Riwayat Hidup Joko Sangkrip (Arung Binang I)

Riwayat Hidup Joko Sangkrip (Arung Binang I)

Beberapa bulan yang lalu, majlis ta'lim Darussalam Satinem di desa saya kembali mengadakan rangkaian acara ziarah para Wali. Seperti tahun sebelumnya (baca disini), kami kembali berziarah mengunjungi makam - makam para Wali di sekitar wilayah Kebumen, Purworejo hingga Magelang. Pada kesempatan kali ini kami juga menambahkan lokasi baru yaitu makam Arung Binang. 

Makam Arung Binang berlokasi di Dusun Kebejen, Desa Kuwarisan, Kecamatan Kutowinangun, Kabupaten Kebumen. Kami sampai di sana sehabis waktu dhuhur. Di lokasi makam kami disambut oleh juru kunci makam yang juga sempat menjelaskan kepada kami mengenai sejarah tokoh Arung Binang. Sebenarnya makam Arung Binang adalah kompleks makam dinasti keluarga Arung Binang beserta trah keturunannya yaitu dari Arung Binang I hingga Arung Binang ke VIII. Namun disini saya hanya akan menjabarkan sejarah dari Arung Binang I. Siapakah Arung Binang?

Arung Binang I atau yang juga dikenal dengan nama Joko Sangkrip adalah salah seorang tokoh yang berhasil memindahkan keraton Kartosuro ke kota Surakarta. Dia juga berhasil ketika mengemban misi memadamkan pemberontakan yang ada di daerah Banyumas, karena jasa dan kesetiannya kepada Raja, dia akhirnya memperoleh kedudukan yang tinggi di lingkungan Keraton Surakarta. Namun pada masa tuanya ia memilih hidup di Kutowinangun Kebumen sampai saat wafatnya.

Ada beberapa versi mengenai silsilah dari Arung Binang. Versi pertama (PATRAB = Paguyuban Trah Aroeng Binang) mengatakan bahwa Arung Binang adalah putra dari Pangeran Puger yang tidak lain adalah Raja ketiga Kasunanan Kartasura (1704 - 1719) yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I. Pangeran Puger adalah putra Sunan Amangkurat I, raja terakhir Kesultanan Mataram.

Sedang versi kedua (Babad Aroeng Binang) mengatakan bahwa Arung Binang adalah putra dari Demang Kyai Hanggayudha dari Kutowinangun. Kyai Hanggayudha sendiri merupakan keturunan dari Pangeran Bumidirjo, tokoh yang menjadi cikal bakal berdirinya kabupaten Kebumen (baca disini). Silsilahnya yaitu Kyai Hanggayudha putra dari Kyai Ragil, Kyai Ragil putra dari Kyai Bekel, dan Kyai Bekel putra dari Pangeran Bumidirjo, yang merupakan putra Panembahan Sedakrapyak putra sulung Panembahan Senopati, Raja pertama Kesultanan Mataram. 

Jika ditelusuri lebih lanjut, baik dari versi pertama maupun versi kedua sebetulnya bisa dikatakan bahwa Arung Binang kemungkinan besar masih keturunan dari Pangeran Bumidirjo meskipun dari jalur yang berbeda. Dikatakan bahwa Pangeran Bumidirjo memiliki 4 putra, yaitu Kyai Gusti, Kyai Bagus, Nyai Ageng, dan Kyai Bekel. Nyai Ageng berputra Wergonoyo, Demang di Wawar / Mirit. Demang Wergonoyo mempunyai dua anak perempuan, yang pertama menjadi istri Kyai Hanggayudha, sedangkan anak kedua diperistri Pangeran Puger.

Pada masa mudanya, Arung Binang dikenal dengan nama Joko Sangkrip. Ia diasuh oleh Kyai Hanggayudha di Kutowinangun. Joko Sangkrip mempunyai penyakit kulit yang tidak kunjung sembuh, bahkan hingga bernanah dan mengeluarkan bau amis, sampai-sampai saudara dan ayah ibunya tidak mau mendekat dan bahkan mengabaikannya. Ia kadang tidur di bawah pohon pisang, di emperan, kadang di kandang, dan kalau makan selalu di belakang sendirian. Karena tidak tahan dengan penyakit dan perlakuan yang diterimanya, Joko Sangkrip kemudian mengembara mencari kesembuhan. 

Dalam pengembaraannya ia masuk ke dalam hutan. Di sana ia mengalami beberapa peristiwa hingga konon sempat bertapa di dalam perut kerbau sampai akhirnya ia menemukan sendang yang airnya bening. Malam hari ia berendam dalam sendang, sedangkan siang harinya ia berjemur. Dia juga hanya makan dari buah - buahan dan dedaunan untuk mengisi perutnya. Setelah 40 hari, penyakit kulitnya sembuh sama sekali, tak ada satu pun belang yang tersisa.

