Kaum Ibu, Para Perempuan Perawat Alam Semesta

Kaum Ibu, Para Perempuan Perawat Alam Semesta

Alam selalu menawarkan kekayaannya untuk dapat mencukupi segala kebutuhan hidup manusia. Namun sayangnya, tidak banyak insan yang peduli untuk menjaga kelestariannya agar ia selalu dapat bermanfaat bagi semuanya. Merekalah, para ibu dan kaum perempuan, yang tahu benar bahwa selain harus dimanfaatkan, alam juga harus terus dijaga dan dirawat. Bukan semata demi alam itu sendiri, melainkan juga bagi kepentingan manusia dan makhluk hidup lainnya. 

wanita dan alam
via pixabay

Perempuan Perkasa dari Tasikmalaya

 
Menjelang akhir tahun 80 an, seorang ibu di Tasikmalaya, Jawa Barat mencatatkan namanya dalam sejarah dengan cara yang spektakuler. Dia, seorang diri, memapras bukit cadas liat yang panjangnya 45 meter. Dengan bergelantungan di tali rotan, ia memahat bukit cadas di timur laut Gunung Galunggung. la hanya bersenjatakan cangkul dan sebuah linggis. Keinginannya sederhana, ia ingin membuat saluran yang dapat mengalirkan air dari Sungai Cilutung ke kampungnya. Keinginan itu terkabul setelah Mak Eroh, demikian nama perempuan tua itu, dengan saraf baja bekerja tanpa putus selama 47 hari. 

Mak Eroh atau Nyi Eroh adalah seorang perempuan petani dari kampung Pasirkadu, Desa Santanamekar, Cisayong, Tasikmalaya. Namanya terkenal karena keberhasilannya memapras bukit cadas di lereng gunung Galunggung demi mengalirkan air menuju desanya yang kekeringan. Bahkan setelah proyek itu tuntas, Mak Eroh meneruskan kembali pekerjaannya. Kali ini jauh lebih gila. la berambisi membuat saluran air sepanjang 4,5 km mengitari delapan bukit yang berkemiringan 60-90 derajat. 

Kali ini, pekerjaannya dibantu oleh sejumlah warga desa. Mak Eroh pun mampu menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu 2,5 tahun. Hasilnya jelas, lahan pertanian di desanya, Santana Mekar, terairi sepanjang tahun. Dua desa tetangga pun ikut mendapat berkah. Kedua desa itu akhirnya terbebas dari kelangkaan air berkat jerih payah dari Mak Eroh. 

Berita tentang kegigihan Mak Eroh berembus hingga ke Jakarta. Pada 1988, Mak Eroh mendapatkan penghargaan lingkungan hidup nasional Kalpataru dari pemerintah sebagai perintis ­lingkungan. Setahun kemudian, Mak Eroh juga mendapat penghargaan lingkungan dari PBB. Mak Eroh sering diundang pada acara peringatan Hari Lingkungan Hidup dan Hari Kartini yang diselenggarakan oleh pemerintah. Tidak hanya itu saja, sebuah tugu juga dibangun di alun-alun Tasikmalaya untuk memperingati jasa Mak Eroh dan tokoh lainnya yakni Abdul Rozak, yang juga berjasa melakukan hal serupa.

tugu mak Eroh
via pikiran-rakyat.com

Mak Eroh adalah sebuah tamsil yang dapat kita kedepankan setiap kali kita hendak berbicara tentang bagaimana perempuan memandang, memahami, dan memperlakukan alam semesta. Bagi Mak Eroh, agar alam dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia maka hamparan keajaiban alam itu harus digarap. Akan tetapi, Mak Eroh menyadari bahwa demi kemanusiaan pula, tepatnya demi generasi mendatang, pemanfaatan alam tak dapat dilakukan sekenanya. Ada tapal batas yang tak dapat seenaknya dilanggar. jika tapal itu dilanggar, keseimbangan alam semesta terancam goncang. Jika itu terjadi, manusia pula yang akan menuai ulahnya. 

Akrab dengan Semesta 


Berdasarkan beberapa kasus yang ditemukan melalui penelitian di berbagai tempat di belahan dunia, kaum perempuan memang seringkali terbukti menjadi pihak yang memahami benar bagaimana cara memanfaatkan alam. Merekalah, para ibu dan perempuan, yang tahu benar bahwa selain dimanfaatkan, alam harus terus dijaga dan dirawat.

Ada banyak sebab yang membuat para ibu atau kaum perempuan mempunyai kepekaan ekologis. Secara empirik, terutama di unit-unit kebudayaan yang belum tersentuh oleh modernisasi, perempuan memang terkondisikan untuk selalu berdekatan dan mengakrabi alam semesta dibandingkan kaum laki-laki. 

