Sebagai makhluk sosial, manusia pasti butuh bantuan dari individu lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin besar kebutuhan manusia terhadap manfaat suatu benda atau jasa, maka semakin besar pula ia tidak bisa mengelak dari keikutcampuran atau kerjasama dengan manusia lainnya.
ilustrasi |
Muamalah sebagai bagian dari hukum Islam juga telah mengatur berkaitan dengan hak, kewajiban, dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya yaitu melalui akad (transaksi) ijarah. Apakah ijarah itu?
Pengertian Ijarah
Menurut asal katanya, istilah ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah, sewa, jasa, atau imbalan. Dalam prakteknya, dapat dikatakan bahwa ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti sewa-menyewa, kontrak, dan jasa perhotelan.
Sementara menurut para Ulama madzhab Syafi'i, definisi dari ijarah adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah, dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Dasar Hukum Ijarah
Ulama Fiqih berpendapat bahwa dasar hukum diperbolehkannya transaksi ijarah berasal dari Al Qur'an dan Hadits. Ayat-ayat Al Qur'an yang dijadikan sebagai dasar hukum ijarah di antaranya adalah QS. Az Zukhruf ayat 32, QS. Ath-Thalaq ayat 6, dan QS. Al Qashash ayat 26 (silahkan bisa anda baca sendiri).
Sementara hadits yang dijadikan sebagai dasar hukum ijarah salah satunya yaitu hadits dan Ibnu Umar RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya". (HR. Abu Ya'la, Ibnu Majah, Thabrani, dan Tirmidzi)
Macam-macam Ijarah
Dilihat dari segi objeknya, Para Ulama membagi akad (transaksi) ijarah menjadi dua macam, yaitu:
1. Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, dan semacamnya. Apabila manfaat itu termasuk manfaat yang diperbolehkan syara' untuk dipergunakan, maka Ulama fiqih sepakat menyatakan boleh dijadikan sebagai objek sewa menyewa.
2. Ijarah yang bersifat pekerjaan, yaitu dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ulama fiqih membolehkan ijarah yang berupa pekerjaan apabila jenis pekerjaannya jelas. Misalnya pembantu rumah tangga, buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain semacamnya.
Rukun dan Syarat Ijarah
Sebagai sebuah transaksi, ijarah dianggap sah apabila telah memenuhi beberapa rukun dan syaratnya, sebagaimana berlaku secara umum dalam akad (transaksi) lainnya.
Menurut jumhur Ulama, Rukun Ijarah itu ada empat, yaitu:
- Orang yang berakad atau bertransaksi, meliputi pihak penyewa (musta'jir) dan yang menyewakan (mu'jir).
- Upah/imbalan (ujrah)
- Manfaat (manfaat barang atau orang yang dipekerjakan)
- Sighat ijab kabul.
Sedangkan syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:
1. Kedua orang yang bertransaksi (akad) sudah baligh dan berakal sehat. Adapun transaksi anak kecil dan orang gila tidak sah.
2. Kedua belah pihak tersebut bertransaksi dengan kerelaan, artinya tidak terpaksa atau dipaksa. Dalilnya lihat Al Qur'an Surah An Nisa ayat 29.
3. Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa. Demikian juga jika objek ijarah adalah pekerjaan, pekerjaan itu harus jelas ketentuannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
4. Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Ulama fiqih sepakat bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya menyewakan rumah yang masih dihuni penyewa lain, dan semacamnya.
3. Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa. Demikian juga jika objek ijarah adalah pekerjaan, pekerjaan itu harus jelas ketentuannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
4. Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Ulama fiqih sepakat bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya menyewakan rumah yang masih dihuni penyewa lain, dan semacamnya.
5. Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara'. Oleh karenanya, sewa menyewa dalam masalah maksiat haram hukumnya, misalnya menyewa seseorang untuk memb*n*h orang lain (pemb*nuh bayaran) dan semacamnya.
6. Hal yang disewakan tidak merupakan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa orang untuk menggantikan penyewa shalat atau mengerjakan soal-soal ujian. Maka sewa-menyewa seperti ini tidak sah.
7. Objek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah, mobil, aneka busana, atau hewan tunggangan. Menyewakan sesuatu yang tidak lazim disewakan seperti menyewakan sebatang pohon untuk menjemur kain cucian tidak dibolehkan, karena sebatang pohon manfaatnya bukan untuk menjemur pakaian.
8. Upah/imbalan dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta. Ulama fiqih sepakat bahwa memberi upah kerja atau uang sewa tidak boleh menggunakan sesuatu yang dilarang syara' seperti mengunakan khamr dan babi.
Sifat Akad/ Transaksi Ijarah
Jumhur Ulama berpendapat bahwa akad ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat, atau barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan. Karena bersifat mengikat, kematian salah satu pihak baik yang menyewakan atau pihak penyewa juga tidak membatalkan ijarah. Manfaat dari sewa menyewa termasuk harta (al maal) yang bisa diwariskan.
Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji
Ijarah yang berupa pekerjaan, apabila orang yang dipekerjakan itu bersifat pribadi, maka seluruh pekerjaan yang ditentukan untuk dikerjakan menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan akad/transaksi antara yang mempekerjakan dengan yang dipekerjakan. Orang yang dipekerjakan mengerjakan suatu pekerjaan sesuai dengan ketentuan dari yang mempekerjakan, sedangkan yang mempekerjakan memberikan upah kerja kepada yang dipekerjakan sesuai dengan perjanjian.
ilustrasi pekerja |
Ulama fiqih sepakat bahwa apabila objek dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan karena kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat dituntut ganti rugi. Misalnya jika piring-piring yang sedang dicuci pembantu rumah tangga pecah bukan karena lalai atau disengaja, maka pembantu tidak dapat dituntut ganti rugi. Namun jika kerusakan diakibatkan oleh kelalaian atau kesengajaan si pekerja, maka ia wajib menggantinya.
Begitu pula penjual jasa untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, apabila melakukan suatu kesalahan sehingga sepatu orang yang diperbaikinya atau pakaian yang sedang dijahitnya mengalami kerusakan, maka menurut Imam Abu Hanifah, Ulama madzhab Hambali dan Syafi'i, apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian tukang sepatu atau tukang jahit, ia tidak dapat dituntut untuk membayar ganti rugi.
Berakhirnya Akad Ijarah
Ulama fiqih sepakat bahwa transaksi ijarah akan berakhir apabila terjadi dua hal berikut:
1. Objek ijarah hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang, dan semacamnya.
2. Habisnya tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah. Jika yang disewakan itu sebuah rumah, maka setelah habis masa sewanya, rumah itu dikembalikan oleh penyewa kepada pemiliknya. Sedangkan apabila yang disewa berupa jasa seseorang, maka yang memberikan jasanya (pekerja) berhak menerima upah kerja.
Labels:
Kajian Islam
Thanks for reading Sewa Menyewa (Ijarah) dalam Islam. Please share...!