Alun-alun, Keberadaan dan Filosofinya

Alun alun Kebumen

Jika kita cermati, hampir tiap kota di setiap sudut pulau jawa memiliki konsep tata ruang yang hampir sama dalam penataan pusat kotanya. Masjid dan balaikota yang menghadap alun-alun adalah salah satu ciri khasnya. Keberadaan alun-alun di tiap pusat kota seolah-olah menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di pulau Jawa. Banyak yang mengatakan bahwa konsep alun-alun pertama kali dicetuskan di kota Demak pada masa kerajaan Demak atas prakarsa dari Sunan Kalijaga. Bahkan lanskap keraton atau balaikota beserta beringin dan masjid Agung yang mengelilingi alun-alun juga konon merupakan rancangan dari Sunan Kalijaga.

Mengutip dari wikipedia, alun-alun (ejaan lama aloen-aloen atau aloon-aloon) adalah lapangan rumput terbuka yang luas dan dikelilingi oleh jalan raya serta dapat digunakan untuk beragam kegiatan masyarakat. Pada umumnya lapangan berbentuk bidang persegi dengan rerumputan yang disusun rapi dan dikelilingi oleh jalan raya di tengah kota. Dalam tata letaknya, biasanya alun-alun dikelilingi oleh beberapa tempat seperti pusat pemerintahan, pasar, masjid agung, 2 pohon beringin di tengah alun-alun, dan sebagian terdapat pendopo agung. 

Sejarah Alun-Alun


Masa Kerajaan Majapahit


Merunut sejarahnya, sebenarnya alun-alun sudah ditemukan semenjak era kerajaan-kerajaan di masa lampau. Sejak zaman kerajaan Majapahit, alun-alun merupakan bagian dari komplek Keraton. Pada masa itu, alun-alun biasa digunakan sebagai tempat upacara keagamaan yang sakral, termasuk upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Selain itu, alun-alun juga digunakan sebagai tempat berlatih perang bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara, penyampaian titah raja kepada rakyat, serta sebagai pusat perdagangan dan pesta hiburan bagi rakyat.

Mpu Prapanca dalam Negarakretagama menyebutkan bahwa di sebelah utara dari komplek Kraton Majapahit terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat, yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun yang disebut Waguntur. Dari keterangan Prapanca ini menggambarkan bahwa keberadaan alun-alun memiliki peran penting sebagai bagian dari pusat kota. Kedua alun-alun di zaman Majapahit ini mempunyai fungsi yang agak berbeda. Lapangan (alun-alun) Bubat lebih bersifat profan, sedangkan fungsi alun-alun Waguntur lebih sakral.

Di alun-alun Bubat, setiap tahun sekali diselenggarakan pesta rakyat pada bulan caitra (Maret/April). Raja juga ikut menghadiri pesta rakyat ini pada 3-4 hari terakhir penyelenggaraan acara ini. Sedangkan lapangan (alun-alun) Waguntur, yang letaknya di dalam pura raja Majapahit, biasa digunakan untuk upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan (alun-alun) Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta komplek pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah timur dari lapangan Waguntur.

Masa Kerajaan Islam


Pada masa kerajaan Islam, fungsi alun-alun tidak jauh berbeda sebagaimana era sebelumnya. Alun-alun pada masa ini juga berfungsi sebagai pusat administratif dan sosial budaya bagi penduduk pribumi. Hanya saja rancangan tata letak dan bangunan di sekelilingnya yang mengalami perubahan, seperti adanya masjid sebagai tempat beribadah umat Islam. Maka tidak menutup kemungkinan benarlah bahwa Sunan Kalijaga memiliki andil besar dalam pengaturan tata letak alun-alun kota dan bangunan di sekelilingnya. Dan rancangan inilah yang kemudian menjadi patokan bagi penataan alun-alun di beberapa kota di Jawa.

Model yang masih bisa kita lihat dari penggambaran alun-alun di masa ini adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta, bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun lor (utara) dan kidul (selatan). Pada masa itu, alun-alun lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja, sedangkan alun-alun kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun kidul juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.

Alun-alun lor Yogyakarta berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300×265 meter. Di tengahnya terdapat dua pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi dengan pasir halus, sedang dua pohon beringin ditengahnya dikelilingi oleh pagar segi empat. Sedang di sebelah barat alun-alun terdapat masjid sebagai tempat beribadah bagi Umat Islam.