Dalam sejumlah kasus di India, para ibu yang tinggal di pinggir hutan harus rela ditinggal pergi suaminya ke kota untuk mencari nafkah. Daripada tidak ada kegiatan, para ibu ini kemudian mencari kayu bakar di hutan. Mereka juga memetik sayuran dan mengambil air bersih dari mata air yang ada di hutan. Itulah sebabnya, di India pernah muncul gerakan Chipko. Gerakan yang dikomandani oleh Mrita Devi ini sadar bahwa jika hutan terus digunduli, mereka akan terkena imbasnya secara langsung. Sumber penghidupan mereka juga akan punah. 

Jadi, tidak mengherankan jika Mak Eroh dengan keteguhan hati nekat memapras bukit cadas meskipun seorang diri. Sebagai seorang ibu, ia tahu betul susahnya mendapatkan satu ember air bersih untuk memasak dan kebutuhan rumah tangga lainnya. 

Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa peran ibu tak boleh dianggap ringan. Dalam posisinya yang dikondisikan untuk lebih banyak di dapur, para ibu berhasil membangun jalinan komunikasi dua arah antara dirinya dengan alam semesta. Manfaatnya sangat jelas. Selain untuk masa sekarang juga untuk ribuan tahun ke depan, suatu masa yang diidamkan oleh generasi selanjutnya. Sumber: Nagara.

Selengkapnya
Biografi S. K. Trimurti, Wartawan Perempuan Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Biografi S. K. Trimurti, Wartawan Perempuan Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Ketika banyak perempuan Indonesia belum pandai membaca dan menulis, S. K. Trimurti sudah keluar-masuk bui karena aktivitas politiknya. Soerastri Karma Trimurti atau lebih dikenal sebagai S. K. Trimuti atau S.K. Trimoerti adalah seorang wartawan, penulis dan guru yang namanya tercatat dalam lembaran sejarah negeri ini. Sosok wanita cerdas ini juga turut mengambil bagian dalam gerakan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Kolonial Belanda.

S.K. Trimurti

S. K. Trimurti lahir pada 11 Mei 1912 di Ngemplak Sawahan, Boyolali, Jawa Tengah dengan nama Raden Roro Soerastri. Karma adalah salah satu nama samarannya kala mengirimkan tulisan-tulisannya ke media sekaligus untuk mengelabui pemerintah kolonial Belanda. Ayahnya, Raden Ngabehi Salim Bandjaransari Mangunsuromo adalah seorang pegawai pamong praja, sedangkan ibunya adalah Raden Ayu Saparinten binti Mangunbisomo. 

Pada usia 14 tahun, Soerastri menyelesaikan pendidikan dasar lima tahun di Sekolah goebernemen. Anak keempat dari delapan bersaudara ini lalu melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Putri Surakarta selama empat tahun. Setelah lulus, ia menjadi bulponderwijzeres (guru bantu) di almamaternya di Solo. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke Banyumas mengikuti ayahnya yang ditugaskan di kota tersebut. Di sana, ia mengajar di Sekolah Kepandaian putri pula. Selain mengajar, ia juga gemar menulis cerita pendek. Oleh karena hobinya tersebut, Soerastri tertarik pula menjadi wartawan. 

Sejak saat itu, ia sering mengirim kabar dan kisah perjuangan ke berbagai koran dan majalah. Akhirnya, ia tak bisa membendung lagi keinginannya untuk menjadi wartawan. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan sampai berhasil menjadi pemimpin redaksi Majalah Soeara Marhaen yang terbit di Yogyakarta pada pertengahan 1930-an. 

Selain menjadi wartawan, Soerastri juga berminat dalam dunia politik. Ia mengikuti rapat-rapat Boedi Oetomo, sebuah organisasi "nasionalisme jawa" yang didirikan oleh dr. Soetomo. Ia pun rajin mendengarkan pidato-pidato politik Bung Karno. Kontak dengan Bung Karno sendiri bermula pada paruh kedua 1930-an di Jakarta. Soekarno yang kala itu memimpin koran Fikiran Ra'jat di Bandung meminta kepada S. K. Trimurti untuk menyumbangkan tulisannya. Namun Trimurti menjawab "saya nggak bisa", karena ia merasa gamang dengan penulis-penulis di Fikiran Ra'jat yang kala itu diisi oleh tokoh-tokoh beken. 

Meski begitu, Bung Karno terus memaksanya dengan mengatakan "harus bisa". Pada akhirnya, Trimurti pun menurut dan kemudian secara intensif ikut menulis di koran oposisi tersebut. Ia turut gencar mengkritik berbagai ketidakadilan sistem kolonialisme seraya menyerukan tekad kemerdekaan. Tulisan-tulisannya itu sering membuat pemerintah kolonial Belanda, juga kemudian pemerintah pendudukan Jepang murka. 

