikan seperti bubur, dibersihkan, dan kemudian diputihkan dari noda, kotoran, dan tinta sehingga dapat dihasilkan lagi menjadi kertas baru. 

Permasalahan lingkungan sejatinya merupakan perhatian kita bersama. Artinya, setiap orang ikut bertanggung jawab terhadap kualitas kebersihan lingkungannya. Kesadaran terhadap tanggung jawab secara individu pada akhirnya harus dapat merubah perilaku perorangan agar semakin peduli dengan keadaan lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, perilaku sadar lingkungan harus segera dimulai dari diri sendiri alih-alih berpangku tangan sembari menunggu orang lain untuk memulainya lebih dulu. (diolah dari berbagai sumber

Selengkapnya
Kisah Fatimah dan Gilingan Gandum (Nasehat Nabi SAW Kepada Para Wanita/Istri)

Kisah Fatimah dan Gilingan Gandum (Nasehat Nabi SAW Kepada Para Wanita/Istri)

wanita membuat roti
ilustrasi via pixabay 

Salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yakni Abu Hurairah RA pernah bercerita: 

Pada suatu hari, Rasulullah SAW pergi berkunjung ke rumah puterinya yaitu Fatimah az-Zahra'. Sesampainya di sana, dijumpainya puterinya itu sedang menggiling biji gandum menggunakan gilingan batu sambil menangis. Nabi pun bertanya kepadanya, "Apa yang menyebabkan kamu menangis wahai Fatimah?, mudah-mudahan Allah tidak menjadikan kedua matamu menangis". 

Fatimah menjawab, "Yang menyebabkan aku menangis adalah gilingan batu ini dan kesibukanku di rumah setiap hari". 

Ayahnya (Nabi SAW)) kemudian mendekati Fatimah dan duduk di samping puteri tercintanya itu. Fatimah kemudian melanjutkan perkataannya, "Bapakku, aku mohon engkau menyuruh suamiku Ali agar dia membelikan budak untukku, sehingga ia dapat membantuku dalam menggiling gandum dan kesibukan di rumah". 

Mendengar perkataan Fatimah seperti itu, Rasulullah langsung berdiri menghampiri gilingan gandum tersebut lantas mengambil gandum dengan tangannya sendiri untuk dituangkan ke dalam gilingan. Dengan membaca Basmalah, beliau pun menggilingnya. Atas izin Allah SWT, sungguh ajaib gilingan itu dapat berputar dengan sendirinya. Selanjutnya Nabi menuangkan lagi gandum ke dalam gilingan yang sudah berputar sendiri itu. 

Lebih ajaibnya lagi, gilingan itu dapat membaca tasbih dengan bahasa yang berbeda-beda sampai selesainya penggilingan. Nabi kemudian berkata kepada gilingan itu, "Berhentilah engkau dengan izin Allah!" 

Gilingan itu pun berhenti dan dengan izin Allah pula gilingan itu berkata dengan fasih seperti halnya lisan orang-orang Arab, "Ya Rasulullah, demi Dzat yang mengutus engkau sebagai Nabi dan Rasul. Seandainya engkau memerintahkan aku untuk menggiling biji gandum yang ada di ujung timur sampai di ujung barat, pasti aku akan menggilingnya semua. Dan sesungguhnya aku telah mendengar firman Allah:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوٓا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim, 6)

Oleh karenanya, aku khawatir kalau aku termasuk batu yang dimasukkan ke dalam neraka. 

Nabi berkata, "Berbahagialah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah batu dari sebagian gedungnya Fatimah az-Zahra' kelak di surga". 

Setelah mendengar penuturan Nabi seperti itu, gilingan batu itu pun merasa tenteram dan senang. 

