Bagi masyarakat Indonesia, sarung telah menjadi bagian dari keseharian warga dan rakyat di pelosok-pelosok negeri ini. Meski sering diidentikan dengan pakaian kaum muslim, pada kenyataannya sarung juga banyak dipakai oleh umat agama lain atau pun juga dipakai oleh suku-suku adat yang ada di seantero negeri ini. Pemakaian sarung pun fleksibel, ia bisa dipakai untuk kegiatan keagamaan, upacara sakral atau pun juga bisa dipakai saat santai atau saat beraktivitas sehari-hari. Bahkan bagi kalangan santri yang sehari-harinya memakai sarung (kaum sarungan), ada ungkapan bahwa belum dianggap santri sejati jika belum dapat sarungan (memakai sarung) dengan benar. Selain itu, sarung juga dipakai oleh berbagai kalangan. Orang tua, anak-anak, remaja, dengan tidak mengenal ras maupun golongan, baik kaya maupun miskin, semua boleh mengenakan sarung.
via beritabojonegoro.com |
Asal Muasal dan Sejarah Sarung
Menurut pengertiannya, sarung (sarong) adalah sepotong kain lebar yang dipakai untuk menutupi tubuh bagian bawah. Cara pemakaiannya yaitu dengan membebatkannya pada pinggang sehingga menutupi bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah). Menurut catatan sejarah, busana sarung berasal dari tanah Arab, tepatnya yaitu Yaman. Di negeri Yaman sarung biasa disebut dengan futah. Ada pula yang menyebutnya izaar, wazaar atau ma'awis. Sedangkan masyarakat negara Oman biasa menyebut sarung dengan nama wizaar. Sementara warga Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar.
Dalam Ensiklopedia Britanica disebutkan, sarung telah menjadi pakaian tradisonal bagi masyarakat Yaman. Sejak zaman dahulu, masyarakat tradisional Yaman diyakini telah memproduksi dan menggunakan sarung sebagai bagian dari tradisi mereka. Bahkan hingga kini, tradisi tersebut tetap melekat kuat dan masih tetap berjalan seiring bergantinya zaman. Bagi para pelancong yang mengunjungi Yaman, futah atau sarung Yaman juga bisa dijadikan sebagai salah satu oleh-oleh khas tradisional dari Yaman.
Pada awalnya, sarung digunakan oleh suku baduy yang tinggal di Yaman. Sarung dari Yaman ini dibuat dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel, yaitu bahan pewarna yang berwarna hitam. Sarung Yaman terdiri dari beberapa variasi, diantaranya yaitu model assafi, al-kada, dan annaqshah. Sebenarnya di dunia Arab, sarung bukanlah pakaian yang diidentikkan untuk melakukan kegiatan ibadah seperti shalat. Bahkan di Mesir, sarung dianggap tidak pantas dipakai ke masjid maupun untuk keperluan menghadiri acara-acara formal dan penting lainnya. Di Mesir, sarung berfungsi sebagai baju tidur yang hanya dipakai saat di kamar tidur.
Berawal dari tanah Arab, penggunaan sarung akhirnya meluas dan merambah ke negeri-negeri lain. Tidak hanya di Semenanjung Arab, pemakaian sarung juga telah mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa. Dalam buku "Islamic Technology: An Illustrated History", Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill mengungkapkan, "Tekstil merupakan industri pelopor di era Islam,". Pada masa itu itu, standar tekstil masyarakat Muslim di Semenanjung Arab sangat tinggi. Maka tidak heran jika industri tekstil di era Islam ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dunia Barat.
Pemakaian Sarung Bagi Masyarakat Indonesia
Sarung diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-14. Seiring dengan penyebaran agama Islam di Nusantara, saat itu sarung dibawa oleh para saudagar dari Gujarat dan Arab. Mungkin karena inilah sehingga dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia akhirnya identik dengan kebudayaan Islam. Kain sarung juga bisa dibuat dari bermacam-macam bahan, seperti katun, poliester, atau sutera. Berbeda dengan tanah Arab, pemakaian sarung bagi masyarakat Indonesia justru menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi. Sarung biasa digunakan oleh masyarakat Muslim Indonesia saat menjalankan ibadah seperti shalat, baik di rumah atau pun di masjid.
