Sejarah Peristiwa G30S/PKI, Kronologi Hingga Penumpasan

Sejarah Peristiwa G30S/PKI, Kronologi Hingga Penumpasan

Kamis tanggal 30 September 1965 merupakan hari yang sibuk bagi Gerakan 30 September PKI. Suatu persiapan diselenggarakan di Lubang Buaya pada pukul 10.00 dipimpin oleh Kolonel Untung Sutopo yang dihadiri oleh Latief, Suyono, Supeno, Suradi, Sukrisno, Kuncoro, Dul Arief, Syam, dan Pono. Untung menjelaskan lokasi Central Komando (Cenko) I, metode komunikasi antara unit-unit, koordinasi aktivitas-aktivitas mereka, sandi-sandi, logistik, transportasi, suplai senjata, dan detail-detail teknis militer lainnya. Semua persiapan itu dilakukan selama siang hari tanggal 30 September 1965.

Pada tanggal 30 September 1965 malam, Aidit bertemu dengan Mayjen Pranoto di rumah Syam. Aidit dan Pranoto kemudian dibawa ke rumah Sersan Suwardi di Halim pada pukul 23.00. Di tempat itu, Aidit mengarahkan seluruh operasi dan menyiapkan penyelesaian politik (pergantian kekuasaan) setelah pembersihan para jenderal dilakukan. Kemudian dibuat persiapan di rumah Komodor Susanto di Halim untuk membentuk Kabinet Gotong-Royong dan membuat rencana pengunduran diri presiden karena alasan kesehatan. 

Penculikan Perwira Angkatan Darat


Sekitar pukul 01.30 dini hari tanggal 1 Oktober 1965, tujuh kelompok Pasukan Pasopati yang dipimpin oleh Dul Arief dan ditugaskan menculik para jenderal meninggalkan Pondok Gede. Selanjutnya, atas perintah Kolonel Untung pada pukul 04.00 pagi Batalion 454 dan 530 mengepung istana dan mengendalikan Stasiun RRI Pusat dan Gedung PN Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka Selatan. Enam jenderal yang menjadi korban keganasan G-30-S/PKI ialah sebagai berikut: 

  1. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Men/Pangad). 
  2. Mayjen Haryono Mas Tirtodarmo (Deputi III Pangad). 
  3. Mayjen R. Suprapto (Deputi II Pangad). 
  4. Mayjen Siswondo Parman (Asisten I Pangad). 
  5. Brigjen Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad). 
  6. Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman). 

Sementara itu, Jenderal Abdul Haris Nasution (Menko Hankam/Pangab) berhasil lolos dari penculikan. Akan tetapi, putrinya Ade Irma Suryani terluka parah karena tembakan penculik dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Andries Tendean, menjadi sasaran penculikan karena wajahnya mirip dengan Jenderal Nasution. Ketika itu juga tertembak Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Waperdam II Dr. J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Nasution. 

Pahlawan Revolusi
10 Perwira korban peristiwa G30S/PKI


Menurut kesaksian Serka Bungkus, pasukan yang bertugas ke rumah D.I. Panjaitan mendapat perlawanan sehingga operasi itu terlambat. Ketika pasukan penculik akan membawa jenazah Panjaitan, seorang polisi bernama Sukitman lewat sedang menuju posnya. Komandan Pasukan Cakrabhirawa khawatir dia bisa jadi saksi, maka Sukitman kemudian juga dibawa ke Lubang Buaya dan diserahkan kepada Komandan Pasukan Pasopati Dul Arief. 

Dul Arief muncul di Cenko I sekitar pukul 05.50 melaporkan bahwa para jenderal telah “diamankan” dan dimasukkan ke Lubang Buaya, tetapi Nasution berhasil lolos. Laporan itu disampaikan kepada Aidit lewat Suyono yang bertindak sebagai kurir bagi Syam, Aidit, dan Omar Dhani. Laporan tentang lolosnya Nasution membuat Aidit dan koleganya terkejut karena akan menimbulkan masalah besar. Untuk itulah, Suparjo menyarankan agar operasi dilakukan sekali lagi. Suparjo yakin bahwa tindakan ofensif harus dilaksanakan saat itu juga karena musuh selama dua belas jam berada pada keadaan panik. Saat berada di istana, ia melihat bahwa militer di kota dalam keadaan bingung. Akan tetapi, para pemimpin gerakan saat itu tidak melakukan apa-apa. Hal itu yang menjadi salah satu penyebab kehancuran operasi mereka. 

Di Jawa Tengah, gerombolan PKI juga mengadakan pembunuhan terhadap perwira TNI AD. Kolonel Katamso, Komandan korem 072 Kodam VII Diponegoro dan kepala stafnya Letkol Sugiono juga menjadi korban keganasan PKI. Keduanya dibawa ke Kentungan sebelah utara Yogyakarta dan kemudian dibunuh pada 30 September 1965. 

Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia


Melalui RRI pada pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15, Letnan Kolonel Untung mengumumkan Dekrit No. 1 tentang Gerakan 30 September. Inti dari dekrit tersebut adalah sebagai berikut: 

  1. Gerakan 30 September adalah gerakan yang ditujukan terhadap jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta (perebutan kekuasaan).
  2. Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia yang anggota-anggotanya terdiri atas warga sipil dan militer yang mendukung Gerakan 30 September. 
  3. Dewan Revolusi merupakan sumber dari segala kekuasaan dalam negara Republik Indonesia. Dewan Revolusi merupakan alat untuk mewujudkan Pancasila dan Panca Azimat Revolusi
  4. Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner sampai dengan pembentukan kabinet baru oleh Dewan Revolusi Indonesia. Semua bekas menteri bertanggung jawab kepada Dewan Revolusi Indonesia. 
  5. Di daerah-daerah mulai dari provinsi sampai dengan desa-desa dibentuk Dewan Revolusi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di wilayah tersebut. 

