Tawassul atau Wasilah artinya ialah "Mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah". Perihal tawassul ini mulai heboh dan ramai diperbincangkan setelah adanya fatwa dari golongan umat Islam yang melarang praktek tawasul ini. Mereka bahkan berpendapat bahwa orang yang bertawasul atau wasilah dalam berdoa adalah syirik atau kafir.
Mereka mengeluarkan pendapat demikian dengan beralasan untuk meluruskan akidah umat dan untuk menyelesaikan persoalan khilafiyah demi persatuan umat. Tetapi dalam praktek kenyataan, mereka justru malah sengaja membuka lebar pintu pertentangan dan perpecahan umat Islam sendiri. Mereka menuduh amalan bertawasul atau berwasilah sama sekali tidak dijumpai manthuq hukumnya di dalam Al Qur'an maupun Al Hadits, karena itu ditolak oleh Islam.
Di antara mereka juga ada yang biasanya mengutip dalil-dalil yang dipaksa-paksa diletakkan bukan pada tempatnya, seperti firman Allah berikut ini:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَ لَا يَضُرُّكَ ۚ فَاِنْ فَعَلْتَ فَاِنَّكَ اِذًا مِّنَ الظّٰلِمِيْنَ
"Dan jangan engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi bencana kepadamu selain Allah sebab jika engkau lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim." (QS. Yunus, 106)
Padahal ayat di atas sebenarnya diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah sebagai Nash terhadap segala perbuatan orang-orang musyrik yang secara terus menerus menyembah berhala. Jadi dalil ayat ini bukan ditujukan kepada orang-orang mukmin yang bertawassul.
Menyamakan (mengqiyaskan) perbuatan orang-orang mukmin yang bertawassul dengan perbuatan orang-orang musyrik sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas sama sekali tidak tepat dan tidak benar. Karena baik Al Qur'an ataupun Al Hadits sebenarnya telah jelas memberikan keterangan tentang diizinkannya orang yang berdoa dengan tawasul atau wasilah. Allah SWT telah berfirman:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْۤا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّـكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah, 35)
Jika firman Allah tersebut dipahami benar-benar, maka semestinya timbul pengertian bahwa di samping Allah memerintahkan kepada sekalian orang mukmin untuk bertaqwa, Allah juga memerintahkan mereka untuk berwasilah mencari jalan yang dapat mendekatkan diri kepadaNya.
Maksud dan pengertian firman Allah tersebut ternyata pernah dikerjakan oleh Nabi, para sahabatnya dan para Ulama. Selayaknya tindak perbuatan Nabi itu dianut oleh umat Islam sampai sekarang ini. Seperti halnya orang-orang yang hadir dalam acara selametan, tahlilan, haul atau istighotsah pada umumnya, mereka berdoa dengan tawasul atau wasilah yakni memohon kepada Allah lantaran pribadi yang sudah jelas identitas dan kebaikannya, bukan semata-mata meminta kepada mayit tersebut. Praktek semacam ini, yakni bertawassul dalam berdoa adalah selaras dengan tindakan Nabi.
