Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Terkait Pergaulan Dalam Menjalani Hidup

Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Terkait Pergaulan Dalam Menjalani Hidup

Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Sebagai individu, setiap manusia memiliki kepribadian yang berbeda antara satu dengan lainnya, mulai dari penampilan fisik, kemampuan, kebutuhan, sikap dan perasaan. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya. Bahkan sejak lahir, seseorang sudah membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.

pergaulan muslim
ilustrasi via al-ibar.net

Sebagai Muslim, kita juga memahami bahwa manusia pada kodratnya adalah makhluk sosial. Seseorang tidak akan memperoleh keutamaan dan menjadi baik dalam hidupnya jika dia tidak mempunyai teman dan terasing dari masyarakatnya. Artinya, ia harus bisa bergaul dan menunjukkan sikap sosial yang positif di dalam hidup bermasyarakat. Bentuk sikap sosial yang positif antara lain yaitu tenggang rasa, solidaritas, dan bekerja bersama dengan damai dalam masyarakat.  

Salah satu perilaku positif yang dapat kita biasakan adalah dengan selalu berbaik sangka (husnuddzan) dalam bergaul. Selain berprasangka baik kepada Allah, kita juga hendaknya selalu berpikir positif kepada sesama. Dengan sikap dan cara pandang seperti ini, maka seseorang dapat melihat sesuatu secara positif sehingga hati dan pikirannya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenarannya. Terkait hal ini, Sulthanul Auliya' Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpesan:

"Apabila engkau menjumpai seseorang yang kaulihat lebih utama atasmu, maka ucapkanlah: Bisa jadi dia menurut Allah lebih bagus daripada aku dan juga lebih tinggi derajatnya"

"Jika orang itu lebih kecil, maka ucapkanlah: Anak ini belum durhaka kepada Allah tetapi aku sudah, maka tidak ragu lagi ia lebih bagus daripada aku".

"Jika orang itu lebih tua, maka katakanlah: Orang ini telah mengabdi kepada Allah sejak sebelum aku".

"Jika orang itu alim maka ucapkanlah: Orang ini dianugerahi ilmu yang belum kuketahui dan mencapai sesuatu yang belum kucapai juga mengetahui sesuatu yang belum kuketahui, dan ia pun berbuat atas dasar ilmunya itu".

"Jika orang itu bodoh maka ucapkanlah: Orang ini durhaka kepada Allah karena ia belum tahu, tetapi aku durhaka kepadaNya justru karena sudah tahu, dan aku pun tidak tahu bagaimana nanti akhir hayatku dan akhir hayatnya"

"Jika orang itu kafir, maka katakanlah: Aku tidak tahu pasti, bisa jadi ia masuk Islam dan mati khusnul khatimah, bisa jadi pula aku kafir dan mati su-ul khatimah"

Selalu berprasangka baik memang banyak mengandung hikmah dan manfaat. Meskipun begitu, kita juga harus pandai dalam memilih pergaulan yang baik dan sesuai dengan ajaran kebenaran dalam Islam. Jangan sampai kita terbawa arus pergaulan buruk yang dapat menjerumuskan kita ke dalam jurang kehinaan. Dalam kesempatan lain, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga pernah mengatakan bahwa manusia itu ada 4 macam, yaitu: 

1. Orang yang tidak mempunyai lidah dan juga hati nurani. Dia adalah orang yang liar dan senantiasa berbuat durhaka kepada Tuhannya. Terhadap orang seperti itu, hendaknya kita waspada dan jangan bergaul dengannya. Sebab, ia terancam dengan siksa. 

2. Orang yang mempunyai lidah tetapi tidak punya nurani. Ia berbicara penuh hikmah tapi tidak melaksanakannya. Ia juga menyeru umat manusia ke jalan Allah, tetapi ia sendiri malah lari menjauh darinya. Orang ini hendaknya juga dijauhi, agar kita tidak terlahap oleh bicaranya yang manis, tidak terbakar oleh api maksiatnya, dan agar tidak terkena racun hatinya yang busuk. 

