Home
» Kisah Hikmah
» Taubatnya Syaqiq al-Balkhi Hingga Memilih Jalan Zuhud
Syaqiq al-Balkhi adalah salah seorang Sufi di antara tokoh-tokoh besar Khurasan yang hidup pada abad ke 3 Hijriyah. Nama lengkapnya yaitu Syaqiq bin Ibrahim al-Azdi dan memiliki nama kuniyah Abu Ali al-Balkhi. Sedangkan "al-Balkhi" merupakan sematan yang dinisbatkan kepada daerah tempat kelahirannya. Ia merupakan murid sekaligus sahabat karib sufi terkemuka yaitu Ibrahim bin Adham dan guru dari seorang sufi terkenal lainnya yaitu Hatim al Asham.
ilustrasi sufi via islami.co
Dikisahkan bahwa sebelum dikenal sebagai seorang sufi ternama, Syaqiq adalah putra dari seorang hartawan yang sering melakukan perjalanan jauh ke berbagai pelosok negeri untuk berniaga. Dalam suatu perjalanan niaganya ke Turki, tanpa sengaja ia bertemu dengan sekelompok penyembah berhala di sana. Ia pun sempat memasuki sebuah rumah yang menjadi tempat penyembahan berhala bagi kelompok tersebut. Di samping banyak dijumpai berhala, di tempat tersebut ia juga menjumpai beberapa orang pendeta yang berkepala gundul plontos dan tidak berjenggot.
Syaqiq pun mencoba berbincang dengan salah seorang pelayan di tempat tersebut. Ia berkata kepada pelayan tersebut, "Anda diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Hidup, Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa. Sembahlah Dia, jangan engkau menyembah berhala-berhala yang tidak bisa memberikan bahaya maupun manfaat!".
Pelayan itu kemudian menjawab, "Wahai Syaqiq, ucapanmu tidak sama dengan perbuatanmu. Jika memang benar perkataanmu bahwa Tuhan Maha Kuasa memberimu rezeki di negerimu sendiri, maka mengapa engkau dengan susah payah melakukan perjalanan jauh hingga datang ke sini (negeri ini) untuk berniaga?. Apakah Tuhanmu tidak memberimu rezeki di tempat asalmu?".
Mendengar jawaban sekaligus pertanyaan pelayan tersebut, Syaqiq pun tersentak hatinya. Sejak peristiwa itu, Syaqiq al-Balkhi lantas kembali ke tempat asalnya dan menyedekahkan seluruh harta kekayaannya. Sejak saat itu pula, ia kemudian memutuskan untuk menempuh kehidupan zuhud.
Kisah lain menyebutkan bahwa kezuhudan Syaqiq al-Balkhi bermula saat ia melihat seorang hamba sahaya tengah bermain-main padahal ketika itu tengah terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan masyarakat menderita. Syaqiq kemudian bertanya kepada hamba sahaya tersebut, "Mengapa engkau bisa santai-santai begitu, bukankah kita telah dilanda krisis ekonomi?".
Hamba itu lantas menjawab, "Aku tidak mengalami krisis, sebab majikanku memiliki perkampungan subur yang hasilnya cukup untuk mencukupi seluruh kebutuhan kami".
Mendengar jawaban hamba tersebut, Syaqiq pun terketuk hatinya dan berkata, "Jika hamba ini tak lagi memikirkan rezeki disebabkan majikannya memiliki perkampungan yang subur, toh majikan itu sendiri makhluk yang miskin. Lantas bagaimana mungkin seorang Muslim memikirkan rezekinya sedang Tuhannya Maha Kaya Raya?"
Di antara kata-kata bijaknya, Syaqiq al-Balkhi juga pernah mengatakan, "Aku mencari lima perkara kemudian kutemukan pada lima perkara, yaitu:
