Memedi (Hantu) dalam Kebudayaan Jawa

Orang Indonesia memang dikenal banyak memegang teguh kepada hal-hal yang berbau mitos, mistis, dan cenderung bersifat supranatural. Meski kini zaman sudah semakin modern, kepercayaan tentang hal-hal semacam ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari masyarakat Indonesia. Salah satu yang banyak dipercayai dan ditakuti keberadaannya oleh banyak orang yaitu terkait keberadaan hantu. 

hantu medi
ilustrasi via pixabay

Istilah hantu, atau orang jawa menyebutnya medi, memedi, dhemit, atau lelembut sebetulnya merujuk pada pengertian yang sama, yaitu makhluk tak kasat mata yang menampakkan diri (dhemit kang ngaton). Merujuk dari situs tanya jawab quora, kata memedi mungkin berasal dari akar kata dalam bahasa jawa 'wedi' yang artinya takut, sehingga memedi bisa diartikan "yang menakut-nakuti". Adapun dhemit atau dhedemit mengandung arti 'yang misterius, tidak kelihatan, yang bisa tiba-tiba hilang atau muncul'. Sedangkan lelembut artinya sama dengan 'makhluk halus', berasal dari akar kata 'lembut' yang artinya halus. 

Beberapa tahun lalu, di tayangan televisi kita pernah menjadi tren ketika beberapa stasiun tv berlomba-lomba menayangkan acara bertema hantu atau setan di televisi. Tidak hanya berwujud cerita atau sinetron, tapi berupa liputan langsung seperti acara Dunia lain, Gentayangan, Percaya Nggak Percaya dan lain sebagainya. Entah apa yang menjadikan media elektronik kita saat itu ramai-ramai membuat tayangan seperti itu. 

Acara-acara serupa memang kini mulai jarang ditemui di televisi. Namun sebagai gantinya, tayangan-tayangan bertema hantu justru kini biasa dijumpai di youtube. Seiring mudahnya orang membuat channelnya sendiri di layanan video ini, banyak orang yang mencari uang di dalamnya dengan membuat video-video penampakan hantu, entah itu real atau hanya dusta semata. Bahkan tidak jarang, 'hantu-hantu' tersebut adakalanya hanya dijadikan sebagai bahan lawakan untuk menarik perhatian orang agar menonton video-video tersebut. 

Berbicara tentang hantu, memedi atau semacamnya, dalam kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa roh, jin, setan, dan raksasa umumnya dianggap jahat, dan orang jawa menyebutnya memedi. Setan juga biasa disebut dhemit, kalau berwujud raksasa disebut denawa atau buto. Masyarakat mengenal lebih banyak roh jahat ketimbang roh suci, walaupun dalam hal ini masih menjadi kontroversi.

Ahli kebudayaan asal Belanda, Van Hien mengumpulkan 87 sebutan bagi roh dan 17 jenis setan, yang satu persatu diterangkan menurut wujud, tempat, kegemaran, dan sifat umumnya sebagaimana gambaran dari masyarakat. Koentjaraningrat sendiri merasakan kesulitan ketika menggolongkan jenis roh dan setan yang dipercaya oleh manusia, sehingga Budayawan ini kemudian membagi menurut sifat umumnya seperti setan darat, setan bisu, setan iblis, dan juga setan laki-laki buruk rupa. Adapun wewe digambarkan sebagai setan perempuan dengan rupa sangat buruk. 

Sebaliknya, ada juga setan-setan perempuan cantik kinyis-kinyis, contohnya jenis kuntilanak, biasanya muncul di jalan-jalan sepi untuk menggoda atau memikat laki-laki yang lewat. Kalau Sundel bolong, sifatnya hampir sama dengan kuntilanak yaitu berwujud hantu cantik dengan punggung bolong (berlubang). 

Masih ada lagi jenis setan mirip anak kecil atau cebol, yaitu tuyul dan setan gundul, biasanya berwujud bocah nakal. Lainnya lagi yang lebih seram seperti hantu banaspati yang bisa menyemburkan api. Kalau setan usus mempunyai ciri perut berlobang sehingga isi perut keluar semua.

Juga ada jenis setan setengah manusia setengah hewan, antara lain peri perempuan cantik berkaki kuda, atau Nyai Blorong perempuan cantik dimana badan atas berwujud manusia tapi badan bagian bawah berwujud ular. Ada juga Ki blorong, jenis setan ular laki-laki.

Orang jawa juga mengenal Jrangkong yaitu setan berwujud rangka manusia, thetekan atau setan yang tulang-belulangnya seperti hendak copot sehingga bunyi ketika berjalan, perempuan seklebatan bayangan putih, dan jenis kemamang atau lampor seperti api terbang dimana orang-orang yang tidak tahu biasanya menganggapnya gejala alam. Atau ada juga genderuwo yaitu hantu bertubuh besar, kulit berwarna hitam kemerahan dan tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuhnya. 

Hasil penelitian Koentjaraningrat tersebut memang tidak bisa disebut barang baru lagi. Malahan penemuan dan klasifikasi dari Kreemer dan Van Hien, usianya hampir lebih dari satu abad lalu. Ahli kebudayaan asal Belanda itu sampai sekarang buku-bukunya masih dirujuk untuk membandingkan hasil penelitian budayawan kita terkait hal ini dengan penambahan di sana-sini untuk disempurnakan.

Walaupun begitu, kepercayaan jika jenis memedi (hantu) bisa merasuk dalam raga manusia sehingga menjadikan kesurupan sebagaimana dijumpai pada masyarakat kita sepertinya memang tidak bisa dikikis. Beberapa orang percaya jika ada orang kesurupan jin/ hantu yang bisa menyembuhkan adalah seorang dukun atau paranormal.

Adapun hantu seperti tuyul, Nyi Blorong, dan Ki Blorong biasanya dipercaya bisa membantu mencari pesugihan. Namun sebagai gantinya, hantu atau setan-setan tersebut akan meminta tumbal dari orang-orang yang memuja dan dibantu mengumpulkan harta dunia tersebut.

Hingga kini, jika ada orang mati dengan cara tidak sewajarnya, santer kerap kita mendengar ia akan menjadi hantu berwujud pocongan, kuntilanak, dan lain-lain. Maka tidak mengherankan, khususnya di wilayah pedesaan, orang-orang takut keluar malam setelah maghrib jika salah satu warganya ada yang meninggal dengan tidak wajar.


*Artikel di atas dikutip/ diterjemahkan dari tulisan Ir. Agung Sujadi dalam majalah Panjebar Semangat (18/2004, 1 Mei 2004) dengan beberapa perubahan dan penambahan yang disesuaikan.

Labels: Seni Budaya

Thanks for reading Memedi (Hantu) dalam Kebudayaan Jawa. Please share...!

0 Komentar untuk "Memedi (Hantu) dalam Kebudayaan Jawa"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.