3. Orang yang mempunyai nurani tetapi tidak punya lidah. Dialah orang mukmin yang disembunyikan oleh Allah dari para hamba. Ia dikaruniai bisa melihat aib-aib dirinya sendiri, hatinya disinari nur Ilahi dan dapat mengetahui efek negatif dari pergaulan dengan umat manusia dari lontaran kata-kata. Dialah wali Allah yang senantiasa terlindungi dalam Tabir Allah Ta'ala. Padanyalah terdapat segala kebaikan. Dekatilah ia, bergaullah dengannya dan mengabdilah bersamanya, agar engkau dikasihi oleh Allah Ta'ala.

4. Orang yang senantiasa belajar, mengajar, dan mengamalkan ilmunya. Dialah ulama yang ahli tentang Allah dan ayat-ayat Allah. Dadanya dilapangkan dan di sini Allah menebarkan ilmu-ilmu-Nya yang tinggi. Hendaklah kita waspada, jangan sampai berselisih pendapat dengannya, jangan pula menjauh darinya, dan jangan lepas berpegangan dengan nasihatnya.

Sumber rujukan: Nashaih al 'Ibaad karya Syaikh Nawawi Al Bantani

Selengkapnya
Peliknya Permasalahan Hidup Masyarakat Modern dan Solusinya

Peliknya Permasalahan Hidup Masyarakat Modern dan Solusinya

Masyarakat modern seringkali diidentikkan dengan masyarakat yang berkemajuan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, rasional, mandiri, dan bebas. Asumsi kita selama ini hanya orang yang pendidikannya rendah dan tidak menguasai teknologi canggih serta berasal dari masyarakat lapis bawah saja yang selalu mempunyai masalah. Mulai dari masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan kumuh, dan mentalitas rendah. 

Asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, karena masyarakat modern yang rasionalis, sekularis, materialis, dan menguasai teknologi canggih pun tidak semuanya mampu menghadirkan kenyamanan, kebahagiaan, kehangatan, dan ketenteraman dalam hidupnya. Bahkan ada kecenderungan, bahwa semakin modern kehidupan seseorang, maka tuntutan hidup juga akan semakin meningkat. Maka apabila seseorang tidak mampu mengendalikan kehidupannya, akan menimbulkan permasalahan baru bagi hidupnya, yakni kegelisahan spiritual dan kekeringan rohani serta tekanan kejiwaan. 

Penyebabnya tidak lain karena kehidupan masyarakat modern lebih banyak dipenuhi oleh rutinitas fisik, pemikiran, dan persaingan hidup, sehingga tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk menyuburkan kehidupan batiniah, kehidupan sosial (silaturahmi) dan kebutuhan rohaninya. Berkaitan dengan hal ini, Baginda Besar Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya: “Kebaikan yang paling cepat pahalanya ialah berbakti dan mengokohkan silaturahmi (mengokohkan hubungan kekerabatan). Dan kejahatan yang paling cepat siksanya ialah kezaliman dan memutuskan hubungan kerabat.” (H.R. Ibnu Maiah).

Kezaliman dalam bentuk modern bisa berupa realisasi paham kapitalisme, illegal logging, korupsi, manipulasi, monopoli, dan sebagainya. Adapun bentuk pemutusan silaturahmi modern bisa berupa individualisme, egoisme, ataupun sikap mementingkan golongan atau kelompoknya. Masyarakat modern yang cenderung rasional, sekuler, dan materialistik telah menyebabkan hilangnya visi keilahian dan nilai-nilai kerohanian mereka, sehingga dengan mudah menimbulkan gejala-gejala psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual. 

Banyak masalah
ilustrasi via pixabay

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat rasionalisme yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern tidak mampu memenuhi kebutuhan vital manusia, yakni kehangatan dan ketenangan rohaniah, yang semuanya itu hanya dapat diperoleh melalui wahyu Ilahi. Akibatnya, sekarang ini banyak dijumpai masyarakat yang mengalami stres karena adanya tekanan dan kelelahan psikologis. Mereka tidak lagi mempunyai pegangan dan sandaran hidup. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Naisbit dan Aburdene dalam bukunya yang sangat terkenal Megatrends 2000. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat di era modern sekarang ini, tidak memberikan makna tentang kehidupan. 

Semula banyak orang terpesona melihat gemerlapnya modernisasi. Mereka beranggapan bahwa modernisasi akan membawa kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Ternyata ada sisi yang tidak terdeteksi yakni ada gejala the agony of modernization, yaitu azab dan sengsara karena modernisasi. Gejalanya adalah meningkatnya angka kriminalitas yang diikuti dengan tindak kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat/narkotika, kenakalan remaja, prostitusi, gangguan jiwa, dan gejala psikopat. 

