Para pendiri bangsa menyadari bahwa untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, dibutuhkan kebersamaan dan persatuan semangat nasionalisme. Munculnya organisasi-organisasi Pergerakan Nasional memiliki peran penting dalam menciptakan semangat nasional menuju kemerdekaan Indonesia. Nah, berikut ini kita akan belajar mengenai sejarah organisasi-organisasi pergerakan Nasional di Indonesia.
1. Boedi Oetomo
Demi mengangkat derajat bangsa, seorang dokter dari kalangan priayi Jawa, Mas Ngabehi Wahidin Soedirohusodo melakukan perjalanan kampanye di kalangan priayi di Pulau Jawa. Pada akhir tahun 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia. Pertemuan tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama Boedi Oetomo pada hari Rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Soetomo kemudian ditunjuk sebagai ketuanya. Tanggal berdirinya Boedi Oetomo hingga saat ini diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada awal berdirinya hingga Oktober 1908, Boedi Oetomo merupakan organisasi pelajar STOVIA sebagai anggota intinya. Tujuan Boedi Oetomo dituliskan secara samar-samar, yaitu “kemajuan bagi Hindia”. Ruang geraknya masih terbatas di Jawa dan Madura dengan tidak membedakan keturunan, jenis kelamin, dan agama.
Kongres pertama via historia.id |
Hingga menjelang kongres pertama terdapat 8 cabang Boedi Oetomo, yaitu di Batavia, Bogor, Bandung, Yogyakarta I, Yogyakarta II, Magelang, Surabaya, dan Probolinggo. Setelah cita-cita Boedi Oetomo mendapat dukungan yang luas dari kalangan cendekiawan Jawa, kaum pelajar mulai menyingkir dari barisan depan. Sebagian dari mereka menginginkan agar yang lebih tua memegang peranan bagi gerakan itu.
Ketika kongres Boedi Oetomo berlangsung di Yogyakarta, pimpinan beralih ke generasi yang lebih tua, terutama dari kalangan priayi rendahan. Kongres tersebut mengangkat Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, sebagai ketua baru dan Yogyakarta sebagai pusatnya. Setelah melalui perdebatan yang panjang, kongres memutuskan bahwa Boedi Oetomo tidak berpolitik dan jangkauan pergerakannya hanya terbatas di Pulau Jawa dan Madura. Namun, dalam perkembangannya Tirtokusumo sebagai ketua yang baru lebih cenderung memperhatikan reaksi dari pemerintah kolonial daripada reaksi penduduk pribumi.
Karena kebanyakan pendukungnya berasal dari golongan priayi rendahan, Boedi Oetomo menganggap perlu meluaskan pendidikan Barat di kalangan priayi. Pengetahuan bahasa Belanda mendapat proritas utama karena tanpa pengetahuan bahasa Belanda, seseorang tidak dapat diharapkan mendapatkan kedudukan yang layak dalam jenjang kepegawaian pemerintahan kolonial. Hal itu menunjukkan pengaruh golongan tua dan golongan priayi yang lebih mengutamakan jabatannya.
Reaksi dari golongan di luar kelompok tersebut terwujud dengan pembentukan organisasi-organisasi sejenis yang hanya mewakili golongan masing-masing, seperti Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Minahasa, Paguyuban Pasundan, dan Sarekat Islam.
Setelah persetujuan dari pemerintah kolonial sebagai badan hukum diberikan, diharapkan organisasi Boedi Oetomo akan lebih melancarkan kegiatannya secara luas. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, Boedi Oetomo menjadi lamban. Hal itu disebabkan adanya kesulitan keuangan dan banyak bupati yang sebelumnya menjadi anggota Boedi Oetomo mendirikan organisasi sendiri. Selain itu, banyak pelajar STOVIA dan golongan muda lainnya berhenti sebagai anggota. Hingga akhir tahun 1909, jumlah anggota Boedi Oetomo sekitar 10.000 orang.
Perkembangan selanjutnya merupakan periode yang paling lamban bagi Boedi Oetomo. Aktivitasnya hanya terbatas pada penerbitan majalah bulanan Goeroe Desa dan beberapa petisi kepada pemerintah agar meningkatkan mutu sekolah menengah pertama. Pemerintah kolonial yang mengawasi perkembangan Boedi Oetomo sejak berdirinya dengan penuh perhatian akhirnya berkesimpulan bahwa pengaruh Boedi Oetomo terhadap penduduk pribumi tidak begitu besar. Keberadaan Boedi Oetomo semakin tidak berarti dengan munculnya organisasi-organisasi pergerakan nasional lainnya, terutama Sarekat Islam dan Indische Partij.
Ketika Perang Dunia I mulai terjadi pada tahun 1914, ada usaha untuk mengembalikan kekuatan Boedi Oetomo. Adanya bahaya intervensi pihak asing ke wilayah Indonesia menjadi alasan bagi Boedi Oetomo untuk mengajukan usul tentang perlunya wajib militer bagi kaum pribumi. Kemudian dikirimlah misi ke Belanda oleh komite Indie Weerbaar (Hindia yang Berketahanan). Periode tahun 1916-1917 merupakan masa yang amat berhasil bagi Boedi Oetomo. Dwidjosewoyo sebagai wakil Boedi Oetomo dalam misi tersebut berhasil melakukan pendekatan dengan pemimpin-pemimpin Belanda. Namun usulan tentang wajib militer ternyata gagal. Sebagai gantinya dikeluarkan undang-undang tentang pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) yang disahkan pada bulan Desember 1916.
Di dalam sidang Volksraad, wakil-wakil Boedi Oetomo masih bertindak hati-hati dalam melancarkan kritik terhadap pemerintah kolonial. Sebaliknya para anggota pribumi lain yang Iebih radikal dan anggota kaum sosialis Belanda di dalam Volksraad melakukan kritik tajam terhadap pemerintah kolonial. Saat terjadi krisis pada bulan November 1918 di Negeri Belanda, mereka menuntut perubahan bagi Volksraad dan kebijakan pemerintah kolonial pada umumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1919 dibentuk suatu komisi untuk mengadakan penyelidikan perlunya perbaikan ketatanegaraan.
Akhirnya Boedi Oetomo menyadari tentang perlunya suatu gerakan politik dan menggalang dukungan massa sehingga unsur-unsur radikal dalam tubuh Boedi Oetomo pun mulai besar pengaruhnya. Akan tetapi, segera setelah itu kebijakan politik yang lebih keras dilakukan oleh Gubernur Jenderal Mr. D. Fock dan anggaran pendidikan dikurangi secara drastis. Akibatnya, terjadi perpecahan antara golongan moderat dan radikal di dalam Boedi Oetomo.
Pada tahun 1924, dr. Soetomo yang merasa tidak puas dengan Boedi Oetomo mendirikan Indonesische Studie Club di Surabaya yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Sebab utama dari pembentukan Indonesische Studie Club adalah karena dr. Soetomo dan juga pemimpin nasionalis lainnya menganggap asas “Kebangsaan Jawa” dari Boedi Oetomo sudah tidak sesuai lagi. Boedi Oetomo terbuka bagi penduduk seluruh Indonesia sesudah kongres pada bulan Desember 1930. Perpecahan dalam Boedi Oetomo berakhir ketika Boedi Oetomo melakukan fusi bergabung dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan membentuk Parindra (Partai Indonesia Raya) pada tahun 1935.
Karena Boedi Oetomo tidak pernah mendapat dukungan massa, kedudukannya secara politik kurang begitu penting. Namun, satu hal yang penting adalah dari dalam Boedi Oetomo telah muncul benih pertama semangat nasional, yang kemudian disusul dengan Sarekat Islam dan Indische Partij.
Pada akhir tahun 1911, Haji Samanhudi di Solo menghimpun para pengusaha batik di dalam sebuah organisasi yang bercorak agama dan ekonomi, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI). Pembentukan organisasi itu merupakan reaksi terhadap monopoli penjualan bahan-bahan baku oleh pedagang-pedagang Cina yang dirasakan sangat merugikan mereka.
Setahun kemudian, pada bulan November 1912, nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI) dengan ketua Haji Oemar Said Cokroaminoto, sedangkan Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaannya menjadi lebih luas, bukan hanya dari kalangan pedagang. Permasalahan utama yang menjadi inti perlawanan Sarekat Islam ditujukan terhadap setiap bentuk penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Boedi Oetomo, keanggotaan Sarekat Islam bersifat terbuka sehingga berhasil menyentuh lapisan masyarakat bawah.
Di dalam sidang Volksraad, wakil-wakil Boedi Oetomo masih bertindak hati-hati dalam melancarkan kritik terhadap pemerintah kolonial. Sebaliknya para anggota pribumi lain yang Iebih radikal dan anggota kaum sosialis Belanda di dalam Volksraad melakukan kritik tajam terhadap pemerintah kolonial. Saat terjadi krisis pada bulan November 1918 di Negeri Belanda, mereka menuntut perubahan bagi Volksraad dan kebijakan pemerintah kolonial pada umumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1919 dibentuk suatu komisi untuk mengadakan penyelidikan perlunya perbaikan ketatanegaraan.