Tawassul atau Wasilah sebagaimana yang dikerjakan oleh Nabi adalah boleh dilakukan dengan orang yang masih hidup maupun sudah wafat. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi bahwa Anas bin Malik berkata:
وقد دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم عند إرادة دفن فاطمة بنت أسد أم علي بن أبي طالب كرم الله وجهه فدخل لحدها واضطجع فيه وقال : ألله الذي يحيي ويميت وهو حي لايموت إغفر لأم فاطمة بنت أسد ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي وإنك أرحم الراحمين
"Rasulullah telah berdoa ketika hendak meletakkan jenazah Fathimah binti Asad, ibunya Ali bin Abi Thalib Karramallaahu Wajhah. Maka kemudian Rasulullah memasukkan ke liang kuburnya dengan membaringkan Fathimah seraya berdoa: 'Allah lah yang membuat hidup dan mati. Dia lah yang hidup, tidak mati. Semoga Engkau memberi ampun kepada ibuku, Fathimah binti Asad dan semoga Engkau luaskan tempatnya dengan hak NabiMu dan segenap Nabi yang lain sebelumku. Sungguh Engkau adalah Dzat yang lebih memberikan belas kasihan kepada mayit'" (HR. Ath Thabrani dalam kitab Ausath dan Al Kabir, juga Ibnu Hibban dan Hakim)
Di dalam kitab risalah 'Addurratus Saniyyah firraddi 'alal Wahabiyah' pada halaman 13, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan telah menerangkan masalah tawasul atau wasilah secara panjang lebar dengan mengemukakan sebuah hadits yang menceritakan bahwa di masa pemerintahan Umar bin Khattab banyak umat Islam yang menderita bencana musim kekeringan karena kemarau panjang, sehingga mereka banyak tertimpa kerusakan. Kemudian ada salah seorang sahabat Nabi yang bernama Bilal bin Harits datang ke kubur Nabi. Setelah sampai di kuburannya berkatalah Bilal kepada Nabi:
يارسول الله : إستسق لأمتك فإنهم هلكوا فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم فى المنام وأخبره أنهم يسقون
"Wahai Rasulullah, saya datang untuk berharap agar engkau (Nabi) memintakan hujan kepada Allah untuk umatmu, karena mereka hancur sebab lama sekali tidak ada hujan. Suatu ketika akhirnya Bilal bermimpi didatangi oleh Nabi, dan diberi kabar kalau umatnya sudah diberi hujan" (HR. Baihaqi dan Ibnu Hibban dengan riwayat yang shahih)
Di dalam hadits yang lain juga diriwayatkan bahwa sahabat Umar bin Khattab pernah berdoa dengan tawassul sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata:
أن عمر ابن الخطاب رضي الله عنه إذاقحطوا إستسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : أللهم إناكنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا فيسقون
"Bahwasanya Umar bin Khattab apabila terjadi musim kemarau, maka ia meminta hujan (wasilah) kepada Abbas bin Abdul Muthallib, maka Umar berkata: 'Ya Allah, bahwasanya kami telah bertawasul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka telah Engkau turunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawasul kepada Engkau dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan itu'. Maka diturunkanlah hujan kepada mereka. (HR. Bukhari)
Hadits-hadits di atas telah jelas memberikan pengertian:
1. Bahwa Nabi sendiri pernah mengerjakan berdoa dengan tawasul, baik dengan dirinya sendiri (yang masih hidup) dan para Nabi yang sebelumnya (sudah wafat).
2. Praktek Tawasul yang dilakukan oleh Nabi menunjukan bahwa bertawasul itu boleh dilakukan dengan orang yang masih hidup atau dengan orang yang sudah meninggal.
3. Bahwa sahabat Umar bin Khattab, salah seorang di antara sahabat Nabi yang utama juga pernah berdoa dengan bertawasul untuk memohon ke hadhirat Allah agar diturunkan hujan di waktu rakyatnya sedang ditimpa kekeringan karena musim kemarau yang panjang. Dan dengan doa tawasul itu, ternyata Allah langsung menurunkan hujan.
4. Saat Nabi masih hidup, suatu ketika Umar juga berdoa dengan tawassul, tetapi tindakan dan perbuatan Umar ini tidak disanggah oleh Nabi. Artinya tindakan ini dibenarkan.
5. Bahwa bukan hanya kepada Nabi saja Umar bertawasul, melainkan ia juga bertawassul dengan paman Nabi yaitu Abbas. Ini merupakan suatu bukti nyata bahwa bertawasul boleh dilakukan dengan orang yang lebih rendah atau lebih tinggi.
6. Sama sekali tidak salah jika umat Islam ini mengikuti jejak Nabi dan Umar bin Khattab selaku sahabat yang utama. Apalagi Nabi juga telah menyuruh umatnya untuk mengikuti jejak para sahabat "Khulafaur Rasyidin" secara konsekuen.
7. Sahabat Bilal bin Harits juga pernah berdoa dengan tawasul kepada Nabi yang pada waktu itu Nabi sendiri sudah wafat. Meskipun demikian ternyata hujan yang diminta Bilal kepada Allah dengan tawasul tersebut telah diturunkan oleh Allah, sebagaimana yang dimintakan oleh Umar.
