Pembagian Angkatan Sastra di Indonesia dan Karakteristiknya

Pembagian Angkatan Sastra di Indonesia dan Karakteristiknya

Angkatan Sastra di Indonesia dan Karakteristiknya

Perkembangan sastra di Indonesia memang telah banyak melahirkan para pujangga, penyair, dan sastrawan-sastrawan hebat dari semenjak negeri ini berdiri hingga saat ini. Bahkan dari rentang waktu mulai tahun '20-an hingga sekarang, sastra modern Indonesia terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika kehidupan masyarakatnya. Maka dari itu, para ahli kemudian menggolongkan sastrawan-sastrawan tersebut ke dalam beberapa angkatan. 

Berikut ini merupakan pembagian angkatan-angkatan sastra Indonesia berdasarkan urutan waktunya.

1. Angkatan ‘20-an atau Angkatan Balai Pustaka


Karya sastra yang luhur pada Angkatan 20-an sering disebut sebagai karya sastra Angkatan Dua Puluhan atau Angkatan Balai Pustaka. Disebut Angkatan Dua Puluhan karena novel yang pertama kali terbit adalah novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang diterbitkan tahun 1921.

Karya-karya yang lahir pada periode itu disebut pula Angkatan Balai Pustaka karena karya-karya tersebut banyak diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Peran Balai Pustaka dalam menghidupkan dan memajukan perkembangan sastra Indonesia memang sangat besar. Penerbitan pertamanya Azab dan Sengsara, kemudian berpuluh-puluh novel lain diterbitkan pula, termasuk buku-buku sastra daerah.

Selain disebut Angkatan Balai Pustaka, Angkatan ’20-an disebut pula Angkatan Sitti Nurbaya karena novel yang paling laris dan digemari masyarakat pada masa itu adalah novel Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli.

Secara umum, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka bertemakan masalah-masalah sosial seperti kesetiaan istri kepada suami atau orang tua, kepatuhan pada adat, pentingnya belajar, dan tentang kewajiban menghargai sesama.

2. Angkatan ‘30-an atau Angkatan Pujangga Baru


Istilah Angkatan Pujangga Baru untuk karya-karya yang lahir sekitar tahun ‘30 - ’40-an, diambil dari majalah Pujangga Baroe yang terbit pada tahun 1933. Majalah ini dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, serta Armijn Pane.

Angkatan Pujangga Baru disebut juga Angkatan Tiga Puluhan sebab angkatan ini lahir pada tahun ’30-an. Karya sastra yang lahir pada angkatan ini berbeda dengan karya sastra pada angkatan sebelumnya. Karya-karya pada periode ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak mempersoalkan tradisi sebagai tema sentralnya. Hal semacam itu timbul karena para pengarang sudah memiliki pandangan yang jauh lebih maju dan sudah mengenal budaya-budaya yang lebih modern. Di samping itu, semangat nasionalisme mereka sudah semakin tinggi sehingga isu-isu yang diangkat tidak lagi kental dengan warna kedaerahan.

3. Periode ‘45


Periode ’45 disebut juga Angkatan Chairil Anwar karena perjuangan Chairil Anwar sangat besar dalam melahirkan angkatan ’45 ini. Dia pula yang dianggap sebagal pelopor Angkatan ‘45. Angkatan ‘45 disebut juga Angkatan Kemerdekaan sebab dilahirkan pada tahun Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Karya-karya yang lahir pada masa Angkatan ’45 sangat berbeda dengan karya sastra masa sebelumnya. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa ini antara lain bebas, individualistis, universalitas, dan realistis.

Sikap hidup dan sikap dalam berkarya para pengarang dan sastrawan Angkatan ’45 sangat tegas. Mereka mengumumkan sikap hidup tersebut melalui majalah Siasat dalam rubrik “Gelanggang”. Sikap tersebut mereka beri nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang diumumkan tahun 1950 dalam majalah Siasat.

4. Angkatan ‘66


Nama Angkatan '66 dicetuskan oleh Hans Bague (H.B) Jassin melalui bukunya yang berjudul Angkatan ‘66. Angkatan ini lahir bersamaan dengan kondisi politik Indonesia yang tengah mengalami kekacauan akibat teror dan merajalelanya paham komunis. Pada saat itu, PKI hendak menguasai negara dan berusaha menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir pada periode ini lebih banyak yang berwarna protes terhadap keadaan sosial dan politik pemerintah pada masa itu.

