Kisah Gugurnya Sang Patriot, Kumbakarna

Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari setiap tokoh dalam lakon pewayangan. Jika pada artikel terdahulu pernah kami uraikan kisah heroik Sang Adipati Karna dari lakon wiracarita Mahabharata, pada postingan kali ini kami ingin menyuguhkan kepada anda sekalian kisah singkat dari salah satu tokoh dalam wiracarita Ramayana yang bernama Kumbakarna, Sang Patriot Kusuma Bangsa dari tanah Alengka yang gugur demi membela bangsa dan tanah airnya dari penjajahan yang diakibatkan oleh keangkaramurkaan saudaranya, Dasamuka (Rahwana). 

Kumbakarna digambarkan sebagai sosok berwujud raksasa yang sangat tinggi dan berwajah mengerikan. Secara harafiah, Kumbakarna dalam bahasa Sansekerta berarti "bertelinga kendi". Meski buruk rupa, Kumbakarna memiliki sifat baik, berwatak kesatria, dan sering menyadarkan perbuatan salah kakaknya, Rahwana yang berwatak angkaramurka. Ayahnya adalah seorang resi bernama Wisrawa sedangkan ibunya bernama Sukesi, puteri Raja Detya, Sumali. Ia memiliki saudara kandung yakni Dasamuka (Rahwana), Wibisana dan Surpanaka. 

Kumbakarna
Kumbakarna dan Wibisana

Pada saat Alengka mendapat serangan dari pasukan Prabu Rama dan sekutunya, satu persatu jagoan negeri Alengka roboh berjatuhan. Pasukan raksasa bertumbangan di palagan pun sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Negeri Alengka bak banjir darah dari mayat-mayat yang jatuh berserakan. Prabu Dasamuka pun semakin risau. Lama baginya untuk memikirkan siapa lagi yang hendak disuruh untuk maju ke medan perang. Siapa yang punya kedigdayaan ngedab-edabi untuk menandingi kekuatan bala tentara Rama yang semakin beringas. Akhirnya, Dasamuka pun kemudian memerintahkan untuk memanggil Kumbakarna.

Singkat cerita, Raden Kumbakarna telah sampai di hadapan Prabu Dasamuka. Raden Kumbakarna bertanya, "Ada keperluan apa kakak Prabu memanggilku?"

"Negara Alengka telah dibanjiri jutaan bangkai dari Suwelagiri. Tolonglah aku dik!, jika tidak kau tolong, aku pasti gagal mempersunting Dewi Sinta", jawab Dasamuka.

"Apakah di Negara Alengka ini sudah tidak ada lagi manusia hingga aku dipanggil untuk maju perang?", Raden Kumbakarna kembali bertanya.

"Bala buta (raksasa) banyak yang sudah menjadi mayat. Para jagoan Alengka sudah tidak bisa lagi diandalkan, bahkan paman Prahastha juga sudah gugur"

"Paman Prahastha mati?", tanya Kumbakarna seraya kaget. Ia kemudian lanjut berkata:

"Itulah kakak Prabu, hasil dari apa yang sudah engkau tanam. Beribu-ribu prajurit telah menjadi korban. Harta dunia negara telah habis. Negara Alengka sudah tidak punya harapan lagi untuk hari esok. Kakak Prabu, itu semua akibat dari tingkah lakumu yang salah, menerjang hukum kebenaran. Perbuatanmu sungguh tercela dan nista. Sudah berapa kali kukatakan kalau aku sanggup berada di kayangan sekali, asalkan jangan merusak pager ayu (mengambil istri orang). Turutilah kata-kataku... "

Belum sampai selesai perkataan Raden Kumbakarna, Prabu Dasamuka sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya seraya berucap dengan nada tinggi, "Kumbakarna, memang aku raja yang nista. Kalau ingin melihat makhluk laknat ya seperti ini bentuknya. Tapi lebih laknat mana antara aku dan kamu?. Kamu itu manusia yang tidak tahu membalas budi (kebaikan) kepada saudara tua. Siapa yang sudah memberi kewibawaan padamu di Pangleburgangsa?"

"Kakak Prabu, menuduh aku tidak tahu membalas kebaikan apakah engkau merasa sudah menanam kebaikan?. Benar aku merasakan hidup enak. Tapi pangkat, kewibawaan, dan kemakmuran, semua itu bukan pemberianmu. Aku hanya pantas membalas kebaikan kepada para leluhur dengan cara memuji mereka yang sudah wafat di Alengka ini. Menjadi kewajibanku pula untuk menjaga berdiri tegaknya negara warisan leluhur ini. Siapa berani membuat huru-hara dan kerusakan di tanah Alengka ini, aku siap bertaruh nyawa. Lebih baik aku mati daripada membiarkan negara pemberian leluhur ini diinjak-injak munyuk-munyuk (kera-kera) dari Suwelagiri. Kakak, aku mohon pamit hendak membela negara. Ketahuilah, sampai mati aku tetap tidak setuju dengan tingkah lakumu".

Tanpa menghiraukan lagi perkataan Dasamuka, Raden Kumbakarna pun lekas pergi. Dengan berpakaian serba putih, badan bersih serta hati yang suci, Raden Kumbakarna pun berangkat ke medan laga. Tidak ada rasa permusuhan dalam dirinya. Ia maju perang hanya semata-mata menjalankan kewajiban demi membela tanah airnya. 

Melihat kedatangan Kumbakarna, pasukan kera langsung menyerbu, menunggangi, menggigit dan mencakar Kumbakarna. Tetapi Raden Kumbakarna tidak menghiraukannya. Tanpa menoleh ke kanan dan kiri, ia hanya tetap berjalan menuju keberadaan Prabu Rama. 

Para senapati pasukan kera pun ikut menghadang Kumbakarna guna mencegahnya agar tidak mendekati Prabu Rama. Namun semua tidak berdaya untuk menahan tubuh besar Kumbakarna. Pada satu kesempatan, Raden Sugriwa tertangkap oleh Kumbakarna. Namun dengan berusaha sekuat tenaga, Sugriwa akhirnya dapat melepaskan diri seraya membetot hidung Kumbakarna. Kumbakarna yang tanggal hidungnya pun merasa kesakitan dan mengamuk hebat hingga membuat barisan pasukan kera hancur berantakan. 

Melihat pemandangan yang menyayat hati tersebut, Prabu Rama bermaksud untuk membebaskan rasa sakit dan penderitaan yang dialami Kumbakarna. Ia pun kemudian melepaskan panah Guwawijaya ke arah Kumbakarna. Setelah beberapa lesatan panah melukai tubuh Kumbakarna, pada akhirnya anak panah berhasil menembus dada Sang Kumbakarna hingga menemui ajalnya. Raden Kumbakarna pun gugur sebagai patriot dan kusuma bangsa demi membela tanah airnya. 

Labels: Kisah Hikmah, Seni Budaya

Thanks for reading Kisah Gugurnya Sang Patriot, Kumbakarna. Please share...!

0 Komentar untuk "Kisah Gugurnya Sang Patriot, Kumbakarna"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.