Abu al-Wafa al-Taftazani dalam The Role Sufisme mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisahan masyarakat modern sebagai berikut:

  • Perasaan takut akan kehilangan apa yang sudah dimiliki. 
  • Perasaan khawatir terhadap masa depan yang tidak disukainya. 
  • Perasaan kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan memenuhi kepuasan spiritual. 
  • Banyak melakukan pelanggaran dan dosa. 

Lantas Apa Solusinya? 

Kehidupan pada masa modern adalah kehidupan yang penuh tantangan dan godaan. Kehidupan yang serba permisif, serba boleh, serta tawaran hidup yang hedonis, konsumtif, dan serba instan, menyebabkan manusia mudah tergiur mengikuti tawaran-tawaran hidup yang serba mewah. Bagi yang tidak mampu mengendalikan diri dari jeratan keinginan menurutkan hawa nafsu duniawinya, maka ia akan semakin jauh dari ketenangan, kedamaian dan kesucian hidupnya.

Untungnya, ada sebagian masyarakat yang menyadari bahwa apabila manusia hanya mengejar kepuasan duniawi maka ada sesuatu yang lepas dari kehidupan kita, yakni ketenangan, kedamaian, jiwa welas asih, sifat kemanusiaan terhadap sesama sehingga menyebabkan jiwanya kering dan mudah retak atau stres karena tidak ada tempat untuk menyandarkan permasalahan hidup yang dihadapinya. Mereka mulai menyadari kebenaran dari firman Allah dalam Surah Ar-Ra'd ayat 28: 

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."

Ayat di atas menegaskan bahwa ketenangan dan kebahagiaan hakiki berada di dalam hati manusia, bukan pada jumlah kekayaan yang dimiliki atau tingginya jabatan yang disandangnya. Adapun mengenai pentingnya hati, Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

"Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah anggota tubuh seluruhnya, dan apabila ia buruk, maka buruk pulalah anggota tubuh itu seluruhnya. Ingat, itulah hati." (H.R. Bukhari-Muslim) 

Berzikir memang merupakan upaya untuk merasakan ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Inilah cara yang sudah semestinya dilakukan oleh manusia modern untuk membina hati mereka, membina rohani mereka agar mempunyai tempat bersandar dari kelelahan perjalanan hidup mereka. 

Memang, ketika suatu masyarakat sudah terkena penyakit alienasi (keterasingan) karena adanya pengaruh dari proses pembangunan dan modernisasi, maka pada saat itulah manusia modern sebenarnya mulai membutuhkan pedoman hidup yang bersifat spiritual yang mendalam untuk menjaga integritas kepribadiannya. Hal ini penting agar mereka terbebas dari penyakit hati baik yang berupa kegelisahan, stres maupun kejahatan-kejahatan yang dimungkinkan muncul sebagai dampak dari kehidupan modern yang penuh dengan kompetisi. 

Itulah gambaran dari kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Ada kelebihan yang bisa dinikmati dari modernisasi tetapi juga ada celah kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat moralitas. Mulai dari rasa hampa dan keringnya jiwa hingga tingkah laku yang melampaui batas kemanusiaan dan kesusilaan. 

Masyarakat modern sangat membutuhkan sentuhan spiritual untuk menyejukkan dan menyirami hatinya yang telah kering dan beku, serta melabuhkan perasaan gundah dan gelisah. Ajaran agama menawarkan sebuah kegiatan yang dapat menghangatkan jiwa, menenteramkan hati dan menyejukkan rasa serta menghindarkan diri dari hawa nafsu dunia yang menyesatkan, sehingga akan melahirkan suatu kehidupan baru yang dihiasi dengan akhlakul karimah. 

Dengan kembali memperdalam agama dari para Ulama dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan masyarakat modern dapat mewujudkan keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, antara duniawi dan ukhrawi, sekaligus menekan tuntutan hidup duniawi yang berlebihan yang sering menyebabkan manusia lupa akan harkat dan martabatnya. Wallaahu A'lam

Selengkapnya
Arti Kesetiaan dan Pengorbanan Karna

Arti Kesetiaan dan Pengorbanan Karna

Dalam hidup, kita banyak disuguhi berbagai kisah yang menceritakan mengenai kesetiaan dan pengorbanan. Bahkan adakalanya kedua hal tersebut mesti diraih dengan menghinakan diri demi tergapainya tujuan yang mulia. Mungkin inilah tujuan yang hendak dicapai oleh Karna. Dalam tokoh pewayangan, Karna adalah kakak tertua dari para Pandawa. Meskipun begitu, dalam perang besar Mahabarata, ia justru berada di pihak yang berseberangan dengan para saudaranya, Pandawa. Ia menjadi pendukung besar pihak Kurawa, yang dipimpin Duryudana.