Pengarang yang produktif pada masa ini antara lain Taufiq Ismail, Mansur Samin, dan Goenawan Mohammad. Karya-karya yang terbit di antaranya Pagar Kawat Berduri karya Toha Mochtar, Tirani (kumpulan puisi) karya Taufiq Ismail, Pariksit karya Goenawan Mohammad, dan sebagainya.

5. Angkatan ‘70-an


Sekitar tahun ‘70-an, muncul karya-karya sastra yang lan dari karya sebelumnya. Kebanyakan karya-karya itu tidak menekankan pada makna kata. Para kritikus sastra menggolongkan karya-karya tersebut ke dalam jenis sastra kontemporer (mutakhir). Kemunculan sastra semacam ini dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri. Ciri umum dari puisi Sutardji adalah diabaikannya unsur makna. Puisi Sutardji lebih menekankan permainan bunyi dan bentuk grafis. Kemutakhiran puisi-puisi Sutardji itu terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan pada tahun 1981.

Kemutakhiran puisi-puisi angkatan ‘70-an tampak pula pada puisi-puisi Leon Agusta dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Hukla (1979), Hamid Jabbar dalam Wajah Kita (1981), F. Rahardi dalam Catatan Sang Koruptor (1985), Rahim Qahhar dalam Blong, dan Ibrahim Sattah dalam Dandandik (1975).

Beberapa sastrawan lainnya pada angkatan ini adalah Umar Kayam, Ikranegara, Arifin C. Noer, Akhdiat K. Miharja, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip Soeprobo, H.B. Jassin, dan sebagainya.

Semangat avant-garde (melakukan pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman) dalam karya puisi sangat menonjol pada angkatan ini. Beragam aliran sastra pada masa ini pun berkembang, antara lain munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan sebagainya. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa angkatan ini.

Novel-novel yang terbit pada paruh pertama hingga pertengahan tahun 1970-an menampilkan serentetan gejala lokal yang melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas. Hal ini dapat ditelusuri dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, Khotbah di Atas Bukit (1976), cerpen “Suluk Awang-Uwung” (1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, dan sebagainya.

6. Angkatan ‘80-an


Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern. Novel Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-Burung Manyar (1981), dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, adalah beberapa contoh novel yang berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.

Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980 ditandai pula dengan banyaknya roman percintaan karya sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut, misalnya Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum.

Beberapa sastrawan lainnya yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an antara lain Remy Sylado, Yudhistira Ardinugraha, Noorca Marendra Massardi, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi, dan sebagainya.

Mira W. dan Marga T. adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 yang tokoh utamanya selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an pun pada umumnya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Pada era ’80-an ini, tumbuh juga sastra yang beraliran pop remaja, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar membaca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih “berat”.

7. Angkatan Reformasi


Seiring jatuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, muncullah wacana tentang sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial politik.

Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnva Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1996 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noer juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

8. Angkatan 2000


Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, tetapi tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000. Mereka yang termasuk di dalamnya sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990 - an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.

Angkatan ini ditandai pula oleh karya-karya yang cenderung berani dan vulgar. Hal ini tampak pada karya-karya Ayu Utami dengan novelnya yang berjudul Saman. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung, sebagai lanjutan dari Saman.

Sebagai counter atas maraknya karya-karya yang vulgar dan novel-novel teenlit yang mengadopsi begitu saja moral pergaulan yang serbabebas ala remaja Amerika, pada masa ini bermunculan pula fiksi-fiksi islami. Oleh karena itu, fiksi islami kemudian didefinisikan sebagai karya sastra fiksi yang ditulis dengan pendekatan islami, baik dalam mengeksplorasi tema (persoalan yang diangkat) maupun dalam mengemasnya ke dalam karya. Umumnya, bahasanya santun dan bersih dari citraan-citraan yang erotis dan vulgar.

Menariknya, aktivis gerakan fiksi islami didominasi oleh para penulis perempuan, seperti halnya fiksi sekuler yang juga didominasi oleh penulis perempuan. Dua kelompok mainstream sastra yang berbeda ‘ideologi’ itu seakan saling berebut pembaca dan pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia kontemporer.

