Salah satu sudut keteb desa Candiwulan. |
Bagi warga masyarakat Kebumen, mungkin nama Candiwulan akan lebih dikenal sebagai nama sebuah desa yang berada di dekat pusat kota Kabupaten. Padahal jauh dari pusat kota tersebut, tepat di salah satu sudut kecamatan Adimulyo, salah satu kecamatan di Kabupaten Kebumen, ada juga nama Candiwulan yang lain. Entah apa hubungannya dan mengapa namanya sama. Banyak misteri masa lampau yang bisa digali dari desa ini, meski mirisnya kisahnya justru semakin tenggelam, hilang ditelan zaman.
Saya merasa cukup beruntung, karena ketika simbahku, atau ibu dari ibuku masih hidup, beliau banyak sekali bercerita kepadaku tentang banyak hal, tentang sejarah masa muda beliau, sejarah desa ini, bahkan sejarah bangsa ini ketika masih dalam masa penjajahan. Saya memang sangat dekat dengan simbahku ini, sehingga banyak kisah dalam hidupnya yang beliau bagi kisahnya kepadaku. Memang sangat disayangkan pada saat itu saya tidak sempat dan tidak terpikirkan untuk mencatatnya, sehingga banyak dari kisah itu yang terkikis dari memori ingatanku. Padahal bisa saja kisah itu saya jadikan sebagai dokumen yang bisa saya simpan sebagai kenangan, atau mungkin bisa saya bagi kisahnya dengan orang lain.
Saya takjub dengan simbahku ini, karena dari kisah-kisah yang beliau tuturkan, khususnya yang berkaitan dengan kisah perjuangan bangsa ini, sama persis dengan apa yang pernah saya baca dari buku-buku sejarah, baik sejarah perjuangan bangsa secara umum, ataupun sejarah perjuangan rakyat Kebumen khususnya. Namun pada kesempatan kali ini, secara khusus saya akan mencoba membagi kisah berkaitan dengan sisa-sisa peninggalan yang ada di desa tempat kelahiranku ini. Sebetulnya saya sempat mencatat dan menuliskan kisah ini dalam sebuah buku, dan memang hanya sejarah desa ini sajalah yang pernah saya catat, namun sayangnya dalam perjalanannya buku itu hilang entah dimana keberadaannya.
Candiwulan, itulah nama desaku ini. Ada 3 dukuh atau dusun di desa ini, dan kisah dalam tulisan ini lebih banyak berkaitan dengan salah satunya, yaitu dukuh Srepeng, tempat dimana aku dilahirkan. Entah apa artinya Srepeng ini, tetapi yang jelas, dukuh yang terletak ditengah-tengah desa ini menyimpan banyak misteri dari sejarah masa lalunya.
Sudah menjadi rahasia umum bagi simbah-simbah yang masih tersisa di desa ini, bahwa menurut riwayat, desa ini pertama kali didirikan oleh seorang tokoh yang bernama Sabuk Mimang. Konon pada zaman yang lampau, tersebutlah 3 orang Pangeran dari kerajaan Mataram yang bernama Sabuk Mimang, Sabuk Janur dan Sabuk Inten. Tidak diketahui dari jalur keturunan manakah ketiga pangeran ini.
Ketiganya melarikan diri dari keraton karena adanya perselisihan yang kalau tidak salah karena adanya persekutuan antara Raja Mataram saat itu dengan penjajah Belanda. Karena tidak sepakat dengan kebijakan raja, ketiganya memutuskan berjalan ke arah barat sampai akhirnya mereka tiba di wilayah daerah Kebumen atau Panjer pada masa itu. Ketika sampai di wilayah Panjer, ketiganya memutuskan untuk berpencar mencari jalan masing-masing.