Basukarna
ilustrasi

Karna adalah putra angkat dari kusir kerajaan Hastinapura, Adirata. Ia lahir dari Kunti, ibu para Pandawa, dengan ayah Batara Surya. Ia 'dibuang' oleh ibunya dengan cara menghanyutkannya ke sungai. Karna dibekali anting-anting dan sebuah baju sakti oleh ayahnya, Batara Surya. Konon baju sakti ini tidak akan mampu ditembus senjata sakti apapun. Diceritakan, Karna adalah seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Meski terlihat angkuh, ia dikenal dermawan dan murah hati, terutama kepada fakir miskin dan kaum brahmana. Pada bagian akhir perang besar di ladang Kurusetra itu, Karna diangkat sebagai panglima pihak Kurawa, namun akhirnya gugur di tangan saudaranya sendiri, Arjuna.

Pada saat remaja, saat jati dirinya belum terungkap, ia berkesempatan mendapat pengalaman hidup bersama para pangeran dari Kurawa dan Pandawa. Hingga pada suatu hari, diadakanlah pertunjukan ketangkasan memanah yang diikuti oleh para pangeran Kurawa dan Pandawa. Dalam pertunjukan itu, Arjuna dari Pandawa berhasil membungkam lawan-lawannya dengan keahliannya memanah. Saat Karna hendak menantang Arjuna beradu keahlian memanah, Arjuna menolaknya mentah-mentah. Menurut Arjuna, Karna hanya seorang anak kusir dari kasta sudra, kasta yang terendah, maka tidak pantas baginya beradu kepandaian dengan seorang pangeran. 

Merasa dihina oleh Arjuna, batin Karna bergemuruh menahan amarah, gemeretak giginya dan kepalan tangannya bahkan dapat dilihat oleh siapapun juga di tengah lapang di mana perlombaan memanah antar murid Durna itu diselenggarakan. Melihat bara kebencian dari mata Karna saat dihina Arjuna, pangeran Duryudana dari Kurawa memainkan siasatnya. Ia mengetahui potensi besar yang dimiliki Karna, sehingga ia pun mendekati Karna dan merangkulnya sebagai kawan. Bahkan Duryudana akhirnya memberi Karna jabatan sebagai Raja di sebuah negeri jajahan Kurawa bernama Awangga. 

Kesetiaan Karna


Dari sini kita bisa melihat awal mula mengapa Karna yang tahu bahwa Duryudana sebetulnya bukanlah orang baik, namun ia justru sumpah setia terhadapnya. Kesetiaan Karna kepada Duryudana dan Kurawa telah diikat oleh persahabatan yang erat di antara keduanya. Bahkan saat terjadinya perang besar Bharatayuda, ia bersumpah setia untuk membela Kurawa sampai mati. 

Dilihat dari kacamata orang awam seperti kita, kadang timbul pertanyaan mengapa Karna yang tahu arti kebenaran justru berada di pihak yang disimbolkan dengan keangkara murkaan. Ia tahu betul bahwa kebenaran di pihak Pandawa, yang nyata-nyata adalah saudaranya. Bahkan dengan sifat kesatrianya itu, tidaklah pantas baginya mendampingi Kurawa. Meskipun begitu, menurut pendiriannya, apa yang ia lakukan adalah semata-mata hanya ingin membalas budi pada orang yang pernah mendukung dan menolongnya, yakni Duryudana. Karena itulah, meski nyawa jadi taruhannya, ia tetap memegang teguh janji setia untuk tetap berada di barisan pendukung Duryudana di pihak Kurawa sepanjang hidupnya.