Akibatnya, Trimurti pun sering keluar-masuk penjara. Pada tahun 1939, ia dihukum enam bulan penjara di Penjara Wanita Bulu, Semarang. Setelah bebas, ia masuk lagi ke hotel prodeo Ambarawa pada tahun 1941, dan selanjutnya dipindahkan ke Garut. Pada zaman pendudukan Jepang, ia kembali menghuni bui kempetai, polisi rahasia Jepang. Saat ditahan, ia sedang mengandung janin hasil pernikahannya dengan Mohammad Ibnu Sajuti alias Sayuti Melik, yang juga seorang wartawan pejuang. 

Menjelang proklamasi kemerdekaan, dinamika politik yang berlangsung cepat menarik pasangan Sajuti Melik dan S. K. Trimurti untuk datang ke Jakarta. Keduanya menjadi anggota kelompok penekan yang mendesak agar Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya. Trimurti juga sempat aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, yaitu badan legislatif yang dibentuk pada 18 Agustus 1945 dimana salah satu tugasnya antara lain menetapkan Ir. Soekarno sebagai presiden dan mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada masa awal kemerdekaan, Trimurti juga aktif sebagai pengurus Partai Buruh Indonesia. Ia bahkan sempat dipercaya menjadi Menteri Perburuhan dalam Kabinet Perdana Menteri (PM) Amir Sjarifuddin pada 3 Juli 1947 - 28 Januari 1948. Selanjutnya, ia kembali dipercaya sebagai menteri dalam Kabinet PM Wilopo pada periode 29 April 1952 - 30 Juli 1953.

Ketika pemerintahan kembali ke bentuk presidensial yang ditandai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Bung Karno menawari Trimurti sebagai menteri sosial, namun ia menolaknya. Ia lebih memilih menjadi anggota di Dewan Nasional. Sejumlah aktivitas pun terus digelutinya, antara lain menjadi anggota MPRS, dan pengurus Dewan Harian Nasional Angkatan 1945.

Pada zaman Orde Baru, Trimurti sempat aktif menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mawas Diri. Terakhir, ia terjun kembali di Partai Demokrasi Indonesia ketika Megawati, putri Bung Karno memimpin partai tersebut. Nama Trimurti juga dikenal sebagai tokoh yang menentang pemerintahan Presiden Soeharto. Bersama tokoh-tokoh yang tidak sependapat dengan penguasa Orde Baru itu, mereka membentuk petisi 50.

Perempuan yang juga dekat dengan Presiden Soekarno ini meninggal dunia di Jakarta, 20 Mei 2008 pada usia 96 tahun. S. K. Trimurti dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. (diolah dari berbagai sumber

Selengkapnya
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, Sang Pencetus Deklarasi Djuanda

Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, Sang Pencetus Deklarasi Djuanda

Tahukah anda sejak kapan Indonesia disebut sebagai negara kepulauan?. Atau tahukah anda apakah itu yang disebut "Deklarasi Djuanda"?. Ya, Deklarasi Djuanda adalah suatu pernyataan (deklarasi) yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi ini dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu yaitu Ir. H. Djuanda Kartawidjaja.

Ir. Djuanda

Ir. H. Raden Djoeanda Kartawidjaja atau yang lebih dikenal dengan nama Djuanda adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 (sekaligus terakhir) pada masa Demokrasi Liberal yang menjabat dari sejak 9 April tahun 1957 hingga 9 Juli tahun 1959. Djuanda lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 14 Januari 1911 dari pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat. Ayahnya adalah seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS).

Setelah menamatkan pendidikan sekolah dasarnya di HIS, Djuanda kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS) dan tamat pada tahun 1924. Selanjutnya, ayahnya memasukkan Djuanda ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung) dan lulus pada tahun 1929. Setelahnya, ia melanjutkan pendidikannya ke jurusan teknik sipil di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) --sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus pada tahun 1933.

Djuanda adalah seorang abdi negara dan abdi masyarakat yang patut diteladani. Pengabdiannya kepada bangsa dan negara itulah yang kemudian mengantarkannya menjadi seorang perdana menteri kala ditunjuk oleh Bung Karno pada tahun 1957. Selain pernah menjabat sebagai perdana menteri terakhir pada masa Demokrasi Liberal, Djuanda juga pernah beberapa kali menjabat sebagai menteri pada masa era Orde Lama, yaitu sebagai Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. 

Seperti yang telah disebutkan di atas, Djuanda merupakan tokoh yang berperan besar dalam penetapan batas laut wilayah Indonesia. Lewat Deklarasi Djuanda, ia mengumumkan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Adapun Isi dari Deklarasi Juanda menyatakan:

1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri. 

