Peranan Akal dalam Hukum Islam (Ilmu Fiqih)

Peranan Akal dalam Hukum Islam (Ilmu Fiqih)

Ketika kita membicarakan mengenai peran akal dalam kajian hukum Islam yang disebut fiqh, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti dari kata fiqh. Dalam bahasa arab, kata Fiqh ( فقه ) adalah bentuk isim mashdar dari bentuk fi'il madli faqiha yang berarti faham dan mengerti. Kita sebagai manusia dapat memahami dan mengerti segala sesuatu adalah melalui pemikiran dan penggunaan akal. 

Dengan demikian fiqh merupakan ilmu yang membahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat Al Qur'an yang berkenaan dengan hukum, yakni yang disebut dengan ayat-ayat ahkam. Untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat tersebut maka diperlukanlah ijtihad. Ijtihad ( إجتهاد ) secara bahasa berarti usaha keras dalam melaksanakan suatu pekerjaan berat, sedangkan secara istilah, ijtihad berarti usaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan atau menghasilkan ketentuan hukum agama dari sumber-sumbernya. 

Ijtihad sangat penting kedudukannya dalam fiqh. Ijtihad banyak dipakai sesudah zaman Sahabat dan Tabi'in. Bahkan saking banyaknya penggunaan ijtihad, terdapat perbedaan di antara para Ulama dalam ciri penggunaan ijtihad mereka. Karena begitu pentingnya kedudukan ijtihad dalam merumuskan suatu ketentuan hukum, para Ulama menjadikan ijtihad sebagai sumber ketiga dari hukum Islam setelah Al Qur'an dan Sunnah.

Dasar yang mereka kemukakan adalah sebuah argumen kuat dari hadits Nabi berkenaan dengan sahabat Mu'adz bin Jabal. Sebagaimana diketahui bahwa dalam hadits tersebut Nabi pernah bertanya kepada Mu'adz mengenai apa yang akan diperbuatnya di Yaman jika ia mendapati suatu perkara dan ketika hendak memutuskannya ia tidak menemui ketentuan hukumnya dalam Al Qur'an dan Sunnah. Muadz menjawab bahwa ia akan memakai ijtihadnya. Selain hadits tentang Muadz, adapula hadits berkenaan dengan Sahabat Ibnu Mas'ud dimana Nabi pernah berpesan kepadanya "Tentukanlah hukum dengan Al Qur'an dan Sunnah jika ada di dalamnya, dan jika tidak ada maka berijtihadlah dengan pendapatmu." Inilah di antara dasar dari pentingnya kedudukan ijtihad dalam menentukan suatu hukum.

Di samping ijtihad, dijumpai pula dalam fiqh istilah yang disebut al ra'yu ( الرأي ). Al ra'yu biasa diterjemahkan dengan pendapat atau opini. Pendapat atau opini dihasilkan oleh akal melalui pemikiran dan perenungan. Menurut Syaikh Mustafa Abd al-Raziq dari Al Azhar, makna ra'yu ialah bersandar dan bergantung semata kepada pendapat akal dalam penentuan hukum syariat. Ra'yu digunakan dikala tiadanya nash hukum dari teks dalam Al Qur'an dan Sunnah dalam menentukan suatu hukum.

Seperti diketahui dalam sejarah, Imam Abu Hanifah banyak memakai al ra'yu dalam pengambilan ketentuan-ketentuan hukumnya. Hal ini beliau lakukan karena sedikitnya hadits yang sampai dan diketahui di Irak pada masa itu. Hingga timbullah pada masa itu istilah ahl al ra'y yang dipertentangkan dengan ahl al hadits, pemakai akal lawan pemegang hadits, atau dengan kata lain akal dikontraskan dengan wahyu. Ahl al ra'y berpendapat bahwa Nabi sendiri juga pernah memakai al ra'y tanpa wahyu dalam menentukan hukum, begitu pula sahabat ketika tidak menemukan hukum dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Sebagai argumen disebutkan contoh kasus-kasus yang di dalamnya Nabi menentukan hukum tanpa adanya wahyu yang turun seperti baiknya seorang anak menunaikan haji orang tuanya yang karena telah lanjut usia tidak sanggup lagi melaksanakan ibadah itu, baiknya berziarah kubur dan sebagainya.

Di samping al ijtihad dan al ra'y terdapat pula dalam fiqh istilah al qiyas ( القياس ). Qiyas secara bahasa berarti mengukur sesuatu dengan ukuran tertentu, sedang dalam istilah fiqh, Qiyas mengandung arti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan hukum sesuatu yang lain yang ada nash hukumnya atas dasar persamaan illat atau sebab. Untuk menentukan adanya persamaan illat itu maka diperlukanlah pemikiran.

Sebagai contoh, kita mengetahui tentang hukum haramnya khamr, karena nash telah menyebutkan bahwa khamr, yaitu minuman keras yang dibuat dari anggur diharamkan atas dasar illat memabukan, maka minuman keras lain yang dibuat umpamanya dari korma atau juga termasuk narkoba pada zaman sekarang, karena juga memabukan dan merusak akal, atas dasar qiyas atau analogi, hukumnya dalam fiqih adalah haram juga. Haramnya minuman keras lain dari korma tadi misalnya, atau haramnya narkoba yang keduanya tidak ada nash hukumnya, disamakan dengan haramnya khamr yang ada nash hukumnya dalam Al Qur'an. Maka dari hasil analogi ini, hukum keduanya pun menjadi haram.

Selanjutnya terdapat pula istilah al Istihsan ( الإستحسان ). Secara bahasa istihsan berarti memandang atau menganggap lebih baik, sedang dalam istilah fiqih, istihsan berarti ''meninggalkan qiyas jelas untuk mengambil qiyas yang samar atau tidak jelas'' atau bisa juga diartikan "meninggalkan hukum umum untuk mengambil hukum kecuali", karena dipandang lebih baik. Dalam menentukan hukum dengan istihsan ini pastilah diperlukan peran dari akal dalam "memandang lebih baik" suatu hukum.

Sebagai contoh, syariat melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada dan mengadakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun syariat memberikan kemurahan dengan dalil istihsan melalui akad salam (pemesanan). Dalam akad salam, meskipun barang belum ada, tetapi karena ada pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) karena dalil istihsan (dianggap lebih baik), maka akad salam menjadi boleh.

Dari beberapa istilah yang telah disebutkan di atas, jelaslah bahwa sungguhpun sumber utama dari fiqih atau hukum islam adalah Al Qur'an dan sumber kedua adalah Sunnah, pada prakteknya banyak juga dipakai akal dalam menentukan hukum Islam. Hal ini juga ditegaskan dengan kesepakatan Jumhur Ulama bahwasanya dalil-dalil syar'iyyah yang menjadi sumber pengambilan hukum-hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia, kembali kepada empat sumber, yakni Al Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Al Qur'an dan Sunnah adalah sumber hukum yang berdasar pada wahyu, sedangkan Ijma' dan Qiyas adalah sumber hukum yang berdasar pada hasil akal dalam berijtihad. Jadi semakin jelas kiranya bahwa dalam bidang fiqih, akal disamping wahyu memainkan peranan penting dalam perkembangan hukum Islam.



Sumber :
Akal dan Wahyu dalam Islam, Harun Nasution.
Ilmu Ushul Fiqh, Abdul Wahhab Khallaf.

Labels: Kajian Islam

Thanks for reading Peranan Akal dalam Hukum Islam (Ilmu Fiqih). Please share...!

0 Komentar untuk "Peranan Akal dalam Hukum Islam (Ilmu Fiqih)"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.