Nabi SAW kemudian berkata kepada Fatimah:

"Seandainya Allah menghendaki, niscaya gilingan ini akan menggiling dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki lain. Dengan jerih payahmu, Allah mencatat beberapa kebaikan untukmu dan menghapus beberapa kejelekan darimu, serta mengangkat derajatmu. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka tidak lain kecuali Allah mencatat baginya kebaikan dari setiap biji gandum yang dibuatnya tersebut. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang berkeringat lantaran membuat tepung untuk suaminya, maka tidak lain kecuali Allah membuatkan tujuh pintu baginya untuk memisahkan antara dirinya dengan neraka. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang meminyaki rambut anaknya, menyisir dan mencucikan pakaiannya, maka tidak lain kecuali Allah menetapkan baginya pahala orang yang memberi makan seribu orang lapar serta pahala orang yang memberi pakaian orang yang telanjang. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang mencegah atau menghalangi kebutuhan tetangganya, maka Allah akan mencegahnya untuk meminum air telaga kautsar kelak di hari kiamat. 

Hai Fatimah, yang lebih utama dari semua yang aku sebutkan tadi adalah ridha suami terhadap istrinya. Seandainya suamimu tidak meridhaimu, niscaya aku juga tidak akan mendoakan kebaikan untukmu. Apakah engkau tidak mengetahui hai Fatimah?, Sesungguhnya ridha suami itu sebagian dari ridha Allah. Dan murka suami itu sebagian dari murka Allah. 

Hai Fatimah, jika seorang wanita hamil, maka para malaikat akan memintakan ampun baginya. Dan Allah akan mencatat baginya seribu kebaikan setiap hari. Serta melebur darinya seribu kejelekan. Jika sewaktu mengandung dia merasakan kepayahan, maka Allah mencatat baginya pahala sebagaimana pahalanya orang yang berjihad di jalanNya. Apabila dia melahirkan, bebaslah dia dari dosa-dosanya, sehingga seperti bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang melayani suaminya dengan niat yang baik, maka tidak lain kecuali dia bebas dari dosa-dosanya seperti saat baru dilahirkan ibunya. Dia tidak akan keluar dari dunia dengan membawa dosa sedikitpun. Dia akan merasakan bahwa kuburnya laksana taman dari sebagian taman surga. Allah memberinya pahala sebagaimana pahalanya seribu orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan para malaikat selalu memintakan ampun baginya sampai hari kiamat tiba. 

Mana saja wanita yang melayani suaminya dengan ikhlas dan niat yang baik, maka tidak lain kecuali Allah mengampuni dosa-dosanya kelak di hari kiamat, memberinya pakaian yang hijau-hijau, mencatat baginya dari setiap rambut yang ada pada dirinya dengan seribu kebaikan serta memberinya pahala seperti pahalanya seratus orang yang melakukan haji dan umrah. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang selalu tersenyum di hadapan suami, maka tidak lain kecuali Allah memandangnya dengan pandangan penuh rahmat. Dan mana saja wanita yang berkumpul bersama suaminya dengan baik hati, maka tidak lain ada orang yang akan berkata kepadanya, "Hadapi amalmu! Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang". 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang mau memberi minyak pada rambut suami beserta jenggotnya, mau mencukur kumisnya, memotong kukunya, maka tidak lain kecuali Allah akan memberinya minuman arak dari surga yang masih murni, minuman dari bengawan surga, meringankan ketika sakaratul maut, dia akan merasakan bahwa kuburnya seperti taman surga, Allah mencatatnya sebagai orang yang selamat dari neraka dan dipermudah di saat melewati Shirath di hari kiamat kelak." (dinukil dari Syarh ′Uqud al Lujjain fi Bayaani Khuquuqi Az Zawjain karya Syaikh Nawawi al-Bantani)

Selengkapnya
Pentingnya Kerukunan dalam Kehidupan Bersama Umat Manusia

Pentingnya Kerukunan dalam Kehidupan Bersama Umat Manusia

Di negeri nan indah ini, dijumpai berbagai golongan umat beragama yang tentu saja memiliki perbedaan dalam keyakinan, keimanan, dan cara peribadahannya. Walaupun demikian, masing-masing umat beragama tersebut memiliki keinginan yang sama yakni terwujudnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang damai, aman, tenteram, adil, serta makmur secara materiil dan spiritual. 