Kehadiran sastra Islam sebenarnya tidak spontan. Sejak paruh terakhir dasawarsa 1990-an, khazanah sastra Indonesia sebenarnya sudah diramaikan oleh kehadiran fiksi islami. Fiksi bernapaskan Islam ini menawarkan semacam ‘wacana baru’ sebagai wacana sastra alternatif bagi masyarakat pecinta fiksi Indonesia kontemporer. Tradisi penulisan fiksi islami tersebut kemudian berkembang sangat marak, terutama sejak awal dasawarsa 2000-an. Banyak penulis ternama lahir dari fenomena fiksi Islami itu, seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Fahri Aziza, Pipiet Senja, dan Habiburrahman El Shirazi.

Selengkapnya
Geguritan, Karya Sastra Jawa Yang Kaya Makna

Geguritan, Karya Sastra Jawa Yang Kaya Makna

"Bahasa Jawa tidak bisa begitu saja kita hilangkan tanpa bekas ditelan zaman. Bahasa Jawa harus kita lestarikan bersama agar kelak sastra Jawa dapat terus berkembang dan dikenal di seluruh belahan dunia. Geguritan dapat memperkaya khasanah budaya kita."

Demikian sebuah pesan luhur singkat agar kita semua melestarikan sastra dan budaya Jawa sehingga tidak punah ditelan masa. Sebagaimana telah disebutkan di atas, salah satu yang menjadi perhatian kita adalah apa yang disebut dengan geguritan. Pengertian dari geguritan adalah sebuah karya sastra jawa yang dibuat dengan menggunakan kalimat yang indah dan mempunyai makna. 

Geguritan, Karya Sastra Jawa Yang Kaya Makna

Melansir dari wikipedia, geguritan merupakan bentuk puisi yang berkembang di kalangan penutur bahasa Jawa dan Bali. Geguritan juga merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang bersifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Hal ini disebabkan karena pada zamannya, geguritan dibuat oleh seorang penulis yang tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama. 

Kata geguritan dalam kamus Bali-Indonesia berasal dari kata gurit yang artinya gubah, karang, sadur (Depdiknas Prop. Bali, 1991:254). Dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan bahwa geguritan itu berasal dari kata gurit yang artinya sajak atau syair (Poerwadarminta, 1986:161). Sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan bahwa gurit artinya adalah goresan. 

Geguritan berkembang dari tembang, sehingga dikenal beberapa bentuk geguritan yang berbeda. Dalam bentuk yang awal, geguritan berwujud nyanyian yang memiliki sanjak tertentu. Di Bali, berkembang bentuk geguritan semacam ini. Sementara pengertian geguritan di Jawa telah berkembang menjadi sinonim dengan puisi bebas, yaitu puisi yang tidak mengikatkan diri pada aturan metrum, sajak, serta lagu.

Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentuk geguritan tersebut, seperti pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smaradhana, dandang, ginada dan demung. Oleh karenanya, di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa. 

Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu. Karya sastra yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut pada lingsa, pada dan carik. "Syarat-syarat yang biasa disebut (pada lingsa) yaitu banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris". 

Berdasarkan pandangan di atas, maka pengertian geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan tembang (pupuh) yang sangat merdu. Cara penyampaian Geguritan ini juga biasanya menggunakan bahasa yang mempunyai rima, irama, mitra, bait, serta penyusunan kata yang tepat.

Contoh Geguritan Dengan Tema Hari Kemerdekaan
 
Wutah Getihku
(karya Mahardono Wuryantoro)

Gumelar jembar bumi asri
Sumunar sumringah sunare bagaskara
Padhang sumilak hanelai jagad Nuswantara
Bumi pusaka wus kawentar
Ombak-ombak samodra, kencana kang ngrenggani
Wutah getihku daktresnani

Kawulamu….
Guyub rukun anambut kardi
Jeroning swasana tentrem lan mardika
Gilig ing tekad manunggal
Cumithak jeroning ati, bebarengan ambangun

Aku lila….
Korban jiwa raga kanggo bumiku
Nadyan awak ajur dadi sawur
Lan getihku mblabar mili, netes ing bumi pertiwi
Labet raharjaning nagara

Lumantar iki….
Isining atiku ginurit
Prasetyaku thukul saka ati kang tulus
Njaga langgenging kamardikan
Donga pujiku kebak kaendahan, kanggo wutah getihku