2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan. 

3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:
  1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat. 
  2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan. 
  3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Dalam perjalanannya, Deklarasi Djuanda ini tidak serta merta diterima oleh negara-negara lain. Bahkan setelah diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, deklarasi ini masih saja mendapat tentangan dari beberapa negara. Barulah pada tahun 1982, deklarasi ini akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya, deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Untuk memperingati peristiwa dicetuskannya Deklarasi Djuanda oleh Ir. H. Djuanda Kartawijaya, maka pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember diperingati sebagai Hari Nusantara. Penetapan ini kemudian dipertegas lagi oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember kemudian resmi diperingati sebagai hari Nusantara. 

Sedangkan tokoh pencetusnya, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, juga mendapatkan apresiasi tinggi dari pemerintah. Namanya banyak diabadikan di sejumlah tempat seperti Bandar Udara Djuanda di Surabaya, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda di Bandung, nama jalan, nama stasiun Kereta Api dan sebagainya. Bahkan pada akhir tahun 2016 lalu, Pemerintah Republik Indonesia juga mengabadikan Djuanda di pecahan uang kertas rupiah dengan nilai Rp. 50.000.

Ir. H. Djoeanda Kartawidjaja wafat di Jakarta, 7 November 1963 pada usia 52 tahun. Makamnya berada Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Atas jasa-jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja juga ditetapkan sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963. (wikipedia).

Selengkapnya
Profil Singkat Letjen TNI (Purn.) Mochamad Jasin, Jenderal TNI Asal Aceh

Profil Singkat Letjen TNI (Purn.) Mochamad Jasin, Jenderal TNI Asal Aceh

Letjen TNI (Purn.) Mochamad Jasin adalah salah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ABRI pada tahun 1970-an. Saat menjabat sebagai Panglima Kodam I/ Iskandar Muda (1960-1963), ia juga merupakan salah seorang tokoh penting yang berperan besar dalam menciptakan perdamaian di Aceh ketika berhasil menyelesaikan pemberontakan DI/ TII di Aceh melalui jalan damai. 

Profil Singkat Letjen TNI (Purn.) Mochamad Jasin, Jenderal TNI Asal Aceh

Mochamad Jasin lahir di Sabang, Pulau Weh, Aceh pada tanggal 22 Juli 1921 dari ibu berdarah Minangkabau dan ayah, Mochamad Iyas, yang berdarah Jawa. Sebelum masuk dunia militer, awalnya Mochamad Jasin adalah seorang guru. Namun saat revolusi fisik kemerdekaan, Jasin masuk PETA dan bermetamorfosis menjadi seorang tentara. Meski begitu, karakternya sebagai guru tidak hilang. Ia pernah menjadi pengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD/ kini Seskoad) yang merupakan lembaga pendidikan tinggi di Angkatan Darat. Di antara murid-muridnya saat itu antara lain yaitu Ahmad Yani dan Soeharto (Presiden kedua RI). 

Nama Mochamad Jasin mulai mencuat saat menjabat sebagai Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh pada 1960-1963. Ia berperan besar dalam memadamkan pemberontakan Darul Islam pimpinan Daud Beureuh secara damai. Saat itu, Mantan Gubernur militer Aceh, Daud Beureueh merasa kecewa dengan berbagai kebijakan pusat terhadap Aceh sehingga ia memproklamasikan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Daud Beureueh bersama kelompoknya juga melakukan gerakan serentak untuk menguasai kota-kota yang ada di Aceh. 

Pemerintah pun bergerak cepat untuk meredam pemberontakan ini. Ketika kelompok separatis ini semakin terdesak oleh pasukan TNI, Mochamad Jasin sebagai Panglima Kodam Iskandar Muda kemudian membujuk Daud Beureueh untuk turun gunung dan mengadakan musyawarah bersama. Usahanya pun membuahkan hasil. Lewat jalan damai, Mochamad Jasin berhasil membujuk sang mantan gubernur militer itu untuk duduk bersama tanpa satu pun peluru meletus. Mochamad Jasin pun akhirnya dapat merangkul kembali Daud Beureueh untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. 

Atas keberhasilannya, Mochamad Jasin kemudian ditugaskan untuk menumpas PKI di Jawa Timur dengan diangkat sebagai Panglima Brawijaya pada tahun 1967. Lewat Operasi Trisula, dalam tiga tahun, Jasin sukses membersihkan unsur komunis di Jawa Timur. Selesai bertugas di Jawa Timur, Jasin kemudian kembali ditarik ke Jakarta. Jabatan terakhirnya di TNI adalah sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada tahun 1970. 