Pengorbanan Karna


Dikisahkan saat Kresna menjadi duta ke Hastinapura, ia pernah menemui Karna dan memintanya agar bergabung dengan Pandawa. Terlebih Karna juga sebenarnya sudah tahu bahwa dia adalah kakak tertua para Pandawa. Namun Karna menolak permintaan Kresna. Karna beralasan bahwa sebagai seorang kesatria, ia harus menepati janji bahwa ia akan selalu setia kepada Duryudana. Kresna juga telah menjelaskan kepada Karna bahwa dharma seorang kesatria yang lebih utama adalah menumpas keangkara murkaan. Namun Karna tetap teguh pada pendiriannya. 

Karna setia
ilustrasi

Dalam versi pewayangan Jawa, karena terus didesak oleh Kresna, Karna akhirnya terpaksa membuka rahasia bahwa ia tetap membela Kurawa agar supaya bisa menghasut Duryudana agar berani berperang melawan Pandawa. Ia yakin bahwa dengan kemenangan para Pandawa, angkara murka di Hastinapura juga akan hilang bersama dengan kematian Duryudana. Ia bahkan rela dirinya menjadi korban demi tertumpasnya keangkara murkaan. Ia juga siap dengan sepenuh hati menyerahkan dirinya sebagai tumbal demi kebahagiaan saudara-saudaranya, para Pandawa.

Saat meletusnya perang Baratayudha, Karna yang menjadi panglima perang Kurawa akhirnya tewas di tangan Arjuna. Saat menghadapi kematiannya, Karna dengan gagah beraninya tetap memegang senjata busurnya. Ia tewas bersamaan dengan hujan yang seketika turun. Sungguh sebuah ungkapan duka yang mendalam dari para dewata. Duka yang muncul karena mayapada telah kehilangan seorang manusia kinasih, yakni manusia yang menjaga janji dan kesetiaannya.

Selengkapnya
Marilah Kita Jauhi Berperilaku Sombong, Berdusta, dan Berkhianat

Marilah Kita Jauhi Berperilaku Sombong, Berdusta, dan Berkhianat

Perilaku tercela merupakan segala sikap, ucapan, dan perbuatan buruk yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sifat atau perilaku tercela juga merupakan perilaku yang harus kita jauhi agar tetap berada di jalan keimanan yang diridhai Allah SWT. Ada banyak perilaku yang tergolong sifat tercela. Berikut ini di antara sifat tercela yang mesti kita jauhi dan hindari yaitu sifat sombong, dusta, dan berkhianat. 


Sombong (Takabbur) 


Sombong atau takabbur merupakan salah satu sifat tercela yang dibenci oleh Allah. Sifat ini juga dimiliki oleh syetan sehingga marilah kita berusaha memahami dan menjauhi sifat ini. Orang yang memiliki sifat ini akan senantiasa mengagumi dirinya, membanggakan dirinya, memuji dirinya sendiri, dan membesar-besarkan dirinya di hadapan orang lain. Ia tidak pernah merasa dirinya banyak kekurangan. 

Allah sangat membenci orang yang memiliki sifat sombong. Dalam firmanNya disebutkan:

“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS. Luqman, 18) 

sombong
sekedar ilustrasi via depositphotos

Seseorang yang memiliki sifat sombong atau takabbur tidak akan mengakui dan tidak akan merasakan kebesaran nikmat Allah, sehingga ia senantiasa jauh dari rasa bersyukur. Orang yang memiliki sifat sombong akan beranggapan bahwa kenikmatan atau keberhasilan yang diperolehnya itu adalah semata-semata hasil keringatnya sendiri tanpa bantuan dari yang lain. 

Apabila dia memiliki darah keturunan ningrat, maka dijadikanlah itu sebagai kesombongan, apabila dia punya harta berlimpah, dijadikanlah hartanya itu sebagai kesombongan, apabila dia punya pangkat dan kedudukan maka dijadikan pangkat dan kedudukan itu sebagai kesombongan. Yang menjadi sebab kesombongan bisa karena keturunan, bentuk wajah, harta, keilmuan, status sosial, pangkat, kedudukan, dan lain sebagainya. 

Padahal jika dipahami, sejatinya yang paling berhak untuk sombong hanyalah Allah semata, karena Dialah yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Hanya Tuhan Allah SWT saja, sedangkan manusia tidak akan sanggup untuk melakukannya. Oleh karenanya tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk berperilaku menyombongkan dirinya di antara sesama manusia.