Pengembaraan ia lanjutkan ke Bojong Sari untuk berguru pada Kyai Ahmad Yusuf yang tersohor tinggi ilmunya. Joko Sangkrip menggunakan nama Surawijaya, agar tidak dikenali. Karena sikap dan tutur katanya yang baik, ia diterima menjadi murid oleh Kyai Ahmad Yusuf. Setelah semua ilmu diturunkannya, sang Kyai meminta Surawijaya untuk pergi mengabdi ke Kutowinangun. Di perjalanan menuju Kutowinangun, ia menyimpang ke dusun Selang untuk berguru kepada Kyai Jahiman, namun ditolak karena sang kyai melihat bahwa Surawijaya atau Joko Sangkrip adalah orang yang sudah "berisi". Surawijaya kemudian tiba di Dusun Prajuritan dan bertapa ngalong di sebuah pohon Benda yang bawahnya gelap dan wingit.

Saat ia bertapa, pemilik pekarangan dimana pohon Benda itu berada, datang pada hari kesembilan dan menurunkan Surawijaya dari pohon serta merawatnya hingga pulih. Pemilik pekarangan yang bernama Nalagati kemudian mendapat petunjuk lewat mimpi bahwa orang yang ada di pohon inilah yang bisa menyembuhkan keluarganya dari penyakit lumpuh. Benar saja penyakit keluarganya bisa disembuhkan oleh Surawijaya. Surawijaya kemudian diminta tinggal dan akan dibuatkan rumah, namun ia menolaknya. Ketika pamit pergi dan hendak dibawakan bekal, ia hanya meminta karag, manis jangan, dan kajeng legi.

Melanjutkan pengembaraannya, Surawijaya sampai di Karangbolong dan masuk ke Gua Menganti untuk menyepi. Samadinya diterima dan ia mendapat pusaka berupa cemeti (Naga Geni). Keluar dari gua, Surawijaya berjalan hingga masuk ke dalam hutan Moros yang dikenal sangat angker, dan berhenti di tengah hutan yang sangat asri, tempat kerajaan para demit. Malamnya muncul wujud tinggi besar hitam bergigi putih bermuka menakutkan. Makhluk itu bernama Kumbang Ali-Ali yang merupakan nujumnya Kanjeng Ratu Kidul. Kumbang Ali-Ali berkata bahwa kelak Surawijaya akan menjadi prajurit berpangkat tinggi yang dekat dengan raja. Kumbang Ali-Ali juga mengajari Surawijaya Aji Pametik. Jika sewaktu -waktu membutuhkan pertolongannya, Surawijaya diminta menancapkan tombak, merapal Aji Pametik, dan Kumbang Ali-Ali akan datang membantu dalam wujud kera besar berbulu putih.

Kembali melanjutkan perjalanan, Surawijaya sampai di Gunung Brecong dan berhenti di sana. Pagi ia berjalan ke timur, siang ia berjalan ke barat mengikuti jalannya matahari. Selama 15 hari melakukan itu ia hanya makan karag, dan dilanjut tapa pendhem di pinggir laut. Yang terlihat hanya leher ke atas. Setelah 20 hari, karena merasa kasihan, Surawijaya dikeluarkan dari dalam pasir oleh Nayadipa dari Dusun Gunaman dan dirawat hingga badannya kuat kembali. Setelah sebulan di sana, Surawijaya melanjutkan perjalan dan sampai ke Bukit Bulupitu, istana Dyah Ayu Dewi Nawangwulan, adik Dewi Nawangningrat ratunya para lelembut Laut Selatan. 

Sampai di tengah bukit, Surawijaya menemukan sendang yang airnya bening, dan bersemedi di dekatnya. Setelah beberapa hari, lelembut penghuni bukit pun geger karena hawa yang panas. Dewi Nawangwulan tahu siapa yang membuat gara-gara. Ia pun datang menemui, dan singkat cerita ia diperistri oleh Surawijaya. Saat sang dewi membuka pintu kajiman, wujud bukit Bulupitu berubah menjadi kerajaan yang sangat besar. Sebelum meninggalkan Bulupitu dan memberi nama Soma Gedhe pada sendang tempat ia bersemedi, Surawijaya diberi pusaka Naraca Bala oleh Dewi Nawangwulan. Sesaat setelah keluar dari pintu, istana Bulupitu lenyap dan berubah menjadi bukit lagi.

Selanjutnya Babad Aroeng Binang menceritakan kembalinya Surawijaya ke Kutowinangun untuk mengembalikan kekuasaan ayahnya yang direbut oleh Prawirawigati, Demang Pakacangan. Setelah itu pengembaraan masih diteruskan dengan harapan bisa masuk ke dalam lingkungan istana Mataram.

Ada dua versi dari kisah ini. Versi pertama ia menuju Mataram dengan harapan bertemu dengan orang tuanya dan diakui sebagai bagian dari keluarga  Istana Mataram. Caranya, dengan mempercepat petugas pembawa upeti yang akan menuju ke Mataram. Usaha ini berhasil melancarkan perjalanan ke Istana Mataram. Namun sebelum diakui sebagai keluarga Istana, Surawijaya diminta memadamkan pemberontakan di Banyumas.

