Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf

Bagi anda yang sering mendengarkan ceramah, tausiyah, atau pengajian, pastinya sudah tidak asing lagi dengan sebuah hadits Nabi yang menyebutkan tentang 7 golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari Kiamat kelak. Terjemahan redaksi hadits tersebut kurang lebih seperti berikut ini:

"Tujuh (kelompok) orang akan dinaungi oleh Allah di bawah naunganNya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dewasa dengan senantiasa beribadah kepada Allah, orang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah sehingga bertemu dan berpisah karena-Nya, laki-laki yang diajak berbuat zina oleh wanita terhormat dan cantik namun ia menolaknya dengan menyatakan bahwa dirinya takut kepada Allah, orang yang bersedekah secara rahasia sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanannya, dan orang yang mengingat Allah dalam kesunyian lalu mencucurkan air mata.". (H.R. Bukhari, Muslim, Nasa'i, dan Malik dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id) 

Dari ketujuh kelompok ke atas, kita akan menyoroti golongan pertama yakni imam 'adil atau pemimpin yang adil. Penyebutan pemimpin/penguasa adil sebagai kelompok pertama pada hadits di atas tentu memiliki nilai penting yang bisa kita pahami dalam konteks kehidupan umat manusia dewasa ini. Penyebutan tersebut juga menyiratkan pemahaman bahwa penguasa yang adil mendapatkan posisi yang sedemikian terhormat di sisi Allah sehingga mereka akan mendapatkan kenikmatan yang abadi. 

Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf
ilustrasi

Terkait siapa dan bagaimana kriteria seseorang bisa dikatakan sebagai pemimpin yang adil, pada postingan kali ini kita akan menyimak bersama uraian dari beberapa tokoh muslim berpengaruh perihal pemimpin yang adil itu. 

Khalifah kedua, Umar bin Khaththab dalam suratnya kepada salah seorang gubernurnya, Abu Musa Al-Asy'ari, pernah mengemukakan:

"Penguasa yang paling beruntung adalah penguasa yang memberikan keberuntungan bagi rakyatnya dan penguasa yang paling celaka adalah penguasa yang mencelakakan rakyatnya. Janganlah kamu terlalu terbuka, karena para pegawaimu akan menganut kepadamu. Perumpamaanmu seperti binatang ternak yang melihat tempat penggembalaan yang menghijau lain lalu makan darinya hingga kenyang dan gemuk, padahal kegemukannya justru menjadi penyebab kepunahannya, karena dengan kegemukan itulah, ia disembelih dan dimakan". 

Dalam kesempatan lain, Umar bin Khattab juga mengemukakan kepada para gubernurnya secara umum:

"Sesungguhnya Allah itu Maha Agung, Hak-Nya berada di atas hak-hak makhluk-Nya. Dia menyatakan keagungan hak-Nya dalam firmanNYa:

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلٰٓئِكَةَ وَالنَّبِيِّۦنَ أَرْبَابًا  ۗ  أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ

"Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah dia (patut) menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim?" (QS. Ali 'Imran, ayat 80)

Ingatlah, aku tidak mengangkatmu sebagai amir (aparat) yang boleh berbuat sewenang-wenang, tapi aku mengangkatmu sebagai pemberi petunjuk. Maka kembalikan hak-hak umat muslim kepada mereka, janganlah kamu memukuli mereka, berendah hatilah kepada mereka, janganlah kamu menyanjung mereka karena sanjunganmu akan berakibat buruk bagi mereka, janganlah kamu menutup pintu bagi keperluan mereka karena hal itu bisa menyebabkan yang kuat akan memakan yang lemah dari mereka, dan janganlah kamu mendahulukan kepentinganmu atas kepentingan mereka karena dengan itu kamu menganiaya mereka."

Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib juga pernah mengatakan kepada Gubernur Mesir, Malik bin Al-Asytar Al-Nakha'i:

"Ketahuilah, hai Malik, aku menugaskan kamu untuk menghadapi negara-negara yang sebelumnya telah memiliki pemerintahan, baik yang adil maupun yang menyeleweng. Orang-orang memandang urusanmu seperti kamu memandang urusan penguasa sebelum kamu, Mereka menilai kamu seperti dahulu kamu menilai para penguasamu. Orang-orang yang saleh akan tampak setelah Allah menjadikan hamba-hamba-Nya memberikan penilaian kepadanya. Jadikanlah simpanan amal saleh sebagai harta simpananmu yang paling kamu cintai. Tumbuhkanlah dalam hatimu rasa sayang, cinta, dan kelembutan kepada rakyatmu. 

Janganlah kamu menjadi binatang buas yang lapar dan senantiasa mencelakakan dan memangsa mereka karena mereka terdiri atas dua kelompok, yaitu saudaramu seagama dan makhluk Allah yang sepadan denganmu. Apabila kamu menjadi seperti binatang buas, mereka akan semakin banyak bertindak salah dan kamu akan sering menyakiti mereka, yang pada gilirannya kamu akan tertangkap oleh mereka, baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu, berilah maaf kepada mereka dan berlapang dadalah kepada mereka seperti ampunan dan kemurahan yang ingin kamu dapatkan dari Allah, karena kamu berkuasa atas mereka, namun mereka yang mengangkatmu berkuasa, dan Allah berkuasa kepada orang yang mengangkatmu. 