Mochamad Jasin dikenal sebagai jenderal yang jujur, sederhana, disiplin, dan berpendirian sangat kukuh. Bersama beberapa tokoh lainnya, ia pernah menandatangani dokumen yang berisi kritik terhadap Presiden Soeharto yang dianggap telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai presiden. Dokumen yang ditandangani di Jakarta pada tanggal 5 Mei 1980 ini kemudian dikenal sebagai Petisi 50. Sebagai salah seorang anggota Petisi 50, ia dikenal paling vokal dalam mengkritik kebijakan Soeharto pada masa Orde Baru yang dianggapnya telah banyak menyimpang. 

Mochamad Jasin dikarunia umur panjang. Suami dari Siti Abesanti ini wafat pada 7 April 2013 dalam usia lanjut 91 tahun. Tempat peristirahatan terakhirnya berada di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan. (diolah dari berbagai sumber).
 
Selengkapnya
Prof. Dr. Emil Salim, Bapak Lingkungan Hidup Indonesia

Prof. Dr. Emil Salim, Bapak Lingkungan Hidup Indonesia

Prof. Dr. Emil Salim lahir di Lahat, Sumatera Selatan pada 8 Juni 1930. Ia merupakan putra dari pasangan Baay Salim dan Siti Syahzinan dari Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Emil Salim adalah seorang ahli ekonomi, cendekiawan, pengajar, politikus, dan tokoh lingkungan hidup Indonesia. Tidak hanya di lingkup nasional, Emil Salim juga merupakan salah seorang tokoh di antara sedikit tokoh Indonesia yang berperan dalam dunia internasional. 

Prof. Emil Salim
via jatimtimes.com

Emil Salim merupakan tokoh yang dikenal sangat peduli pada persoalan lingkungan hidup. Pada tahun 2012, World Wide Fund (WWF), suatu lembaga konservasi mandiri terbesar dan sangat berpengalaman di dunia menganugerahkan penghargaan The Leader for the Living Planet Award kepada Emil Salim atas dedikasi, kepemimpinan, dan kontribusinya pada upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan dunia. 

"The Leader for the Living Planet Award" adalah penghargaan yang diberikan WWF bagi individu di dunia yang berkontribusi secara signifikan terhadap pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan. Selain menerima penghargaan tersebut, Emil Salim juga merupakan penerima anugerah Blue Planet Prize pada tahun 2006 dari The Asahi Glass Foundation. 

Sebelumnya, pada tahun 1994, Emil Salim beserta beberapa koleganya seperti Koesnadi Hardjasoemantri, Ismid Hadad, Erna Witoelar, M.S. Kismadi, dan Nono Anwar Makarim mendirikan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Yayasan KEHATI), sebuah organisasi non-pemerintah  yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan. Selain itu, pada tahun 1996, ia juga menjadi salah satu pendiri Yayasan WWF Indonesia. 

Emil Salim menjadi tokoh kunci dalam KTT Bumi (Earth Summit) Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang menjadi fondasi lahirnya deklarasi politis mengenai pembangunan dan lingkungan hidup. Emil Salim juga berperan penting dalam penentuan kebijakan pemerintah RI tentang mitigasi perubahan iklim global dalam berbagai forum internasional mengenai kerangka kerja perubahan iklim (UNFCCC) dan keanekaragaman hayati (CBD). 

Dalam lingkungan pemerintahan, Emil Salim adalah menteri lingkungan hidup Indonesia yang pertama. Bahkan ia merupakan salah seorang putra bangsa yang paling lama mengabdi sebagai menteri dan beberapa jabatan lainnya. Jabatan menteri lingkungan hidup pertama kali ia pangku sejak tahun 1978 hingga tahun 1993. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara, merangkap Wakil Kepala Bappenas pada 1971-1973, selanjutnya sebagai Menteri Perhubungan pada 1973-1978. 

Ketika menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978-1983), Emil Salim pernah mencetuskan gagasan kepada Tjokropranolo (Gubernur DKI saat itu) agar isu lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. Mereka kemudian melakukan pertemuan bersama organisasi non-pemerintah dari berbagai daerah di Indonesia yang dikemudian hari menjadi cikal bakal dari berdirinya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Pada tahun 2007 hingga 2010, Emil Salim juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2007 hingga 2010. Selanjutnya pada tahun 2010 hingga 2014, ia dilantik kembali untuk periode kedua sekaligus menjabat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Presiden, merangkap Anggota Bidang Ekonomi dan Lingkungan Hidup. Atas pengabdian dan perhatian besarnya pada lingkungan, Emil Salim juga dijuluki sebagai Bapak Lingkungan Hidup Indonesia.