rukun

Dalam Islam, kerukunan termasuk ajaran yang harus diwujudkan dalam kehidupan bersama umat manusia. Hal ini karena kerukunan merupakan modal utama untuk terwujudnya ketenteraman, kedamaian, dan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, perselisihan atau permusuhan merupakan penyebab datangnya berbagai kerugian dan bencana. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kerukunan berarti perihal hidup rukun; rasa rukun; kesepakatan. Sedangkan arti rukun itu sendiri adalah baik dan damai; bersatu hati atau sepakat. 
Islam merupakan agama yang mencintai kerukunan dan perdamaian. Hal ini sering dicontohkan oleh Rasulullah SAW misalnya saat terjadi perselisihan di antara para pengikutnya. Beliau mengajarkan agar pihak-pihak yang berselisih melakukan usaha-usaha dengan segera dan dengan cara yang bijaksana agar perselisihan di antara mereka segera berakhir, dan mereka kembali hidup rukun. 

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Janganlah kamu putus-memutuskan hubungan, belakang-membelakangi, benci-membenci dan hasut-menghasut. Hendaklah kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara satu sama lain dan tidaklah halal bagi (setiap) muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari". (HR. Bukhari dan Muslim). 

Jika pihak-pihak yang berselisih atau bermusuhan tidak mampu menyelesaikan sendiri perselisihan atau permusuhan mereka, maka pihak ketiga hendaknya segera berusaha dengan cara yang bijaksana untuk merukunkan orang-orang atau sekelompok orang yang berselisih atau bermusuhan itu. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

"Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya."... (QS. Al-Hujurat, 9)

Dalam hadits lain, Rasulullah juga pernah bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada kalian perkara yang lebih utama dari puasa, shalat, dan sedekah?". Mereka (para sahabat) menjawab, "Tentu saja mau wahai Rasulullah!". Rasulullah SAW bersabda, "Yaitu mendamaikan di antara kamu, karena rusaknya perdamaian (kerukunan) di antara kamu merupakan pencukur (perusak) agama". (HR. Abu Daud dan Turmudzi) 

Begitu pula dalam kehidupan bersama dengan umat lain, Rasulullah juga senantiasa mengajarkan umatnya untuk dapat hidup berdampingan dengan umat lain secara damai, rukun, dan saling menghargai akan perbedaan yang ada. Berikut ini merupakan beberapa contoh praktek pergaulan antarumat beragama sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW:
  • Seorang sahabat Nabi bernama Ka'ab bin Ajzah RA pernah bercerita kepada Rasulullah bahwa dirinya bekerja pada seorang beragama Yahudi lalu memperoleh upah darinya. Nabi Muhammad SAW membolehkan perbuatan tersebut. 
  • Rasulullah SAW pernah memberikan hadiah kepada Raja Najasyi dan orang Yahudi, dan pernah pula menerima hadiah dari beberapa raja non-Muslim pada masa itu.
  • Tatkala Rasulullah SAW dan para sahabatnya sedang berkumpul, tiba-tiba lewatlah sekelompok orang mengusung jenazah. Ketika jenazah itu lewat, seraya Nabi SAW berdiri sebagai tanda hormat. Lalu ada seorang sahabat yang bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah itu mayat Yahudi?". Rasulullah SAW kemudian menjawab, "Bukankah itu nyawa juga?". "Ya", jawab orang itu. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, "Setiap nyawa menurut Islam harus dihormati dan mempunyai tempat"
  • Abu Thalib adalah seorang paman dari Nabi Muhammad SAW yang mengasuh, merawat, dan melindungi beliau semenjak beliau berusia 8 tahun. Setelah Nabi diangkat menjadi Rasul, beliau mengajak pamannya tersebut agar masuk Islam. Tetapi ajakan Nabi tersebut tidak dipenuhinya hingga pamannya itu meninggalkan dunia tetap dalam kekafiran. Meskipun begitu, hubungan antara Nabi SAW dengan pamannya itu tetap terjalin baik. Rasulullah SAW tetap sayang dan hormat kepada Abu Thalib, pamannya. Sebaliknya, Abu Thalib pun juga tetap sayang dan melindungi Nabi SAW dari gangguan orang-orang kafir Quraisy.