Pada zaman Mataram, alun-alun juga bisa digunakan oleh rakyat biasa untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau menyelesaikan suatu perselisihan. Dahulu pada zaman Mataram, setiap hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan) juga diadakan pertunjukan ‘Sodoran’ di alun-alun. selain pertunjukan Sodoran, kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo). Selain itu, ada juga pertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan) secara beramai-ramai yang dinamakan 'rampog macan'. Jadi, selain melambangkan kesakralan, alun-alun pada masa ini telah bertambah luas artinya. 

Masa Kolonial Belanda


Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda ikut memberi warna baru dalam tata kelola alun-alun. Sistem pemerintahan kolonial membagi jawa menjadi 3 Propinsi, 18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh seorang residen, serta 66 Kabupaten yang masing-masing dikuasai secara bersama oleh seorang Asisten Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Di pusat kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk fisik. Wujudnya adalah rumah Bupati dengan pendoponya, dan keberadaan alun-alun di depannya. Alun-alun biasanya ditumbuhi oleh dua atau kadang-kadang satu pohon beringin. Rumah Bupati ini terletak disebelah selatan alun-alun, sementara di sebelah barat terdapat masjid Agung. Sedangkan di sebelah utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati adalah kantor Asisten Residen Belanda.

Pada masa ini, di sekitar alun-alun juga dibangun pasar, stasiun bus, serta daerah pertokoan yang terletak tidak jauh dari alun-alun. Model alun-alun seperti ini kemudian berkembang menjadi semacam identitas kota-kota di Jawa pada masa itu. Sifat sakral alun-alun di zaman kolonial juga berubah menjadi lebih 'merakyat', meski sebenarnya pendirian bangunan-bangunan ini juga dimaksudkan untuk lebih memudahkan kepentingan kolonial Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun dan kewibawaan penguasa setempat (penguasa pribumi). 

Masa Kemerdekaan - Sekarang


Pada masa kemerdekaan hingga sekarang, fungsi simbolis dan kesakralan alun-alun memang mulai luntur. Meskipun begitu, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada zaman modern ini, alun-alun telah mengalami perluasan fungsi. Selain sebagai pusat kegiatan sosial budaya masyarakat, alun-alun juga menjadi tempat untuk kegiatan ekonomi dan politik. Kini banyak pemerintah kota yang merevitalisasi alun-alunnya agar sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman. Namun hendaknya, revitalisasi alun-alun ini tidak sampai merusak fungsi dan hakekat keberadaan alun-alun. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi para pemangku kekuasaan agar lebih peduli terhadap alun-alun sebagai warisan budaya yang mesti dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

Filosofi Alun-Alun


Alun-alun merupakan gambaran suasana yang sangat nglangut, suasana tanpa tepi, suasana hati kita dalam semadi. Dalam melakukan semadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa biasanya penuh dengan godaan-godaan, yang tercermin dari luasnya alun-alun. Alun-alun juga penggambaran luasnya masyarakat dengan berbagai bentuk dan sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk madep kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. (K.P.H. Brotodiningrat, 1978:20)

Alun-alun berasal dari kata alun gelombang. Gelombang yang mengayun-ayunkan hidup manusia di dalam samudra masyarakat. Gelombang ini digerakkan oleh angin (beringin) dari segala penjuru yang tumbuh di sekeliling alun-alun. Angin ini ibarat berbagai aliran yang membawa pengaruh kepada manusia, misalnya ideologi, agama, pengetahuan, kepercayaan dan sebagainya. Sedangkan beringin yang ada di tengah alun-alun yang berjumlah dua buah menggambarkan kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos. (KRT. Puspodiningrat, 1984:2)

Alun-alun merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus. Orang Jawa menyebut pohon beringin dengan Wringin. ''Wri'' berasal dari kata ''wruh'' yang berarti mengetahui, melihat, sedangkan ''Ngin'' berarti memikirkan, tindakan penjagaan masa depan. Kedua kata ini melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana. Dengan demikian pohon beringin melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya, tetapi menjadi tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).


Baca juga: Sejarah Keberadaan Bedug di Indonesia

Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Alun-alun
http://www.wacana.co/2009/03/alun-alun-sebagai-identitas-kota-jawa-dulu-dan-sekarang/
Labels: Mozaik, Sejarah, Seni Budaya

Thanks for reading Alun-alun, Keberadaan dan Filosofinya. Please share...!

0 Komentar untuk "Alun-alun, Keberadaan dan Filosofinya"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.