Contoh Geguritan Dengan Tema Hari Pendidikan

Ki Hajar Dewantara
(karya Bisri Nuryadi)

Ing adheme hawa Walanda
Sira panggah netepi setya
Nyawiji ing ngilmu
Ngugemi ing laku
Nyerat ing saben-saben wektu

Nalika ati krasa
krungu swara jerite sedulur
Ing lemah Pertiwi
Sira gumregah greget
Bali ing desa mijilmu
Nuswantara

Suwardi suryaningrat
Kondhang kanthi asma Ki Hajar Dewantara
Putra kraton sugih bandha brana
Milih dadi satriya lelana
Manunggal sajroning rakyat jelata
Gugur dadi pahlawan Negara
Minangka Bapak Pendhidhikan Bangsa


Itulah sekilas tentang geguritan dan contohnya. Di zaman modern seperti sekarang ini, betapa kita sebagai orang Indonesia harus melestarikan dan menjaga budaya Indonesia agar tidak diakui oleh negara lain, dan jangan sampai suatu ketika orang Jawa harus belajar bahasa dan budaya Jawa dari negara lain seperti Suriname dan Belanda.

Selengkapnya
Mengenal Gurindam, Ciri-Ciri, dan Contohnya

Mengenal Gurindam, Ciri-Ciri, dan Contohnya

Meskipun zaman telah berganti seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khazanah masyarakat tempo dulu banyak menyimpan keragaman budaya yang patut dilestarikan dan penting untuk kita pelajari. Masyarakat Melayu memang dikenal memiliki kekayaan budaya adiluhung yang kaya akan makna dan sarat akan ajaran serta pedoman hidup. Salah satu di antaranya yaitu apa yang disebut dengan gurindam. 

Mengenal Gurindam, Ciri-Ciri, dan Contohnya
credit image: kompas.com

Dilihat dari asal usulnya, Gurindam memang bukan kreasi murni masyarakat Nusantara (Melayu). Puisi ini diperkirakan awalnya berasal dari India (Tamil). Bahkan istilah gurindam juga berasal dari bahasa India "Kirindam" yang berarti mula-mula atau perumpamaan. Gurindam termasuk ke dalam puisi lama di samping pantun dan syair. 

Seperti halnya syair, pantun, dan puisi lama lainnya, gurindam terikat oleh berbagai persyaratan, seperti jumlah baris, rima akhir ataupun isinya. Gurindam biasanya terdiri dari dua baris yang berirama. Baris pertama umumnya berupa sebab (hukum, pendirian), sedangkan baris kedua merupakan jawaban atau dugaan.

Walaupun merupakan warisan masyarakat lama, isi gurindam kebanyakan masih relevan dengan kehidupan sekarang. Hal ini dapat kita telusuri dari pesan dan amanat yang terdapat dalam gurindam tersebut. Salah satu Gurindam yang terkenal adalah kumpulan gurindam karangan pujangga Melayu Klasik, Raja Ali Haji, yang berjudul Gurindam Dua Belas. Gurindam tersebut terdiri atas dua belas pasal dan berisi kurang lebih 64 buah gurindam. 

Seperti halnya puisi-puisi lainnya, keindahan gurindam akan tampak apabila ia dibacakan. Untuk itu, bagi anda yang hendak mempelajarinya, perhatikanlah lafal dan intonasinya. Tandailah lebih dulu bagian-bagian gurindam yang dianggap sulit dalam pengucapannya.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah artinya. Sampaikanlah gurindam itu sesuai dengan maksudnya. Akan tetapi, karena pada umumnya gurindam berisikan ajaran, sampaikanlah gurindam-gurindam itu seperti halnya kita sedang menasihati orang lain jadi gunakanlah nada yang halus dan penuh kasih sayang.

Ciri-ciri dan Nilai-nilai Gurindam

Gurindam tergolong ke dalam puisi terikat. Oleh karena itu, bentuk yang satu dengan yang lainnya selalu sama. Kesamaannya itu tampak dalam jumlah baris di setiap baitnya serta rumus rima akhirnya. Ciri lain gurindam ada pada isinya, yaitu berupa ajaran ataupun nasihat. Meskipun kata-katanya singkat, tetapi isinya mengandung ajaran hidup yang begitu dalam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gurindam sarat dengan nilai pendidikan atau nilai keagamaan.