Dari ketiga pangeran tersebut, dua di antaranya yaitu Sabuk Janur dan Sabuk Inten memilih menuju daerah pesisir dan pegunungan dalam pengembaraannya. Sementara Sabuk Mimang memilih menghentikan pengembaraannya di sebuah dataran wilayah yang saat itu masih hutan lebat dan penuh semak belukar. Beliau membuka dan membabat daerah hutan ini dan akhirnya jadilah sebuah perkampungan. Seiring bergantinya waktu semakin ramailah tempat ini. Tidak diketahui apa nama perkampungan ini pada masa itu, tapi wilayah inilah yang kini menjadi desa tanah kelahiranku, desa Candiwulan.
Makam Sabuk Mimang kini berada di areal pekuburan desa ini yang terletak di selatan balai desa. Makam beliau berada di tengah-tengah lahan pekuburan desa dan merupakan satu-satunya makam yang ditempatkan di dalam sebuah rumah gubuk kecil yang tertutup. Bangunan makam ini dirawat oleh orang-orang tertentu dari warga desa yang khusus diserahi tugas ini. Konon pada tahun 80 hingga 90an yang lalu, makam ini masih sering dikunjungi oleh orang-orang yang mengaku datang khusus dari Jogja. Itulah makam Sabuk Mimang, tokoh yang hingga kini masih banyak menyimpan misteri.
Di areal tanah pekuburan ini, tepat di tengah-tengahnya atau dekat dengan makam Sabuk Mimang, dulu juga pernah berdiri menjulang sebuah pohon jati yang berusia ratusan tahun. Pohon ini tidak diketahui asal usulnya, karena simbah-simbah yang diketahui umurnya sudah sangat tua pun tidak tahu sejarah pohon ini. Pohon ini dulu sering dijadikan tempat untuk menaruh sesajen dan tempat untuk mencari benda-benda bertuah seperti batu mustika atau keris. Sebelumnya pohon ini sempat beberapa kali akan ditebang, tetapi selalu batal karena alasan-alasan tertentu yang cenderung mistis, sampai akhirnya pada kisaran antara tahun 2000 sampai 2010, saya lupa tepatnya, pohon yang sangat besar ini akhirnya berhasil ditebang dan kayunya di bawa dengan truk tronton menuju ke bali dan kabarnya selanjutnya dikirim keluar negeri. Konon pada waktu perjalanan ke bali, tidak ada yang berani menyalip truk ini, karena kalau berani menyalip akan celaka. Entah bagaimana kebenarannya, banyak misteri dari pohon ini.
Selain tokoh Sabuk Mimang, tersebut pula tokoh lain pada masa lampau yang bernama Singasandra (ada pula yang menyebut 'Suracandra' ). Menurut simbahku, Singasandra adalah tokoh sakti yang pernah berada di desa ini. Dikisahkan bahwa Singasandra pernah bekerja sebagai ajudan yang bertugas mengurusi kuda kendaraan milik seorang pejabat lurah pada masa itu. Pada suatu ketika, ki lurah hendak bepergian jauh ke suatu daerah. Seperti biasanya Singasandra mempersiapkan kuda kendaraan yang akan dipakai ki lurah. Setelah siap semuanya, berangkatlah ki lurah sembari mengajak Singasandra untuk ikut bersamanya. Namun Singasandra mempersilahkan Sang Lurah untuk berjalan terlebih dahulu sedangkan beliau akan menyusul kemudian.
Setelah menempuh perjalanan lama, akhirnya sampailah ki lurah di tempat tujuannya. Namun ki lurah terkejut karena begitu dia sampai, ternyata Singasandra sudah lebih dulu berada di tempat itu dan seakan-seakan sudah lama menunggu sampainya ki lurah. Padahal jika melihat jarak tempuh dan lamanya perjalanan, ki lurah yang mengendarai kuda harusnya sampai lebih dulu daripada Singasandra yang menyusul dan berjalan kaki. Inilah salah satu keistimewaan yang dimiliki tokoh ini.