Akhirnya Boedi Oetomo menyadari tentang perlunya suatu gerakan politik dan menggalang dukungan massa sehingga unsur-unsur radikal dalam tubuh Boedi Oetomo pun mulai besar pengaruhnya. Akan tetapi, segera setelah itu kebijakan politik yang lebih keras dilakukan oleh Gubernur Jenderal Mr. D. Fock dan anggaran pendidikan dikurangi secara drastis. Akibatnya, terjadi perpecahan antara golongan moderat dan radikal di dalam Boedi Oetomo.
Pada tahun 1924, dr. Soetomo yang merasa tidak puas dengan Boedi Oetomo mendirikan Indonesische Studie Club di Surabaya yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Sebab utama dari pembentukan Indonesische Studie Club adalah karena dr. Soetomo dan juga pemimpin nasionalis lainnya menganggap asas “Kebangsaan Jawa” dari Boedi Oetomo sudah tidak sesuai lagi. Boedi Oetomo terbuka bagi penduduk seluruh Indonesia sesudah kongres pada bulan Desember 1930. Perpecahan dalam Boedi Oetomo berakhir ketika Boedi Oetomo melakukan fusi bergabung dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan membentuk Parindra (Partai Indonesia Raya) pada tahun 1935.
Karena Boedi Oetomo tidak pernah mendapat dukungan massa, kedudukannya secara politik kurang begitu penting. Namun, satu hal yang penting adalah dari dalam Boedi Oetomo telah muncul benih pertama semangat nasional, yang kemudian disusul dengan Sarekat Islam dan Indische Partij.
2. Sarekat Islam
Pada akhir tahun 1911, Haji Samanhudi di Solo menghimpun para pengusaha batik di dalam sebuah organisasi yang bercorak agama dan ekonomi, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI). Pembentukan organisasi itu merupakan reaksi terhadap monopoli penjualan bahan-bahan baku oleh pedagang-pedagang Cina yang dirasakan sangat merugikan mereka.
Setahun kemudian, pada bulan November 1912, nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI) dengan ketua Haji Oemar Said Cokroaminoto, sedangkan Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaannya menjadi lebih luas, bukan hanya dari kalangan pedagang. Permasalahan utama yang menjadi inti perlawanan Sarekat Islam ditujukan terhadap setiap bentuk penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Boedi Oetomo, keanggotaan Sarekat Islam bersifat terbuka sehingga berhasil menyentuh lapisan masyarakat bawah.
Jika dilihat anggaran dasarnya, tujuan pendirian Sarekat Islam adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan jiwa dagang.
b. Memberikan bantuan kepada anggota-anggota yang menderita kesulitan.
c. Memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya derajat bumiputra.
d. Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama Islam.
Berpuluh-puluh cabang SI berdiri di seluruh Indonesia. Pertumbuhan yang cepat itu mengakibatkan sebagian besar pengikutnya belum mempunyai pengertian tujuan dan kegiatan SI, lebih-lebih bagi mereka yang berada di pedesaan. Dalam kondisi yang demikian sudah barang tentu timbul penyimpangan-penyimpangan dari perjuangan SI, antara lain beberapa aksi massa yang mengatasnamakan SI untuk membenarkan tindakannya. Timbul beberapa gerakan anti-Cina karena mereka dianggap sebagai penghalang usaha ekonomi pribumi, seperti di Surakarta, Bangil, Tuban, Rembang, dan Kudus (1918), sedangkan di Batavia berubah menjadi gerakan anti judi dan pelacuran.
Gubernur Jenderal Idenburg yang memerintah pada saat itu menempuh jalan berhati-hati dengan mengirim salah satu penasihatnya kepada SI. Hasilnya adalah untuk sementara waktu, SI tidak boleh berupa organisasi yang memiliki pengurus besar dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal sehingga tidak dapat melakukan aksi massa secara nasional.
Suatu insiden pers terjadi pada waktu surat kabar Nieuws van Dag pada 1915 menuliskan bahwa “orang Jawa (pribumi) sangat primitif dan sifatnya seperti anak-anak, nakal, tak seimbang, malas, tidak dapat dipercaya, sehingga tidak dapat mengatur diri sendiri.” Tulisan yang menyinggung harga diri kaum pribumi itu kemudian dituntut oleh pers Indonesia, antara lain melalui surat kabar SI, Oetoesan Hindia, agar pengarangnya ditindak secara hukum.
SI merupakan organisasi massa pertama di Indonesia yang antara tahun 1917 dan 1920 pengaruhnya sangat terasa dalam perkembangan politik di Indonesia. Coraknya yang demokratis dan kesiapannya untuk berjuang secara radikal mendekatkan beberapa cabang SI beserta pemimpinnya kepada ajaran Marxis. Penggunaan teori-teori Marxis untuk perjuangan melawan imperialisme di pelopori oleh SI cabang Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono.
Masuknya ajaran-ajaran Marxis menimbulkan konflik dalam tubuh SI antara pendukung paham Islam dan penganut ajaran Marxis. Perdebatan terjadi antara H.A. Agus Salim-Abdul Muis pada satu pihak dengan Semaun-Tan Malaka pada lain pihak. Pada tahun 1921, melalui kebijakan “disiplin partai” golongan kiri dalam tubuh SI dapat disingkirkan. Kebijakan “disiplin partai” melarang anggota SI memiliki keanggotaan ganda dalam organisasi pergerakan nasional. Mereka yang terdepak dari SI kemudian menamakan dirinya Sarekat Rakyat (SR).
Aktivitas SI yang lebih mengutamakan politik tidak disetujui oleh sebagian anggotanya. Mereka menginginkan SI lebih banyak memperhatikan masalah-masalah keagamaan. Dalam kondisi itu, SI memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintah kolonial dan berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam. Sehubungan dengan semakin meluasnya semangat persatuan setelah Sumpah Pemuda, nama tersebut diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930 dengan ketuanya yaitu Haji Agus Salim.
Gubernur Jenderal Idenburg yang memerintah pada saat itu menempuh jalan berhati-hati dengan mengirim salah satu penasihatnya kepada SI. Hasilnya adalah untuk sementara waktu, SI tidak boleh berupa organisasi yang memiliki pengurus besar dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal sehingga tidak dapat melakukan aksi massa secara nasional.
Suatu insiden pers terjadi pada waktu surat kabar Nieuws van Dag pada 1915 menuliskan bahwa “orang Jawa (pribumi) sangat primitif dan sifatnya seperti anak-anak, nakal, tak seimbang, malas, tidak dapat dipercaya, sehingga tidak dapat mengatur diri sendiri.” Tulisan yang menyinggung harga diri kaum pribumi itu kemudian dituntut oleh pers Indonesia, antara lain melalui surat kabar SI, Oetoesan Hindia, agar pengarangnya ditindak secara hukum.
SI merupakan organisasi massa pertama di Indonesia yang antara tahun 1917 dan 1920 pengaruhnya sangat terasa dalam perkembangan politik di Indonesia. Coraknya yang demokratis dan kesiapannya untuk berjuang secara radikal mendekatkan beberapa cabang SI beserta pemimpinnya kepada ajaran Marxis. Penggunaan teori-teori Marxis untuk perjuangan melawan imperialisme di pelopori oleh SI cabang Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono.
Masuknya ajaran-ajaran Marxis menimbulkan konflik dalam tubuh SI antara pendukung paham Islam dan penganut ajaran Marxis. Perdebatan terjadi antara H.A. Agus Salim-Abdul Muis pada satu pihak dengan Semaun-Tan Malaka pada lain pihak. Pada tahun 1921, melalui kebijakan “disiplin partai” golongan kiri dalam tubuh SI dapat disingkirkan. Kebijakan “disiplin partai” melarang anggota SI memiliki keanggotaan ganda dalam organisasi pergerakan nasional. Mereka yang terdepak dari SI kemudian menamakan dirinya Sarekat Rakyat (SR).
Aktivitas SI yang lebih mengutamakan politik tidak disetujui oleh sebagian anggotanya. Mereka menginginkan SI lebih banyak memperhatikan masalah-masalah keagamaan. Dalam kondisi itu, SI memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintah kolonial dan berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam. Sehubungan dengan semakin meluasnya semangat persatuan setelah Sumpah Pemuda, nama tersebut diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930 dengan ketuanya yaitu Haji Agus Salim.
3. Indische Partij
Indische Partij berdiri di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912. Organisasi ini juga dimaksudkan sebagai pengganti organisasi Indische Bond, sebagai organisasi kaum Indo dan Eropa di Indonesia yang didirikan pada tahun 1898. Ketiga tokoh pendiri Indische Partij dikenal sebagai Tiga Serangkai yaitu Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudhi), dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Surya-ningrat (Ki Hajar Dewantara). Indische Partij merupakan organisasi pergerakan nasional yang bersifat politik murni dengan semangat nasionalisme modern.
