Kemerdekaan memang tidak diraih dengan mudah. Banyak di antara para pejuang yang gugur demi mewujudkan kemerdekaan di negeri tercinta ini. Bahkan setelah kemerdekaan berhasil diraih pun, perjuangan mereka masih berlanjut untuk mempertahankan kemerdekaan yang hendak kembali direnggut. Selain dari pihak luar seperti Belanda lewat Agresi Militernya, negeri ini juga pernah diwarnai adanya pemberontakan-pemberontakan di beberapa daerah yang hendak merongrong kedaulatan NKRI.
|
Prajurit Banteng Raiders via riauonline.co.id |
Meski begitu, sejumlah pemberontakan tersebut berhasil diredam untuk kembali menciptakan situasi yang aman dan terkendali. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ini sejarah singkat 7 pemberontakan di sejumlah daerah yang pernah terjadi pasca kemerdekaan RI.
1. Pemberontakan PKI 1948
Pemberontakan PKI 1948 atau juga disebut Peristiwa Madiun adalah pemberontakan komunis pada 18 September 1948 di kota Madiun, Jawa Timur. Pada 29 Januari 1948, Kabinet Hatta terbentuk menggantikan kabinet Amir Syarifuddin yang jatuh pasca perundingan Renville. Amir Syarifuddin berbalik menjadi oposisi dan menghimpun kekuatan golongan kiri dan komunis dengan membentuk FDR (Front Demokratik Rakyat).
FDR memancing bentrokan fisik dengan membuat kerusuhan-kerusuhan di Surakarta dan melancarkan aksi mogok di pabrik karung Delanggu pada 5 Juli 1948. Kekuatan FDR bertambah dengan datangnya Muso, seorang tokoh komunis Indonesia yang pernah tinggal di Uni Soviet. Muso menyatakan bahwa revolusi di Indonesia sudah menyimpang. Selanjutnya Muso mengorganisasi kembali kekuatan PKI. Kegiatan agitasi dan anarkhi FDR/PKI terus semakin meningkat.
Ketika perhatian semua pihak pro pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta, PKI/FDR beralih menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun pada 18 September 1948. Pada hari itu juga, PKI/FDR memproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia" dan mengumumkan pembentukan pemerintahan baru pada hari berikutnya. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah. Korban dari pemberontakan ini antara lain Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh-tokoh agama.
Pemerintah RI bertindak tegas terhadap pemberontakan ini. Panglima Besar Soedirman kemudian menugaskan Kolonel Gatot Subroto, Panglima Divisi II Jawa Tengah bagian Timur dan Kolonel Sungkono, Panglima Divisi I Jawa Timur untuk menumpas pemberontakan PKI. Dengan dukungan rakyat, pada 30 September 1948 kota Madiun berhasil diduduki oleh TNI. Para pemimpin PKI bertebaran menyelamatkan diri. Musso mati tertembak di Somoroto, Ponorogo. Sedangkan Amir Syarifuddin ditangkap di daerah Branti, Grobogan, kemudian ditembak mati.
2. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) muncul di Jawa Barat pada Januari 1950 dipimpin oleh mantan Kapten Raymond Westerling dalam dinas tentara kerajaan Belanda (KNIL). Gerakan ini memanfaatkan kepercayaan rakyat akan datangnya Ratu Adil, namun sebenarnya gerakan ini bertujuan untuk mempertahankan tetap berdirinya negara Pasundan dengan APRA sebagai tentara negara Pasundan.
Gerakan ini juga mendapat dukungan dari Sultan Pontianak yaitu Sultan Hamid II yang berhaluan federalis untuk meluncurkan kudeta pada bulan Januari 1950. Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA dengan kekuatan 800 personil di antaranya 300 anggota KL bersenjata lengkap menyerbu kota Bandung dan secara ganas membunuh anggota TNI yang dijumpai. Mereka juga berhasil menduduki Markas Divisi dan membunuh Letnan Kolonel Lembong.
Pemerintah
RIS segera mengirimkan pasukan bantuan ke Bandung. Di Jakarta juga segera diadakan perundingan antara Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi Belanda. Sedangkan di Bandung, Kepala Staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Eri Sudewo menemui Panglima Divisi C Tentara Belanda, Mayor Jenderal Engels untuk membicarakan masalah tersebut. Hasilnya, Komandan Tentara Belanda di Bandung, Mayor Jenderal Engels mendesak agar APRA segera meninggalkan kota Bandung.