Saya takjub dengan simbahku ini, karena dari kisah-kisah yang beliau tuturkan, khususnya yang berkaitan dengan kisah perjuangan bangsa ini, sama persis dengan apa yang pernah saya baca dari buku-buku sejarah, baik sejarah perjuangan bangsa secara umum, ataupun sejarah perjuangan rakyat Kebumen khususnya. Namun pada kesempatan kali ini, secara khusus saya akan mencoba membagi kisah berkaitan dengan sisa-sisa peninggalan yang ada di desa tempat kelahiranku ini. Sebetulnya saya sempat mencatat dan menuliskan kisah ini dalam sebuah buku, dan memang hanya sejarah desa ini sajalah yang pernah saya catat, namun sayangnya dalam perjalanannya buku itu hilang entah dimana keberadaannya.
Candiwulan, itulah nama desaku ini. Ada 3 dukuh atau dusun di desa ini, dan kisah dalam tulisan ini lebih banyak berkaitan dengan salah satunya, yaitu dukuh Srepeng, tempat dimana aku dilahirkan. Entah apa artinya Srepeng ini, tetapi yang jelas, dukuh yang terletak ditengah-tengah desa ini menyimpan banyak misteri dari sejarah masa lalunya.
Sudah menjadi rahasia umum bagi simbah-simbah yang masih tersisa di desa ini, bahwa menurut riwayat, desa ini pertama kali didirikan oleh seorang tokoh yang bernama Sabuk Mimang. Konon pada zaman yang lampau, tersebutlah 3 orang Pangeran dari kerajaan Mataram yang bernama Sabuk Mimang, Sabuk Janur dan Sabuk Inten. Tidak diketahui dari jalur keturunan manakah ketiga pangeran ini.
Ketiganya melarikan diri dari keraton karena adanya perselisihan yang kalau tidak salah karena adanya persekutuan antara Raja Mataram saat itu dengan penjajah Belanda. Karena tidak sepakat dengan kebijakan raja, ketiganya memutuskan berjalan ke arah barat sampai akhirnya mereka tiba di wilayah daerah Kebumen atau Panjer pada masa itu. Ketika sampai di wilayah Panjer, ketiganya memutuskan untuk berpencar mencari jalan masing-masing.
Dari ketiga pangeran tersebut, dua di antaranya yaitu Sabuk Janur dan Sabuk Inten memilih menuju daerah pesisir dan pegunungan dalam pengembaraannya. Sementara Sabuk Mimang memilih menghentikan pengembaraannya di sebuah dataran wilayah yang saat itu masih hutan lebat dan penuh semak belukar. Beliau membuka dan membabat daerah hutan ini dan akhirnya jadilah sebuah perkampungan. Seiring bergantinya waktu semakin ramailah tempat ini. Tidak diketahui apa nama perkampungan ini pada masa itu, tapi wilayah inilah yang kini menjadi desa tanah kelahiranku, desa Candiwulan.
Makam Sabuk Mimang kini berada di areal pekuburan desa ini yang terletak di selatan balai desa. Makam beliau berada di tengah-tengah lahan pekuburan desa dan merupakan satu-satunya makam yang ditempatkan di dalam sebuah rumah gubuk kecil yang tertutup. Bangunan makam ini dirawat oleh orang-orang tertentu dari warga desa yang khusus diserahi tugas ini. Konon pada tahun 80 hingga 90an yang lalu, makam ini masih sering dikunjungi oleh orang-orang yang mengaku datang khusus dari Jogja. Itulah makam Sabuk Mimang, tokoh yang hingga kini masih banyak menyimpan misteri.