Douwes Dekker melihat kejanggalan-kejanggalan dalam masyarakat kolonial, khususnya diskriminasi antara golongan keturunan Belanda “totok” dengan kaum Indo (campuran). Ia tidak hanya membela kepentingan golongan kecil masyarakat Indo, tetapi meluaskan pandangannya terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya yang hidup dalam penindasan pemerintahan kolonial. Ia berpendapat bahwa nasib kaum Indo tidak ditentukan oleh pemerintah kolonial, melainkan terletak pada kerja sama dengan penduduk Indonesia lainnya. Masyarakat Indische digambarkan sebagai satu kesatuan antara golongan pribumi dan Indo-Eropa yang terdesak oleh pendatang baru dari negeri Belanda.
Suwardi Suryaningrat melalui tulisan-tulisannya di dalam Het Tijdschrift dan De Express melakukan propaganda berisi penyadaran bagi golongan Indo dan penduduk bumiputra. Tulisan tersebut menyebutkan bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama yaitu eksploitasi kolonial.
Untuk persiapan pendirian Indische Partij, Douwes Dekker melakukan perjalanan propaganda di Pulau Jawa mulai tanggal 15 September hingga tanggal 3 Oktober 1912. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo. Ketika berada di Bandung, ia mendapat dukungan dari Suwardi Suryaningrat dan Abdul Muis yang pada waktu itu telah menjadi pemimpin-pemimpin Sarekat Islam cabang Bandung. Di Yogyakarta, ia mendapat sambutan dari pengurus Boedi Oetomo. Redaktur-redaktur surat kabar Jawa Tengah di Semarang dan Tjahaya Timoer di Malang juga mendukung berdirinya Indische Partij. Bukti nyata dari banyaknya dukungan itu adalah dengan didirikannya 30 cabang Indische Partij dengan anggota sebanyak 7.300 orang. Kebanyakan dari anggota itu adalah orang Indo-Belanda, sedangkan jumlah anggota dari golongan pribumi sebanyak 1500 orang.
Permusyawaratan wakil-wakil Indische Partij daerah pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung berhasil menyusun anggaran dasar Indische Partij. Program revolusioner tampak dalam pasal-pasal anggaran dasarnya tersebut, antara lain tujuan Indische Partij untuk membangun patriotisme semua Indiers terhadap tanah air yang telah memberikan lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Sikap tegas Indische Partij itu juga tampak dalam semboyan-semboyan mereka yang Perbunyi “Indie los van Holland” (Hindia bebas dari Belanda) dan “Indie voor Indier” (Indonesia untuk orang Indonesia).
Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai national home bagi semua orang, baik penduduk bumiputra maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengakui Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai Indisch Nationalisme, yang selanjutnya melalui Perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasionalisme Indonesia. Hal itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia.
Suwardi Suryaningrat melalui tulisan-tulisannya di dalam Het Tijdschrift dan De Express melakukan propaganda berisi penyadaran bagi golongan Indo dan penduduk bumiputra. Tulisan tersebut menyebutkan bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama yaitu eksploitasi kolonial.
Untuk persiapan pendirian Indische Partij, Douwes Dekker melakukan perjalanan propaganda di Pulau Jawa mulai tanggal 15 September hingga tanggal 3 Oktober 1912. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo. Ketika berada di Bandung, ia mendapat dukungan dari Suwardi Suryaningrat dan Abdul Muis yang pada waktu itu telah menjadi pemimpin-pemimpin Sarekat Islam cabang Bandung. Di Yogyakarta, ia mendapat sambutan dari pengurus Boedi Oetomo. Redaktur-redaktur surat kabar Jawa Tengah di Semarang dan Tjahaya Timoer di Malang juga mendukung berdirinya Indische Partij. Bukti nyata dari banyaknya dukungan itu adalah dengan didirikannya 30 cabang Indische Partij dengan anggota sebanyak 7.300 orang. Kebanyakan dari anggota itu adalah orang Indo-Belanda, sedangkan jumlah anggota dari golongan pribumi sebanyak 1500 orang.
Permusyawaratan wakil-wakil Indische Partij daerah pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung berhasil menyusun anggaran dasar Indische Partij. Program revolusioner tampak dalam pasal-pasal anggaran dasarnya tersebut, antara lain tujuan Indische Partij untuk membangun patriotisme semua Indiers terhadap tanah air yang telah memberikan lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Sikap tegas Indische Partij itu juga tampak dalam semboyan-semboyan mereka yang Perbunyi “Indie los van Holland” (Hindia bebas dari Belanda) dan “Indie voor Indier” (Indonesia untuk orang Indonesia).
Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai national home bagi semua orang, baik penduduk bumiputra maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengakui Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai Indisch Nationalisme, yang selanjutnya melalui Perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasionalisme Indonesia. Hal itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia.
Melihat adanya unsur-unsur radikal di dalam Indische Partij, pemerintah kolonial Belanda mengambil sikap tegas. Permohonan kepada gubernur jenderal untuk mendapat pengakuan sebagai badan hukum ditolak pada tanggal 4 Maret 1913 dengan alasan organisasi ini berdasarkan politik dan mengancam serta hendak merusak keamanan umum. Hal itu menjadi pelajaran bagi Indische Partij dan juga partai-partai lainnya bahwa kemerdekaan tidak akan dapat diterima sebagai hadiah dari pemerintah kolonial. Kemerdekaan itu harus direbut dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Pada tahun 1913, Pemerintah Belanda bermaksud merayakan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis (1813-1913). Pegawai kolonial di berbagai tempat sibuk mengumpulkan uang untuk memeriahkan perayaan tersebut. Rakyat pun dipaksa turut serta membiayai pesta peringatan itu. Tindakan Belanda itu melukai hati bangsa Indonesia, terutama kaum nasionalis.
Pada tahun 1913, Pemerintah Belanda bermaksud merayakan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis (1813-1913). Pegawai kolonial di berbagai tempat sibuk mengumpulkan uang untuk memeriahkan perayaan tersebut. Rakyat pun dipaksa turut serta membiayai pesta peringatan itu. Tindakan Belanda itu melukai hati bangsa Indonesia, terutama kaum nasionalis.
Di kalangan penduduk bumiputra di Bandung dibentuk sebuah panitia peringatan yang disebut Comité tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid atau disingkat Komite Bumiputra. Komite itu bertujuan membatalkan pembentukan "dewan jajahan” dan menuntut penghapusan peraturan pemerintah no. 111 tentang larangan kehidupan berpolitik. Komite itu juga memprotes pengumpulan uang dari rakyat untuk membiayai pesta peringatan hari kemerdekaan Belanda itu.
Salah seorang pemimpin komite tersebut, Suwardi Suryaningrat, menulis sebuah risalah dalam bahasa Belanda berjudul Als ik eens Nederlander was. Isi pokok dari tulisan itu adalah sindiran terhadap pemerintah kolonial Belanda yang mengajak penduduk pribumi ikut serta merayakan hari kemerdekaan Belanda padahal penduduk pribumi sendiri sedang dijajah Belanda.
Karena dianggap terlalu radikal, pada tahun 1913 Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat ditangkap dan dikenakan hukuman buang (internir) ke negeri Belanda. Kepergian ketiga tokoh tersebut berpengaruh besar terhadap kegiatan Indische Partij sehingga semakin lama semakin menurun. Indische Partij kemudian berganti nama nenjadi Insulinde. Pengaruh Sarekat Islam yang semakin kuat juga berpengaruh terhadap perkembangan partai ini sehingga Partai Insulinde menjadi semakin lemah.
Kembalinya Douwes Dekker dari Belanda pada tahun 1918 tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi Insulinde. Pada tahun 1919, partai itu berubah nama menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Dalam perkembangannya, NIP tidak pernah mempunyai pengaruh kepada rakyat banyak. Masyarakat pribumi lebih banyak terserap mengikuti organisasi-organisasi lain, sedangkan orang Indo-Eropa yang masih konservatif lebih cenderung bergabung dengan Indische Bond. Oleh karena itu, Indische Partij kehilangan basis massanya dan akhirnya bubar.
Salah seorang pemimpin komite tersebut, Suwardi Suryaningrat, menulis sebuah risalah dalam bahasa Belanda berjudul Als ik eens Nederlander was. Isi pokok dari tulisan itu adalah sindiran terhadap pemerintah kolonial Belanda yang mengajak penduduk pribumi ikut serta merayakan hari kemerdekaan Belanda padahal penduduk pribumi sendiri sedang dijajah Belanda.
Karena dianggap terlalu radikal, pada tahun 1913 Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat ditangkap dan dikenakan hukuman buang (internir) ke negeri Belanda. Kepergian ketiga tokoh tersebut berpengaruh besar terhadap kegiatan Indische Partij sehingga semakin lama semakin menurun. Indische Partij kemudian berganti nama nenjadi Insulinde. Pengaruh Sarekat Islam yang semakin kuat juga berpengaruh terhadap perkembangan partai ini sehingga Partai Insulinde menjadi semakin lemah.