Janganlah kamu menandingi keagungan Allah dan menyerupai kesewenang-wenangan-Nya karena Allah akan menghinakan orang-orang yang sewenang-wenang dan sombong. Bersikaplah objektif kepada Allah dan kepada manusia, dengan menghindari subjektivitasmu terhadap keluargamu yang terdekat, melainkan rakyatmulah yang kamu cenderungi. Apabila tidak demikian, kamu berbuat aniaya, dan barang siapa menganiaya hamba-hamba Allah, Allah akan menjadi pembela hamba tersebut. 

Dan barang siapa menjadi musuh Allah, Allah akan menggelincirkan hujjah-Nya dan Allah akan senantiasa memeranginya hingga ia meninggal atau bertobat. Tidak ada sesuatu yang lebih mempercepat terjadinya perubahan nikmat Allah dan menyegerakan siksaan-Nya ketimbang meluruskan tindakan orang yang zalim karena Allah senantiasa mendengarkan doa orang-orang yang teraniaya dan senantiasa melindungi orang-orang yang teraniaya. 

Janganlah sekali-kali kamu merusak sunnah shalihah (pola kepemimpinan baik) yang telah dilakukan oleh pendahulu umat ini, yang dapat merekatkan kerukunan dan membawa kemaslahatan rakyat. Janganlah sekali-kali kamu menciptakan pola kepemimpinan yang merusak pola-pola yang telah lalu. Pahala tetap akan mengalir kepada yang menciptakan sunnah, sedangkan kamu akan berdosa. Hendaklah perkara yang paling kamu cintai adalah perkara yang paling sederhana dalam urusan hak, yang paling detail dalam urusan keadilan, dan yang paling banyak mendapat persetujuan rakyat."

Sedangkan Imam Hasan Al-Bashri mengemukakan pandangannya tentang imam yang adil ketika menjawab pertanyaan Amir Al-Mu'minin, Umar bin Abdul Aziz. Beliau menyebutkan:

"Sesungguhnya Allah menjadikan imam yang adil untuk menegakkan segala sesuatu yang cenderung bengkok, meluruskan setiap perkara yang menyimpang, memperbaiki setiap perkara yang rusak, memperkuat setiap orang yang lemah, melindungi setiap orang yang teraniaya, menghentikan penganiayaan, dan menjadi penengah antara Allah dan hamba-Nya, yang mendengar firman Allah dan menyampaikannya kepada mereka, melihat (kekuasaan) Allah dan memperlihatkannya kepada mereka, dan tunduk kepada Allah serta membimbing mereka kepada-Nya. 

Ia bagaikan seorang hamba yang dipercaya oleh majikannya untuk menjaga harta dan keluarganya. Dialah orang yang menegakkan hukum kepada hamba-hamba Allah bukan dengan hukum jahiliyah, tidak mengajak mereka menempuh jalan orang-orang yang zalim, tidak memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang sombong atas orang-orang yang lemah. Dia adalah pengemban wasiat atas anak-anak yatim, bendahara bagi orang-orang miskin, mendidik anak-anak kecil, dan mengembangkan orang-orang dewasa mereka". 

Sementara Qadhi agung Abu Yusuf menyatakan dalam muqaddimah kitabnya, Al-Kharaj, yang ditujukan kepada Amir Al-Mu'minin, Harun Al-Rasyid:

"... dan sesungguhnya, Allah dengan anugerah dan rahmat serta ampunan-Nya telah menjadikan para ulul amri sebagai khalifah-Nya di muka bumi, menjadikan bagi mereka cahaya untuk menerangi rakyatnya apabila mereka kegelapan dalam suatu perkara, yaitu hak-hak dan kewajiban yang tidak transparan bagi mereka. 

Penerangan yang dilakukan seorang ulul amri adalah menegakkan hukuman, mengembalikan hak kepada pemiliknya secara tegas dan transparan dengan melestarikan pola kepemimpinan para pendahulu yang saleh sebagai pola yang sangat dijunjung tinggi, karena melestarikan pola tersebut merupakan kebaikan yang selalu hidup dan tidak pernah mati. Adapun jika ia menunjuk orang yang tidak dapat dipercaya dan bukan ahli kebaikan sebagai pembantunya, ia akan menimbulkan bencana umum". 

Itulah di antara beberapa uraian mengenai pemimpin adil dari tokoh-tokoh Muslim terkemuka seperti Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf. Semoga para pemimpin di negeri ini dapat selalu menjalankan dengan baik amanah yang mereka emban dari rakyat demi terciptanya kehidupan yang berkeadilan, aman dan damai sehingga negeri ini dapat menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafuur
 
Labels: Horizon, Kajian Islam

Thanks for reading Pemimpin Adil Menurut Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Al-Bashri dan Qadhi Abu Yusuf. Please share...!