Pada pukul 02.00 siang, RRI menyiarkan Keputusan No. 1 dari Dewan Revolusi yang berisi nama-nama dari 45 anggotanya, tanpa menyebut nama presiden dan lembaga kepresidenan. Keputusan itu ditandatangani oleh Letkol Untung dalam kapasitasnya sebagai Komandan Gestapu dan Ketua Dewan Revolusi. Presidium Dewan Revolusi terdiri atas lima pemimpin Gestapu, yaitu: 

Komandan Gerakan: Kolonel Untung Sutopo

Wakil Komandan : 

  • Brigjen Suparjo mewakili AD 
  • Letkol Udara Heru mewakili AURI 
  • Kolonel Laut Sunardi mewakili AL
  • Kombes Polisi Anwas mewakili Kepolisian

Dengan mencermati daftar keanggotaan Dewan Revolusi tersebut tampak bahwa lembaga ini dikendalikan oleh PKI. Dari 45 anggotanya, 21 orang merupakan binaan PKI. Bahkan, jumlah itu bisa bertambah bila para pendukung terselubung dari anggota Dewan Revolusi itu diketahui. Keputusan tersebut telah membuka tabir yang sebenarnya dari G-30-S/PKI, yaitu merebut kekuasaan yang didahului dengan penculikan para jenderal AD. Hal itu dilakukan karena para jenderal AD itu dianggap sebagai penghalang utama tujuan mereka. 

Penumpasan G-30-S/PKI 1965 


Sesuai dengan tata cara yang berlaku bahwa apabila Men/Pangad berhalangan, Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto yang mewakilinya. Mayor Jenderal Soeharto segera melakukan pemetaan terhadap keberadaan Gerakan 30 September. Selain di Halim, pemberontak menguasai Istana Merdeka, Stasiun RRI, dan Gedung Pusat Telekomunikasi, yang semuanya berada di Jln. Medan Merdeka. Soeharto merasa perlu untuk tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan sampai rencana politik gerakan itu sudah benar-benar terbuka. 

Begitu mengetahui dari siaran RRI pada pukul 14.00, Soeharto berkesimpulan bahwa penculikan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi AD merupakan bagian dari usaha perebutan kekuasaan (kudeta). Batalion 454/Diponegoro dan 530/Brawijaya yang berada di sekitar Medan Merdeka disalahgunakan oleh G-30-5/PKI, padahal mereka didatangkan ke Jakarta dalam rangka persiapan parade Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Kemudian, Soeharto segera melakukan operasi-operasi penumpasan. 

Operasi militer dilakukan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada pukul 19.15, pasukan RPKAD berhasil menduduki Gedung RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi serta mengamankan seluruh Medan Merdeka tanpa perlawanan. Batalion 328 Kujang/ Siliwangi menguasai Lapangan Banteng untuk pengamanan Markas Kodam V/Jaya dan sekitarnya. Batalion I Kavaleri berhasil mengamankan BNI I dan Percetakan Uang di Kebayoran. Dalam waktu singkat, Jakarta sudah dapat dikuasai kembali oleh ABRI. 

Untuk menenteramkan masyarakat dan menyadarkan pasukan-pasukan yang terlibat, melalui RRI pada pukul 20.00 Mayor Jenderal Soeharto mengumumkan tentang adanya usaha perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September. Diumumkan pula bahwa penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi AD. Presiden dan Menko Kasab dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa antara Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Kepolisian sudah ada saling pengertian untuk bekerja sama menumpas G-30-S/PKI. Kepada masyarakat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada. 

Langkah berikutnya adalah membebaskan basis utama G-30-S/PKI di Halim Perdanakusuma. Kepada Presiden Soekarno diberitahukan agar meninggalkan wilayah sekitar Halim. Setelah presiden meninggalkan Halim menuju Istana Bogor, pasukan RPKAD serta Batalion 328 Kujang/Siliwangi dan Batalion 1 Kavaleri bergerak menuju Halim. Tanpa menemui kesulitan, pada pukul 06.10 tanggal 2 Oktober 1965 daerah sekitar Pangkalan Udara Halim sudah berhasil dikuasai. 

Sementara itu, Ajun Brigadir Polisi (Kopral Satu) Sukitman telah berhasil meloloskan diri ketika pasukan G-30-S/PKI di sekitar Halim mendapatkan serangan. Berdasarkan petunjuk dari Sukitman tersebut, pada tanggal 3 Oktober 1965 ditemukan tempat jenazah para perwira AD dikuburkan yaitu dalam sebuah sumur tua. Karena hari sudah gelap dan lubang sumur hanya berdiameter 1 meter, usaha pengangkatan jenazah ditunda keesokan harinya. 

Sumur lubang buaya
via tribunnews


Tepat pada HUT ABRI 5 Oktober 1965, jenazah para perwira AD dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta. 

Pada tanggal 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno memanggil semua Panglima ABRI ke Istana Bogor. Pada pertemuan itu, presiden memutuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat berada sepenuhnya di tangan presiden. Untuk menjalankan tugas harian Angkatan Darat, presiden kemudian mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai pengambil alih (care taker) KSAD, sedangkan Mayjen Soeharto ditugaskan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban akibat Gerakan 30 September. Keputusan presiden itu diumumkan melalui RRI pada pukul 13.30 tanggal 3 Oktober 1965. 