Selengkapnya
Ghibah, Fitnah, dan Cara Kita Menyikapi Datangnya Suatu Berita

Ghibah, Fitnah, dan Cara Kita Menyikapi Datangnya Suatu Berita

ilustrasi nggunjing
ilustrasi via istockphoto 

Secara bahasa, kata ghibah (jawa: ngerasani) berasal dari bahasa Arab غيبة yang artinya tidak tampak atau tersembuyi. Pengertian ghibah yaitu mengumpat/ menggunjing, menyebut atau membicarakan hal-hal yang tidak disukai oleh orang yang digunjing, seperti kekurangannya, keburukannya, atau aibnya, kepada orang lain dengan maksud buruk untuk mengolok-olok atau mencemarkan nama baiknya. Disebut ghibah juga karena orang yang digunjing atau diumpat tersebut tidak ada di tempat terjadinya percakapan (tidak mendengarkan langsung).

Adapun fitnah (فتنة) adalah kabar bohong tentang keburukan (aib) seseorang atau sekelompok orang yang disampaikan atau disebarkan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain atau masyarakat umum. Fitnah merupakan perbuatan buruk yang sangat dilarang oleh agama. Demikian buruknya akibat dari perbuatan fitnah ini, sehingga Allah SWT berfirman:

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ .... 

"..... Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.." (QS. Al-Baqarah, 191)

Juga sabda Rasulullah SAW:

لايدخل الجنة قتات

"Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba (menyebarkan fitnah)" (HR. Bukhari dan Muslim) 

Terkait perbedaan antara ghibah dan fitnah, mungkin kita bisa cermati percakapan antara Rasulullah SAW dan para sahabat berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:

"Tahukah engkau apakah ghibah itu?". Para sahabat menjawab, "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui". Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan, "(Ghibah itu adalah) engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan kata-kata yang tidak disenanginya". Para sahabat kemudian bertanya, "Bagaimana pendapat engkau wahai Rasulullah, jika memang terdapat pada saudaraku apa-apa yang saya katakan?". Nabi SAW kemudian menjawab, "Jika memang ada padanya apa yang kamu katakan itu, berarti kamu telah mengumpat/ menggunjing. Namun jika tidak ada berarti kamu telah berbuat kebohongan yang keji terhadap dirinya (fitnah)". (HR. Muslim). 

Antara ghibah dan fitnah, keduanya adalah termasuk perilaku tercela yang dilarang Allah SWT. Bahkan dalam kehidupan sosial masyarakat, kedua perilaku ini juga dapat mendatangkan kerugian dan bencana. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim kita mesti selalu berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku di dalam keseharian kita. 

Memang dalam kehidupan sosial antar warga masyarakat tidak jarang muncul kabar-kabar berita miring yang belum pasti kebenarannya. Kabar-kabar berita tersebut dengan begitu mudahnya tersebar dari mulut ke mulut dan dari rumah ke rumah hingga menjadi topik pembicaraan. Terkait hal itu, lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita terhadap datangnya suatu kabar berita tentang keburukan (aib) seseorang atau suatu kelompok?. 

Berikut ini beberapa cara yang bisa kita lakukan agar tidak mudah terjerumus pada perbuatan ghibah dan fitnah:

1. Jangan cepat-cepat kita mempercayai kebenaran berita itu, karena mungkin saja pembawa berita itu orang fasik yang sengaja membuat fitnah. Kalau memang dirasa perlu dan ada manfaatnya, seyogyanya berita itu dicek dulu kebenarannya. Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًۢا بِجَهٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِينَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat, 6)

2. Memberi nasihat dengan bijaksana (mengingatkan) kepada pembawa berita tersebut bahwa menceritakan keburukan (aib) seseorang itu adalah perilaku tercela yang seharusnya dihindari.

3. Jangan ikut menyiarkan berita tentang keburukan (aib) seseorang yang kita terima (dengar) kepada orang lain. Karena kalau hal tersebut dilakukan, berarti kita ikut melakukan ghibah atau fitnah yang dilarang Allah, dan kita berdosa karenanya. 