Di areal tanah pekuburan ini, tepat di tengah-tengahnya atau dekat dengan makam Sabuk Mimang, dulu juga pernah berdiri menjulang sebuah pohon jati yang berusia ratusan tahun. Pohon ini tidak diketahui asal usulnya, karena simbah-simbah yang diketahui umurnya sudah sangat tua pun tidak tahu sejarah pohon ini. Pohon ini dulu sering dijadikan tempat untuk menaruh sesajen dan tempat untuk mencari benda-benda bertuah seperti batu mustika atau keris. Sebelumnya pohon ini sempat beberapa kali akan ditebang, tetapi selalu batal karena alasan-alasan tertentu yang cenderung mistis, sampai akhirnya pada kisaran antara tahun 2000 sampai 2010, saya lupa tepatnya, pohon yang sangat besar ini akhirnya berhasil ditebang dan kayunya di bawa dengan truk tronton menuju ke bali dan kabarnya selanjutnya dikirim keluar negeri. Konon pada waktu perjalanan ke bali, tidak ada yang berani menyalip truk ini, karena kalau berani menyalip akan celaka. Entah bagaimana kebenarannya, banyak misteri dari pohon ini.
Selain tokoh Sabuk Mimang, tersebut pula tokoh lain pada masa lampau yang bernama Singasandra (ada pula yang menyebut 'Suracandra' ). Menurut simbahku, Singasandra adalah tokoh sakti yang pernah berada di desa ini. Dikisahkan bahwa Singasandra pernah bekerja sebagai ajudan yang bertugas mengurusi kuda kendaraan milik seorang pejabat lurah pada masa itu. Pada suatu ketika, ki lurah hendak bepergian jauh ke suatu daerah. Seperti biasanya Singasandra mempersiapkan kuda kendaraan yang akan dipakai ki lurah. Setelah siap semuanya, berangkatlah ki lurah sembari mengajak Singasandra untuk ikut bersamanya. Namun Singasandra mempersilahkan Sang Lurah untuk berjalan terlebih dahulu sedangkan beliau akan menyusul kemudian.
Setelah menempuh perjalanan lama, akhirnya sampailah ki lurah di tempat tujuannya. Namun ki lurah terkejut karena begitu dia sampai, ternyata Singasandra sudah lebih dulu berada di tempat itu dan seakan-seakan sudah lama menunggu sampainya ki lurah. Padahal jika melihat jarak tempuh dan lamanya perjalanan, ki lurah yang mengendarai kuda harusnya sampai lebih dulu daripada Singasandra yang menyusul dan berjalan kaki. Inilah salah satu keistimewaan yang dimiliki tokoh ini.
Menjelang akhir hidupnya, Singasandra berpesan kepada orang disekitarnya agar ketika jasadnya diletakkan di dalam makam, beliau meminta agar makam tersebut diberi lubang kecil untuk dimasukan benang yang diikat pada salah satu jari tangan beliau. Beliau berpesan bahwa jika ketika benang tersebut ketika ditarik masih terasa berat, maka jasad beliau masih berada di makam tersebut, akan tetapi jika benang tersebut ditarik terasa ringan dan terlepas, maka jasad beliau telah berpindah entah kemana. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya beliau masih hidup dan pergi menghilang entah kemana. Begitulah sampai beberapa waktu akhirnya jasad beliau diyakini telah berpindah tempat, karena ketika benang itu ditarik terasa ringan dan terlepas.
Makam atau petilasan Singasandra ini sekarang berada di lokasi sekitar gardu/ gedung serba guna Rt. 2, atau tepatnya berada di sebuah lahan pekarangan yang berada di dekat rimbunan batang pohon bambu. Letaknya yang berada di dekat jalan pekarangan ini juga biasa dilalui warga berjalan kaki untuk jalan pintas antar rumah. Bangunan makamnya dibiarkan ditempat terbuka dengan tumpukan seperti batu bata yang telah hijau berlumut. Tetapi anehnya dari dulu hingga sekarang tidak ada yang berubah dengan bangunan makam ini, bahkan susunan batu yang tertata pun seakan tidak ada yang bergeser atau rusak dimakan usia.
Dulu ketika saya masih kecil, yang saya dengar dari tempat ini adalah tempat kuburan kuda (pendeman jaran). Tetapi begitu mendengar kisah dari simbahku ini, yang juga diamini oleh warga lain yang mengetahui kisah ini, saya jadi tahu bahwa bangunan tersebut sebenarnya adalah makam atau petilasan seorang tokoh sakti pada masa lampau.