Tanggapan Presiden Soekarno mengenai Gerakan 30 September dinyatakan dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor sebagai berikut, “Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan-pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang-petualang kontra-revolusi dari apa yang menamakan dirinya 'Gerakan 30 September'. Juga presiden tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan 'Dewan Revolusi'. Hanya saya yang bisa mendemisioner kabinet, bukan orang lain.” 

Mengenai penyelesaian masalah Gerakan 30 September digariskan bahwa yang berkaitan dengan aspek-aspek politis akan diselesaikan oleh presiden, aspek militer-administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto, serta mengenai aspek militer teknis, keamanan, dan ketertiban diserahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto. 

Baca juga: Sejarah Singkat 7 Pemberontakan Pasca Kemerdekaan RI

Diumumkannya pernyataan presiden yang mengutuk Gerakan 30 September mengungkap fakta bahwa PKI yang mendalangi gerakan tersebut. Akibatnya, kemarahan rakyat terhadap PKI semakin meningkat, yang dilampiaskan melalui berbagai aksi seperti pembakaran gedung kantor pusat PKI di Jalan Kramat Raya, rumah tokoh-tokoh PKI, dan kantor-kantornya. Di beberapa tempat muncul aksi corat-coret yang menuntut agar pimpinan PKI diadili, sedangkan di kalangan mahasiswa dan pelajar berkembang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI. 

Operasi pembersihan terhadap sisa-sisa Gerakan 30 September pada tanggal 9 Oktober 1965 berhasil menangkap Kolonel A. Latief, seorang komandan yang telah dipecat dari Brigade Infanteri I/Kodam V Jaya. Bekas Letnan Kolonel Untung tertangkap pada tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam upaya melarikan diri ke Jawa Tengah. Sementara itu, D.N. Aidit dalam pelariannya di Blitar mengirim surat kepada presiden yang antara lain mengusulkan agar melarang pernyataan-pernyataan yang bersifat mengutuk Gerakan 30 September serta melarang adanya saling tuduh dan saling menyalahkan sehingga kemarahan rakyat terhadap PKI akan reda. 

Namun, aksi-aksi rakyat untuk melampiaskan kemarahannya terhadap PKI berjalan terus. Kemarahan tersebut terjadi karena PKI sering kali melakukan tindak kekerasan terhadap lawan-lawan politiknya melalui aksi-aksi sepihak. Pemberantasan terhadap PKI yang meluas di Jawa Tengah berhasil dilumpuhkan setelah mendapatkan bantuan dari pasukan RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo.

Penumpasan PKI
via bbc.com


Pada tanggal 10 November 1965, D.N. Aidit selaku Ketua Central Comite PKI mengeluarkan “Instruksi Tetap” yang ditujukan kepada seluruh Comite Daerah Besar (CDB) PKI se-Indonesia. Instruksi Tetap itu antara lain menyebutkan apabila ketua berhijrah ke negara tetangga, pokok kegiatan organisasi adalah sebagai berikut:

  1. Menjamin berlangsungnya partai. 
  2. Daerah-daerah basis Jawa tetap dipertahankan. 
  3. Pembubaran partai dan lain-lain sebagai taktik demi terjaminnya perjuangan jangka panjang dianjurkan apabila setelah itu dibuat CDB, CS (Comite Central), dan lain-lain yang baru. 
  4. Mulai sekarang hindarkan perlawanan frontal, kita bergerak dengan Program C, sesuai dengan instruksi CC (Comite Central) tanggal 25 September 1965. 
  5. Perlu dijamin hubungan segitiga, Sosro dan Ceweng, yang paling aman adalah melalui perwakilan negara tetangga. 

D.N. Aidit tertangkap pada tanggal 22 November 1965 di dekat Solo, dan tidak lama kemudian ditembak mati. Suparjo ditangkap pada awal tahun 1967. Nyono, Sudisman, dan Syam ditangkap pada tengah malam tanggal 9 Maret 1967, sedangkan Lukman ditembak mati. Pemimpin-pemimpin PKI yang belum tertangkap berusaha melakukan konsolidasi. Usaha itu tercantum dalam Tri Panji Partai yang antara lain menyebutkan mempersiapkan pemberontakan petani bersenjata. Mereka secara diam-diam dan rahasia mempersiapkan perjuangan jangka panjang dengan membentuk Komite Proyek (Kompro) yang akan dibentuk di berbagai daerah dengan tujuan menyusun kekuatan gerakan “desa mengepung kota”. 

Salah satu kompro yang menonjol adalah Kompro Blitar Selatan yang sejak tahun 1968 mulai menyusun kekuatan bersenjata. Rakyat di daerah tersebut berhasil dipengaruhi sehingga apabila ditanya mereka melakukan gerakan 3T (tidak tahu, tidak mengerti, tidak kenal). Operasi penumpasan terhadap Kompro Blitar Selatan diberi nama Operasi Trisula yang dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Untuk mengimbangi gerakan 3T dilancarkan gerakan 3M (menyerah, membantu, atau mati). Taktik itu berjalan dengan baik. Basis pertahanan pemberontak terdiri atas ruba-ruba (ruang bawah tanah) yang berjumlah sekitar 216 buah. Operasi Trisula berhasil menangkap 850 anggota PKI, di antaranya 13 tokoh tingkat CC dan 12 tokoh tingkat CDB. 

