Bagi warga kota Solo, mendengar nama Slamet Riyadi mungkin tidak asing lagi. Ia adalah pahlawan nasional asal kota Surakarta (Solo) yang gagah berani, rela berkorban jiwa dan raga hingga gugur pada usia muda (23 tahun) demi memperjuangan keutuhan kedaulatan NKRI. Meski begitu, harum namanya masih dikenang dan diabadikan, bahkan patungnya yang berada di jalan yang juga diambil dari namanya (Jl. Slamet Riyadi) kini menjadi salah satu landmark terkenal di Kota Solo.
|
patung Slamet Riyadi via shutterstock |
Slamet Riyadi lahir di Donokusuman, Surakarta, pada tanggal 28 Mei 1926. Ia adalah putra kedua dari pasangan Raden Ngabehi Idris Prawiropralebdo, seorang perwira anggota legium Kasunanan Surakarta dan Soetati, seorang penjual buah. Pada mulanya, Slamet Riyadi terlahir dengan nama Soekamto. Namun sebagaimana lazimnya dalam tradisi jawa, orang tuanya kemudian mengganti namanya menjadi Slamet karena sewaktu kecil ia sering sakit-sakitan.
Sebagai putra seorang prajurit, sejak kecil Slamet Riyadi sudah diajarkan disiplin oleh ayahnya. Slamet Riyadi menempuh pendidikan dasar di HIS kemudian melanjutkan MULO Afd B di Mangkunegaran. Ketika bersekolah di sekolah menengah ini, ia memperoleh nama belakang Riyadi karena banyaknya siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut.
Sewaktu Jepang menduduki Indonesia, Slamet Riyadi melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dan lulus dengan menyandang predikat sebagai lulusan terbaik. Setelah lulus, kemudian ia bekerja sebagai navigator pada kapal laut milik Jepang. Ketika sedang tidak bekerja di laut, ia tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Pada saat itu, ia juga sering menyempatkan diri untuk bertemu dengan para pejuang bawah tanah.
Setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi bersama rekannya sesama pelaut berhasil melarikan kapal kayu Jepang dan mengambil sejumlah persenjataan. Slamet Riyadi kemudian pulang ke Surakarta dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana. Ia menggalang kekuatan dari para pemuda eks PETA, Heiho, dan Kaigun sehingga terbentuk pasukan setingkat batalion. Salah satu keberhasilan pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi yaitu saat mereka berhasil merebut dan melucuti senjata tentara Jepang.
Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia lewat Agresi Militernya, Slamet Riyadi pun mengkampanyekan perang gerilya melawan Belanda. Oleh karena itulah ia mendapatkan kepercayaan untuk memimpin Resimen 26 di Surakarta. Saat meletus Agresi Militer Belanda I, Slamet Riyadi memimpin pasukan di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang. Ia juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu. Selanjutnya pada bulan September 1948, Slamet Riyadi mendapatkan kepercayaan untuk memimpin empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar.
Ketika Belanda melancarkan serangan Agresi Militer keduanya ke Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibu kota negara, pasukan yang dipimpin oleh Slamet Riyadi melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten. Dengan menerapkan siasat "berpencar dan menaklukan", Slamet Riyadi berhasil menghalau tentara Belanda dalam waktu empat hari (7-11 Agustus 1949). Meski akhirnya tentara Belanda berhasil memasuki kota Solo, serangan pasukan Slamet Riyadi yang dilakukan secara frontal dan berlangsung siang malam telah mengakibatkan kerugian besar bagi Belanda.
Ketika terjadi gencatan senjata yang disusul dengan penyerahan Solo ke pangkuan Indonesia, Panglima Divisi Belanda di Jawa, Mayor Jenderal Frits Mollinger dan Komandan pasukan Belanda di Solo, Letkol Van Ohl terkejut saat berhadapan dengan Slamet Riyadi. Keduanya tidak mengira jika komandan gerilyawan yang telah memporak-porandakan pasukannya itu ternyata masih muda belia, bahkan belum genap berumur 24 tahun.
|
Mollinger menyalami Slamet Riyadi via kaskus.co.id |
Tugas selanjutnya, pasukan Brigade V/Senopati yang dipimpin oleh Slamet Riyadi kemudian diberangkatkan ke Jawa Barat untuk mengejar sisa-sisa gerombolan APRA di Bandung. Ketika meletus pemberontakan RMS yang dipimpin oleh Dr. C.S.R Soumokil, pasukan Slamet Riyadi sedang sibuk melaksanakan tugas lanjutan untuk menumpas pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Pemerintah Indonesia pun mencoba mengupayakan misi damai dengan mengutus Dr. Leimena untuk menyelesaikan pemberontakan RMS.
Setelah upaya penyelesaian damai dengan RMS menemui jalan buntu, maka dibentuklah operasi militer gabungan dengan nama Komando Pasukan Maluku Selatan (KOPASMALSEL) di bawah pimpinan Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Komando Tentara dan Teritorium Indonesia Timur yang bermarkas di Makassar. Sedangkan Komando Operasi, ditetapkan Letnan Kolonel Ign. Slamet Riyadi, Komandan Brigade V/Panembahan Senopati dari Solo, Jawa Tengah.
Bersama Kolonel Alex E. Kawilarang, Slamet Riyadi memimpin tiga serangan; pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Slamet Riyadi berhasil merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau dengan perjalanan memakan waktu selama sebulan. Selama dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Slamet Riyadi hingga sering kali membuat mereka terjepit.
Setibanya di Benteng New Victoria, pasukan Slamet Riyadi langsung diserang oleh pasukan RMS. Ketika ia sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, selongsong peluru senjata mesin menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal, Rijadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Slamet Riyadi gugur pada malam itu, dan pertempuran juga berakhir pada hari yang sama. Slamet Riyadi dimakamkan di Ambon.
Atas jasa-jasa dan perjuangannya, pemerintah Indonesia menganugerahi beberapa tanda kehormatan secara anumerta pada tahun 1961. Slamet Riyadi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 2007. Selain itu, Pemerintah Kota Surakarta juga membangun monumen patung Slamet Riyadi di tengah persimpangan jalan Kelurahan Gladak, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Namanya juga kemudian diabadikan sebagai nama jalan di lokasi patung tersebut dengan nama Jalan Slamet Riyadi.