Banyaknya pesan merupakan salah satu ciri dari gurindam. Bahkan, pesan-pesan itu dinyatakan secara tersurat. Pesan-pesan itu misalnya tentang perlunya mengasihi sesama, pentingnya menaati ajaran agama, keutamaan mendidik anak, dan lain-lain. Pesan-pesan itu disampaikan secara halus dengan bahasa yang indah sehingga tidak terasa menggurui.

Contoh Gurindam:

"Barang siapa meninggalkan zakat,
Tiadalah hartanya beroleh berkat
"

Maksudnya bahwa percuma saja memperoleh rezeki yang banyak jika kita tidak berzakat.

"Barang siapa berbuat fitnah,
Ibarat dirinya menentang panah
"

Maksudnya bahwa orang yang suka menyebar fitnah, hidupnya akan menderita. la akan mendapat tuduhan balik dari orang-orang yang difitnahnya itu.

Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji

Fasal 1

Barang siapa tiada memegang agama
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

Barang siapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang makrifat

Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

Barang siapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan tuhan yang bahri

Barang siapa mengenal dunia
Tahulah ia barang yang terperdaya

Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudharat


Fasal 2

Barang siapa mengenal yang tersebut
Tahulah ia makna takut

Barang siapa meninggalkan sembahyang
Seperti rumah tiada bertiang

Barang siapa meninggalkan puasa
Tidaklah mendapat dua termasa

Barang siapa meninggalkan zakat
Tiada hartanya beroleh berkat

Barang siapa meninggalkan haji
Tiadalah ia menyempurnakan janji


Fasal 3

Apabila terpelihara mata
Sedikitlah cita-cita

Apabila terpelihara kuping
Khabar yang jahat tiadalah damping

Apabila terpelihara lidah
Niscaya dapat daripadanya faedah

Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan
Daripada segala berat dan ringan

Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi'il yang tiada senonoh

Anggota tengah hendaklah ingat
Di situlah banyak orang yang hilang semangat

Hendaklah peliharakan kaki
Daripada berjalan yang membawa rugi


Fasal 4

Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jikalau zalim segala anggota pun rubuh

Apabila dengki sudah bertanah
Datang daripadanya beberapa anak panah

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir

Pekerjaan marah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala

Jika sedikit pun berbuat bohong 
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung

Tanda orang yang amat celaka
Aib dirinya tiada ia sangka

Bakhil jangan diberi singgah
Itulah perompak yang amat gagah

Barang siapa yang sudah besar
Janganlah kelakuannya membuat kasar

Barang siapa perkataan kotor
Mulutnya itu umpama ketor

Di mana tahu salah diri
Jika tiada orang lain yang berperi

Pekerjaan takbur jangan direpih
Sebelum mati didapat juga sepih


Fasal 5

Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa

Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan yang sia-sia

Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia

Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiadalah jemu

Jika hendak mengenal orang yang berakal
Di dalam dunia mengambil bekal

Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai


Fasal 6

Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat

Cahari olehmu akan guru
Yang boleh tahukan tiap seteru

Cahari olehmu akan isteri   
Yang boleh menyerahkan diri

Cahari olehmu akan kawan
Pilih segala orang yang setiawan

Cahari olehmu akan abdi
Yang ada baik sedikit budi


Fasal 7

Apabila banyak berkata-kata
Di situlah jalan masuk dusta

Apabila banyak berlebih-lebihan suka
Itulah tanda hampirkan duka

Apabila kita kurang siasat
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat

Apabila anak tidak dilatih
Jika besar bapanya letih

Apabila banyak mencacat orang
Itulah tanda dirinya kurang

Apabila orang yang banyak tidur
Sia-sia sahajalah umur

Apabila mendengar akan khabar
Menerimanya itu hendaklah sabar

Apabila mendengar akan aduan
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan

Apabila perkataan yang lemah lembut
Lekaslah segala orang mengikut

Apabila perkataan yang amat kasar
Lekaslah orang sekalian gusar

Apabila pekerjaan yang amat benar
Tiada boleh orang berbuat honar


Fasal 8

Barang siapa khianat akan dirinya
Apalagi kepada lainnya

Kepada dirinya ia aniaya
Orang itu jangan engkau percaya

Lidah suka membenarkan dirinya
Daripada yang lain dapat kesalahannya

Daripada memuji diri hendaklah sabar
Biar daripada orang datangnya khabar

Orang yang suka menampakkan jasa
Setengah daripada syirik mengaku kuasa

Kejahatan diri sembunyikan 
Kebajikan diri diamkan

Keaiban orang jangan dibuka
Keaiban diri hendaklah sangka


Fasal 9

Tahu pekerjaan tak baik tapi dikerjakan
Bukannya manusia ia itulah syaitan

Kejahatan seorang perempaun tua
Itulah iblis punya penggawa

Kepada segala hamba-hamba raja
Di situlah syaitan tempatnya manja

Kebanyakan orang yang muda-muda  
Di situlah syaitan tempat bergoda

Perkumpulan laki-laki dengan perempuan
Di situlah syaitan punya jamuan

Adapun orang tua yang hemat
Syaitan tak suka membuat sahabat

Jika orang muda kuat berguru
Dengan syaitan jadi berseteru


Fasal 10

Dengan bapa jangan durhaka
Supaya Allah tidak murka

Dengan ibu hendaklah hormat
Supaya badan dapat selamat

Dengan anak janganlah lalai
Supaya boleh naik ke tengah balai

Dengan isteri dan gundik janganlah alpa
Supaya kemaluan jangan menerpa

Dengan kawan hendaklah adil
Supaya tangannya jadi kapil


Fasal 11

Hendaklah berjasa 
Kepada yang sebangsa

Hendaklah jadi kepala
Buang perangai yang cela

Hendak memegang amanat
Buanglah khianat

Hendak marah
Dahulukan hujjah

Hendak dimalui
Jangan memalui

Hendak ramai
Murahkan perangai  


Fasal 12

Raja mufakat dengan menteri
Seperti kebun berpagar duri

Betul hati kepada raja
Tanda jadi sebarang kerja

Hukum adil atas rakyat 
Tanda raja beroleh inayat

Kasihkan orang yang berilmu
Tanda rahmat atas dirimu

Hormat akan orang yang pandai 
Tanda mengenal kasa dan cindai

Ingatkan dirinya mati
Itulah asal berbuat bakti

Akhirat itu terlalu nyata
Kepada hati yang tidak buta


Dikutip dari wikipedia dan situs rajaalihaji.com, Gurindam Dua Belas (Jawi: ڬوريندام دوا بلس) merupakan salah satu puisi Melayu lama hasil karya Raja Ali Haji, seorang sastrawan dan Pahlawan Nasional dari Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau. Gurindam ini ditulis dan diselesaikan Raja Ali Haji saat beliau berusia 38 tahun di Pulau Penyengat pada tanggal 23 Rajab 1264 H atau 1847 M.

Seperti terlihat di atas, karya ini terdiri dari 12 Fasal dan dikategorikan sebagai Syi'r al-Irsyadi atau puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk menuju hidup yang diridhai Allah SWT. Selain itu, terdapat pula pelajaran dasar ilmu Tasawuf tentang mengenal "yang empat", yaitu syari'at, tarekat, hakikat, dan makrifat. Hasil karya Raja Ali Haji tersebut diterbitkan pada tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaasch Genootschap No. II, Batavia, dengan huruf Arab dan diterjemahkan dalam Bahasa Belanda oleh Elisa Netscher.

Selengkapnya
Tradisi Nyadran, Kumpul Keluarga dan Acara Makan Bersama

Tradisi Nyadran, Kumpul Keluarga dan Acara Makan Bersama

Sebelum datangnya bulan suci Ramadhan, ada sebuah tradisi bagi masyarakat Jawa yang disebut Nyadran. Di beberapa daerah, tradisi nyadran ini masih tetap dilestarikan terutama oleh sebagian masyarakat Jawa yang tinggal di wilayah-wilayah pedesaan. Secara bahasa, kata nyadran berasal dari bahasa Sanskerta "sraddha" yang artinya keyakinan. Sedangkan pengertian menurut istilah, nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.

ziarah nyadran
via penarakyat.news.id

Tradisi yang merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam ini biasanya dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya'ban untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Rangkaian acara nyadran sendiri merupakan upacara penghormatan kepada arwah para leluhur sekaligus pemanjatan doa untuk memintakan ampun atas segala dosa dan kesalahan mereka, termasuk juga anggota keluarga yang sudah berpulang. 