Operasi penumpasan terhadap PKI juga dilakukan di daerah Pegunungan Lawu dan Kendeng di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Operasi yang diberi nama Operasi Kikis ini berhasil menghancurkan kompro-kompro dan menangkap sekitar 200 orang kader PKI. Operasi lainnya dilakukan di Purwodadi setelah diketahui bahwa di daerah itu PKI telah membangun STPR (Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat). PKI kemudian memindahkan kegiatannya ke daerah Merapi-Merbabu Complex (MMC). Dalam operasi yang dilancarkan di daerah itu berhasil ditangkap orang kedua dalam Biro Khusus PKI, yaitu Pono (Supono Marsudijoyo). 


Selengkapnya
Sejarah Perumusan Teks Proklamasi dan Pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Sejarah Perumusan Teks Proklamasi dan Pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Sejarah Perumusan Teks Proklamasi dan Pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
via shutterstock. 

Setelah Bung Karno dan Bung Hatta sempat dibawa ke Rengasdengklok oleh sekelompok pemuda, keduanya kemudian dikembalikan ke Jakarta usai terjadi kesepakatan antara golongan tua dan golongan muda mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Rombongan tiba kembali di Jakarta menjelang tengah malam tepat pada 16 Agustus 1945 pukul 23.30 waktu Jawa.

Setelah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta singgah di rumah masing-masing, rombongan kemudian menuju ke rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Hal itu disebabkan Laksamana Tadashi Maeda telah menyampaikan kepada Ahmad Subardjo bahwa ia akan menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. 

Sebelum mereka memulai merumuskan naskah proklamasi, terlebih dahulu Soekarno dan Hatta menemui Somubuco (Kepala Pemerintahan Umum) Mayor Jenderal Nishimura untuk menjajaki sikapnya mengenai proklamasi kemerdekaan. Mereka ditemani oleh Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizumi, dan Miyoshi sebagai penerjemah. 

Pertemuan itu tidak mencapai kata sepakat. Nishimura menegaskan bahwa garis kebijakan Panglima Tentara Ke-16 di Jawa adalah “dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo (status politik Indonesia). Sejak tengah hari sebelumnya, tentara Jepang semata-mata sudah merupakan alat Sekutu dan diharuskan tunduk kepada Sekutu”. Berdasarkan garis kebijakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka proklamasi kemerdekaan. 

Sampailah Soekarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi membicarakan kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Akhirnya, mereka hanya mengharapkan pihak Jepang tidak menghalangi pelaksanaan proklamasi yang akan dilaksanakan oleh rakyat Indonesia sendiri. Mereka kemudian kembali ke rumah Laksamana Maeda. Sebagai tuan rumah, Maeda mengundurkan diri ke lantai dua, sedangkan di ruang makan, naskah proklamasi dirumuskan oleh tiga tokoh golongan tua, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Subardjo. 

Peristiwa tersebut disaksikan oleh Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura, bersama dengan tiga orang tokoh pemuda yaitu Sukarni, Mbah Diro, dan B.M. Diah. Sementara itu, tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan muda maupun golongan tua menunggu di serambi depan. 

Perumusan Teks Proklamasi


Ir. Soekarno yang menuliskan konsep naskah proklamasi, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan. Kalimat pertama dari naskah proklamasi merupakan saran dari Mr. Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI, sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran dari Drs. Moh. Hatta. Hal itu disebabkan menurut beliau perlu adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). 

Pada 17 Agustus pukul 04.30 waktu Jawa, konsep naskah proklamasi telah selesai disusun. Selanjutnya, mereka menuju ke serambi depan menemui hadirin yang menunggu. Ir. Soekarno memulai membuka pertemuan dengan membacakan naskah proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Ir. Soekarno meminta kepada semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Moh. Hatta dengan mengambil contoh naskah Declaration of Independence dari Amerika Serikat. 

Namun usulan tersebut ternyata ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah “kepanjangan tangan” Jepang. Selanjutnya, Sukarni, salah seorang tokoh golongan muda kemudian mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi cukup Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Baca: Sejarah Penandatanganan Teks Proklamasi Menjelang Dibacakan Oleh Bung Karno

Setelah usulan Sukarni itu disetujui, Ir. Soekarno meminta kepada Sayuti Melik untuk mengetik naskah tulisan tangan Soekarno tersebut dengan disertai perubahan-perubahan yang telah disepakati. Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah ketikan Sajuti Melik, yaitu kata “tempoh” diganti “tempo”, sedangkan kata “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa Indonesia”. Perubahan juga dilakukan dalam cara menuliskan tanggal, yaitu “Djakarta, 17-8-05” diubah menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05”. 

teks naskah proklamasi

Selanjutnya, muncul persoalan lain mengenai tempat proklamasi akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang bagian tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah proklamasi. Namun, Ir. Soekarno menganggap Lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Oleh karena itu, Bung Karno mengusulkan agar upacara proklamasi dilaksanakan di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Akhirnya usulan Bung Karno disetujui oleh para hadirin.

Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan


Pada pukul 05.00 waktu Jawa tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin Indonesia dari golongan tua dan golongan muda keluar dari rumah Laksamana Maeda. Mereka pulang ke rumah masing-masing setelah berhasil merumuskan naskah proklamasi. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan pada pukul 10.30 waktu Jawa (pukul 10.00 WIB sekarang). Sebelum pulang, Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja di kantor perita dan pers, terutama B.M. Diah untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia. 

Pagi hari itu, rumah Ir. Soekarno dipadati oleh massa yang berbaris dengan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan proklamasi, dr. Muwardi (Kepala Keamanan Ir. Soekarno) meminta kepada Cudanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah Ir. Soekarno, sedangkan Wakil Walikota Suwirjo memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan pengeras suara. 