Setelah meninggalkan Bandung, gerombolan APRA menyebar ke berbagai tempat dan terus dikejar oleh tentara APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Dengan bantuan penduduk, gerombolan tersebut pun berhasil dilumpuhkan. Selain di Bandung, gerakan tersebut juga diarahkan ke Jakarta namun berhasil digagalkan. Pada tanggal 22 Februari 1950, Westerling melarikan diri ke luar negeri menggunakan pesawat Catalina, sedangkan Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada 4 April 1950.
3. Pemberontakan Andi Aziz
Pemberontakan ini terjadi di Makassar dan dipimpin oleh Kapten Andi Aziz, seorang mantan perwira KNIL. Pada 30 Maret 1950, ia bersama pasukannya menggabungkan diri ke dalam APRIS di hadapan Letnal Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Pada bulan April 1950, terjadi kekacauan di Sulawesi Selatan yang disebabkan seringnya terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat anti-federal dan mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI.
Sebaliknya, golongan yang mendukung negara federal juga melakukan demonstrasi sehingga keadaan menjadi tegang. Untuk menjaga keamanan, pemerintah mengirim satu batalyon TNI yang dipimpin oleh Mayor H.V. Worang. Kedatangan pasukan dari Jawa itu mengancam kedudukan kelompok masyarakat pro-federal. Selanjutnya mereka bergabung dan membentuk "Pasukan Bebas" di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pagi hari sekitar pukul 05.00 tanggal 5 April 1950, Kapten Andi Aziz bersama pasukannya menyerang markas TNI di Makassar. Objek-objek vital seperti lapangan terbang, kantor telekomunikasi, dan pos-pos Polisi Militer berhasil mereka kuasai. Beberapa orang prajurit TNI juga menjadi korban, bahkan beberapa perwira termasuk Letnal Kolonel Ahmad Junus Mokoginta berhasil ditawan.
Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah mengeluarkan instruksi bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Aziz harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggung - jawabkan perbuatannya. Namun, Andi Aziz terlambat melapor ke Jakarta, sehingga ia ditangkap dan diadili. Pemerintah juga mengirimkan pasukan APRIS yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang. Pasukan APRIS mengadakan pengepungan terhadap markas KNIL. Karena terdesak, pasukan KNIL segera minta berunding. Perundingan membawa hasil pada penghentian tembak-menembak sehingga keamanan Makassar dapat pulih kembali.
4. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) dipimpin oleh Mr. Dr. Cristian Robert Steven Soumokil, mantan Jaksa Agung NIT. Sebelumnya Soumokil terlibat dalam pemberontakan Andi Aziz. Namun ia berhasil melarikan diri ke Maluku dan juga berhasil memindahkan pasukan KNIL dan Pasukan Baret Hijau dari Makassar ke Ambon. Pada tanggal 25 April 1950, Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon.
Pemerintah RIS berupaya mengatasi masalah ini secara damai yaitu dengan mengirimkan misi damai yang dipimpin oleh tokoh asli Maluku yaitu Dr. Leimena. Namun misi ini ditolak oleh Soumokil. Bahkan mereka kemudian berupaya menarik perhatian dan pengakuan dari dunia internasional utamanya dari Belanda, Amerika Serikat, dan Komisi PBB untuk Indonesia. Karena upaya damai mengalami jalan buntu, maka terpaksa pemerintah melakukan operasi militer.
Ekspedisi militer untuk menumpas gerakan RMS ini disebut Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Pada tanggal 14 Juli 1950 pagi hari pasukan APRIS mendarat di Laha, Pulau Buru, terus ke Pulau Seram. Dalam pertempuran di depan benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel
Slamet Riyadi tertembak dan gugur di medan perang. Pada akhirnya, pasukan APRIS pun dapat mematahkan perlawanan RMS. Sisa-sisa kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke Pulau Seram dan selama beberapa tahun membuat serangkaian kekacauan.
5. Pemberontakan DI/ TII
DI/TII adalah gerakan kelompok Islam di Indonesia yang bertujuan untuk pembentukan negara Islam di Indonesia. Gerakan ini dikoordinasikan oleh seorang politisi Muslim, S.M. Kartosoewiryo di Desa Cisampang, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pada tanggal 7 Agustus 1949, gerakan ini memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang berdasarkan Kanun Azasi. Meski awalnya dicetuskan oleh Kartosuwiryo, dalam perkembangannya beberapa pemimpin pemberontakan di sejumlah daerah menyatakan diri bergabung dengan DI/TII di Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo.