Rangkaian kegiatan yang biasa dilakukan saat acara Nyadran adalah sebagai berikut:
  • Melakukan besik makam, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.
  • Menyelenggarakan upacara ziarah kubur dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa bersama. 
  • Acara ditutup dengan makan bersama bagi warga yang ikut hadir saat acara Nyadran. 

Kumpul Keluarga dan Ajang Silaturahim


Di beberapa daerah, nyadran juga menjadi tradisi untuk pulang kampung bagi warga yang merantau ke luar daerah. Tradisi ini seperti mengikat batin mereka untuk kembali ke asal dan berkumpul bersama sanak saudara. Biasanya, rencana acara nyadran akan diinformasikan jauh-jauh hari lewat pesan singkat agar mereka yang sedang pergi merantau di luar kota bisa merencanakan perjalanan mudik mereka untuk bisa mengikuti acara nyadran. 

Pagi saat acara hendak dimulai, biasanya banyak mobil pribadi pelat luar kota yang parkir di depan pintu masuk Tempat Pemakaman Umum untuk mengikuti acara nyadran. Kebanyakan dari mereka datang dengan mengenakan baju muslim, sedangkan kaum pria memakai baju koko, pecis, serta sarung atau celana panjang. Mereka datang mengesampingkan kepentingan rutin, yakni untuk bisa silaturahim dengan sanak saudara serta ziarah makam bersama untuk memanjatkan doa atau tahlil bagi arwah para leluhur mereka. 

Dengan dipimpin oleh seorang Kyai, tahlil dilaksanakan di tengah makam sekaligus untuk mengingatkan seluruh yang hadir bahwa semua makhluk hidup kelak akan mati. Sebab, sebagian manusia ada yang berani hidup tapi takut mati sehingga hidupnya hanya diisi untuk mengejar materi. Ada pula yang takut hidup dan takut mati, sehingga hidupnya malah tidak pernah berbuat apa-apa. Yang memahami dan mengamalkan ilmu agama adalah yang berani hidup dan berani mati, yakni hidupnya untuk beramal mempersiapkan kehidupan di akhirat yang kekal. 

Acara Makan Bersama


makan bersama
via kompas.com

Saat acara Nyadran hendak berlangsung, biasanya setiap keluarga datang membawa buah tangan berupa makanan dengan menu spesifik nyadran seperti nasi, opor ayam atau enthok, sambal goreng kentang, sambal goreng tahu, tumis buncis, kerupuk, peyek kacang, dan mie atau bihun goreng. Sedangkan jamuan makan dan minuman bagi tamu jauh sudah disediakan oleh panitia nyadran. 

Usai doa tahlil untuk memohonkan ampun atas dosa-dosa leluhur yang dimakamkan di pemakaman tersebut selesai dilaksanakan, acara pun ditutup dengan acara makan bersama. Semua makanan dan minuman yang dibawa tadi disantap bersama oleh semua yang hadir di tempat yang telah disediakan. Semuanya membaur menikmati makanan yang dihidangkan menggunakan wadah daun pisang. Rasa kekeluargaan dan kerukunan dalam masyarakat pun tampak sangat erat dalam tradisi Nyadran. 

Selengkapnya
Tari Kipas Pakarena, Tarian Tradisional Asal Gowa

Tari Kipas Pakarena, Tarian Tradisional Asal Gowa

Seperti terlihat dari namanya, tari kipas pakarena adalah tarian tradisional asal Gowa, Sulawesi Selatan yang menggunakan properti kipas dalam penyajiannya. Sedangkan "pakarena" berasal dari kata "karena" yang dalam bahasa Gowa memiliki arti bermain dan "pa" yang berarti pelakunya. Tarian ini merupakan salah satu warisan peninggalan Kerajaan Gowa yang dilestarikan secara turun temurun. Dalam perkembangannya, tarian ini juga kerap ditampilkan dalam berbagai acara adat serta ajang promosi pariwisata dan kebudayaan.

tari kipas pakarena

Sejarah Tari Kipas Pakarena


Tidak ada catatan pasti mengenai sejarah penciptaan tarian ini. Namun yang jelas, tarian peninggalan kerajaan Gowa ini tercipta berdasarkan mitos masyarakat Gowa tentang kisah perpisahan antara penghuni boting langi (khayangan) dan penghuni lino (bumi). Sebelum berpisah, penghuni boting langi mengajarkan kepada penghuni lino tentang bagaimana cara bercocok tanam, beternak, dan berburu. Dari situ, maka terciptalah tari kipas pakarena yang merupakan gambaran dari ungkapan rasa syukur penghuni lino kepada penghuni boting langi.