Mr. Wilopo dan Nyonopranowo kemudian pergi ke rumah Gunawan, pemilik toko radio Satria di Jln. Salemba Tengah 24, untuk meminjam mikropon dan pengeras suara. Sudiro yang pada waktu itu juga merangkap sebagai sekretaris Ir. Soekarno memerintahkan kepada S. Suhud (Komandan Pengawal Rumah Ir. Soekarno) untuk menyiapkan tiang bendera. Suhud kemudian mencari sebatang bambu di belakang rumah. Sedangkan bendera yang akan dikibarkan sudah dipersiapkan oleh Ibu Fatmawati.

Menjelang pukul 10.30, para pemimpin bangsa Indonesia telah berdatangan ke Jalan Pegangsaan Timur, antara lain Mr. A.A Maramis, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangi, K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, M. Tabrani, dan A.G. Pringgodigdo. 

Adapun susunan acara yang telah dipersiapkan adalah sebagai berikut. 
  1. Pembacaan Proklamasi. 
  2. Pengibaran Bendera Merah Putih.
  3. Sambutan Walikota Suwirjo dan Muwardi.

Lima menit sebelum acara dimulai, Bung Hatta datang dengan berpakaian putih-putih. Setelah semuanya siap, Latief Hendraningrat memberikan aba-aba kepada seluruh barisan pemuda dan mereka pun kemudian berdiri tegak dengan sikap sempurna. Selanjutnya, Latief mempersilahkan kepada Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Dengan suara yang mantap, Bung Karno mengucapkan pidato pendahuluan singkat yang dilanjutkan dengan pembacaan teks proklamasi. 

Usai dibacakannya proklamasi, acara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Dengan cekatan, S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatkannya pada tali dengan bantuan Cudanco Latief Hendraningrat. Bendera kemudian dinaikkan secara perlahan-lahan. Tanpa dikomando, para hadirin pun spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Acara selanjutnya adalah sambutan dari Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi.

Berita proklamasi yang sudah meluas di seluruh Jakarta kemudian disebarkan ke seluruh Indonesia. Pagi hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei, Waidan B. Palenewen. la segera memerintahkan F. Wuz untuk menyiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz menyiarkan berita itu, masuklah orang Jepang ke ruangan radio. 

Dengan marah-marah, orang Jepang itu memerintahkan agar penyiaran berita itu dihentikan. Akan tetapi, Waidan justru memerintahkan F. Wuz untuk terus menyiarkannya. Bahkan, berita itu kemudian diulang setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran radio itu berhenti. Akibatnya, pucuk pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita itu. Pada hari Senin tanggal 20 Agustus 1945, pemancar itu disegel dan pegawainya dilarang masuk. 

Walaupun demikian, para tokoh pemuda tidak kehilangan akal. Mereka membuat pemancar baru dengan bantuan beberapa orang teknisi radio, seperti Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Alat-alat pemancar mereka ambil bagian demi bagian dari Kantor Berita Domei kemudian dibawa ke Jalan Menteng 31 sehingga tercipta pemancar baru. Dari sanalah seterusnya berita proklamasi disiarkan. 

Selain lewat radio, berita proklamasi juga disiarkan lewat pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, seperti surat kabar Soeara Asia di Surabaya dan harian Tjahaja di Bandung.

Selengkapnya
Sejarah Masa Pendudukan Prancis di Indonesia (1808 - 1811)

Sejarah Masa Pendudukan Prancis di Indonesia (1808 - 1811)

Mungkin banyak orang tidak menyadari bahwa Prancis juga pernah menjajah Indonesia. Ya, kekuasaan Belanda di Indonesia pada abad 18 hingga abad 19 tidak berlangsung penuh karena Prancis pernah berhasil menguasai Belanda. Perebutan kekuasaan di wilayah Eropa membuat Belanda takluk di bawah kekuasaan Prancis. Artinya, Belanda sempat berada di bawah penjajahan Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte

Pada tahun 1795, Partai Patriot Belanda yang anti raja, atas bantuan Prancis, berhasil merebut kekuasaan dan membentuk pemerintahan baru yang disebut Republik Bataaf (Bataafsche Republiek). Republik ini kemudian menjadi bawahan Prancis yang sedang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Sementara Raja Belanda, Willem V, melarikan diri dan membentuk pemerintahan peralihan di Inggris yang ketika itu menjadi musuh Prancis.

Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, tanah jajahan yang dahulu dikuasai VOC diurus oleh suatu badan yang disebut Aziatische Raad (Dewan Asia). Kekuasaan pemerintahan Belanda di Indonesia dipegang oleh Gubernur Jenderal Johannes Siberg (1801-1804). 

Johannes Siberg seharusnya mencerminkan sifat dari Republik Bataaf yang liberal. Akan tetapi, sebelum resmi berkuasa di Indonesia, ia mengirimkan dua komisaris ke Indonesia, yaitu Nederburg dan van Hogendorp. Keduanya memiliki pandangan berbeda tentang politik kolonial yang akan diterapkan. Hal itu terjadi karena berkembangnya paham-paham baru di Eropa sebagai dampak Revolusi Prancis dan Revolusi Industri. Pandangan kedua komisaris tersebut sebagai berikut: 

1). Nederburg berpandangan konservatif. la menganjurkan agar sistem perekonomian yang telah diterapkan VOC tetap dipertahankan. 

2). Van Hogendorp berpendirian sangat liberal. Ia menganjurkan agar masalah pemerintahan dipisahkan dengan masalah ekonomi. 

Perbedaan pandangan antara dua tokoh tersebut diselesaikan melalui Charter 1804, yang merupakan kompromi dari dua pendirian tersebut. Isi pokok charter tersebut adalah kebijakan-kebijakan lama yang masih dipandang baik perlu dipertahankan dan bila perlu akan diadakan perubahan-perubahan. 

