Sepanjang sejarah manusia, agama dan kesenian merupakan dua entitas yang saling berhubungan erat. Di kalangan masyarakat primitif, kesenian juga merupakan ekspresi kepercayaan mereka. Berbagai temuan dari hasil karya masyarakat pada zaman dahulu memperlihatkan kaitan yang erat antara agama (kepercayaan) dan kesenian. Kesenian ini dalam berbagai aspek mencakup seni musik, tari, arsitektur, pahat, dan lain-lain.
Ilustrasi |
Sebagai contoh, masyarakat kuno yang telah maju, seperti bangsa Mesir kuno, telah mampu menghasilkan karya piramid, obelisk, spinx, dan huruf hierogliph. Piramid dan tempat menyimpan mayat dalam gua dibuat sedemikian unik dan indahnya, sehingga mendapat predikat sebagai salah satu dari keajaiban dunia. Pembuatannya tidak hanya didorong naluri kesenian yang sudah ada pada masyarakat Mesir kuno saat itu, tetapi juga karena keyakinan adanya hidup sesudah mati, suatu aspek yang cukup mendasar dalam pembahasan agama.
Dalam agama hindu seperti halnya yang ada di negeri India, pada awalnya nyanyian dan tarian merupakan sarana pendekatan dan pemujaan kepada Yang Maha Agung. Begitu pula dalam pandangan Durkheim, seni tari yang dikembangkan masyarakat primitif adalah dalam rangka pemujaan kepada hewan yang dianggap suci dan dipuja. Lebih jelasnya, tarian dan nyanyian masyarakat primitif adalah tarian dan nyanyian mistik.
Dalam agama Kristen, gereja adalah karya seni arsitektur yang lahir oleh paham dan rasa keagamaan penganutnya. Tidak jauh beda dengan masjid yang merupakan perpaduan paham keagamaan dan seni estetika dalam bidang arsitektur yang dimiliki umat Islam. Tidak mau kalah dengan agama Hindu, Kristen dan Islam juga punya perwujudan dalam dunia tarik suara. Dalam Kristen, seni tarik suara diwujudkan dalam vokal paduan suara gereja, sementara dalam Islam, dikenal lantunan Al Qur'an Murottal atau tilawah yang tidak lain merupakan salah satu ekspresi keagamaan yang coba ditampilkan warga Muslimin.
Lalu bagaimana dengan perkembangan aspek seni di dunia yang serba modern ini? Masihkah ada hubungan yang erat antara seni dan agama?.
Pasca Renaissance yang mengagungkan Barat, manusia tidak pernah berhenti menghasilkan karya seni dalam berbagai sisinya. Manusia menciptakan gedung-gedung bertingkat atau pencakar langit dan terus berlanjut hingga saat ini. Di belahan dunia barat, kita bisa melihat gedung pencakar langit memenuhi seluruh penjuru kota. Pemandangan serupa juga terlihat di mayoritas ibukota negara-negara maju dan berkembang. Meski begitu, tampaknya pemandangan itu semua belum sanggup untuk menandingi seni arsitektur yang ada jauh sebelum manusia mengenal listrik.
Pada aspek lain, seni musik (nyanyian atau suara) juga berkembang cukup pesat. Beragam jenis musik dengan berbagai macam alirannya juga terus bermunculan. Ada beragam genre musik, dari yang beraliran pop, rock, metal, reggae, dangdut dan yang lainnya. Kalau kita cermati, musik seolah telah memenuhi seluruh sendi kehidupan kita. Di stasiun tv atau radio punya acara musik tiap hari, atau acara-acara lain pun juga dibumbui dengan iringan musik. Tak tanggung-tanggung, dari pagi hingga malam menjelang tidur, musik tidak pernah luput dari keseharian kita. Mungkin ibarat sayur tanpa garam, hidup juga terasa hambar bila tidak ada musik.
Namun yang menjadi pertanyaan, dimanakah peran agama dalam visi kebersenian kita pada masa kini?. Masyarakat di era modern ini memang menghasilkan karya seni di atas landasan agama, hanya saja agama itu bernama materialisme. Materialisme dianut dan dipercayai sebagai satu-satunya kebenaran. Hasilnya yang menjadi tumpuan perhatian adalah kecantikan wajah dan penampilan, bukannya budi luhur dan kedalaman perasaan. Musik dan tarian pun lebih didominasi dengan lirik vulgar dan goyangan erotis, sehingga miskin akan nilai moral.
Intinya, materi dan fisik adalah sesuatu yang lebih dipentingkan dan mendominasi kehidupan masyarakat modern saat ini, sehingga pada akhirnya menjadi tidak mengherankan jika pada masa kini sering terjadi kontroversi antara kalangan seni dan agamawan. Pencekalan konser terjadi di mana-mana, agama dianggap menghambat berkesenian dan sebagainya.
Oleh karenanya, untuk mendekatkan kembali hubungan antara agama dan seni, perlu kiranya bagi kita untuk memikirkan kembali visi kebersenian kita. Perlu juga bagi kita untuk belajar kembali pada perkembangan visi dalam berseni orang-orang pada zaman dahulu. Bukan bermaksud agar kita kembali (meniru) ke zaman purbakala, tetapi untuk belajar pada spirit dalam menikmati atau mengekspresikan karya seni.
Kebanyakan dari kita belum mampu atau mau untuk memilah mana wilayah seni dan mana wilayah agama. Jangan sampai atas nama agama, kita melarang perkembangan atau ekspresi suatu seni. Atau kita juga tidak boleh menghalalkan apa-apa yang dilarang agama atas nama seni. Seyogyanya, pada satu waktu kita sedang menikmati seni, dan pada waktu yang lain, kita sedang memperbincangkan wilayah agama. (Justisia, 2009)
0 Komentar untuk "Mendekatkan Kembali Antara Agama dan Kesenian"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.