Berdusta (Bohong) 


Dusta atau bohong berarti memberitakan sesuatu tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat. Orang yang memiliki sifat tersebut disebut pendusta atau pembohong. Seorang pendusta akan memberi tahu sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kebenarannya. Ciri utama pendusta adalah mengatakan apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Sifat ini merupakan sifat tercela yang perlu kita jauhi. 

Pada dasarnya, pendusta itu berdusta kepada berbagai pihak. Dusta kepada dirinya sendiri, dusta kepada sesama manusia, dusta kepada Allah dan Rasulnya. Dusta kepada pihak manapun sangat tercela. Lebih-lebih terhadap Allah dan Rasul-Nya. Akibat orang yang suka berdusta adalah akan kehilangan kepercayaan dari orang lain, makin banyak kedustaannya semakin banyak orang yang tidak percaya kepadanya. Maka jauhilah dusta, karena sifat dusta merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain. 

Selain daripada itu, sikap suka berbohong atau berdusta juga merupakan salah satu tanda dari sifat orang munafiq. Seorang pendusta atau orang munafik akan terbiasa menipu, suka berpura-pura, padahal hatinya tidak sehat, penuh dengan kebimbangan, dan berat untuk melaksanakan kebaikan. Di akhirat nanti, golongan para pendusta ini akan diberikan siksa oleh Allah dan dijadikan sebagai penghuni neraka paling bawah. 

Berkhianat


Khianat berasal dari kata yang sama dalam bahasa Arab "khianat" yang artinya tipu daya, tidak setia dan durhaka. Berkhianat berarti berbuat sesuatu disertai dengan unsur tipu daya. Berkhianat biasa juga diartikan "tidak lagi memiliki kesetiaan". Sifat ini sangat tercela karena selain dapat merugikan dan membahayakan orang lain, juga dapat merugikan dan membahayakan diri sendiri.

Berkhianat juga sering diartikan tidak Amanah. Orang yang suka berkhianat tidak akan dapat dipercaya, karena jika diberi kepercayaan ia akan selalu mengkhianati dan menyalahgunakan kepercayaan itu. Berkhianat termasuk dalam bentuk kedurhakaan yang nyata, dimana tidak ada balasan bagi para pelakunya kecuali siksa yang sangat pedih di dasar Api Neraka.

Jika ingin tetap berada dalam keimanan, maka jangan sekali-kali kita berkhianat. Baik berkhianat terhadap diri sendiri, keluarga, maupun Agama, Bangsa dan Negara. Berkhianat terhadap diri sendiri contohnya menjadi pelajar tapi malas belajar. Berkhianat terhadap keluarga contohnya tidak peduli dengan keluarganya. Berkhianat terhadap Agama contohnya mengaku Islam tapi malas sholat dan mengaji. Berkhianat terhadap bangsa dan Negara contohnya lebih mencintai hasil karya bangsa lain dari pada hasil karya bangsa sendiri.

Selengkapnya
3 Tabiat Waktu Menurut DR. Yusuf Al Qardhawi dan Cara Memanfaatkan Waktu

3 Tabiat Waktu Menurut DR. Yusuf Al Qardhawi dan Cara Memanfaatkan Waktu

3 Tabiat Waktu Menurut DR. Yusuf Al Qardhawi dan Cara Memanfaatkan Waktu

Waktu adalah salah satu karunia termahal yang Allah SWT berikan kepada hambaNya. Sayangnya, banyak manusia tertipu oleh hawa nafsu dan bujuk rayu syetan sehingga waktunya habis berlalu tanpa arti. Agar kita tidak termasuk orang yang merugi karena telah menyia-nyiakan waktu, mari kita pahami 3 tabiat waktu sebagaimana telah dijelaskan oleh DR. Yusuf Al Qardhawi berikut ini. 

1. Waktu yang Kita Jalani Sangat Cepat Berlalu


Menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, bahkan tahun demi tahun begitu cepat berlalu. Hal ini dapat dirasakan dengan melihat usia hidup kita di dunia ini. Banyak dari kita suatu waktu terhenyak dan baru tersadar ternyata umurnya telah mencapai 30 tahun, 40 tahun, 50 tahun dan seterusnya, padahal amal kebaikan belumlah banyak. 