Kembalinya Douwes Dekker dari Belanda pada tahun 1918 tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi Insulinde. Pada tahun 1919, partai itu berubah nama menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Dalam perkembangannya, NIP tidak pernah mempunyai pengaruh kepada rakyat banyak. Masyarakat pribumi lebih banyak terserap mengikuti organisasi-organisasi lain, sedangkan orang Indo-Eropa yang masih konservatif lebih cenderung bergabung dengan Indische Bond. Oleh karena itu, Indische Partij kehilangan basis massanya dan akhirnya bubar.
4. Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia didirikan pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang berada di Belanda, antara lain Sutan Kasayangan dan R.N. Noto Suroto. Mula-mula organisasi itu bernama Indische Vereeniging, tujuannya adalah memajukan kepentingan-kepentingan bersama orang-orang pribumi dan nonpribumi bukan Eropa di negeri Belanda. Pada mulanya, organisasi tersebut hanya merupakan organisasi sosial. Akan tetapi, sejak berakhirnya Perang Dunia I, perasaan anti kolonialisme dan imperialisme di kalangan pemimpin-pemimpin Indische Vereeniging semakin menonjol. Lebih-lebih sejak adanya seruan Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson tentang hak untuk menentukan nasib sendiri, sehingga keinginan para pelajar Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda semakin kuat.
Potret para pendiri via tribunnewswiki |
Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Sejak tahun 1925, selain nama dalam bahasa Belanda juga digunakan nama dalam bahasa Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Dalam perkembangannya, hanya nama Perhimpunan Indonesia (PI) saja yang dipakai. Oleh karena itu, semakin tegas bahwa PI bergerak dalam bidang politik.
Untuk menyebarkan semangat perjuangannya, PI menerbitkan majalah Hindia Putra. Dalam majalah bulan Maret 1923 disebutkan asas PI adalah mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab hanya kepada rakyat Indonesia semata-mata, bahwa hal yang demikian itu hanya akan dicapai oleh orang Indonesia sendiri bukan dengan pertolongan siapa pun juga; bahwa segala jenis perpecahan tenaga haruslah dihindarkan supaya tujuan lekas tercapai. Pada tahun 1924, majalah Hindia Putra diubah namanya menjadi Indonesia Merdeka.
Meningkatnya kegiatan ke arah politik terutama sejak kedatangan dua orang mahasiswa Indonesia yang belajar ke Belanda, yaitu Ahmad Subardjo pada tahun 1919 dan Moh. Hatta pada tahun 1921. Pada tahun 1925 dibuatlah anggaran dasar baru yang merupakan penegasan dari perjuangan PI. Di dalamnya disebutkan bahwa kemerdekaan penuh bagi bangsa Indonesia hanya akan diperoleh dengan aksi bersama yang akan dilakukan secara serentak oleh seluruh kaum nasionalis dan berdasarkan kekuatan sendiri. Untuk itu, sangat diperlukan kekompakan rakyat seluruhnya.
Kegiatan PI kemudian meningkat menjadi nasional demokratis non-koperasi, bahkan anti-kolonial dan bersifat internasional. Dalam bidang internasional inilah, kegiatan PI bertemu dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang berasal dari negeri-negeri jajahan di Asia dan Afrika yang memiliki cita-cita yang sama dengan Indonesia. PI tampaknya juga berusaha agar masalah Indonesia mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Oleh karena itu, dijalinlah hubungan dengan beberapa organisasi internasional, seperti Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, Liga Demokrasi Internasional untuk Perdamaian, Perkumpulan Studi Peradaban, Komintern, bahkan dengan All Indian National Congress.
Untuk menyebarkan semangat perjuangannya, PI menerbitkan majalah Hindia Putra. Dalam majalah bulan Maret 1923 disebutkan asas PI adalah mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab hanya kepada rakyat Indonesia semata-mata, bahwa hal yang demikian itu hanya akan dicapai oleh orang Indonesia sendiri bukan dengan pertolongan siapa pun juga; bahwa segala jenis perpecahan tenaga haruslah dihindarkan supaya tujuan lekas tercapai. Pada tahun 1924, majalah Hindia Putra diubah namanya menjadi Indonesia Merdeka.
Meningkatnya kegiatan ke arah politik terutama sejak kedatangan dua orang mahasiswa Indonesia yang belajar ke Belanda, yaitu Ahmad Subardjo pada tahun 1919 dan Moh. Hatta pada tahun 1921. Pada tahun 1925 dibuatlah anggaran dasar baru yang merupakan penegasan dari perjuangan PI. Di dalamnya disebutkan bahwa kemerdekaan penuh bagi bangsa Indonesia hanya akan diperoleh dengan aksi bersama yang akan dilakukan secara serentak oleh seluruh kaum nasionalis dan berdasarkan kekuatan sendiri. Untuk itu, sangat diperlukan kekompakan rakyat seluruhnya.
Kegiatan PI kemudian meningkat menjadi nasional demokratis non-koperasi, bahkan anti-kolonial dan bersifat internasional. Dalam bidang internasional inilah, kegiatan PI bertemu dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang berasal dari negeri-negeri jajahan di Asia dan Afrika yang memiliki cita-cita yang sama dengan Indonesia. PI tampaknya juga berusaha agar masalah Indonesia mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Oleh karena itu, dijalinlah hubungan dengan beberapa organisasi internasional, seperti Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, Liga Demokrasi Internasional untuk Perdamaian, Perkumpulan Studi Peradaban, Komintern, bahkan dengan All Indian National Congress.
Kedatangan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menjalani hukuman buang ke Belanda semakin meningkatkan semangat radikal dan progresif anggota-anggota PI. Tokoh-tokoh yang menjalani hukuman buang tersebut misalnya Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, Semaun, dan Darsono.
Dalam Liga ke-6 Liga Demokrasi Internasional untuk Perdamaian pada bulan Agustus 1926 di Paris, Prancis, Moh. Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan kemerdekaan Indonesia. Kejadian itu menyebabkan pemerintah Belanda semakin curiga terhadap PI. Kecurigaan ini bertambah lagi sewaktu Moh. Hatta atas nama PI menandatangani suatu perjanjian (rahasia) dengan Semaun (PKI) pada tanggal 5 Desember 1926. Isi perjanjian itu menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan PI dan akan dikembangkan menjadi partai rakyat kebangsaan Indonesia, selama PI secara konsekuen tetap menjalankan politik untuk kemerdekaan Indonesia. Karena dinilai oleh Komintern sebagai suatu kesalahan besar, perjanjian itu dibatalkan kembali oleh Semaun.
Kegiatan PI di kalangan internasional menimbulkan reaksi keras dari pemerintah Belanda. Atas tuduhan menghasut untuk memberontak, pada tanggal 10 Juni 1927 empat anggota PI yaitu Moh. Hatta, Nazir Datuk Pamontjak, Abdulmajid Djojodiningrat, dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan ditahan hingga tanggal 8 Maret 1928. Namun dalam pemeriksaan di sidang pengadilan Den Haag tanggal 22 Maret 1928, mereka tidak terbukti bersalah sehingga dibebaskan.
Dalam kegiatan pergerakan nasional Indonesia, pengaruh PI cukup besar. Beberapa organisasi pergerakan nasional lahir karena mendapatkan inspirasi dari PI seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.
Benih-benih paham Marxisme datang dan ditanamkan di Indonesia pada masa sebelum Perang Dunia I, yaitu saat datangnya seorang pemimpin buruh Belanda bernama H.J.FM Sneevliet. Di Indonesia, ia mula-mula bekerja sebagai anggota staf redaksi surat kabar Soerabajasch Handelsblad. Pada tahun 1913, ia pindah ke Semarang dan menjadi sekretaris Semarangse Handelsvereniging. Bagi Sneeviiet, menetap di Semarang lebih menguntungkan karena kota itu merupakan pusat dari Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), serikat buruh tertua di Indonesia. Dalam waktu singkat, Sneevliet berhasil membawa VSTP ke arah yang lebih radikal.
Dalam Liga ke-6 Liga Demokrasi Internasional untuk Perdamaian pada bulan Agustus 1926 di Paris, Prancis, Moh. Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan kemerdekaan Indonesia. Kejadian itu menyebabkan pemerintah Belanda semakin curiga terhadap PI. Kecurigaan ini bertambah lagi sewaktu Moh. Hatta atas nama PI menandatangani suatu perjanjian (rahasia) dengan Semaun (PKI) pada tanggal 5 Desember 1926. Isi perjanjian itu menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan PI dan akan dikembangkan menjadi partai rakyat kebangsaan Indonesia, selama PI secara konsekuen tetap menjalankan politik untuk kemerdekaan Indonesia. Karena dinilai oleh Komintern sebagai suatu kesalahan besar, perjanjian itu dibatalkan kembali oleh Semaun.
