Seiring berlalunya zaman, semakin banyak pula bermunculan aliran-aliran yang mengatas namakan sebagai agama yang paling benar. Pada masa lampau kita mendengar nama-nama aliran seperti mu'tazilah, syiah, khawarij, murjiah, serta faham-faham seperti jabbariyah dan qadariyah. Sedangkan pada masa kini bahkan lebih banyak lagi aliran yang muncul sampai tidak terhitung jumlahnya. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa : "Sesungguhnya Bani Israil terpecah ke dalam 72 aliran, sedangkan umatku akan terpecah dalam 73 aliran, semuanya di neraka, kecuali satu aliran saja". Para sahabat bertanya : "Siapa mereka itu wahai Rasulullah?". Nabi menjawab, (mereka) adalah "Aliran yang mengikuti jalanku dan para sahabatku".
Dari hadits di atas, sudah jauh hari Nabi memberi tahu kepada kita bahwa akan terjadi perpecahan umat Islam ke dalam beberapa aliran dan kecenderungan yang berbeda-beda. Perpecahan ini juga memunculkan berbagai macam aliran-aliran sesat yang justru semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Tetapi Nabi juga memberitahukan kepada kita bahwa untuk menjaga agamaNya, Allah menetapkan satu aliran lurus yang senantiasa menegakkan aturan-aturan Allah dalam meredam pertentangan dan kekacauan ini. Sebagaimana diterangkan dalam hadits diatas, mereka adalah aliran yang dalam persoalan teologi, hukum dan urusan-urusan lainnya selalu menempuh metode dan langkah Rasul beserta para sahabatnya.
Semangat “ma ana alaihi wa ashabii” (aliran yang mengikuti jalanku dan para sahabatku) sebagaimana hadits di atas dicetuskan kembali setelah masa sesudah Nabi wafat hingga pada periode tertentu oleh ulama besar bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H - 324H), tokoh Mu'tazilah yang kemudian keluar dan mendirikan madzab baru yang kemudian pengikut madzab ini dinamakan Asy’ariyah. Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh lain yang mendukung semangat ini yaitu Abu Mansur Al Maturidi, yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh inilah yang kemudian secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam berwawasan Ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak membingungkan umat Muslim.
Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Dalam bidang tasawuf, Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah yang dikenal pertama kali adalah Imam al Ghazali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy. Sementara itu, Ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunah Wal Jama'ah di antaranya adalah para Ulama yang kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Maliki dan Imam Hambali. Selain mereka, tersebut pula para Imam ahli fiqih, Ulama Hadits, Ulama Tafsir, para zuhud sufiyah, Ulama lughat dan Ulama-ulama lain yang senantiasa berpegang teguh pada aqidah Ahlussunnah Wal jamaah.
Mereka inilah sebagian besar para Ulama dari berbagai bidang keilmuan, pembawa sunnah yang bersatu dalam barisan yang kokoh, yaitu Ahlussunnah Wal jama'ah. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memperlihatkan adanya kesesuaian antara jalan yang mereka tempuh dengan metode langkah Nabi dan para sahabatnya, serta selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabatnya tersebut sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
Dalam pemahaman agama dan mengeluarkan hukum, mereka berpegang erat pada wahyu atau sumber-sumber yang mempunyai kekuatan seperti dalil-dalil ijma', qiyas, mashlahah dan lainnya yang tidak bertentangan dengan nash syara'. Mereka pun senantiasa memelihara diri untuk beraktivitas di bawah naungan syara' serta mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Mereka berpendapat bahwa dalam beberapa teks nash ada yang mengandung makna haqiqi dan ada yang mengandung makna majazi (metaforis), sehingga ada ruang bagi akal untuk memberikan tafsir dalam memahami teks tersebut. Mereka menjauhi sikap ekstrimitas dan lebih mengutamakan sikap moderasi dalam pemikiran dan aktivitas. Dalam pemahaman Al Qur'an dan hadits Nabi, mereka mengikuti apa yang dipahami generasi salafnya, yakni para sahabat, Tabi'in, Ulama Salaf, Ulama madzhab dan mereka yang senantiasa tetap berpegang teguh kepada jalan kebenaran Islam.