4. Jangan langsung berprasangka buruk kepada orang yang keburukannya (aibnya) disampaikan kepada kita. Dalam firmanNya Allah SWT menyebutkan:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ  ۖ  وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا  ۚ  أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ  ۚ  وَاتَّقُوا اللَّهَ  ۚ  إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat, 12)

5. Sebagai orang Islam, hendaknya kita membenci perbuatan ghibah dan fitnah karena Allah SWT, dan hendaknya kita selalu berusaha agar jangan sampai terpancing untuk melakukan ghibah, apalagi fitnah. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menghindarkan api neraka dari wajahnya". (HR Ahmad)

Selengkapnya
Hidup Bersanding, Bukan Bertanding

Hidup Bersanding, Bukan Bertanding

peringatan sumpah pemuda
via radarsurabaya 


28 Oktober 1928 menjadi hari yang luar biasa bersejarah bagi bangsa Indonesia karena ketika itu para pemuda yang terdiri dari berbagai suku dan etnis bersatu untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda. Namun dalam proses menjadi Indonesia, setidaknya ada tiga tahapan yang menjadi tonggak sejarah amat penting untuk diacu kembali guna menata kembali kerangka pikir kita sebagai bangsa yang kini sedang dalam kondisi krisis di segala bidang. 

Selain peristiwa pada tanggal 28 Oktober yang diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda, 20 Mei 1908 menjadi tonggak awal sejarah perjuangan bangsa ini dimana pada masa itu berdiri sebuah organisasi kemasyarakatan berpaham kebangsaan (Budi Utomo) yang kemudian diikuti organisasi-organisasi lainnya. Puncaknya, 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa berbagai suku bangsa yang berikrar pada 1928 telah menjadi satu bangsa yang merdeka yakni bangsa Indonesia. 

Dari ketiga peristiwa bersejarah ini, kita hendaknya bisa memahami bagaimana para pejuang dan pendiri bangsa ini telah berjuang sekuat tenaga dan pikiran demi terwujudnya satu wadah bersama dalam satu kesatuan yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di masa-masa krisis seperti ini, hendaknya kita berkaca kembali kepada peristiwa-peristiwa tersebut untuk merekatkan kembali masalah kesatuan bangsa yang kini cenderung retak.

Ketiga peristiwa bersejarah tersebut menjadi gambaran nyata dari pancaran sinar keikhlasan masing-masing suku bangsa untuk bersepakat mengubah statusnya dari berbagai suku bangsa menjadi satu bangsa. Contoh betapa tingginya rasa ikhlas dan toleransi ini juga tercermin dari penggunaan bahasa daerah Melayu-Riau yang diterima oleh semua suku bangsa di negeri ini sebagai bahasa Nasional (bahasa persatuan) sebagaimana tercantum juga dalam ikrar sumpah pemuda.

Menurut data pada tahun 1930, jumlah pemakai bahasa suku bangsa pada saat itu menunjukkan bahwa pemakai bahasa Jawa merupakan jumlah yang paling tinggi (47,02%), bahasa Sunda sebanyak 14,53%, sementara bahasa Melayu hanya 4,97% dari jumlah penduduk Nusantara saat itu. Namun baik masyarakat Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis, dan lain-lain, semuanya menerima dengan ikhlas dan sepakat untuk menjunjung tinggi bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Nasional yakni Bahasa Indonesia.

Namun sayangnya, rasa ikhlas sebagai bangsa yang satu kini semakin menipis. Hampir setiap aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlangsung dan diakhiri dengan tindakan yang mencerminkan tidak adanya keikhlasan apalagi toleran. Mengedepankan kepentingan masing-masing, kegiatan saling menuding, menyalahkan, menjatuhkan, menyerang, merusak, membakar, menyakiti, melukai, bahkan hingga menghilangkan nyawa orang kini seperti menjadi hal yang biasa.

Krisis yang terjadi seperti ini mencerminkan adanya pergeseran tentang apa hak dan kewajiban warga negara untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa. Dewasa ini, sikap kita tidak lagi menjunjung prinsip hubungan bersanding, tetapi telah bergeser ke arah hubungan bertanding. Dalam prinsip bertanding, hubungan tercipta dalam posisi berlawanan dan bersaing sehingga masing-masing berusaha untuk mendapatkan kemenangan. Tampaknya seperti inilah yang kini sedang terjadi, dimana suasana pertandingan antar kelompok yang berkepentingan terjadi tidak hanya di lapisan atas, tetapi juga merebak ke segala lapisan masyarakat.