Selengkapnya
Profil Singkat Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi Indonesia

Profil Singkat Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi Indonesia

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah salah seorang Pahlawan Revolusi Indonesia yang lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Juni 1922. Ia merupakan putra dari pasangan Sarjo (ayah) dan Murtini (ibu). Ayahnya bekerja di sebuah pabrik gula yang dimiliki oleh orang Belanda. Pada tahun 1927, Ahmad Yani bersama keluarganya pindah ke Batavia karena ayahnya dipindahkan bekerja disana.

Jenderal Ahmad Yani

Ahmad Yani mengawali pendidikan formalnya di HIS (setingkat sekolah dasar) di Bogor dan selesai pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke MULO (setingkat sekolah menengah pertama) kelas B di Bogor. Setelah tamat dari MULO (1938), Ahmad Yani melanjutkan sekolah di AMS (setingkat sekolah menengah atas) bagian B di Jakarta. Di sekolah ini, ia hanya sampai di kelas dua karena pada tahun 1940 ia mengikuti pendidikan militer Pemerintah Hindia Belanda.

Ahmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang yang dilanjutkan secara lebih intensif di Bogor. Dari sinilah Ahmad Yani mengawali karier dalam militernya dengan pangkat Sersan. Akan tetapi, pendidikannya ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Ahmad Yani dan keluarganya kemudian memutuskan untuk pindah kembali ke Jawa Tengah. 

Pada masa pendudukan Jepang (1942), Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang, Jawa Tengah. Selanjutnya pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihannya, Ahmad Yani mengikuti pelatihan sebagai komandan peleton PETA di Bogor. Setelah pelatihan ini selesai, ia dikirim kembali ke Magelang dan bertugas sebagai instruktur. 

Pada masa perang kemerdekaan, Ahmad Yani berhasil menyita senjata tentara Jepang di Magelang. Ketika terbentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan TKR Purwokerto. Selama bulan-bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, Ahmad Yani membentuk batalion dan berhasil memenangkan pertempuran melawan Inggris di Magelang. 

Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I, pasukan Ahmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Oleh karenanya, ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Ahmad Yani diberikan kepercayaan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. 

Ahmad Yani juga berperan penting ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta melawan Belanda. Sebelum dilakukan serangan, pasukan yang dipimpin Ahmad Yani melakukan serangan gerilya sehingga berhasil mengalihkan perhatian tentara Belanda dan memudahkan jalan bagi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. 

Setelah pengakuan kedaulatan, Ahmad Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah pada Desember 1949. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Untuk menghadapi kelompok pemberontakan ini, Ahmad Yani membentuk pasukan khusus yang diberi nama The Banteng Raiders. Pasukan ini mendapatkan pelatihan khusus sehingga pasukan DI/TII berhasil dikalahkan. Setelah menumpas DI/TII, Ahmad Yani kembali ke Staf Angkatan Darat. 

Pada bulan Desember 1955, Ahmad Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk bersekolah di Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat selama 9 bulan. Pada tahun 1956, ia kembali mengikuti pendidikan selama dua bulan di Spesial Warfare Course di Inggris.

Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Ahmad Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta yang dipimpin oleh A. H. Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat ini, Ahmad Yani kemudian menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat. 

Saat terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat pada tahun 1958, Ahmad Yani yang pada waktu itu masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan terhadap pemberontakan PRRI. Pasukan Ahmad Yani berhasil menumpas pemberontakan tersebut dengan merebut kembali Padang dan Bukittinggi. 

Atas keberhasilannya, pada tanggal 1 September 1962, Ahmad Yani dipromosikan menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Kemudian pada tanggal 13 November 1963, dengan pangkat Letnan Jenderal, ia diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jenderal A. H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab). 

Ahmad Yani merupakan seorang jenderal yang sangat dekat dan setia kepada Presiden Soekarno. Saking cinta dan setianya, ia pernah berkata, "Siapa yang berani menginjak bayang-bayang Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966), Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya". Bahkan berkembang isu bahwa Ahmad Yani telah dipersiapkan oleh Presiden Soekarno sebagai calon penggantinya menjadi presiden RI. 

Meski dekat dengan Bung Karno, Ahmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari Soekarno. Tidak mengherankan, Ahmad Yani memang dikenal sebagai seorang jenderal yang sangat berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itulah ia menjadi salah satu target penculikan PKI ketika terjadi peristiwa G30S/PKI 1965.

Ahmad Yani ditembak didepan kamar tidurnya oleh para penculik pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Jasadnya ditemukan beberapa hari kemudian pada tanggal 4 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazah Ahmad Yani kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965, Ahmad Yani dinyatakan gugur sebagai Pahlawan Revolusi dan dinaikkan pangkatnya dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal Anumerta.