Masa Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811)


Letak geografis Belanda yang dekat dengan Inggris menyebabkan Napoleon Bonaparte merasa perlu menduduki Belanda. Pada tahun 1806, Prancis (Napoleon) membubarkan Republik Bataaf dan membentuk Koninknjk Holland (Kerajaan Belanda). Napoleon kemudian mengangkat Louis Napoleon sebagai Raja Belanda. 

Karena Indonesia berada di bawah ancaman Inggris yang berkuasa di India, Napoleon membutuhkan orang kuat yang berpengalaman militer untuk mempertahankan jajahannya di Indonesia. Oleh karena itu, Louis Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal di Indonesia. 

Herman W. Daendels
Herman W. Daendels

Herman Willem Daendels memulai karirnya di kota kelahirannya Hattem, Belanda sebagai pengacara. Pada tahun 1794, ia bergabung dengan tentara Prancis yang masuk ke Belanda sebagai brigadir. Ketika sebagai Letnan Jenderal ia beralih ke Bataafsc Republik dan ikut dalam perebutan kekuasaan pada tanggal 22 Januari 1798. 

Daendels mulai menjalankan tugasnya di Indonesia pada tahun 1808 dengan tugas utama yaitu mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Dalam masa pemerintahannya sebagai Gubernur Jenderal (1808-1811), ia membuat suatu kebijakan yang kontroversial yaitu pembuatan jalan sepanjang Pulau Jawa mulai dari Anyer hingga Panarukan hingga menelan banyak korban.

Kebijakan Pemerintahan Herman W. Daendels


Sebagai seorang revolusioner, Daendels sangat mendukung perubahan-perubahan liberal. Ia juga bercita-cita untuk memperbaiki nasib rakyat dengan memajukan pertanian dan perdagangan. Akan tetapi, dalam melakukan kebijakan-kebijakannya ia bersikap diktator sehingga dalam masa pemerintahannya yang singkat, yang diingat rakyat hanyalah kekejamannya.

Pembaruan-pembaruan yang dilakukan Daendels dalam tiga tahun masa jabatannya di Indonesia adalah sebagai berikut:

Bidang Birokrasi Pemerintahan


a. Dewan Hindia Belanda sebagai dewan legislatif pendamping gubernur jenderal dibubarkan dan diganti dengan Dewan Penasihat. Salah seorang penasihatnya yang cakap ialah Mr. Muntinghe. 

b. Pulau Jawa dibagi menjadi 9 prefektuur dan 31 kabupaten. Setiap prefektuur dikepalai oleh seorang residen (prefek) yang langsung di bawah pemerintahan Wali Negara. Setiap residen membawahi beberapa bupati. 

c. Para bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda dan diberi pangkat sesuai dengan ketentuan kepegawaian pemerintah Belanda. Mereka mendapat penghasilan dari tanah dan tenaga sesuai dengan hukum adat.

Bidang Hukum dan Peradilan


a. Dalam bidang hukum, Daendels membentuk 3 jenis pengadilan: 
  1. Pengadilan untuk orang Eropa. 
  2. Pengadilan untuk orang pribumi. 
  3. Pengadilan untuk orang Timur Asing. 
Pengadilan untuk pribumi ada di setiap prefektuur dengan prefek sebagai ketua dan para bupati sebagai anggota. Hukum ini diterapkan di wilayah kabupaten, sedangkan di wilayah prefektuur seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya diberlakukan hukum Eropa. 

b. Pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, termasuk terhadap bangsa Eropa. Akan tetapi, Daendels sendiri malah melakukan korupsi besar-besaran dalam penjualan tanah kepada pihak swasta. 

Bidang Militer dan Pertahanan

 
Dalam melaksanakan tugas utamanya untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, Daendels mengambil langkah-langkah berikut ini: 

a). Membangun jalan antara Anyer-Panarukan, baik sebagai lalu lintas pertahanan maupun perekonomian. 

b). Menambah jumlah angkatan perang dari 3.000 orang menjadi 20.000 orang.

c). Membangun pabrik senjata di Gresik dan Semarang. Hal itu dilakukan karena ia tidak dapat mengharap lagi bantuan dari Eropa akibat blokade Inggris di lautan. 

d). Membangun pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dan Surabaya.

Bidang Ekonomi dan Keuangan


a. Membentuk Dewan Pengawas Keuangan Negara (Algemene Rekenkaer) dan dilakukan pemberantasan korupsi dengan keras. 

b. Mengeluarkan uang kertas.

c. Memperbaiki gaji pegawai. 

d. Pajak in natura (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) yang diterapkan pada zaman VOC tetap dilanjutkan, bahkan ditingkatkan. 

e. Mengadakan monopoli perdagangan beras. 

f. Mengadakan Preanger Stelsel, yaitu kewajiban bagi rakyat Priangan dan sekitarnya untuk menanam tanaman ekspor (kopi). 

Bidang Sosial


a. Rakyat dipaksa melakukan kerja rodi untuk membangun jalan Anyer-Panarukan. 

b. Perbudakan dibiarkan berkembang. 

c. Menghapus upacara penghormatan kepada residen, sunan, atau sultan. 

d. Membuat jaringan pos distrik dengan menggunakan kuda pos.

Akhir Kekuasaan Herman Willem Daendels


Kejatuhan Daendels antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 

1). Kekejaman dan kesewenang-wenangan Daendels menimbulkan kebencian di kalangan rakyat pribumi maupun orang-orang Eropa. 