Kegiatan PI di kalangan internasional menimbulkan reaksi keras dari pemerintah Belanda. Atas tuduhan menghasut untuk memberontak, pada tanggal 10 Juni 1927 empat anggota PI yaitu Moh. Hatta, Nazir Datuk Pamontjak, Abdulmajid Djojodiningrat, dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan ditahan hingga tanggal 8 Maret 1928. Namun dalam pemeriksaan di sidang pengadilan Den Haag tanggal 22 Maret 1928, mereka tidak terbukti bersalah sehingga dibebaskan.
Dalam kegiatan pergerakan nasional Indonesia, pengaruh PI cukup besar. Beberapa organisasi pergerakan nasional lahir karena mendapatkan inspirasi dari PI seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.
5. Partai Komunis Indonesia
Benih-benih paham Marxisme datang dan ditanamkan di Indonesia pada masa sebelum Perang Dunia I, yaitu saat datangnya seorang pemimpin buruh Belanda bernama H.J.FM Sneevliet. Di Indonesia, ia mula-mula bekerja sebagai anggota staf redaksi surat kabar Soerabajasch Handelsblad. Pada tahun 1913, ia pindah ke Semarang dan menjadi sekretaris Semarangse Handelsvereniging. Bagi Sneeviiet, menetap di Semarang lebih menguntungkan karena kota itu merupakan pusat dari Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), serikat buruh tertua di Indonesia. Dalam waktu singkat, Sneevliet berhasil membawa VSTP ke arah yang lebih radikal.
via arahjuang.com |
Pada tanggal 9 Mei 1914, Sneevliet bersama dengan orang-orang sosialis lainnya seperti J.A. Brandsteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma berhasil mendirikan Indische Sociaal-Demokratische Vereniging (ISDV). Sneevliet dan kawan-kawannya merasa ISDV lambat berkembang karena tidak mengakar dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, mereka menganggap lebih efektif untuk bersekutu dengan gerakan yang lebih besar agar dapat menjadi jembatan penghubung kepada rakyat Indonesia. Pada mulanya, mereka bersekutu dengan Insulinde. Karena tidak dapat memenuhi sasaran dan tujuan ISDV, setelah satu tahun kerja sama itu bubar.
Sasaran kemudian diarahkan kepada Sarekat Islam yang ketika itu telah memiliki anggota ratusan ribu orang dan merupakan gerakan raksasa dalam pergerakan nasional Indonesia. ISDV ternyata berhasil melakukan penyusupan (infiltrasi) ke dalam SI. Caranya, yaitu dengan menjadikan anggota ISDV menjadi anggota SI dan sebaliknya. Dalam waktu satu tahun, Sneevliet dan kawan-kawan telah memiliki pengaruh yang kuat di kalangan anggota-anggota SI. Mereka memperkuat pengaruhnya dengan menggunakan momentum keadaan buruh akibat Perang Dunia I, panen padi yang jelek, dan ketidakpuasan buruh perkebunan karena upah yang rendah dan membumbungnya harga-harga.
Sasaran kemudian diarahkan kepada Sarekat Islam yang ketika itu telah memiliki anggota ratusan ribu orang dan merupakan gerakan raksasa dalam pergerakan nasional Indonesia. ISDV ternyata berhasil melakukan penyusupan (infiltrasi) ke dalam SI. Caranya, yaitu dengan menjadikan anggota ISDV menjadi anggota SI dan sebaliknya. Dalam waktu satu tahun, Sneevliet dan kawan-kawan telah memiliki pengaruh yang kuat di kalangan anggota-anggota SI. Mereka memperkuat pengaruhnya dengan menggunakan momentum keadaan buruh akibat Perang Dunia I, panen padi yang jelek, dan ketidakpuasan buruh perkebunan karena upah yang rendah dan membumbungnya harga-harga.
Beberapa hal yang menyebabkan keberhasilan ISDV melakukan penyusupan ke dalam tubuh SI adalah berikut ini:
a. Central Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat SI masih sangat lemah kekuasaannya sehingga setiap cabang bertindak sendiri-sendiri secara bebas.
b. Kondisi kepartaian pada saat itu memungkinkan seseorang menjadi anggota lebih dari satu partai.
Langkah Sneevliet berikutnya adalah menjadikan beberapa pemimpin muda SI sebagai pemimpin ISDV, seperti Semaun dan Darsono. Pada tahun 1916, Semaun dan Darsono menjadi anggota SI cabang Surabaya yang ketika itu menjadi pusat dari SI (CSI). Tidak lama kemudian, Semaun pindah ke Semarang yang telah mendapatkan pengaruh kuat dari ISDV. Karena orientasinya yang Marxis di bawah pengaruh ISDV, mereka berseberangan dengan CSI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto.
Pada tahun 1917, ISDV mengerahkan serdadu-serdadu dan pelaut Belanda untuk aksi-aksi mereka. Dalam waktu 3 bulan, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 3.000 orang ke dalam gerakannya. Kaum merah ini mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh serdadu-serdadu dan para pelaut sehingga terjadi bentrokan dengan polisi. Sementara itu, partai-partai moderat seperti Boedi Oetomo, Insulinde, dan Sarekat Islam mendesak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menggantikan Volksraad dengan parlemen pilihan rakyat.
Krisis November tersebut segera mereda setelah Gubernur Jenderal van Limburg Stirum menjanjikan akan mengadakan perubahan-perubahan yang luas. Akan tetapi, setelah suasana mulai terkendali pemerintah kolonial segera mengambil tindakan-tindakan keras. Anggota-anggota militer yang indisipliner dihukum berat, sedangkan pegawai negeri yang terlibat dimutasikan. Sneevliet diusir, sedangkan Darsono, Abdul Muis, dan beberapa pemimpin Indonesia lainnya ditangkap.
Selama tahun 1919 merupakan masa-masa sulit bagi para anggota golongan Eropa di dalam ISDV. Banyak diantara mereka yang dipenjara dan diusir dari Hindia Belanda sehingga peran golongan Eropa dalam ISDV menjadi berkurang. Oleh karena itu, muncullah tokoh-tokoh bangsa Indonesia sebagai pimpinan ISDV, seperti Semaun dan Darsono. Di dalam SI pun, kedua tokoh itu semakin mendapatkan kedudukan yang penting. Dalam kongres SI pada tahun 1918, Darsono diangkat sebagai propagandis resmi SI dan Semaun diangkat sebagai Komisaris Wilayah Jawa Tengah. Pada tahun 1919, para pemimpin ISDV dari golongan bangsa Indonesia itu berupaya meningkatkan pengaruhnya terhadap SI agar menjadi lebih radikal.
a. Central Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat SI masih sangat lemah kekuasaannya sehingga setiap cabang bertindak sendiri-sendiri secara bebas.
b. Kondisi kepartaian pada saat itu memungkinkan seseorang menjadi anggota lebih dari satu partai.
Langkah Sneevliet berikutnya adalah menjadikan beberapa pemimpin muda SI sebagai pemimpin ISDV, seperti Semaun dan Darsono. Pada tahun 1916, Semaun dan Darsono menjadi anggota SI cabang Surabaya yang ketika itu menjadi pusat dari SI (CSI). Tidak lama kemudian, Semaun pindah ke Semarang yang telah mendapatkan pengaruh kuat dari ISDV. Karena orientasinya yang Marxis di bawah pengaruh ISDV, mereka berseberangan dengan CSI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto.
Pada tahun 1917, ISDV mengerahkan serdadu-serdadu dan pelaut Belanda untuk aksi-aksi mereka. Dalam waktu 3 bulan, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 3.000 orang ke dalam gerakannya. Kaum merah ini mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh serdadu-serdadu dan para pelaut sehingga terjadi bentrokan dengan polisi. Sementara itu, partai-partai moderat seperti Boedi Oetomo, Insulinde, dan Sarekat Islam mendesak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menggantikan Volksraad dengan parlemen pilihan rakyat.
Krisis November tersebut segera mereda setelah Gubernur Jenderal van Limburg Stirum menjanjikan akan mengadakan perubahan-perubahan yang luas. Akan tetapi, setelah suasana mulai terkendali pemerintah kolonial segera mengambil tindakan-tindakan keras. Anggota-anggota militer yang indisipliner dihukum berat, sedangkan pegawai negeri yang terlibat dimutasikan. Sneevliet diusir, sedangkan Darsono, Abdul Muis, dan beberapa pemimpin Indonesia lainnya ditangkap.
Selama tahun 1919 merupakan masa-masa sulit bagi para anggota golongan Eropa di dalam ISDV. Banyak diantara mereka yang dipenjara dan diusir dari Hindia Belanda sehingga peran golongan Eropa dalam ISDV menjadi berkurang. Oleh karena itu, muncullah tokoh-tokoh bangsa Indonesia sebagai pimpinan ISDV, seperti Semaun dan Darsono. Di dalam SI pun, kedua tokoh itu semakin mendapatkan kedudukan yang penting. Dalam kongres SI pada tahun 1918, Darsono diangkat sebagai propagandis resmi SI dan Semaun diangkat sebagai Komisaris Wilayah Jawa Tengah. Pada tahun 1919, para pemimpin ISDV dari golongan bangsa Indonesia itu berupaya meningkatkan pengaruhnya terhadap SI agar menjadi lebih radikal.