Mungkin cerita mengenai kedua tokoh di atas masih bisa di dengar dari mulut para warga sepuh di desa ini. Tetapi ada beberapa petilasan di desa ini yang telah menjadi misteri tanpa diketahui asal usul misteri keberadaannya. Diantaranya adalah sebuah petilasan yang berada di belakang gedung lumbung padi di tikungan jalan desa dan berada di sebelah utara rumah bapak Kyai Rofi'un. Sepintas tidak ada yang aneh dari gundukan kecil tanah yang dulunya ditumbuhi pohon bambu ini. Tetapi menurut simbahku, di tempat ini dulu sering dijumpai penampakan hal-hal gaib yang sering kali tidak masuk akal. Seperti misalnya ketika ibu saya masih kecil, konon pada malam hari sering muncul penampakan seperti hewan hitam dan tinggi besar di tempat ini. Pada masa itu juga banyak warga yang menduga bahwa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini. Namun seiring berjalannya waktu dan zaman yang semakin modern, tempat itu kini semakin tenggelam dan terlupakan, seiring dengan mengikisnya kisah keangkeran di tempat ini.
Selain itu ada pula yang disebut sawah sabuk. Sawah sabuk atau juga biasa disebut sawah lurah, adalah sebutan areal sawah yang biasa digarap dan diperuntukan untuk lurah atau kepala desa. Konon di areal sawah ini juga sering muncul penampakan-penampakan gaib, seperti adanya ular penunggu tempat itu dan lain-lainya.
Dan terakhir adalah adanya situs seperti makam kuno yang berada dibelakang rumah seorang warga, yaitu pak Budiman. Saya mengetahui kabar keberadaan tempat ini belumlah lama, karena kabar ini pun saya dapat bukan dari simbahku ini, tetapi saya dapat dari simbah yang lain, yaitu paman dari bapakku. Tempat yang ditandai adanya batu seperti batu nisan ini tidak diketahui milik siapa, ada misteri masa lalu yang tersimpan di tempat ini.
Itulah di antara beberapa misteri masa lalu yang ada di desaku. Besar kemungkinan masih ada peninggalan-peninggalan atau sisa-sisa masa lalu yang lain dari desa ini. Semuanya memang masih misteri, tetapi saya merasa bangga telah terlahir di tanah desa ini. Mohon maaf saya tidak menyertakan gambar atau foto, tetapi tempat-tempat yang saya sebutkan di atas bisa ditemui dan dibuktikan keberadaannya. Mungkin jika ada pembaca blog ini yang kebetulan satu desa dengan saya dan mengetahui akan sejarah peninggalan masa lalu di desa ini, bisa menambahkan atau mengoreksi apa yang telah saya bahas di atas.
Semoga dari tulisan saya yang sederhana ini dapat sedikit mengingatkan kembali kepada kita, bahwa sejatinya banyak nilai-nilai luhur dari bangsa kita yang sering kali terabaikan, padahal semestinya kita gali dan pertahankan kelestariannya. Sehingga kisah ini dapat tetap terbaca hingga anak cucu kita kelak.
Saya tertarik dengan sejarah lokal Kebumen yang masih jarang diketahui oleh umum, dan masih penuh misteri, dan ingin mengungkap sejelas jelasnya.
BalasHapusDari sumber sejarah yang pernah saya baca, di Desa Candiwulan era tahun 1448M ada seorang Resi bernama Candra Tirto, dan di Desa Candimulyo ada Resi Dhanu Tirto. Keduanya ditundukan oleh Syekh As-Sayyid Abdul Kahfi Al-Awwal Al-Hasani. Konon peninggalan peninggalan masa lampau di wilayah ini juga dibumikan ke tanah, misal bisa kita lihat sampai sekarang, adanya gundukan di Desa Candimulyo yang sering disebut Situs Pendeman Jaran, oleh masyarakat sekitar diyakini bahwa gundukan itu adalah candi yang terkubur, diera tahun 1448M saat Syekh Abdul Kahfi Awwal datang ke tempat itu. Makam Syekh Abdul Kahfi Awwal pun tak jauh dari 2 desa ini, malah disebelah selatan dari gundukan itu, yang berada di bukit Lemah Lanang.