Selengkapnya
Slamet Riyadi, Pahlawan Muda Asal Solo Yang Gagah Berani

Slamet Riyadi, Pahlawan Muda Asal Solo Yang Gagah Berani

Bagi warga kota Solo, mendengar nama Slamet Riyadi mungkin tidak asing lagi. Ia adalah pahlawan nasional asal kota Surakarta (Solo) yang gagah berani, rela berkorban jiwa dan raga hingga gugur pada usia muda (23 tahun) demi memperjuangan keutuhan kedaulatan NKRI. Meski begitu, harum namanya masih dikenang dan diabadikan, bahkan patungnya yang berada di jalan yang juga diambil dari namanya (Jl. Slamet Riyadi) kini menjadi salah satu landmark terkenal di Kota Solo.

pahlawan Slamet Riyadi
patung Slamet Riyadi via shutterstock

Slamet Riyadi lahir di Donokusuman, Surakarta, pada tanggal 28 Mei 1926. Ia adalah putra kedua dari pasangan Raden Ngabehi Idris Prawiropralebdo, seorang perwira anggota legium Kasunanan Surakarta dan Soetati, seorang penjual buah. Pada mulanya, Slamet Riyadi terlahir dengan nama Soekamto. Namun sebagaimana lazimnya dalam tradisi jawa, orang tuanya kemudian mengganti namanya menjadi Slamet karena sewaktu kecil ia sering sakit-sakitan. 

Sebagai putra seorang prajurit, sejak kecil Slamet Riyadi sudah diajarkan disiplin oleh ayahnya. Slamet Riyadi menempuh pendidikan dasar di HIS kemudian melanjutkan MULO Afd B di Mangkunegaran. Ketika bersekolah di sekolah menengah ini, ia memperoleh nama belakang Riyadi karena banyaknya siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut. 

Sewaktu Jepang menduduki Indonesia, Slamet Riyadi melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dan lulus dengan menyandang predikat sebagai lulusan terbaik. Setelah lulus, kemudian ia bekerja sebagai navigator pada kapal laut milik Jepang. Ketika sedang tidak bekerja di laut, ia tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Pada saat itu, ia juga sering menyempatkan diri untuk bertemu dengan para pejuang bawah tanah. 

Setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi bersama rekannya sesama pelaut berhasil melarikan kapal kayu Jepang dan mengambil sejumlah persenjataan. Slamet Riyadi kemudian pulang ke Surakarta dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana. Ia menggalang kekuatan dari para pemuda eks PETA, Heiho, dan Kaigun sehingga terbentuk pasukan setingkat batalion. Salah satu keberhasilan pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi yaitu saat mereka berhasil merebut dan melucuti senjata tentara Jepang. 

Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia lewat Agresi Militernya, Slamet Riyadi pun mengkampanyekan perang gerilya melawan Belanda. Oleh karena itulah ia mendapatkan kepercayaan untuk memimpin Resimen 26 di Surakarta. Saat meletus Agresi Militer Belanda I, Slamet Riyadi memimpin pasukan di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang. Ia juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu. Selanjutnya pada bulan September 1948, Slamet Riyadi mendapatkan kepercayaan untuk memimpin empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. 

Ketika Belanda melancarkan serangan Agresi Militer keduanya ke Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibu kota negara, pasukan yang dipimpin oleh Slamet Riyadi melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten. Dengan menerapkan siasat "berpencar dan menaklukan", Slamet Riyadi berhasil menghalau tentara Belanda dalam waktu empat hari (7-11 Agustus 1949). Meski akhirnya tentara Belanda berhasil memasuki kota Solo, serangan pasukan Slamet Riyadi yang dilakukan secara frontal dan berlangsung siang malam telah mengakibatkan kerugian besar bagi Belanda. 

Ketika terjadi gencatan senjata yang disusul dengan penyerahan Solo ke pangkuan Indonesia, Panglima Divisi Belanda di Jawa, Mayor Jenderal Frits Mollinger dan Komandan pasukan Belanda di Solo, Letkol Van Ohl terkejut saat berhadapan dengan Slamet Riyadi. Keduanya tidak mengira jika komandan gerilyawan yang telah memporak-porandakan pasukannya itu ternyata masih muda belia, bahkan belum genap berumur 24 tahun.

Slamet Riyadi 2
Mollinger menyalami Slamet Riyadi via kaskus.co.id

Tugas selanjutnya, pasukan Brigade V/Senopati yang dipimpin oleh Slamet Riyadi kemudian diberangkatkan ke Jawa Barat untuk mengejar sisa-sisa gerombolan APRA di Bandung. Ketika meletus pemberontakan RMS yang dipimpin oleh Dr. C.S.R Soumokil, pasukan Slamet Riyadi sedang sibuk melaksanakan tugas lanjutan untuk menumpas pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Pemerintah Indonesia pun mencoba mengupayakan misi damai dengan mengutus Dr. Leimena untuk menyelesaikan pemberontakan RMS. 