Ketika Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP) di Belanda pada tahun 1918 mengumumkan dirinya menjadi Partai Komunis Belanda (CPN), para anggota ISDV dari golongan Eropa mengusulkan untuk mengikuti jejak itu. Oleh karena itu, pada tanggal 23 Mei 1920, ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis Hindia, kemudian pada bulan Desember 1920 diubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di dalam susunan pengurus yang baru terbentuk tertera antara lain Semaun sebagai ketua, Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai sekretaris, Dekker sebagai bendahara, serta Baars dan Sugono sebagai anggota pengurus.
Ketika Komintern dibentuk pada tahun 1919, pengaruhnya telah terasa di Indonesia. Karena banyaknya kegagalan dalam merencanakan program komunis di Asia, Lenin kemudian menyatakan bahwa untuk Asia garis politik Komintern harus mendekati dan bekerja sama dengan kaum borjuis nasional (kaum terpelajar yang menjadi pemimpin pergerakan nasional) dan mempergunakan organisasi nasional rakyat terjajah.
Sementara itu, di dalam tubuh SI mulai terjadi perpecahan karena adanya perbedaan tujuan dan taktik perjuangan antara golongan kiri dan golongan kanan. Di antara pemimpin golongan kiri itu ialah Semaun, Alimin, dan Darsono. Adapun yang berhaluan kanan berpusat di Yogyakarta dan dipimpin oleh Abdul Muis, Agus Salim, dan Suryopranoto. Golongan kiri kemudian mendirikan Revolutionnaire Vak-Centrale (RVC) dan berkedudukan di Semarang.
Dalam kongres SI tanggal 6-10 Oktober 1921, pertentangan itu semakin memuncak. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar ditetapkan aturan tentang disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Terhadap usul itu, Tan Malaka meminta agar disiplin partai itu diadakan pengecualian terhadap PKI karena perjuangan Islam itu sejak awal sudah bersama-sama dengan komunis. Disiplin partai akhirnya diterima oleh kongres dengan suara mayoritas sehingga langkah pertama untuk mengakhiri infiltrasi PKI ke dalam tubuh SI berhasil.
Sebagai akibat keterlibatan SI dan PKI pada pemogokan besar-besaran pada tahun 1922, Abdul Muis, Tan Malaka, dan Bergsma ditangkap dan diasingkan sehingga timbul kekosongan kepemimpinan PKI. Tidak lama kemudian, Semaun datang dan segera mengambil alih pimpinan PKI. Ia berusaha memperbaiki hubungan dengan kubu SI. Akan tetapi, usaha itu mengalami kegagalan karena pada kongres bulan Februari 1923 di Madiun, Cokroaminoto semakin mempertegas ketentuan tentang disiplin partai.
PKI kemudian menggerakkan SI-Merah untuk menandingi SI Cokroaminoto (SI-Putih). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, diambil keputusan untuk mendirikan SI-Merah di tempat-tempat yang terdapat SI-Putih. Untuk membedakan dengan lawannya, golongan kiri dalam SI itu mengganti namanya menjadi Sarekat Rakyat pada bulan April 1924 dan berada di bawah komando PKI. Mulai saat itu, pendidikan ideologi komunis dilakukan secara intensif.
PKI tumbuh menjadi partai politik dengan jumlah massa sangat besar. Akan tetapi karena jumlah anggota intinya kecil, partai itu kurang dapat mengontrol dan menanamkan disiplin kepada anggotanya. Akibatnya, pada akhir tahun 1924 beberapa cabang Sarekat Rakyat mengambil inisiatif sendiri-sendiri dalam menjalankan aksi-aksi teror. Hal itu menyebabkan timbulnya gerakan-gerakan anti komunis di kalangan masyarakat Islam dan juga menimbulkan tindakan tegas dari pemerintah kolonial. Oleh karena itu, pada kongres bulan Desember 1924 di Kota Gede, Yogyakarta, para pemimpin PKI mengambil inisiatif untuk melebur Sarekat Rakyat ke dalam PKI.
Setelah berhasil menempatkan dirinya sebagai partai besar, PKI merasa sudah kuat untuk melakukan pemberontakan pada tahun 1926. Pemberontakan itu dirancang antara lain oleh Sarjono, Budi Sucitro, dan Sugono. Tokoh-tokoh PKI lainnya seperti Tan Malaka dan beberapa cabang sebenarnya tidak menyetujui pemberontakan tersebut. Namun, Alimin dan kawan-kawannya tetap meneruskan persiapan-persiapan ke arah pemberontakan.
Ketika Komintern dibentuk pada tahun 1919, pengaruhnya telah terasa di Indonesia. Karena banyaknya kegagalan dalam merencanakan program komunis di Asia, Lenin kemudian menyatakan bahwa untuk Asia garis politik Komintern harus mendekati dan bekerja sama dengan kaum borjuis nasional (kaum terpelajar yang menjadi pemimpin pergerakan nasional) dan mempergunakan organisasi nasional rakyat terjajah.
Sementara itu, di dalam tubuh SI mulai terjadi perpecahan karena adanya perbedaan tujuan dan taktik perjuangan antara golongan kiri dan golongan kanan. Di antara pemimpin golongan kiri itu ialah Semaun, Alimin, dan Darsono. Adapun yang berhaluan kanan berpusat di Yogyakarta dan dipimpin oleh Abdul Muis, Agus Salim, dan Suryopranoto. Golongan kiri kemudian mendirikan Revolutionnaire Vak-Centrale (RVC) dan berkedudukan di Semarang.
Dalam kongres SI tanggal 6-10 Oktober 1921, pertentangan itu semakin memuncak. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar ditetapkan aturan tentang disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Terhadap usul itu, Tan Malaka meminta agar disiplin partai itu diadakan pengecualian terhadap PKI karena perjuangan Islam itu sejak awal sudah bersama-sama dengan komunis. Disiplin partai akhirnya diterima oleh kongres dengan suara mayoritas sehingga langkah pertama untuk mengakhiri infiltrasi PKI ke dalam tubuh SI berhasil.
Sebagai akibat keterlibatan SI dan PKI pada pemogokan besar-besaran pada tahun 1922, Abdul Muis, Tan Malaka, dan Bergsma ditangkap dan diasingkan sehingga timbul kekosongan kepemimpinan PKI. Tidak lama kemudian, Semaun datang dan segera mengambil alih pimpinan PKI. Ia berusaha memperbaiki hubungan dengan kubu SI. Akan tetapi, usaha itu mengalami kegagalan karena pada kongres bulan Februari 1923 di Madiun, Cokroaminoto semakin mempertegas ketentuan tentang disiplin partai.
PKI kemudian menggerakkan SI-Merah untuk menandingi SI Cokroaminoto (SI-Putih). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, diambil keputusan untuk mendirikan SI-Merah di tempat-tempat yang terdapat SI-Putih. Untuk membedakan dengan lawannya, golongan kiri dalam SI itu mengganti namanya menjadi Sarekat Rakyat pada bulan April 1924 dan berada di bawah komando PKI. Mulai saat itu, pendidikan ideologi komunis dilakukan secara intensif.
PKI tumbuh menjadi partai politik dengan jumlah massa sangat besar. Akan tetapi karena jumlah anggota intinya kecil, partai itu kurang dapat mengontrol dan menanamkan disiplin kepada anggotanya. Akibatnya, pada akhir tahun 1924 beberapa cabang Sarekat Rakyat mengambil inisiatif sendiri-sendiri dalam menjalankan aksi-aksi teror. Hal itu menyebabkan timbulnya gerakan-gerakan anti komunis di kalangan masyarakat Islam dan juga menimbulkan tindakan tegas dari pemerintah kolonial. Oleh karena itu, pada kongres bulan Desember 1924 di Kota Gede, Yogyakarta, para pemimpin PKI mengambil inisiatif untuk melebur Sarekat Rakyat ke dalam PKI.
Setelah berhasil menempatkan dirinya sebagai partai besar, PKI merasa sudah kuat untuk melakukan pemberontakan pada tahun 1926. Pemberontakan itu dirancang antara lain oleh Sarjono, Budi Sucitro, dan Sugono. Tokoh-tokoh PKI lainnya seperti Tan Malaka dan beberapa cabang sebenarnya tidak menyetujui pemberontakan tersebut. Namun, Alimin dan kawan-kawannya tetap meneruskan persiapan-persiapan ke arah pemberontakan.
Pemberontakan meletus pada tanggal 13 November 1926 di Batavia, disusul dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Namun, dalam waktu satu hari pemberontakan di Batavia dapat ditumpas dan dalam waktu satu minggu pemberontakan di seluruh Jawa dapat dipadamkan. Di Sumatra, pemberontakan PKI terjadi pada tanggal 1 Januari 1927, tetapi dalam waktu tiga hari dapat ditumpas. Puluhan ribu pengikut PKI ditangkap dan dipenjarakan. Ada pula yang dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas, Papua. Sejak peristiwa itu, organisasi pergerakan nasional Indonesia lainnya juga merasakan akibatnya. Mereka mengalami penindasan dari pemerintah kolonial sehingga sama sekali tidak dapat bergerak.
Hampir sepuluh tahun kemudian Komintern mengirimkan seorang tokoh komunis kembali ke Indonesia. Tokoh tersebut ialah Musso yang pada bulan April 1935 mendarat di Surabaya. Dengan bantuan Joko Sujono, Pamuji, dan Achmad Sumadi, ia membentuk organisasi yang diberi nama PKI Ilegal. Musso dikirim ke Indonesia untuk menjalankan suatu kebijakan baru dari Komintern yang dikenal dengan nama Doktrin Dimitrov. Georgi Dimitrov merupakan Sekretaris Jenderal Komintern tahun 1935-1945. Isi doktrin itu adalah gerakan komunis harus bekerja sama dengan kekuatan mana pun juga, termasuk kaum imperialis, asal saja untuk menghadapi kaum fasis. Sehubungan dengan doktrin tersebut, Musso dan kawan-kawan beranggapan bahwa pemerintah kolonial Belanda akan melunakkan sikapnya terhadap kaum komunis di Indonesia. Akan tetapi, harapan tersebut tidak juga muncul sampai dengan masuknya Jepang ke Indonesia. Bahkan, pada tahun 1936 Musso sudah meninggalkan Indonesia lagi. Kegiatan utama kaum komunis kemudian disalurkan melalui Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dengan tokoh utamanya Amir Syarifuddin.
Hampir sepuluh tahun kemudian Komintern mengirimkan seorang tokoh komunis kembali ke Indonesia. Tokoh tersebut ialah Musso yang pada bulan April 1935 mendarat di Surabaya. Dengan bantuan Joko Sujono, Pamuji, dan Achmad Sumadi, ia membentuk organisasi yang diberi nama PKI Ilegal. Musso dikirim ke Indonesia untuk menjalankan suatu kebijakan baru dari Komintern yang dikenal dengan nama Doktrin Dimitrov. Georgi Dimitrov merupakan Sekretaris Jenderal Komintern tahun 1935-1945. Isi doktrin itu adalah gerakan komunis harus bekerja sama dengan kekuatan mana pun juga, termasuk kaum imperialis, asal saja untuk menghadapi kaum fasis. Sehubungan dengan doktrin tersebut, Musso dan kawan-kawan beranggapan bahwa pemerintah kolonial Belanda akan melunakkan sikapnya terhadap kaum komunis di Indonesia. Akan tetapi, harapan tersebut tidak juga muncul sampai dengan masuknya Jepang ke Indonesia. Bahkan, pada tahun 1936 Musso sudah meninggalkan Indonesia lagi. Kegiatan utama kaum komunis kemudian disalurkan melalui Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dengan tokoh utamanya Amir Syarifuddin.
6. Partai Nasional Indonesia
Partai Nasional Indonesia (PNI) dibentuk di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 dengan tokoh-tokohnya yaitu Ir. Soekarno, Iskaq, Budiarto, Cipto Mangunkusumo, Tilaar, Soedjadi dan Sunaryo. Dalam Pengurus Besar PNI, Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua, Iskaq sebagai sekretaris/bendahara, dan Dr. Samsi sebagai komisaris. Sementara itu, dalam perekrutan anggota disebutkan bahwa mantan anggota PKI tidak diperkenankan menjadi anggota PNI, juga pegawai negeri yang memungkinkan berperan sebagai mata-mata pemerintah kolonial.
Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa tujuan PNI adalah bekerja untuk kemerdekaan Indonesia. Tujuan tersebut hendak dicapai dengan asas “percaya pada diri sendiri”. Artinya, memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial dengan kekuatan dan kebiasaan sendiri. Sikapnya yang non-kooperatif diwujudkan antara lain dengan tidak ikut dalam dewan-dewan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial.
Cabang-cabang pertama PNI didirikan di Bandung, Surabaya, dan Batavia. Menyusul kemudian pada tahun 1928 berdiri beberapa cabang lainnya seperti di Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Palembang, Makassar, dan Manado. Pada akhir tahun 1928, anggota PNI tercatat 2.787 orang. Selama sekitar setengah tahun, yaitu sampai dengan Mei 1929, jumlah anggota PNI mengalami kenaikan yang pesat hingga mencapai 3.860 orang. Kenaikan tersebut merupakan hasil dari propaganda yang sangat aktif dilakukan. Jelas sekali bahwa popularitas rapat-rapat umum yang diselenggarakan oleh PNI itu disebabkan oleh pengaruh Ir. Soekarno dengan pidato-pidatonya yang sangat menarik perhatian rakyat.
Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa tujuan PNI adalah bekerja untuk kemerdekaan Indonesia. Tujuan tersebut hendak dicapai dengan asas “percaya pada diri sendiri”. Artinya, memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial dengan kekuatan dan kebiasaan sendiri. Sikapnya yang non-kooperatif diwujudkan antara lain dengan tidak ikut dalam dewan-dewan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial.
Cabang-cabang pertama PNI didirikan di Bandung, Surabaya, dan Batavia. Menyusul kemudian pada tahun 1928 berdiri beberapa cabang lainnya seperti di Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Palembang, Makassar, dan Manado. Pada akhir tahun 1928, anggota PNI tercatat 2.787 orang. Selama sekitar setengah tahun, yaitu sampai dengan Mei 1929, jumlah anggota PNI mengalami kenaikan yang pesat hingga mencapai 3.860 orang. Kenaikan tersebut merupakan hasil dari propaganda yang sangat aktif dilakukan. Jelas sekali bahwa popularitas rapat-rapat umum yang diselenggarakan oleh PNI itu disebabkan oleh pengaruh Ir. Soekarno dengan pidato-pidatonya yang sangat menarik perhatian rakyat.
via beritapantura.net |
Ada dua macam cara yang dilakukan oleh PNI untuk memperkuat diri dan pengaruhnya di dalam masyarakat.
a. Usaha ke dalam, yaitu usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara lain mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah, dan bank-bank.
b. Usaha ke luar dengan memperkuat opini publik terhadap tujuan PNI, antara lain melalui rapat-rapat umum dan menerbitkan surat kabar Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia.
Kegiatan PNI yang dengan cepat dapat menarik massa sangat mencemaskan pemerintah kolonial Belanda. Gubernur jenderal yang berkuasa pada waktu itu dalam pembukaan sidang Volksraad pada tanggal 15 Mes 1928 mengharapkan kesadaran rakyat terhadap nasionalisme yang ekstrem. Dikemukakan juga bahwa sikap non-kooperatif yang dijalankan oleh PNI bersifat bermusuhan terhadap pemerintah. Meskipun ada peringatan halus tersebut, cabang-cabang PNI malah bermunculan di berbagai wilayah Indonesta. Hingga akhir tahun 1929, kandidat anggota PNI berjumlah sekitar 10.000 orang, di antaranva 6.000 orang di daerah Priangan, Bandung.
Propaganda PNI menimbulkan dorongan baru dalam pikiran dan perasaan orang Indonesia. Propaganda itu dirancang oleh Perhimpunan Indonesia dan dilaksanakan oleh PNI. Dalam melaksanakan kegiatannya, PNI juga banyak dibantu oleh tokoh-tokoh mantan Perhimpunan Indonesia. Apabila dibandingkan dengan jumlah anggota Sarekat Islam, jumlah anggota PNI jauh lebih kecil. Akan tetapi, pengaruh lr. Soekarno sebagai pemimpin PNI dan pemimpin Indonesia telah meluas dan meresap di kalangan masyarakat Indonesia.
Sukses yang dicapai oleh PNI tidak lepas dari paham yang dianutnya, yaitu marhaenisme. Kata Marhaen menurut Soekarno adalah nama seorang petani kecil yang dijumpainya dan menurutnya mewakili kelas sosial yang rendah (dapat dibandingkan sebagai golongan proletar). Di dalam perjuangan nasional, nasib kaum marhaen harus ditingkatkan. Hal itu dapat dilakukan dengan gerakan massa menuntut kemerdekaan sebagai syarat terciptanya kondisi hidup yang lebih baik bagi kaum marhaen.
a. Usaha ke dalam, yaitu usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara lain mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah, dan bank-bank.
b. Usaha ke luar dengan memperkuat opini publik terhadap tujuan PNI, antara lain melalui rapat-rapat umum dan menerbitkan surat kabar Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia.
Kegiatan PNI yang dengan cepat dapat menarik massa sangat mencemaskan pemerintah kolonial Belanda. Gubernur jenderal yang berkuasa pada waktu itu dalam pembukaan sidang Volksraad pada tanggal 15 Mes 1928 mengharapkan kesadaran rakyat terhadap nasionalisme yang ekstrem. Dikemukakan juga bahwa sikap non-kooperatif yang dijalankan oleh PNI bersifat bermusuhan terhadap pemerintah. Meskipun ada peringatan halus tersebut, cabang-cabang PNI malah bermunculan di berbagai wilayah Indonesta. Hingga akhir tahun 1929, kandidat anggota PNI berjumlah sekitar 10.000 orang, di antaranva 6.000 orang di daerah Priangan, Bandung.
Propaganda PNI menimbulkan dorongan baru dalam pikiran dan perasaan orang Indonesia. Propaganda itu dirancang oleh Perhimpunan Indonesia dan dilaksanakan oleh PNI. Dalam melaksanakan kegiatannya, PNI juga banyak dibantu oleh tokoh-tokoh mantan Perhimpunan Indonesia. Apabila dibandingkan dengan jumlah anggota Sarekat Islam, jumlah anggota PNI jauh lebih kecil. Akan tetapi, pengaruh lr. Soekarno sebagai pemimpin PNI dan pemimpin Indonesia telah meluas dan meresap di kalangan masyarakat Indonesia.
Sukses yang dicapai oleh PNI tidak lepas dari paham yang dianutnya, yaitu marhaenisme. Kata Marhaen menurut Soekarno adalah nama seorang petani kecil yang dijumpainya dan menurutnya mewakili kelas sosial yang rendah (dapat dibandingkan sebagai golongan proletar). Di dalam perjuangan nasional, nasib kaum marhaen harus ditingkatkan. Hal itu dapat dilakukan dengan gerakan massa menuntut kemerdekaan sebagai syarat terciptanya kondisi hidup yang lebih baik bagi kaum marhaen.
Tindakan progresif PNI dilakukan dengan mengadakan rapat-rapat umum yang selalu dibanjiri massa. Hal itu tidak terlepas dari peran Ir. Soekarno sebagai orator ulung dengan menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti oleh rakyat. Gerakan-gerakan massa yang dipelopori oleh PNI menimbulkan kecurigaan dan kegelisahan pemerintah kolonial. Selain itu, ada pula kecurigaan bahwa PNI mempunyai hubungan erat dengan PI serta kaum komunis. Oleh karena itu, pemerintah kolonial menganggap tindakan-tindakan PNI itu sebagai hasutan terhadap rakyat, bahkan dianggap sebagai serangan kaum komunis kedua setelah pemberontakan PKI tahun 1926.
Kemajuan yang dicapai oleh PNI juga telah mengkhawatirkan orang-orang reaksioner Belanda di Indonesia. Mereka kemudian membentuk Vanderlandsche Club pada tahun 1929. Organisasi itu kemudian mendesak kepada pemerintah kolonial agar segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PNI. Demikian juga banyak surat kabar Belanda yang mengadakan kampanye aktif melawan propaganda PNI.
Para pejabat kolonial di daerah-daerah juga menjalankan aturan yang ketat, antara lain melarang pegawai negeri dan militer menjadi anggota PNI, memperketat perizinan untuk mengadakan rapat-rapat dan memperkeras pengawasan. Sementara itu, para pemuka PNI dari cabang-cabang semakin tidak dapat mengendalikan semangatnya untuk mengadakan pergerakan-pergerakan massa.
Peningkatan kegiatan rapat-rapat umum di cabang-cabang sejak bulan Mei 1929 menimbulkan suasana yang tegang. Pemerintah kolonial Belanda lebih banyak melakukan pengawasan secara tegas terhadap kegiatan-kegiatan PNI yang dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban. Sering kali polisi menghentikan pidato karena ucapan-ucapan dalam pidato tersebut dianggap menghasut rakyat. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa tiba saatnya untuk melakukan tindakan terhadap PNI. Bahkan, Gubernur Jenderal de Graeff telah mendapatkan tekanan dari golongan konservatif Belanda yang tergabung dalam Vanderlansche Club untuk bertindak tegas karena mereka berkeyakinan bahwa PNI melanjutkan taktik PKI.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan penangkapan dan penggeledahan di banyak tempat. Pada tanggal 29 Desember 1929, Ir. Soekarno (Ketua PNI), R. Gatot Mangkupraja (Sekretaris II PB PNI), Maskoen Sumadireja (Sekretaris II Pengurus PNI cabang Bandung), dan Supriadinata (anggota PNI cabang Bandung) ditangkap oleh polisi Yogyakarta. Selain itu, di Batavia dilakukan penggeledahan dan penangkapan, di Bandung 41, di Cirebon 24, di Pekalongan 42, di Sukabumi dan Cianjur 31, di Surakarta 11, di Medan 25, serta di tempat-tempat lain di Indonesia yang jumlah semuanya lebih dari 400 penangkapan. Kaum pergerakan nasional melakukan protes, demikian halnya Perhimpunan Indonesia, Partai Buruh, dan Partai Komunis di negeri Belanda.
Empat tokoh PNI yang ditangkap tersebut kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung. Sidang pengadilan itu dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930 hingga 29 September 1930. Dalam sidang tersebut, Ir. Soekarno membacakan pidato pembelaan berjudul Indonesia Menggugat. Dalam pidato pembelaannya itu, Ir. Soekarno menandaskan “Kini telah jelas bahwa pergerakan nasional di Indonesia bukanlah bikinan kaum intelektual dan kaum komunis saja, tetapi merupakan reaksi umum yang wajar dari rakyat jajahan yang dalam batinnya telah merdeka. Revolusi Industri adalah revolusinya zaman sekarang, bukan revolusinya sekolompok-kelompok kecil kaum intelektual, tetapi revolusinya bagian terbesar rakyat dunia yang terbelakang dan diperbodoh”. Pada tanggal 22 Desember 1930, para pemimpin PNI tersebut dijatuhi hukuman penjara di Sukamiskin, Bandung.
Kemajuan yang dicapai oleh PNI juga telah mengkhawatirkan orang-orang reaksioner Belanda di Indonesia. Mereka kemudian membentuk Vanderlandsche Club pada tahun 1929. Organisasi itu kemudian mendesak kepada pemerintah kolonial agar segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PNI. Demikian juga banyak surat kabar Belanda yang mengadakan kampanye aktif melawan propaganda PNI.
Para pejabat kolonial di daerah-daerah juga menjalankan aturan yang ketat, antara lain melarang pegawai negeri dan militer menjadi anggota PNI, memperketat perizinan untuk mengadakan rapat-rapat dan memperkeras pengawasan. Sementara itu, para pemuka PNI dari cabang-cabang semakin tidak dapat mengendalikan semangatnya untuk mengadakan pergerakan-pergerakan massa.
Peningkatan kegiatan rapat-rapat umum di cabang-cabang sejak bulan Mei 1929 menimbulkan suasana yang tegang. Pemerintah kolonial Belanda lebih banyak melakukan pengawasan secara tegas terhadap kegiatan-kegiatan PNI yang dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban. Sering kali polisi menghentikan pidato karena ucapan-ucapan dalam pidato tersebut dianggap menghasut rakyat. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa tiba saatnya untuk melakukan tindakan terhadap PNI. Bahkan, Gubernur Jenderal de Graeff telah mendapatkan tekanan dari golongan konservatif Belanda yang tergabung dalam Vanderlansche Club untuk bertindak tegas karena mereka berkeyakinan bahwa PNI melanjutkan taktik PKI.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan penangkapan dan penggeledahan di banyak tempat. Pada tanggal 29 Desember 1929, Ir. Soekarno (Ketua PNI), R. Gatot Mangkupraja (Sekretaris II PB PNI), Maskoen Sumadireja (Sekretaris II Pengurus PNI cabang Bandung), dan Supriadinata (anggota PNI cabang Bandung) ditangkap oleh polisi Yogyakarta. Selain itu, di Batavia dilakukan penggeledahan dan penangkapan, di Bandung 41, di Cirebon 24, di Pekalongan 42, di Sukabumi dan Cianjur 31, di Surakarta 11, di Medan 25, serta di tempat-tempat lain di Indonesia yang jumlah semuanya lebih dari 400 penangkapan. Kaum pergerakan nasional melakukan protes, demikian halnya Perhimpunan Indonesia, Partai Buruh, dan Partai Komunis di negeri Belanda.
Empat tokoh PNI yang ditangkap tersebut kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung. Sidang pengadilan itu dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930 hingga 29 September 1930. Dalam sidang tersebut, Ir. Soekarno membacakan pidato pembelaan berjudul Indonesia Menggugat. Dalam pidato pembelaannya itu, Ir. Soekarno menandaskan “Kini telah jelas bahwa pergerakan nasional di Indonesia bukanlah bikinan kaum intelektual dan kaum komunis saja, tetapi merupakan reaksi umum yang wajar dari rakyat jajahan yang dalam batinnya telah merdeka. Revolusi Industri adalah revolusinya zaman sekarang, bukan revolusinya sekolompok-kelompok kecil kaum intelektual, tetapi revolusinya bagian terbesar rakyat dunia yang terbelakang dan diperbodoh”. Pada tanggal 22 Desember 1930, para pemimpin PNI tersebut dijatuhi hukuman penjara di Sukamiskin, Bandung.
Labels:
Sejarah
Thanks for reading Sejarah Organisasi-Organisasi Pergerakan Nasional di Indonesia. Please share...!