8. Satu hal yang perlu dimengerti sesungguhnya baik Umar maupun Bilal bukannya meminta hujan kepada Nabi atau Abbas, akan tetapi diri Nabi dan Abbas hanyalah sebagai orang yang dijadikan jalan atau lantaran (wasilah). Jadi hakikat permohonan hujan yang dilakukan oleh Umar maupun Bilal itu semata-mata hanya ditujukan kepada Allah Dzat Yang Maha Kuasa atas segalanya, lain tidak.
Kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan di atas bahwa sebenarnya berdoa dengan tawassul baik dengan para Nabi, para sahabat, para Wali dan para Ulama sebagaimana yang sering terjadi di tengah-tengah praktek ziarah kubur dan upacara-upacara lain seperti peringatan haul adalah jelas diizinkan oleh Islam, karena hal ini telah jelas pula ada tuntunan langsung dari Al Qur'an maupun Al Hadits serta beberapa bimbingan dari para Alim Ulama. Dan tawassul ini boleh dilakukan dengan orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal.
Hakikat Bertawasul
Perlu ditekankan kembali bahwa mereka yang berdoa dengan tawassul kepada para Wali dan Ulama sama sekali tidak mempunyai kepercayaan sedikitpun bahwa para Wali dan Ulama tersebut mempunyai kekuasaan mutlak yang berdiri sendiri terlepas dari kekuasaan yang ada pada Dzat Allah, melainkan para Wali dan para Ulama hanyalah sebagai sebab atau perantara, sedang yang menjadi tujuan pokok dari permohonannya itu adalah Allah saja.
Dengan kata lain, hanya kepada Allah saja doa itu ditujukan. Jelas dan tegas bahwa apapun yang terjadi di dalam berdoa kepada Allah baik yang dilakukan secara langsung atau dengan tawasul sebagaimana yang menjadi tradisi kaum Nahdiyyin adalah tidak bertentangan dengan tuntunan ajaran Allah dan RasulNya.
Mereka yang bertawassul pada hakikatnya adalah bukan menyekutukan Allah dengan yang lain. Mereka ini percaya penuh bahwa hanya Allah lah yang berkuasa atas segala sesuatu, lain itu tidak. Oleh karena itu doa yang dipanjatkan hanya kepada Allah pula ditujukan.
Tidak terdapat sedikitpun i'tiqad yang terselip di dalam kalbu mereka bahwa selain Allah dapat memberikan sesuatu karena kekuasaan yang dimiliki, terlepas sama sekali dengan kekuasaan Allah. Mereka bertawasul dengan Nabi, Wali, dan Ulama adalah sebagai sebab yang dapat mendekatkan doanya dikabulkan oleh Allah. Sehingga dari sini menjadi jelas hakikat yang tampak dalam bertawasul sama sekali tidak terdapat unsur syirik.
Oleh karenanya sangat disayangkan jika masih ada sementara orang yang belum mengetahui duduk persoalannya lantas menuduh bahwa orang-orang yang berdoa dengan tawasul adalah syirik atau kufur, dengan anggapan bahwa bagaimanapun mereka pasti kemasukan unsur syirik yang menyebabkan dapat menjadikan dirinya termasuk musyrik dan kafir. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, praktek berdoa dengan bertawasul ini sendiri pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Artinya, jika mereka menuduh praktik tawasul ini perbuatan syirik, maka otomatis mereka juga menuduh praktik tawassul yang dijalankan oleh Nabi, para sahabat, dan para Ulama salafuna sholih juga perbuatan syirik dan kelak akan masuk neraka. Na'udzubillahi min dzaalik.
Intinya, jika ada yang tidak setuju dengan pendapat mengenai tawasul ini, maka hendaknya kita harus tetap saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing tanpa harus saling mencaci maki, olok mengolok, apalagi sampai saling mengkafirkan antar sesama umat Islam. Dalam perbedaan tetap kita wujudkan persatuan Islam yang benar-benar menjadi ajaran yang rahmatan lil 'alamiin (membawa rahmat bagi seluruh alam). Wallahu A'lam.
Labels:
Kajian Islam
Thanks for reading Praktek Tawassul dan Hakikatnya. Please share...!
0 Komentar untuk "Praktek Tawassul dan Hakikatnya"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.