2). Sikapnya yang otoriter terhadap raja-raja Banten, Yogyakarta, dan Cirebon menimbulkan pertentangan dan perlawanan.

3). Penyelewengan dalam penjualan tanah kepada pihak swasta dan manipulasi penjualan Istana Bogor. 

4). Keburukan dalam sistem administrasi pemerintahan, Louis Napoleon sebagai Raja Belanda akhirnya menarik kembali Daendels dengan pertimbangan Daendels sudah berbuat optimal di Indonesia. Penarikan Daendels ke Belanda disertai dengan pengangkatannya sebagai seorang panglima perang yang kemudian dikirim ke medan perang di Rusia. 

Ketika Inggris menyerbu Pulau Jawa, pengganti Daendels, Gubernur Jenderal Janssens, tidak mampu bertahan dan terpaksa menyerah kepada Inggris. Setelah ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September 1811, maka berakhirlah masa penjajahan Belanda - Prancis di Indonesia. Baca selanjutnya: Kala Inggris Berkuasa di Bumi Nusantara

Selengkapnya
Kesultanan Samudra Pasai, Kerajaan Islam Pertama di Nusantara

Kesultanan Samudra Pasai, Kerajaan Islam Pertama di Nusantara

Samudra Pasai merupakan kesultanan Islam pertama di Indonesia yang berkuasa dari abad ke 13 hingga abad ke 16. Pendirinya ialah Nazimuddin al-Kamil, seorang laksamana dari Mesir. Pada tahun 1128 M, ia mendapat tugas untuk merebut Pelabuhan Kambayat di Gujarat. Di samping itu, ia juga mendirikan kerajaan di Sumatra bagian utara dengan tujuan menguasai perdagangan rempah-rempah dan lada. 

Sementara itu, di negeri Mesir kemudian terjadi pergantian dinasti. Dinasti Fatimiyah berhasil dikalahkan oleh Dinasti Mamluk. Dinasti baru ini berambisi untuk merebut Samudra Pasai dengan mengirim Syekh Ismail. Syekh Ismail kemudian bersekutu dengan Marah Silu dan berhasil merebut Samudra Pasai. Marah Silu kemudian diangkat sebagai Raja Samudra Pasai dengan gelar Sultan Malik ash-Shaleh. 

Samudra Pasai
gambar via kompas.com

Kesultanan Samudra Pasai terletak di Lhokseumawe, Aceh sekarang. Pusat pemerintahannya di Kota Pasai, yang berada di pesisir. Setelah pertahanannya cukup kuat, Samudra Pasai meluaskan wilayahnya ke pedalaman, meliputi Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Telang, Perlak, Samudra, Rama Candi Tukas, dan Pasai. Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Malik ash-Shaleh melakukan pernikahan politik dengan Putri Ganggang Sari dari Perlak. 

Sultan Malik ash-Shaleh wafat pada tahun 1297 dan dimakamkan di Kampung Samudra Mukim Blang Me. la digantikan oleh seorang putranya bernama Sultan Muhammad dengan gelar Sultan Malik az-Zhahir, yang memerintah Samudra Pasai hingga tahun 1326. Sultan ini kemudian digantikan oleh putranya bernama Sultan Ahmad, yang bergelar Sultan Malik az-Zhahir II. 

Sultan ketiga Samudra Pasai ini dikenal memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Bahkan ia sanggup bertukar pikiran dengan para ulama ketika membicarakan berbagai masalah agama. Sultan mengangkat ulama keturunan bangsa sayid dari Syiraz sebagai qadhi di Pasai. Sultan Ahmad juga gemar mendakwahkan agama Islam ke negeri-negeri tetangga. Di samping itu, Sultan Ahmad juga memiliki armada kapal dagang yang besar. 

Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad ini, Samudra Pasai kedatangan utusan Sultan Delhi yang sedang menuju Cina bernama Ibnu Batutah pada tahun 1345. Ibnu Batutah menulis dalam catatan perjalanannya bahwa Samudra Pasai merupakan kota pelabuhan yang sangat penting sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari India dan Cina serta dari wilayah-wilayah lain di Nusantara. Para pembesar Samudra Pasai ada yang berasal dari Persia. Adapun patihnya bergelar Amir. 

Pengganti Sultan Ahmad adalah putranya yang bernama Sultan Zainal Abidin. Pada masa Sultan Zainal Abidin, Maharaja Tiongkok mengutus Laksamana Cheng Ho untuk datang ke Pasai pada tahun 1405. Cheng Ho menganjurkan agar Samudra Pasai mengakui persahabatan dengan Maharaja Tiongkok, Kaisar Cheng Tsu. Kaisar ini baru saja merebut kekuasaan dari kaisar terdahulu yaitu Hwui Ti. 

Laksamana Cheng Ho juga datang membawa hadiah tanda persahabatan dari Kaisar Tiongkok berupa Lonceng Cakra Donya. Ia pun memberikan janji bahwa Tiongkok akan tetap membela Samudra Pasai, Malaka dan negeri-negeri lain, jika ada serangan dari luar, asalkan mereka mengakui perlindungan dari Tiongkok. Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal telah mengunjungi Pasai berturut turut mulai dari tahun 1405, 1408 dan 1412.

lonceng Cakra Donya
lonceng Cakra Donya via wikipedia

Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin, secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai.

Sultan Zainal Abidin meninggal dalam satu peperangan melawan negeri Nakur di Aceh. Setelah masa pemerintahan Zainal Abidin, Samudra Pasai mengalami kemunduran karena adanya perebutan kekuasaan. Sejak saat itu, pusat kegiatan Islam pindah dari Pasai ke Malaka. Kesultanan Samudra Pasai akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511. Pada tahun 1524, wilayah Pasai telah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.