Bagi kaum pria, pemakaian sarung biasanya dipadukan dengan mengenakan atasan baju koko, begitu pula kaum wanita mengenakan atasan mukena dan bawahan sarung untuk shalat. Selain busana untuk beribadah, Penggunaan sarung sangat luas. Ia bisa dipakai untuk santai di rumah hingga pada penggunaan resmi seperti dalam ritual adat atau upacara pernikahan. Pada umumnya penggunaan kain sarung pada acara resmi terkait sebagai pelengkap baju daerah tertentu.
via sarungatlas.co.id |
Ciri Khas Sarung Indonesia
Kain sarung produksi Indonesia tentunya berbeda dengan buatan dari negara lain. Sarung Indonesia terbuat dari kain tenun, songket, dan tapis. Masing-masing jenis bahan sarung tersebut juga berasal dari berbagai daerah yang berbeda di Indonesia. Sarung yang terbuat dari bahan tenun lebih dikenal berasal dari wilayah Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusat Tenggara Timur, Sulawesi, dan Bali. Sedangkan sarung dari bahan songket sangat identik dengan ciri khas adat Minangkabau dan Palembang. Sementara sarung bahan tapis, bahan ini dikenal berasal dari daerah Lampung.
Tidak seperti sarung yang banyak beredar di pasaran, sarung tradisional memiliki corak tersendiri tergantung dari daerah mana ia berasal. Sarung yang terbuat dari tenun diciptakan paling sederhana. Corak sarung ini cenderung lebih bermain warna, dibanding motif yang 'ramai'. Sedangkan corak sarung dari bahan tapis dan songket, sekilas akan terlihat sama. Hanya saja, motif tapis biasanya memiliki unsur alam, seperti flora dan fauna. Sedangkan motif songket, terlihat lebih meriah dengan motif yang mengisi seluruh isi bahan. Kesamaan antara bahan tapis dan songket yaitu keduanya terbuat dari benang emas dan perak.
sarung motif kotak Bali dan umum |
Sementara sarung bermotif kotak-kotak merupakan jenis sarung yang banyak beredar di pasaran. Selain harganya yang relatif lebih terjangkau, sarung jenis ini juga coraknya netral bisa dipakai siapa saja, suku mana pun, dan dipakai dalam suasana apapun. Meski begitu, motif sarung kotak-kotak juga memiliki nilai filosofis yang tidak sembarangan. Nilai filosofis motif sarung kotak-kotak bisa diartikan bahwa setiap melangkah baik ke kanan, kiri, atas ataupun bawah, semua akan ada konsekuensinya. Pada sarung bali, saat melihat gradasi bermotif papan catur pada sarung, artinya yaitu saat kita berada di titik putih, melangkah ke arah manapun, perbedaan akan menghadang, sedangkan cara amannya adalah melangkah secara gontai ke arah diagonal. Dampaknya, bukannya maju ke depan malahan menjauhi target. Jadi maknanya, orang yang berani menghadang cobaan adalah orang yang akan cepat menuai harapannya.
Identitas Bangsa Saat Masa Perjuangan
Pada zaman penjajahan atau masa awal-awal kemerdekaan, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa oleh para penjajah. Pada zaman kolonial, para santri masa itu menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung di mana kaum nasionalis abangan telah hampir meninggalkan sarung. Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU).
via polhukam.id |
Pada suatu ketika, KH. Abdul Wahab pernah diundang oleh Presiden Soekarno untuk menghadap ke istana. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan memakai jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya pemakaian jas dilengkapi dengan celana panjang. Meski begitu, sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung ke medan pertempuran, KH. Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Beliau ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan bangsa lain.
Labels:
Mozaik
Thanks for reading Sejarah Asal Muasal Sarung dan Sarung Bagi Masyarakat Indonesia. Please share...!
0 Komentar untuk "Sejarah Asal Muasal Sarung dan Sarung Bagi Masyarakat Indonesia"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.