Kontak senjata pertama kali antara TNI dan DI/TII ketika pasukan Divisi Siliwangi melakukan hijrah (long march) dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Bahkan kemudian terjadi perang segitiga antara TNI-DI/TII-Tentara Belanda. Upaya damai dilakukan oleh pemerintah RI dengan perantaraan Moh. Natsir (pemimpin Masyumi) lewat sepucuk surat, namun tidak berhasil. Upaya kedua dilakukan dengan membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Moh. Natsir pada bulan September 1949. Akan tetapi usaha itu pun juga gagal mengajak Kartosuwiryo untuk kembali ke pangkuan RI.
Operasi militer untuk menumpas gerakan DI/TII ini dimulai pada tanggal 27 Agustus 1949. Operasi ini menggunakan taktik pagar betis yang dilakukan dengan menggunakan tenaga rakyat berjumlah ratusan ribu orang mengepung gunung tempat gerombolan bersembunyi. Taktik ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerakan kaum pemberontak. Selain itu, juga dilakukan Operasi Tempur Bharatayudha dengan sasaran menuju basis pertahanan mereka. Operasi penumpasan ini memakan waktu yang cukup lama. Baru pada tanggal 4 Juni 1962 Kartosuwiryo berhasil ditangkap di Gunung Geber di daerah Majalaya oleh pasukan Siliwangi.
Selain di Jawa Barat, gerakan DI/TII juga muncul di sejumlah daerah antara lain di Jawa Tengah pimpinan Amir Fatah, di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakar, dan di Aceh pimpinan Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan di Jawa Tengah berhasil ditumpas lewat Operasi Guntur pada tahun 1954. Sementara pemberontakan di Sulawesi Selatan berhasil ditumpas pada tahun 1964 dengan Kahar Muzakar tertembak mati. Sedangkan di Aceh, penyelesaian pemberontakan ini berakhir dengan dilakukannya "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin. Musyawarah ini berhasil memulihkan keamanan Aceh.
6. Pemberontakan PRRI/ Permesta
Kondisi politik nasional yang diwarnai konflik serta ketidakseimbangan alokasi anggaran antara pusat dan daerah menimbulkan ketidakpuasan di beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi. Para panglima militer di daerah-daerah tersebut kemudian membentuk dewan-dewan militer daerah. Pada tanggal 9 Januari 1958, diselenggarakan pertemuan di Sumatera Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah seperti Letkol Achmad Husein, Kolonel Dahlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis.
Selanjutnya pada tanggal 10 Februari 1958, diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang isinya sebagai berikut:
- Dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada Presiden.
- Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet.
- Meminta presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.
Pemerintah menolak ultimatum tersebut dan memecat secara tidak terhormat terhadap perwira-perwira TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan tersebut. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah KDMSUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah), Kolonel D.J. Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958, wilayah Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintah Pusat dan mendukung PRRI. Pernyataan D.J. Somba ini merupakan piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Untuk memulihkan kembali keamanan negara, pemerintah melakukan operasi militer yang disebut Operasi 17 Agustus. Operasi ini dipimpin oleh Letnan Kolonel
Ahmad Yani dan berhasil membersihkan daerah-daerah yang dikuasai oleh gerakan PRRI. Sementara penumpasan Permesta dilakukan dengan melancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat. Pada akhirnya, Achmad Husein menyerahkan diri pada tanggal 29 Mei 1961. Pada pertengahan tahun 1961 tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.
7. Pemberontakan G-30-S/PKI
Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta (yang hampir sekaligus).
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut yaitu Letjen TNI Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Pangad), Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Pangad), Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Pangad), Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Pangad), dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman).
Sementara Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Ketika itu juga tertembak Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Waperdam II Dr. J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Nasution. Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu, gerombolan PKI juga melakukan pembunuhan terhadap perwira TNI AD di Jawa Tengah. Kolonel Katamso Darmokusumo, Komandan Kodam VII Diponegoro dan Kepala Stafnya Letkol Sugiyono Mangunwiyoto juga menjadi korban keganasan PKI. Keduanya dibawa ke Kentungan sebelah utara Yogyakarta dan kemudian dibunuh pada 30 September 1965. Untuk menumpas gerakan tersebut, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.