Selengkapnya
Asal Usul Nama Desa Krandegan, Puring, Kebumen

Asal Usul Nama Desa Krandegan, Puring, Kebumen

Krandegan adalah nama dari sebuah desa yang terletak di kecamatan Puring, kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Sepertinya menarik jika kita menelisik dari mana sejarah asal usul disematkannya nama Krandegan pada desa ini. Berkaitan dengan hal tersebut, pada artikel kali ini Santos Blog akan menyajikan mengenai asal usul nama desa Krandegan di kecamatan Puring, Kebumen yang kami nukil dari wikipedia. Semoga bermanfaat. 

desa Krandegan
gambar via google map

Pada masa lalu, desa Krandegan merupakan bagian dari ibu kota kadipaten Kaleng yang dipimpin oleh Adipati Banyak Kumara/Banyak Gumarang. Keberadaan desa Krandegan ini bisa dipahami karena letak desa ini memang kini persis berbatasan langsung dengan desa Kaleng, yang dimungkinkan pusat dari kadipaten Kaleng pada masa lalu. Kadipaten Kaleng sendiri kemudian digabung (fusi) dengan kadipaten Pucang menjadi Kadipaten Roma oleh Sultan Pajang pada tahun 1543 M. 

Menurut para sesepuh atau orang-orang tua, konon nama Krandegan berasal dari kata Endegan yang artinya adalah tempat berhenti dan beristirahat. Dalam bahasa Jawa, kata 'endegan' merupakan perubahan dari kata mandeg (artinya berhenti) sehingga 'endegan' bisa berarti tempat berhenti. Jika dirunut dari sejarahnya, hal ini terjadi karena pada masa lalu di wilayah ini pernah terdapat sebuah pasar yang sering dijadikan sebagai tempat singgah (berhenti), selain juga menjadi pusat perekonomian pada masa itu. 

Pasar ini cukup besar dan ramai. Namun pada masa kini, keberadaan pasar tersebut sudah bergeser ke arah barat tepatnya di desa Kaleng. Terlepas dari telah bergesernya pasar tersebut, konon dahulunya pasar ini berada di wilayah Krandegan dan sering menjadi tempat berhenti (endegan) bagi orang-orang. Kita tentu mafhum bahwa setiap pasar memang seringkali menjadi tempat singgah bagi banyak orang. Baik itu untuk istirahat selepas perjalanan jauh atau sekedar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Nah, dari sinilah kemudian muncul nama Krandegan. 

Versi lain ada juga yang menyebutkan bahwa asal usul nama Krandegan ini ada hubungannya dengan buah kelapa muda (dalam bahasa jawa disebut 'degan'). Pada masa lalu, wilayah ini memiliki pekarangan luas yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Banyak orang berhenti singgah di tempat ini untuk melepas lelah dan menikmati segarnya air degan (kelapa muda) milik warga sekitar. Karena daerah ini dahulunya merupakan karangan (kebun) yang banyak 'degannya', maka lidah orang jawa lama-lama menyebutnya menjadi Krandegan. 

Sedangkan versi ketiga menyebutkan bahwa asal usul nama Krandegan mungkin juga ada kaitannya dengan sejarah pada masa penjajahan. Dahulu pada masa penjajahan Belanda, wilayah yang berbatasan dengan desa Kaleng ini hendak dimasuki oleh tentara Belanda. Untuk menghambat pasukan Belanda, maka para warga kemudian menggali lubang besar memanjang seperti parit di sebelah barat wilayah tersebut. Parit tersebut dimaksudkan untuk memberhentikan ('ngendeg') patroli belanda agar tidak bisa lewat. Dari sinilah muncul versi ketiga asal usul nama Krandegan. 

Selain uniknya nama Krandegan, di desa ini juga terdapat tokoh-tokoh penting pada masa lalu yang makamnya banyak diziarahi oleh warga sekitar. Salah satunya yaitu seorang Ulama bernama Syekh Kyai Abdullah Rosyid. Makam Syekh Rosyid Krandegan ini berada di komplek makam tua di selatan desa wilayah dusun Kauman dan Karangsari. Syekh Kyai Abdullah Rosyid merupakan kakek dari Syekh Syihabuddin Dongkelan Bantul Yogyakarta, seorang penghulu agama pada masa Sultan Hamengku Buwono I. 

Syekh Rosyid Krandegan juga mempunyai keturunan yang menjadi seorang tokoh penting bernama Kyai Muhammad Syafi'i. Kyai Muhammad Syafi'i adalah seorang pembantu Pangeran Diponegoro pada saat menjalankan perang gerilya di wilayah panjer (Kebumen) pada masa Perang Jawa (Perang Diponegoro). Selain makam Syekh Rosyid, terdapat pula makam auliya lainnya yang letaknya di bagian tengah desa seperti makam Syekh Panggang di maqom Panggang, Syekh Kunci di maqom kunci dan makam-makam lainnya.

Wilayah desa Krandegan terbagi atas 7 dukuh yang terdiri dari dukuh Kebonagung, Kemenying, Kauman, Karangsari, Pekuncen, Kaligending dan Aglik. Mayoritas warga Krandegan beragama Islam dengan mata pencaharian sebagai petani, sebagian lainnya berprofesi pedagang dan pegawai pemerintah. Ada juga yang merantau ke kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, serta Kalimantan, bahkan ada juga sebagian yang merantau ke luar negeri seperti Malaysia, Hongkong dan Arab saudi.

Selengkapnya