Kemungkinan besar dahulu di 2 desa itu memang ada sebuah peradaban masa lampau, misal seperti candi. Dan tentang adanya sosok resi tersebut, juga diperkuat dengan riwayat sejarah perjalanan Syekh Abdul Kahfi Awwal ( pendiri Ponpes Al-Kahfi Somalangu ). Dan di Desa Tanahsari, juga ada dukuh bernama Sabuk?, apakah ini ada kaitannya demgan sosok sosok yang bernama demikian? Atau hanya beda cerita.
Di Desa Tanahsari juga banyak makam kuno, konon banyak yang berasal dari Mataram?, misal seperti Mbah Glondong yang dimakamkan di Dukuh Pejulungan, Desa Tanahsari. Dan para Kyai jaman kuno, Raden, dll yang dimakamkan di Tegong, Tanahsari.
Wallahu a'lam. Sekian terimakasih.
Sebagaimana panjenengan, saya juga sangat tertarik untuk mengetahui misteri sejarah-sejarah lokal yang ada di Kebumen khususnya. Tetapi tanpa adanya sumber yang jelas, memang sangat sulit untuk mengungkapnya. Seperti halnya kaitan nama Sabuk yang panjenengan sebutkan, kita juga hanya bisa menduga, bisa jadi ada kaitannya, dan bisa juga bukan.
HapusMungkin karena lokasi wilayah Kebumen yang dekat dengan peradaban-peradaban masa lampau seperti halnya Mataram ataupun yang lain seperti Pasir Luhur di Banyumas, ataupun juga peradaban dari tatar Sunda seperti Pajajaran yang juga tidak menutup kemungkinan pernah bersinggungan dengan wilayah di Kebumen ini, maka bisa dimungkinkan jika sebetulnya masih banyak sekali misteri dari sejarah peradaban di wilayah-wilayah Kebumen ini. Hanya sayangnya memang banyak dari sejarah itu yang mulai luntur dan hilang karena memang tidak ada atau kurangnya data sejarah berbentuk arsip yang menjelaskan tentang itu semua, terlebih yang berkaitan dengan sejarah tokoh-tokoh di suatu wilayah atau sejarah suatu desa. Kebanyakan memang cerita sejarah itu hanya dituturkan dari mulut ke mulut, dari buyut, kakek nenek kepada cucunya dsb. Maka sebagai akibatnya, ketika cerita itu tidak ada yang menuturkan lagi, atau kita sebagai generasi penerus tidak ingin tahu atau tidak peduli untuk bertanya kepada para sesepuh yang masih hidup dan pernah dituturi cerita tsb, maka dengan sendirinya riwayat-riwayat sejarah cerita itu pun akan hilang dengan sendirinya.
Wallahu A'lam, Terima kasih kunjungannya.
Arep takon lur...trus nk sing arane syekh satarudin sii pye crita seharahe lur mbok paham...
BalasHapusAk krungu sejarae sesepuh candiwulan ana 3...syekh sabuk mimang syekh suracandra kro syekh satarudin
Mngenai Syekh Satarudin sbenere aq y nmbe ngerti critane lur, be kur spintas. Konon ktanya Syekh Sabuk Mimang punya dua murid yaitu Syekh Suracandra dan Syekh Satarudin. Nek petilasan Suracandra nang kdul wetan gerdu, petilasane Syekh Satarudin jarene nang skitar mburi rumahe mbah Mutirah di bawah pohon serut kalo gk salah. Wallahu A'lam.
Hapus