Sejak era Demokrasi Liberal (1950-1959), organisasi kemahasiswaan telah tumbuh dan berkembang pesat di Indonesia. Sejak kemunculannya, organisasi-organisasi kemahasiswaan tersebut juga turut mewarnai sejarah panjang perjalanan negeri ini mulai dari era pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, hingga Era Reformasi. Salah satu peristiwa penting bersejarah terkait gerakan mahasiswa tersebut adalah peristiwa pada 15 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari).
Peristiwa Malari
Malari merupakan gerakan mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru terkait kerja sama dengan pihak asing untuk pembangunan nasional. Para mahasiswa menganggap kebijakan pemerintah kala itu sudah menyimpang dan tidak berhaluan kepada pembangunan yang mementingkan rakyat. Mahasiswa menilai bahwa kerja sama ini malah semakin memperburuk kondisi ekonomi rakyat.
Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (MALARI) ditandai dengan aksi unjuk rasa besar-besaran menentang kedatangan perdana menteri Jepang, Tanaka. Mahasiswa menilai bahwa pengaruh Jepang di bidang ekonomi perlu dibatasi, karena bergantung berlebih-lebihan terhadap investasi asing justru akan merusak ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Sebelum meletusnya peristiwa Malari, ada banyak peristiwa yang mendahului peristiwa ini. Deklarasi Golput pada tahun 1972 sebagai protes atas dominannya kekuasaan politik, protes pembangunan TMII 1972, kerusuhan rasialis di Bandung pada bulan Agustus 1973, hingga kedatangan ketua IGGI J.P. Pronk pada bulan November 1973 adalah beberapa di antaranya.
Puncak peristiwa Malari sendiri terjadi saat Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei melawat ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa UI yang dipimpin oleh Hariman Siregar, Syahrir, dan lain-lain yang sejak lama menentang lubernya modal asing menggunakan momen itu untuk menggerakkan demonstrasi menentang modal asing yang saat itu direpresentasikan oleh Jepang. Aksi yang awalnya berlangsung damai itu berakhir menjadi sebuah malapetaka.
Akibat peristiwa itu, belasan orang meninggal dan ratusan orang lainnya mengalami luka-luka. Terjadi pula aksi penjarahan dan pembakaran hingga menyebabkan Jakarta berasap. Tercatat 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 orang lain ditahan aparat. Sementara pada saat yang sama, 807 mobil dan 187 sepeda motor terbakar, 144 bangunan rusak, serta 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Berawal dari long march mahasiswa dari Kampus Universitas Indonesia (UI) di Salemba menuju Kampus Universitas Trisakti di Grogol, mahasiswa kemudian memaklumatkan Tritura 1974 yang meminta pemerintah menurunkan harga-harga, membubarkan aspri (asisten presiden), dan menggantung koruptor-koruptor. Pasca Malari 1974, demonstrasi masih sering terjadi. Pada periode 1977-1978, tercatat beberapa kali terjadi demonstrasi yang berujung pendudukan kampus oleh pihak militer.
Upaya menumpas gerakan mahasiswa dengan memenjarakan aktivis-aktivis Malari tidak cukup untuk mengatasi masalah. Untuk memadamkan protes kritik mahasiswa melalui demonstrasi, Soeharto melalui Menteri Pendidikan, Daud Yusuf mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Dewan mahasiswa, organisasi kampus yang sangat otoritatif dan otonom saat itu dibekukan dan diganti dengan lembaga lain yang lebih mudah dikontrol oleh pemerintah.
Konsep NKK/BKK ini juga memberikan wewenang besar kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan semua kegiatan mahasiswa, termasuk tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan. Praktis, pemberlakuan NKK/BKK dan pengebirian lembaga mahasiswa ini membuat gerakan kemahasiswaan berangsur lumpuh dan menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik. Pemberlakuan UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan semakin membuat sulit gerakan mahasiswa.
Tragedi Trisakti
Seperempat abad kemudian pasca Malari, lahirlah gerakan koreksi yang berhasil menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Gerakan reformasi tahun 1998 dipicu oleh issue-issue kebijakan liberalisme yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru dan dianggap ikut merusak perekonomian Indonesia hingga berujung pada krisis ekonomi sepanjang akhir tahun 1990-an. Maraknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme juga dipandang sebagai salah satu faktor penyebab rapuhnya ekonomi Indonesia.
Ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1997, pondasi ekonomi Indonesia yang rapuh tidak mampu menahan terpaan krisis tersebut. Dalam perkembangannya, krisis ini pun menjelma menjadi krisis multidimensi dan meluas mulai dari krisis ekonomi, krisis sosial, hingga krisis politik yang berujung pada krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Akibatnya, gerakan reformasi yang berintikan tuntutan pengunduran diri Soeharto dari jabatannya sebagai presiden pun bergulir.
Demonstrasi besar-besaran terjadi menjelang pertengahan Mei 1998. Gelombang aksi mahasiswa menuntut reformasi terjadi di banyak tempat. Tuntutan reformasi yang digaungkan mahasiswa antara lain yaitu pembubaran Orde Baru dan Golkar, penghapusan Dwifungsi ABRI, penghapusan KKN, dan penegakkan supremasi hukum HAM, dan demokrasi. Tuntutan gerakan reformasi oleh mahasiswa ini mencapai puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998.
Para mahasiswa melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari pasukan anti huru-hara dan pasukan pendukung militer yang datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 17.15 sore hari tanggal 12 Mei 1988 para mahasiswa bergerak mundur diikuti bergerak majunya aparat keamanan.
Meski awalnya berlangsung damai, keadaan mulai memanas hingga berujung bentrok antara pihak mahasiswa dengan pihak aparat keamanan. Peristiwa tragis kembali terulang, korban berjatuhan di pihak mahasiswa Trisakti. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Sebagai buntut dari peristiwa berdarah Tragedi Trisakti, terjadi kerusuhan selama dua hari berturut-turut pada 13-14 Mei 1998. Sasaran amuk massa berikutnya adalah warga Cina keturunan beserta gedung-gedung pusat perbelanjaan lainnya. Amuk massa ini menyebabkan kerugian triliunan rupiah, hilangnya nyawa, dan luka traumatik bagi warga keturunan Cina.
Pasca peristiwa Trisakti dan kerumunan massa, aksi mahasiswa diarahkan kepada wakil-wakil rakyat di DPR/MPR RI. Mahasiswa berdatangan ke gedung DPR/MPR RI dengan tuntutan utama yaitu segera dilakukan Sidang Istimewa (SI) dan pencabutan mandat MPR kepada Presiden Soeharto. Sejak 18 Mei 1998, kelompok-kelompok mahasiswa dari berbagai universitas berdatangan menduduki gedung DPR/MPR RI. Pada akhirnya, gerakan mahasiswa ini berhasil menurunkan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun di kursi kepresidenan Indonesia. Sejak saat itu, babak baru Indonesia pun dimulai yakni dengan lahirnya Era Reformasi.