Setelah upaya penyelesaian damai dengan RMS menemui jalan buntu, maka dibentuklah operasi militer gabungan dengan nama Komando Pasukan Maluku Selatan (KOPASMALSEL) di bawah pimpinan Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Komando Tentara dan Teritorium Indonesia Timur yang bermarkas di Makassar. Sedangkan Komando Operasi, ditetapkan Letnan Kolonel Ign. Slamet Riyadi, Komandan Brigade V/Panembahan Senopati dari Solo, Jawa Tengah. 

Bersama Kolonel Alex E. Kawilarang, Slamet Riyadi memimpin tiga serangan; pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Slamet Riyadi berhasil merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau dengan perjalanan memakan waktu selama sebulan. Selama dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Slamet Riyadi hingga sering kali membuat mereka terjepit.

Setibanya di Benteng New Victoria, pasukan Slamet Riyadi langsung diserang oleh pasukan RMS. Ketika ia sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, selongsong peluru senjata mesin menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal, Rijadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Slamet Riyadi gugur pada malam itu, dan pertempuran juga berakhir pada hari yang sama. Slamet Riyadi dimakamkan di Ambon.

Atas jasa-jasa dan perjuangannya, pemerintah Indonesia menganugerahi beberapa tanda kehormatan secara anumerta pada tahun 1961. Slamet Riyadi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 2007. Selain itu, Pemerintah Kota Surakarta juga membangun monumen patung Slamet Riyadi di tengah persimpangan jalan Kelurahan Gladak, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Namanya juga kemudian diabadikan sebagai nama jalan di lokasi patung tersebut dengan nama Jalan Slamet Riyadi.

Selengkapnya
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Perannya dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Perannya dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI

Sultan Hamengkubuwono IX
via shutterstock 

Memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Dorojatun, Sultan Hamengku Buwono IX lahir pada Sabtu 12 April 1912 di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 Yogyakarta dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Hamengku Buwono IX memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930 -an, Sang Sultan muda juga pernah merantau ke negeri kincir angin untuk menimba ilmu dengan kuliah di Universiteit Leiden, Belanda.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, keadaan perekonomian saat itu sangatlah buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri pun rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri menjadi terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di wilayah Yogyakarta. 

Sebagai Raja sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal diam melihat sulitnya keadaan pada masa itu. Untuk menjamin agar roda pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengku Buwono IX pun menyumbangkan kekayaannya sekitar enam juta Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan atau memenuhi kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya. 

Setelah berlangsungnya perundingan Renville pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali ke Indonesia untuk melakukan agresi miiternya yang ke - 2. Sasaran penyerbuan mereka adalah ibukota Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya ditangkap Belanda dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. 

Sementara Sultan Hamengku Buwono IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa sehingga dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, Belanda pada waktu itu juga sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat. 

Meski begitu, Sultan menolak ketika Belanda mengajaknya untuk bekerja sama dengan mereka. Untuk itu, Sultan Hamengku Buwono IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh wilayah Yogyakarta. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunduran diri Sultan ini kemudian juga diikuti oleh Sri Paku Alam di kadipaten Pakualaman. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu, langkah ini diambil agar Sultan tidak dapat diperalat untuk membantu musuh (Belanda). 

Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono IX secara diam-diam membantu perjuangan para pejuang RI dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI, dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton, Sultan juga menyediakan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI.

Pada bulan Februari 1949, Sultan mencoba menghubungi Panglima Besar Sudirman lewat bantuan seorang kurir. Sultan meminta persetujuan Panglima Sudirman untuk melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapatkan persetujuannya, Sultan langsung menghubungi Letnan Kolonel Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Pada akhirnya, sesuai dengan hasil perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama proses penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu pun dilaksanakannya dengan baik.

Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat). Sultan Hamengku Buwono IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.

Sepanjang hayatnya, Sultan Hamengku Buwono IX telah banyak mengabdikan dirinya demi kedaulatan bangsa dan negaranya. Selain ikut berjuang pada masa kemerdekaan, Sultan juga pernah mengemban amanah sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir hingga Kabinet Hatta I (1946-1949), sebagai Menteri Pertahanan pada masa kabinet Hatta II hingga masa RIS (1949-1950), menjabat Wakil Perdana Menteri pada masa Kabinet Natsir (1950 - 1951), bahkan dipercaya menjabat sebagai Wakil Presiden RI yang kedua (1973-1978).

Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat di Washington DC, Amerika Serikat pada 2 Oktober 1988 pada usia 76 tahun. Atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara, tokoh yang juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia ini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasar SK Presiden Repulik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990.

Selengkapnya