Dari momentum bersejarah di atas, marilah kita kembali sadar bahwa kita hidup di negeri yang indah ini sebagai satu bangsa yang hidup dalam hubungan bersanding, bukan bertanding. Masing-masing dari kita memang berbeda suku, beda etnis, beda organisasi, atau beda partai, namun kita hidup bersandingan dalam satu wadah yang sama. Bila dalam prinsip bertanding akan tercipta lawan atau musuh, maka dalam prinsip bersanding akan tercipta hubungan persaudaraan dalam kesejajaran untuk saling menghargai, menghormati, mengasihi, menyayangi dan saling menjaga demi keutuhan bangsa ini.

Hubungan antar suku bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada hakikatnya merupakan hubungan persandingan, karena masing-masing suku bangsa memiliki budaya yang berbeda. Konsep hubungan persandingan yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa sangat tepat dan bijaksana karena fokusnya adalah pemahaman masyarakat. Justru dengan adanya perbedaan inilah akan tercipta sebuah mozaik yang indah, unik, dan menarik. Pada intinya, meskipun berbeda-beda, namun pada hakikatnya kita satu, Bhineka Tunggal Ika.


Disarikan dengan berbagai perubahan dan penambahan dari artikel dengan judul yang sama dalam rubrik Opini, Media Indonesia, 2006.

Selengkapnya
Cara Merawat Iman (Analogi Bercocok Tanam)

Cara Merawat Iman (Analogi Bercocok Tanam)

Berkurangnya kualitas iman seseorang memang sangatlah berbahaya. Iman yang tipis akan berdampak pada berkurangnya ketaatan dalam beribadah kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada sesama. Dalam hal ini, memang ada hubungan timbal balik antara iman (aqidah), ibadah (syariah), dan akhlak (mu'amalah). Dari ketiganya ini, iman berada pada posisi dasar yang melahirkan ibadah dan akhlak. Sebaliknya, kualitas ibadah dan akhlak dapat juga berpengaruh kepada kualitas iman. 

Oleh karenanya, iman yang telah kita miliki ini wajiblah kita syukuri dengan cara menjaga dan merawatnya. Lantas bagaimana caranya kita merawat dan menumbuh suburkan keimanan kita agar semakin meningkat kualitasnya?. Mungkin kita bisa belajar dari analogi ilmu bercocok tanam berikut ini.

benih tumbuh
via pixabay

Suatu tanaman akan dapat tumbuh dengan subur sangat dipengaruhi oleh empat hal, yaitu tanah, air, sinar matahari, dan pupuk. Apabila salah satu atau beberapa dari keempat unsur tersebut tidak dapat terpenuhi, maka benih tanaman yang telah disemaikan akan kurus, tidak sehat, berpenyakitan, atau bahkan mati sebelum berkembang dan menghasilkan buah. 

Iman dapat diibaratkan seperti benih bervaritas unggul yang tahan terhadap segala sesuatu. Ia telah disemaikan oleh Allah kepada setiap roh manusia, semenjak roh tersebut berada di alam arwah, atau sebelum Allah meniupkannya ke rahim sang ibu saat ibu hamil. 

Ya, iman telah kita terima langsung dari Allah sejak kita masih berada di alam arwah. Saat itu, tiap-tiap roh ditanya oleh Allah, "alastu birabbikum?" (bukankah Aku ini Tuhanmu?). Kemudian roh kita menjawabnya: "balaa syahidna" (benar, kami telah bersaksi). Hal ini juga sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلٰىٓ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ  ۖ  قَالُوا بَلٰى  ۛ  شَهِدْنَآ  ۛ  أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِينَ

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini". (QS. Al-A'raf, 172)

Adapun lingkungan, dalam ilmu bercocok tanam dapat diibaratkan seperti halnya tanah atau tempat bersemainya benih. Pencerahan atau siraman rohani ibarat air, hidayah Allah ibarat sinar matahari, dan ibadah ibarat pupuknya. Pemilihan tempat persemaian yang tepat menjadi hal penting agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Begitu juga dengan iman, lingkungan yang baik juga ikut menentukan sejauh mana kadar keimanan seseorang.