Ini pula yang dirasakan oleh Ashabul Kahfi. Mereka telah tidur selama 309 tahun, namun mereka merasakan seolah baru setengah atau satu hari saja (Al-Kahfi: 19 dan 25). Demikian pula yang dirasakan oleh seorang yang bertanya bagaimana Allah menghidupkan negeri yang mati?. Lalu Allah matikan (tidurkan) dia selama 100 tahun. Ketika ia dibangunkan dan ditanya tentang berapa lama ia tidur?, dia menjawab hanya setengah atau satu hari saja (Al-Baqarah: 259). 

2. Waktu yang Telah Berlalu Tidak Akan Pernah Kembali Lagi


Hasan Al-Bashri berkata: “Tidak ada waktu yang menampakkan fajarnya kecuali ia berkata: ‘Wahai anak Adam, aku adalah harimu yang baru yang akan menjadi saksi atas amal perbuatanmu. Maka carilah bekal dariku sebanyak-banyaknya, karena jika aku telah berlalu maka aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” 

Waktu dalam kehidupan kita bagaikan kereta, ia datang dan pergi sesuai jadwal. Dan ketika telah berlalu maka ia tidak akan kembali lagi. Al Qur’an menceritakan tentang penghuni neraka yang memohon kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia supaya dapat memperbaiki amal perbuatan mereka, namun Allah menolak. 

Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah Orang-orang yang yakin” (A Sajdah: 12)

Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?, maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.’ (Fathir: 37). 

3. Waktu Adalah Aset Yang Sangat Berharga


Waktu menjadi berharga karena padanyalah terekam seluruh aktivitas kehidupan kita. Segala perbuatan, yang baik maupun yang buruk tercatat di dalamnya. Maka waktu menjadi penting untuk kita perhatikan karena ia akan membeberkan semua perbuatan kita di dunia, bahkan sesuatu yang dahulu kita sembunyikan dari orang lain. 

Hasan Al-Bashri pernah berkata: “Saya mendapati orang-orang yang memberikan perhatian lebih terhadap waktu daripada terhadap dinar dan dirham.” Karena waktu adalah harta yang tak ternilai, ia tak dapat dibeli oleh apapun. Maka ketika seseorang memiliki waktu hendaknya ia pergunakan sebaik-baiknya. Karena selamat atau celaka dirinya bergantung bagaimana ia memanfaatkan waktunya. 

Itulah tiga tabi’at waktu yang harus diperhatikan oleh setiap muslim. Sebab seorang muslim yang baik adalah yang dapat memanfaatkan waktunya untuk memperbanyak amal kebaikan. Lantas kemudian bagaimana cara kita dalam memanfaatkan waktu?. Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita lakukan, yaitu:

Pertama, melakukan hal yang bermanfaat dan meninggalkan yang tidak bermanfaat. 

Rasulullah SAW bersabda: “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” Maksud “manfaat” di sini mencakup kebaikan dunia dan akhirat.
 
Kedua, memanfaatkan waktu luang. 

Rasulullah SAW bersabda: "Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu olehnya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang." Karena manusia jika tidak sibuk dengan kebaikan, maka ia akan sibuk dengan kemaksiatan. Sering seseorang merasa bingung memanfaatkan waktu luang, lalu setan membisikkan kepadanya untuk berbuat sesuatu yang tidak ada manfaatnya bahkan kemaksiatan. Padahal mereka juga sering mengeluh karena kesibukan yang mereka jalani dan tidak punya banyak waktu untuk beribadah. 

Ketiga, memanfaatkan waktu untuk menjalankan kewajiban dan memenuhi hak dengan seimbang. 

Rasulullah SAW pernah menasehati seorang sahabatnya yang gemar puasa sepanjang hari dan qiyamul lail sepanjang malam. Beliau bersabda: “Jangan begitu, puasalah dan berbukalah sholatlah dan tidurlah. Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, Istrimu memiliki hak atasmu, dan tetanggamu memiliki hak atasmu”. 

Demikianlah mengenai 3 tabiat waktu menurut DR. Yusuf Al Qardhawi dan cara kita dalam memanfaatkan waktu agar tiada waktu terbuang sia-sia, sehingga dapat selalu kita isi dengan amal-amal kebajikan yang diridhai Allah SWT. Semoga Allah selalu menuntun langkah hidup kita untuk selalu berada di jalanNya. Wallahu A'lam bisshawab

Sumber: 
https://www.eramuslim.com
https://www.dakwatuna.com
Majalah Give UNS edisi Januari 2018

Selengkapnya