Tarian ini menjadi kekuatan tradisi budaya dari Kerajaan Gowa dan masyarakatnya yang sudah berabad abad lamanya dilestarikan. Pada zaman kejayaan kerajaan Gowa, tari kipas pakarena menjadi salah satu tarian wajib yang disuguhkan setiap ada upacara-upacara adat di lingkungan kerajaan. Tarian ini juga kaya akan falsafah. Setiap gerakan dalam tari kipas pakarena mengekspresikan tentang kelembutan, kesantunan, kesetiaan, kepatuhan dan hormat masyarakat perempuan Gowa kepada laki-laki. 

Gerakan dan Maknanya


Tarian ini biasanya dibawakan oleh 5 sampai 7 orang penari perempuan dengan mengenakan pakaian adat. Ada sekitar 12 gerakan dalam tarian ini yang masing-masing memiliki makna berbeda-beda. Gerakan dalam tarian ini biasanya didominasi oleh gerakan tangan memainkan kipas lipat dan tangan satunya bergerak dengan lemah lembut. Selain itu, ada juga gerakan badan yang mengikuti gerakan tangan dan gerakan kaki yang melangkah.

Pola gerakan dimulai dengan posisi duduk dan mulai memutar searah jarum jam. Gerakan ini memiliki makna adanya siklus kehidupan manusia yang selalu berputar. Selain gerakan berputar, ada juga gerakan naik turun yang melambangkan bahwa kehidupan manusia kadang berada di atas namun kadang juga berada di bawah. Makna dari gerakan ini mengisyaratkan akan perlunya kesabaran dalam menjalani alur roda kehidupan.

Dalam pementasannya, tarian ini juga memiliki aturan yang unik bagi para penarinya. Salah satunya yaitu penari tidak diperbolehkan untuk membuka mata terlalu lebar, termasuk gerakan kaki tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Oleh karena itu, setiap penari mesti mempersiapkan fisik mereka sebelum memasuki arena pentas. Artinya, fisik para penari harus prima karena mereka harus selalu menunjukkan kelembutan dan kesantunan dalam setiap gerakan tari.

Kostum dan Musik Pengiring


Kostum para penari kipas pakarena biasanya mengenakan busana adat Sulawesi yang sering disebut li'pa sa'be (kain sutera khas Sulawesi). Selain itu, para penari juga mengenakan kain selampang dan kain sarung khas Sulawesi Selatan. Pada bagian kepala, rambut penari biasanya dikonde dan dihiasi dengan tusuk berwarna emas serta aneka bunga-bunga. Para penari juga dilengkapi dengan berbagai macam aksesoris seperti gelang, kalung dan anting. Tidak lupa, para penari juga pastinya membawa kipas yang digunakan untuk menari.

Sedangkan musik pengiring tarian ini biasanya dibawakan oleh tujuh orang laki-laki yang memainkan alat musik tradisional terdiri dari gendrang dan seruling yang dikenal dengan Gondrong Rinci. Salah seorang pengiring memainkan suling sedang lainnya memukul gendrang menggunakan tangan atau bambawa (alat pukul dari tanduk kerbau). Uniknya, para pengiring tidak hanya memukul alat musik saja. Mereka juga ikut menari mengikuti penari meski hanya lewat gerakan kepala untuk menyelaraskan irama. Gerakan cepat para pemusik ini juga menggambarkan sifat laki-laki Gowa yang dikenal tangguh dan tangkas. 

Demikianlah sekitas tentang tari kipas pakarena asal Gowa, Sulawesi Selatan. Selain melestarikan warisan leluhur, tari kipas pakarena kini juga sering ditampilkan sebagai pertunjukan hiburan sekaligus sebagai salah satu daya tarik bagi para wisatawan untuk datang ke wilayah Gowa. (diolah dari berbagai sumber) . 

Selengkapnya