Pada kenyataannya, lingkungan tempat kita berada memang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan kualitas iman. Sampai-sampai untuk memilih rumah sebagai tempat tinggal, Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita agar mendahulukan memilih tetangga. Beliau bersabda:

إلتمسوا الرفيق قبل الطريق والجار قبل الدار

"Carilah kawan sebelum berjalan dan pilihlah tetangga sebelum memilih rumah (tempat tinggal)" (HR. al-Khatib dari Ali). 

Mengenai siraman rohani yang diibaratkan air, tepatlah kebijaksanaan Allah yang mewajibkan setiap laki-laki muslim yang sudah baligh, sekali dalam seminggu untuk menerima siraman rohani melalui khutbah jum'at. Bahkan Rasulullah SAW juga mewajibkan bagi setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu sepanjang hidupnya. Karena dengan landasan ilmulah, seseorang akan dapat lebih khusyu', tunduk, taat kepada Allah, dan imannya menjadi lebih kuat dan teguh. 

Adapun hidayah Allah yang diibaratkan sinar matahari, hal ini mesti diperhatikan betul-betul agar Allah berkenan untuk memberikan pancaran hidayahNya kepada kita.  

Mengenai hal ini, kita dapat mengambil pelajaran dari wafatnya pamanda Nabi yaitu Abu Thalib yang masih dalam keadaan kafir (wallahu a'lam). Padahal sebenarnya lingkungannya cukup mendukung karena dekat dengan Nabi yang merupakan keponakannya sendiri. Siraman Nabi pun tidak kurang-kurang agar sang paman segera beriman kepada Allah. Bahkan sebelum wafat, Nabi pun sempat mentalqinkannya. Karena kesedihan Nabi merenungi nasib buruk sang paman, beliau kemudian menerima wahyu dari Allah yang menyatakan:

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِى مَنْ يَشَآءُ  ۚ  وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk". (QS. Al-Qasas, 56)

Persoalan hidayah Allah memang tidak sembarang orang dapat memperolehnya. Oleh karenanya, kita harus senantiasa berusaha agar kita dianugerahi iman yang kuat. Pancaran hidayahNya ini haruslah kita minta melalui permohohan doa. Salah satu doa yang diajarkan Nabi agar selalu kita amalkan ialah:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

"Ya Allah, tolonglah saya untuk dapat dengan mudah mengingatMu, mensyukuri rahmatMu, dan meningkatkan kualitas ibadahku kepadaMu"

Terakhir, ibadah adalah laksana pupuk yang berfungsi untuk membuat tanaman menjadi sehat dan subur. Islam adalah agama amal, bukan hanya soal keyakinan. Setiap muslim tidak hanya dituntut untuk beriman, tetapi juga dituntut untuk beramal sholeh. Keimanan harus diwujudkan dalam bentuk amal yang nyata, yaitu ibadah yang dilakukan hanya semata karena Allah. Ibadah juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim selagi hayat masih di kandung badan. Allah SWT berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

"dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu". (QS. Al-Hijr, 99)

Analogi ibadah laksana pupuk juga akan lebih tepat kiranya jika kita kaitkan dengan amalan ibadah sunnah untuk melengkapi ibadah wajib yang memang diperintahkan. Pengamalan ibadah-ibadah sunnah akan memupuk rasa keimanan kita sehingga akan semakin kuat dan tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai godaan. Amalan-amalan tersebut dapat kita wujudkan misalnya melalui perbanyak shalat sunnah, memperbanyak baca Al Qur'an, memperbanyak sedekah, dan lain sebagainya. 

Dalam Islam, ibadah bertujuan untuk mewujudkan kedekatan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yakni berupa bentuk ketundukan, kepatuhan, dan kerendahan diri dihadapan Allah SWT. Bukan hanya itu saja, dalam pemahaman lain ibadah juga merupakan tujuan hidup manusia yang menunjukkan tugas kita sebagai salah satu makhluk ciptaanNya.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku". (QS. Az-Zariyat, 56). 



*Artikel di atas bersumber dari tulisan H. A. Manan Idris dalam "Penyejuk Hati Penjernih Pikiran", Misykat, Malang. 

Selengkapnya