Versi kedua saat Surawijaya berusaha mendapat perhatian dari raja Mataram, atas saran Dewi Nawangwulan, Surawijaya meminta para demang untuk tidak lagi mengirim pajak ke keraton. Permintaan Surawijaya ternyata membuat keraton marah, utusan dari keraton pun datang untuk menangkapnya. Ketika dihadapkan pada patih dalem keraton, pada saat itu utusan dari Banyumas baru saja melaporkan keadaan genting di Banyumas karena diserang pasukan pemberontak yang dipimpin Damarwulan dan Menakkoncar, dibantu Ki Nurmungalam dan Kertabau, serta didukung pasukan dari Tegal dan Brebes.

Lolos dari hukum dipancung, Surawijaya akhirnya diperintah raja untuk menumpas pemberontakan di Banyumas agar kesalahannya diampuni. Pada hari kedua bertempur menghadapi pemberontak, saat mulai terdesak, Surawijaya turun dari kuda, menancapkan tombak (Kyai Regol), dan merapal Aji Pametik. Tiba-tiba prahara besar datang dengan bunyi yang menakutkan. Kera putih besar muncul berdiri di atas tombak dengan suara menggelegar memenuhi seluruh medan pertempuran, membuat pasukan musuh lari tunggang langgang. Damarwulan dan Menakkoncar berhasil dikalahkan Surawijaya dan dipancung kepalanya untuk dibawa ke Surakarta. Atas jasanya, Surawijaya kemudian diwisuda dengan pangkat mantri gladhag dan bergelar Kyai Hanggawangsa.

Saat menjadi mantri gladhag, Kyai Hanggawangsa diambil menantu oleh Patih Dalem. Karena kesetiaannya pada raja dan hatinya yang bersih, Kyai Hanggawangsa sering diminta membantu mengatasi persoalan ruwet terkait urusan kerajaan dan keprajuritan. Melihat jasanya yang begitu besar, Ngarsa Dalem Sang Prabu (Sunan Pakubuwono III) akhirnya mengangkatnya menjadi Bupati Nayaka dengan gelar Raden Tumenggung Aroeng Binang (tahun 1749).

Sumber lainnya tentang Arung Binang adalah Babad Kebumen yang dikeluarkan oleh Patih Yogyakarta. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa RT Aroeng Binang I bersama Pangeran Wijil dan Tumenggung Yosodipuro I berhasil memindahkan Keraton Kartosura yang hancur saat Geger Pecinan ke Surakarta. Tumenggung Aroeng Binang I juga secara diam-diam melakukan misi rahasia untuk membantu membiayai perjuangan Pangeran Mangkubumi dalam apa yang disebut sebagai "Perang Kendang". Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi raja pertama Kasultanan Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.

Adapun mengenai keturunannya, dalam Lembar PATRAB disebutkan bahwa dengan Dewi Nawangwulan di Bulupitu, Aroeng Binang I (1679 - 1762) berputra Raden Bagus Klantung, Raden Bagus Cemeti, dan Raden Ayu Isbandiah. Sedang dengan istri Mas Ajeng Kuning asal Kalegen berputra R. Ayu Pangeran Blitar, R. Hanggadirjo (Kliwon, Kabupaten Sewu Surakarta), dan R. Ayu Kromo Wijoyo (Solo). Dengan istri Mas Ajeng Dewi asal Winong berputra R. Ayu Wonoyudo (Tlogo Mirit), R. Wongso Dirjo (R.T. Aroeng Binang II), dan Mas Ajeng Wongsodiwiryo (Prembun). Sedangkan dengan Mas Ajeng Ragil dari Prajuritan berputra R. Wongsodikromo, penewu Sewu Solo yang dimakamkan di cungkup Makam Aroeng Binang II.

Saat sudah sepuh, Kyai Hanggawangsa (Arung Binang I) tidak mau tinggal di Surakarta. Ia akhirnya kembali ke Kutowinangun hingga sampai wafatnya. Kedudukannya digantikan oleh Raden Tumenggung Arung Binang II. Arung Binang III memerintah di daerah Kutowinangun. Sedangkan Arung Binang IV (tahun 1883) hingga Arung Binang ke VIII secara resmi menjadi Bupati Panjer yang kemudian berubah menjadi Kabupaten Kebumen.

Sumber dari sini dan sini

Labels: Jelajah, Kebumen, Profil Tokoh, Sejarah

Thanks for reading Riwayat Hidup Joko Sangkrip (Arung Binang I). Please share...!

4 comments on Riwayat Hidup Joko Sangkrip (Arung Binang I)

  1. https://chat.whatsapp.com/G118JEfTNoxIXrMdBsmEpK

    BalasHapus
  2. Dimana bisa mendapatkan buku sejarah kota KEBUMEN

    BalasHapus
  3. Boleh gabung mas.buyut saya buyut banantara makamnya Cipari Kuningan Jawa Barat.menurut orang tua .ada trah dari arung binang/Arum binang. orang tua saya bilang nya Arum binang.jadi ada darah trah mataram

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.