Mereka menyikapi perselisihan dan peperangan di antara para sahabat Rasul dengan bijak. Mereka mencintai semua para sahabat Rasul, tidak memisah-misahkan di antara mereka, dan tidak mengabaikan mereka. Mereka tidak menyebut para sahabat, kecuali dengan sesuatu yang baik. Pertikaian politik yang terjadi di antara para sahabat Nabi saw merupakan ijtihad para sahabat, bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala. Semua sahabat Nabi, radhiyallaah 'anhum, yang pernah berada di sisi Nabi dan berjuang menegakkan Islam bersama Nabi adalah mereka yang mendapat petunjuk dan berada dalam kebenaran dan berlaku adil.
Dalam persoalan dosa besar, Ahlussunnah Wal Jama'ah mempunyai konsep yang berbeda dengan kaum khawarij ataupun Mu'tazilah dan kaum lainnya. Ahlussunnah Wal Jama'ah memandang bahwa pelaku dosa besar yang mati dalam keadaan tauhid tidak abadi dalam neraka. Mereka sepenuhnya berada di atas kehendak Allah. Bila berkehendak, Ia akan mengampuninya, bila berkehendak, Ia pun akan mengazab mereka dengan keadilanNya. Setelah itu, mereka keluar dari neraka dengan rahmatNya dan syafaat para Nabi serta orang-orang yang diberi izin olehNya. Mereka kemudian dimasukkan ke dalam surga sebagaimana ditetapkan dalam hadits-hadits sahih.
Aliran Ahlussunnah Wal Jama'ah pun tidak mengkafirkan seseorang yang termasuk ahli kiblat hanya karena melakukan suatu dosa. Mereka pun tidak berpendapat bahwa keimanan tidak akan terpengaruhi oleh perbuatan dosa sebagaimana dikatakan oleh kaum murji'ah, tetapi mereka berharap dapat melakukan kebaikan dan takut melakukan dosa. Mereka berpendapat bahwa perbuatan manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan, namun manusia memiliki kuasa (kasb) atas perbuatannya yang bersamaan dengan kehendak Tuhan.
Kerangka umum aliran Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan bahwa ilmu dan amal lebih bermanfaat daripada pertentangan dan perdebatan. Itulah sebabnya faham Ahlussunnah Wal Jamaah dengan prinsip yang terwujud dalam karakter tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) mampu hidup dan berkembang di wilayah mana saja dan mampu melebur dengan berbagai kebudayaan, serta senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Salah satu ciri warisan intelektual Ahlussunnah Wal Jama'ah yang mesti kita pertahankan sebagai generasi muslim penerus mereka adalah sikap moderat dalam memahami peristiwa-peristiwa sejarah, mengukur sesuatu dengan ukuran Islam, tidak berpandangan sempit dalam menyikapi bid'ah, menjauhi sikap ekstrim dan mudah mengkafirkan orang lain apalagi sesama umat Islam, sebagaimana dilakukan oleh aliran-aliran yang muncul pada masa kini dalam menyikapi segala bentuk perbedaan pendapat.
Kesimpulannya, para pengikut Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah orang-orang yang selalu mendasarkan konsep, ilmu-ilmu, dan perbuatan kepada kitab Allah dan sunnah RasulNya. Dengannya pula dapat dibedakan mana yang benar dan mana yang bathil. Mereka mempelajari, menganalogi, dan memberikan penilaian terhadap keyakinan, filsafat dan madzhab berdasarkan pertimbangan ilmiah. Mereka pun tetap melepaskan akal dari keterikatannya untuk membuka tabir kajian dan ilmu pengetahuan. Akal yang mereka gunakan itu berada di bawah bimbingan kitab Allah yang menjaga akal dari kesalahan, penyimpangan dan hawa nafsu.
Labels:
Kajian Islam
Thanks for reading Siapa mereka Ahlussunnah Wal Jama'ah?. Please share...!
0 Komentar untuk "Siapa mereka Ahlussunnah Wal Jama'ah?"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.