Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah salah seorang Pahlawan Revolusi Indonesia yang lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Juni 1922. Ia merupakan putra dari pasangan Sarjo (ayah) dan Murtini (ibu). Ayahnya bekerja di sebuah pabrik gula yang dimiliki oleh orang Belanda. Pada tahun 1927, Ahmad Yani bersama keluarganya pindah ke Batavia karena ayahnya dipindahkan bekerja disana.
Ahmad Yani mengawali pendidikan formalnya di HIS (setingkat sekolah dasar) di Bogor dan selesai pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke MULO (setingkat sekolah menengah pertama) kelas B di Bogor. Setelah tamat dari MULO (1938), Ahmad Yani melanjutkan sekolah di AMS (setingkat sekolah menengah atas) bagian B di Jakarta. Di sekolah ini, ia hanya sampai di kelas dua karena pada tahun 1940 ia mengikuti pendidikan militer Pemerintah Hindia Belanda.
Ahmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang yang dilanjutkan secara lebih intensif di Bogor. Dari sinilah Ahmad Yani mengawali karier dalam militernya dengan pangkat Sersan. Akan tetapi, pendidikannya ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Ahmad Yani dan keluarganya kemudian memutuskan untuk pindah kembali ke Jawa Tengah.
Pada masa pendudukan Jepang (1942), Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang, Jawa Tengah. Selanjutnya pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihannya, Ahmad Yani mengikuti pelatihan sebagai komandan peleton PETA di Bogor. Setelah pelatihan ini selesai, ia dikirim kembali ke Magelang dan bertugas sebagai instruktur.
Pada masa perang kemerdekaan, Ahmad Yani berhasil menyita senjata tentara Jepang di Magelang. Ketika terbentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan TKR Purwokerto. Selama bulan-bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, Ahmad Yani membentuk batalion dan berhasil memenangkan pertempuran melawan Inggris di Magelang.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I, pasukan Ahmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Oleh karenanya, ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Ahmad Yani diberikan kepercayaan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu.
Ahmad Yani juga berperan penting ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta melawan Belanda. Sebelum dilakukan serangan, pasukan yang dipimpin Ahmad Yani melakukan serangan gerilya sehingga berhasil mengalihkan perhatian tentara Belanda dan memudahkan jalan bagi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Setelah pengakuan kedaulatan, Ahmad Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah pada Desember 1949. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Untuk menghadapi kelompok pemberontakan ini, Ahmad Yani membentuk pasukan khusus yang diberi nama The Banteng Raiders. Pasukan ini mendapatkan pelatihan khusus sehingga pasukan DI/TII berhasil dikalahkan. Setelah menumpas DI/TII, Ahmad Yani kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada bulan Desember 1955, Ahmad Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk bersekolah di Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat selama 9 bulan. Pada tahun 1956, ia kembali mengikuti pendidikan selama dua bulan di Spesial Warfare Course di Inggris.
Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Ahmad Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta yang dipimpin oleh
A. H. Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat ini, Ahmad Yani kemudian menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat.
Saat terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat pada tahun 1958, Ahmad Yani yang pada waktu itu masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan terhadap pemberontakan PRRI. Pasukan Ahmad Yani berhasil menumpas pemberontakan tersebut dengan merebut kembali Padang dan Bukittinggi.
Atas keberhasilannya, pada tanggal 1 September 1962, Ahmad Yani dipromosikan menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Kemudian pada tanggal 13 November 1963, dengan pangkat Letnan Jenderal, ia diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jenderal A. H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab).
Ahmad Yani merupakan seorang jenderal yang sangat dekat dan setia kepada Presiden Soekarno. Saking cinta dan setianya, ia pernah berkata, "Siapa yang berani menginjak bayang-bayang Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966), Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya". Bahkan berkembang isu bahwa Ahmad Yani telah dipersiapkan oleh Presiden Soekarno sebagai calon penggantinya menjadi presiden RI.
Meski dekat dengan Bung Karno, Ahmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari Soekarno. Tidak mengherankan, Ahmad Yani memang dikenal sebagai seorang jenderal yang sangat berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itulah ia menjadi salah satu target penculikan PKI ketika terjadi peristiwa G30S/PKI 1965.
Ahmad Yani ditembak didepan kamar tidurnya oleh para penculik pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Jasadnya ditemukan beberapa hari kemudian pada tanggal 4 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazah Ahmad Yani kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965, Ahmad Yani dinyatakan gugur sebagai Pahlawan Revolusi dan dinaikkan pangkatnya dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal Anumerta.