Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) Pada Masa Penjajahan (1830 - 1870)

Tidak bisa kita bayangkan betapa sulit dan sengsaranya nenek moyang kita ketika hidup di zaman penjajahan. Meski hidup di tanah milik sendiri, mereka seperti tidak punya kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri. Semua itu tidak terlepas dari sistem politik yang diterapkan pemerintah kolonial terhadap warga pribumi. Satu di antaranya yaitu penerapan tanam paksa pada kurun waktu 1830 - 1870. 

Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)

Istilah cultuur stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Terjemahannya dalam bahasa Inggris adalah culture system atau cultivation system. Pengertian dari cultuur stelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. 

Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) Pada Masa Penjajahan (1830 - 1870)

Sedangkan rakyat pribumi menerjemahkan cultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya pun dapat dikenakan hukuman fisik yang berat. Adapun jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica, dan kopi.

Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, maka pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda. 

Latar Belakang Sistem Tanam Paksa 

Penerapan sistem tanam paksa di Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa hal berikut ini:

1. Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan biaya yang besar. 

2. Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830. 

3. Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden. 

4. Kas negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup berat. 

5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.

6. Gagal mempraktekkan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar pada Belanda. 

Aturan-Aturan Tanam Paksa

Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam Staatsblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Persetujuan-persetujuan agar penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di Eropa. 

b. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki.

c. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi. 

d. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah. 

e. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk. 

f. Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah. 

g. Bagi yang tidak memiliki tanah akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun. 

h. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropa bertindak sebagai pengawas secara umum. 

Ketentuan-ketentuan tersebut dalam prakteknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut antara lain sebagai berikut. 

1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara paksaan. 

2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Sering kali semua tanah rakyat digunakan untuk tanam paksa.

3. Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering kali jauh melebihi pengerjaan tanaman padi.

4. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.

5. Kelebihan hasil panen sering kali tidak dikembalikan kepada petani. 

6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani. 

7. Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.

Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia 

Pelaksanaan sistem tanam paksa memberikan beberapa dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun negatif. 

Dampak Positif 
  • Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru. 
  • Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi ekspor. 
Dampak Negatif 
  • Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan. 
  • Beban pajak yang berat. 
  • Pertanian, khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen. 
  • Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan (1849-1850) sebagai akibat kegagalan panen.
  • Jumlah penduduk Indonesia pada saat itu menurun.

Labels: Sejarah

Thanks for reading Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) Pada Masa Penjajahan (1830 - 1870). Please share...!