1. Aku mencari kesanggupan meninggalkan dosa, lalu kutemukan pada shalat Dhuha.
2. Aku mencari pancaran cahaya di dalam kubur lalu kutemukan pada shalat Lail (Qiyamullail).
3. Aku mencari jawaban terhadap Mungkar dan Nakir lalu kutemukan pada pembacaan Al-Qur'an.
4. Aku mencari kemampuan melintasi titian (shirath) lalu kutemukan pada puasa dan sedekah, dan
5. Aku mencari naungan Arasy lalu kutemukan dalam khalwat (menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah).
(dinukil dari kitab Nashaihul 'Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani)
Santos el SalamMaret 04, 2021AdminBandung Indonesia
Taubatnya Syaqiq al-Balkhi Hingga Memilih Jalan Zuhud
Santos el Salam
4 Maret 2021
Syaqiq al-Balkhi adalah salah seorang Sufi di antara tokoh-tokoh besar Khurasan yang hidup pada abad ke 3 Hijriyah. Nama lengkapnya yaitu Syaqiq bin Ibrahim al-Azdi dan memiliki nama kuniyah Abu Ali al-Balkhi. Sedangkan "al-Balkhi" merupakan sematan yang dinisbatkan kepada daerah tempat kelahirannya. Ia merupakan murid sekaligus sahabat karib sufi terkemuka yaitu Ibrahim bin Adham dan guru dari seorang sufi terkenal lainnya yaitu Hatim al Asham.
ilustrasi sufi via islami.co
Dikisahkan bahwa sebelum dikenal sebagai seorang sufi ternama, Syaqiq adalah putra dari seorang hartawan yang sering melakukan perjalanan jauh ke berbagai pelosok negeri untuk berniaga. Dalam suatu perjalanan niaganya ke Turki, tanpa sengaja ia bertemu dengan sekelompok penyembah berhala di sana. Ia pun sempat memasuki sebuah rumah yang menjadi tempat penyembahan berhala bagi kelompok tersebut. Di samping banyak dijumpai berhala, di tempat tersebut ia juga menjumpai beberapa orang pendeta yang berkepala gundul plontos dan tidak berjenggot.
Syaqiq pun mencoba berbincang dengan salah seorang pelayan di tempat tersebut. Ia berkata kepada pelayan tersebut, "Anda diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Hidup, Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa. Sembahlah Dia, jangan engkau menyembah berhala-berhala yang tidak bisa memberikan bahaya maupun manfaat!".
Pelayan itu kemudian menjawab, "Wahai Syaqiq, ucapanmu tidak sama dengan perbuatanmu. Jika memang benar perkataanmu bahwa Tuhan Maha Kuasa memberimu rezeki di negerimu sendiri, maka mengapa engkau dengan susah payah melakukan perjalanan jauh hingga datang ke sini (negeri ini) untuk berniaga?. Apakah Tuhanmu tidak memberimu rezeki di tempat asalmu?".
Mendengar jawaban sekaligus pertanyaan pelayan tersebut, Syaqiq pun tersentak hatinya. Sejak peristiwa itu, Syaqiq al-Balkhi lantas kembali ke tempat asalnya dan menyedekahkan seluruh harta kekayaannya. Sejak saat itu pula, ia kemudian memutuskan untuk menempuh kehidupan zuhud.
Kisah lain menyebutkan bahwa kezuhudan Syaqiq al-Balkhi bermula saat ia melihat seorang hamba sahaya tengah bermain-main padahal ketika itu tengah terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan masyarakat menderita. Syaqiq kemudian bertanya kepada hamba sahaya tersebut, "Mengapa engkau bisa santai-santai begitu, bukankah kita telah dilanda krisis ekonomi?".
Hamba itu lantas menjawab, "Aku tidak mengalami krisis, sebab majikanku memiliki perkampungan subur yang hasilnya cukup untuk mencukupi seluruh kebutuhan kami".
Mendengar jawaban hamba tersebut, Syaqiq pun terketuk hatinya dan berkata, "Jika hamba ini tak lagi memikirkan rezeki disebabkan majikannya memiliki perkampungan yang subur, toh majikan itu sendiri makhluk yang miskin. Lantas bagaimana mungkin seorang Muslim memikirkan rezekinya sedang Tuhannya Maha Kaya Raya?"
Di antara kata-kata bijaknya, Syaqiq al-Balkhi juga pernah mengatakan, "Aku mencari lima perkara kemudian kutemukan pada lima perkara, yaitu:
1. Aku mencari kesanggupan meninggalkan dosa, lalu kutemukan pada shalat Dhuha.
2. Aku mencari pancaran cahaya di dalam kubur lalu kutemukan pada shalat Lail (Qiyamullail).
3. Aku mencari jawaban terhadap Mungkar dan Nakir lalu kutemukan pada pembacaan Al-Qur'an.
4. Aku mencari kemampuan melintasi titian (shirath) lalu kutemukan pada puasa dan sedekah, dan
5. Aku mencari naungan Arasy lalu kutemukan dalam khalwat (menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah).
(dinukil dari kitab Nashaihul 'Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani)