Ketika iqamat dikumandangkan, hendaknya kita bersiap dengan para jamaah lain untuk melaksanakan shalat berjamaah. Kita satukan pikiran yang sebelumnya bercabang untuk fokus menghadap serta bersimpuh ke hadirat Sang Ilahi. Kemudian berdiri memenuhi shaf secara tertib serta menghadap kiblat, berbaris lurus, tanpa membedakan status sosial atau pangkat maupun jabatan. Tua muda, pejabat rakyat jelata, kaya miskin semua bersatu dalam barisan jamaah shalat.
ilustrasi shalat berjamaah |
Ada beberapa faktor yang harus dipersiapkan baik fisik maupun mental agar kita bisa khusyu' dan mendapat ketenangan dalam menjalankan shalat. Di antaranya yaitu menghentikan segala aktifitas yang tidak ada kaitannya dengan shalat, lepaskan pikiran dari kesibukan duniawi, pastikan kita siap dan fokus untuk menjalankan ibadah shalat bukan untuk lain, termasuk yang menyangkut hidangan, atau menahan kencing dan buang air besar. Aisyah RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah sekali-kali engkau melakukan shalat (sambil) menunda hidangan yang telah tersedia atau menahan buang air kecil atau besar untuk sesaat.” (H.R. Muslim dan Abu Daud).
Perihal melepaskan pikiran-pikiran dari kesibukan duniawi, antara lain seperti dinyatakan dalam firman-Nya:
"Hai Orang-Orang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan," (QS, An-Nisa: 43)
Betapa banyak kita lihat orang seakan-akan mabuk karena beban pekerjaannya, memikirkan biaya sekolah anak, atau karena pusing membayar cicilan, padahal mereka tidak minum alkohol (arak), sehingga mereka juga tidak mampu memahami apa yang mereka ucapkan di dalam salatnya. Maka ketika hendak shalat, lepaskanlah pikiran dari kesibukan duniawi dan fokus pasrahkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.
Adapun terkait menghadap kiblat, dijelaskan dalam firmanNya:
Palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya,” (QS, Al Baqarah: 14)
Maknanya yaitu setiap mushalli (orang yang shalat) mengetahui bahwa seluruh umat Islam di penjuru dunia ini menghadapkan wajahnya ke kiblat ketika shalat. Perintah menghadap kiblat ini juga terkandung maksud bahwa semua umat Islam memiliki satu arah yang sama dalam beribadah dan menjadi identitas yang membedakannya dari umat-umat lain. Itulah Baitullah al Haram, sebagai lambang persatuan umat dan wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersatukan tujuan dan kesungguhan dalam memperjuangkan agama islam.
Terkait urusan shaf, setiap mushalli hendaknya datang ke masjid lebih awal agar dapat menempati shaf pertama di belakang imam. Ada sebuah hadits perihal keutamaan memenuhi panggilan muadzin dan mengisi shaf pertama, Rasulullah SAW bersabda:
“Andaikan manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya..“ (H.R. Bukhari).
Dari Abu Hurairah RA, dikatakannya bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik shaf seorang laki-laki adalah yang paling pertama dan terjelek yang paling belakang. Adapun untuk kaum wanita yang paling baik adalah shaf yang paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf terdepan.” (H.R. Muslim)
Bahkan dalam shalat jum'at, dikatakan bahwasanya seseorang yang berada di barisan shaf pertama maka ia akan mendapatkan keutamaan seperti ia berkurban seekor unta, orang yang berada di barisan shaf kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi, di barisan shaf ketiga seolah berkurban dengan seekor kambing, di barisan shaf keempat seolah berkurban dengan seekor ayam, dan yang mendapatkan barisan shaf kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur.
Dalam barisan shaf shalat, yang harus diperhatikan adalah terciptanya suasana kerapian dalam menyusun shaf, agar shaf betul-betul lurus, sebab Allah tidak suka melihat shaf yang bengkok. Dari Anas RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Luruskan shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kesempurnaan shalat" (Muttafaq 'alaih).
Dalam hadits lain dari Anas RA Rasulullah SAW juga bersabda:
"Rapatkan shaf-shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat syetan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil." (H.R. Abu Daud)
Di dalam meluruskan shaf jamaah shalat terkandung maksud akan pentingnya memperkokohkan pendirian bahwa Islam menyeru pada tertibnya organisasi (nidzam atau jamaah) dengan prinsip yang teguh sehingga mampu menghilangkan segala bentuk kekacauan atau penyelewengan-penyelewengan. Dari sinilah tercipta suatu perasaan mementingkan nidzam secara keseluruhan di bawah kendali seorang imam (pemimpin) yang berjalan sesuai dengan aturan Islami.
Kerapian dan kerapatan shaf juga dapat melahirkan sikap kekerabatan dan persaudaraan (ukhuwah) dalam bentuk ikatan yang kokoh, serta meninggalkan bentuk-bentuk kompromi dengan setan, jin, ataupun manusia yang mencoba memecah belah diantara sesama umat Islam. Juga tidak sedikitpun memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk merusak barisan umat islam. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.." (QS, Ash-Shaff: 4).
Selain itu, tertibnya shaf juga seharusnya tidak melahirkan sikap perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara atasan dan bawahan, antara pejabat dan rakyatnya, dalam artian musaawah (persamaan hak) dan tawadhu' (kepatuhan) serta menghilangkan sifat egois dengan merasa lebih tinggi atau lebih besar. Sebab keutamaan seseorang hanyalah tergantung pada ketakwaannya, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa kepada-Nya" (QS, Al-Hujurat: 3)
Bahkan, mungkin saja wajah seorang menteri yang sedang sujud dalam salat jamaah, menyentuh telapak kaki bawahannya atau rakyat jelata yang kebetulan berada di shaf di depannya tanpa harus memperhitungkan prestise atau gengsi. Disinilah terdapat pendidikan kepribadian dan khususnya bagi pembentukan sikap “tawadhu” karena Allah.
Sudah sepatutnya bagi mushalli ketika bersimpuh di bawah kekuasaan Allah untuk menundukan kepala sebagai bentuk ketawadhu'annya, agar ia menyambut shalatnya itu seakan-akan merupakan shalat terakhir baginya di dunia ini, ibarat usia nya mungkin tidak berkesampaian menghantarkan ke shalat berikutnya. Dengan demikian ia akan berusaha untuk melakukan shalat dengan sebaik-baiknya dan sempurna-sempurnanya, sehingga kalaupun dia harus berpisah dengan dunia, maka persiapan itu merupakan kejadian yang menenteramkan hatinya. Wallahu A'lam bisshawaab
Thanks for reading Tentang Aturan Shaf dalam Shalat Berjamaah. Please share...!