Ilmu Laduni dalam konteks Teori Belajar Modern

Ilustrasi mendapat ilmu

Apakah ilmu laduni itu? Apakah di zaman modern ini masih bisa dijumpai keberadaannya?

Istilah ilmu laduni biasa di pahami sebagai ilmu yang paling tinggi, karena perolehannya melalui intuisi, kontemplasi atau ilham. Ilmu laduni juga digambarkan sebagai ilmu yang diberikan oleh Allah kepada seseorang secara tiba-tiba tanpa diketahui bagaimana proses awalnya, sehingga meski tanpa belajar, orang yang menerimanya dapat langsung menguasai ilmu tersebut. Oleh sebab itu ilmu ini bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT. Seseorang yang memiliki ilmu laduni mampu menyelesaikan semua persoalan atau kesulitan dengan tidak melalui proses belajar mengajar sebagaimana dilakukan orang pada umumnya. 

Pada awalnya, penyebutan ilmu laduni sebetulnya telah dimunculkan oleh Allah dalam al Qur'an. Seperti misalnya ilmu laduni yang diajarkan kepada Nabi Khidir yang hidup sezaman dengan Nabi Musa. Dalam potongan Surat Al Kahfi ayat ke 65 Allah menyatakan; ..... "dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami". Ibnu 'Arabi menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu dari sisi Kami (min ladunnaa 'ilmaa) adalah ilmu pengetahuan yang suci dan kebenaran-kebenaran kulliyah yang bersifat laduniyah tanpa melalui perantaraan proses belajar mengajar yang dilakukan manusia. 

Proses belajar secara laduni berada pada posisi mental dan bimbingan Ilahi. Sebab makna "ladun" sama dengan sisi ('inda). Jadi secara makna bahasa, ilmu laduni adalah ilmu pengetahuan yang datang dari sisi Allah yang diberikan kepada manusia. Dari pengertian ini, maka setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan hakikatnya ia memperoleh ilmu laduni, sebab apabila dikaitkan dengan keyakinan bahwa segala sesuatu datang dari Allah, maka semua jenis ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah laduni. Meskipun begitu, pengertian ini oleh sebagian orang ditolak, karena laduni sangat ditentukan dan didasari oleh pengalaman batin yang secara khusus diberikan Allah kepada hambaNya yang dicintai, waliyyullah atau mahbubillah. 

Dari pengertian yang terakhir ini akhirnya melahirkan pemahaman beragam yang secara terminologi sangat dipengaruhi oleh kondisi pengalaman mereka yang memperolehnya. Bahkan mungkin juga situasi dan lingkungan yang mengintervensi kehidupannya. Pemahaman ilmu laduni di tengah masyarakat kita sampai saat ini juga berjalan melalui pemahaman linier atas kesakralan dan eksklusifisme yang tinggi. Mereka memandang bahwa ilmu laduni hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu, kaum darah biru, dan kaum khawas seperti putra-putra kiai yang berlabel Gus. Padahal bila ditelusuri dengan seksama kebanyakan di antara mereka yang diduga mempunyai ilmu laduni juga mengalami proses belajar, hanya saja orang lain di sekitarnya tidak mengerti bagaimana mereka menjalani proses pembelajaran.

Ditinjau dari wacana tasawuf, Imam al Ghazali mengatakan bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh seseorang melalui proses perjalanan cahaya ilham setelah terjadi kesucian jiwa. Beliau mengatakan bahwa orang yang sampai pada martabat ilmu laduni, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tidak butuh banyak usaha (belajar) untuk menghasilkan ilmu.
b. Tidak menemukan kesulitan dalam belajar.
c. Belajar sedikit, hasilnya banyak.
d. Sedikit lelah dan istirahatnya panjang.

Adapun sifat dan watak seseorang yang memiliki ilmu laduni adalah bersifat rendah hati, tidak pernah menonjolkan kekuatan batinnya, jauh dari sifat takabur, dan terhindar dari sifat-sifat tercela seperti marah, dengki, kikir, bakhil, riya', dendam dan lain sebagainya.

Laduni adalah hidayah dari Allah. Apabila itu terjadi pada diri Nabi atau Rasul maka ia disebut mu'jizat. Bila laduni diperoleh orang yang tergolong wali kekasih Allah maka ia merupakan karamah. Sedangkan laduni yang dimiliki orang mukmin karena keimanan dan ketakwaannya, maka yang demikian disebut ma'unah.

Jika dilihat dari konteks psikologi pendidikan, kriteria-kriteria laduni yang melekat pada diri seseorang sebagaimana tersebut di atas sebenarnya merupakan kecepatan merespon sesuatu yang datang dari luar dirinya. Hal ini sangat tergantung pada memori otak yang menyimpan informasi, sebab hubungan antara belajar, memori dan pengetahuan sangat erat dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa eksistensi laduni dalam proses belajar adalah hidayah Allah yang bersifat spiritual yang terjadi bersamaan ketika seseorang melakukan kegiatan belajar secara fisik, sehingga dapat mengantarkan seseorang menuju perubahan kehidupan diri secara baik dan cepat. Ini terjadi karena kebersihan dan kesucian jiwanya.

Kalimat-kalimat dalam al Qur'an sendiri sebetulnya mendukung terhadap perolehan jenis ilmu itu dari belajar. Kata-kata yang menunjukkan proses pembelajaran jelas difirmankan Allah. Kalimat seperti pada ayat "wa 'allamnaahu min ladunnaa 'ilman", ayat "allama bil qalam, 'allamal insaana ma lam ya'lam" atau kalimat "nuun wal qalami wa ma yasthuruun", menunjukkan bahwa ilmu diperoleh melalui ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Artinya secara normatif pendidikan dan pembelajaran selalu terkait dengan perubahan tingkah laku manusia, meskipun secara teologis juga dimungkinkan berlakunya nuansa spiritual yang mengiringi perjalanan perubahan tersebut.

Laduni merupakan tindakan belajar yang abstrak dan cepat terjadi bersamaan dengan tindakan belajar secara fisik. Maka dalam pandangan pendidikan proses pembelajaran itu senantiasa bersinggungan secara signifikan antara keduanya. Laduni yang beralas ilham dipandu dengan tindakan belajar berupa akal pikiran kemudian diwujudkan dengan laku perbuatan secara nyata. Dari sini terjadi interaksi simultan antara proses teologis dan proses normatif yang dialami seseorang, sehingga antara laduni dengan teori belajar berjalan seiring mengantarkan pribadi seseorang menjadi sosok laduni yang sebenarnya.

Pemaknaan laduni memang dekat dengan Tuhan, dan berkait erat dengan hidayah dan karunia Allah. Namun bukan berarti dengan kedekatan itu kemudian tidak menghiraukan proses belajar yang biasa dilakukan manusia. Kisah Khidir dengan Nabi Musa memang diakui secara sufistik merupakan awal kelahiran ilmu laduni dalam ilmu pengetahuan Islam, namun bukan berarti meniadakan atau menghilangkan esensi belajar. Di dalam kisah Khidir dengan Nabi Musa, merupakan sebuah paradigma terhadap kelangsungan proses belajar dan gambaran spesifik adanya ilmu pengetahuan yang diterima seseorang.

Demikianlah, laduni yang biasa diartikan sebagai ilmu tiban ini mungkin akan selalu menjadi fenomena sosial di sekitar kita. Sepanjang sejarah, ilmu laduni akan tetap ada walaupun eksistensinya berputar di atas kesakralan dan kegaiban. Akan tetapi substansi laduni dalam pemahaman modern tidak lain adalah melakukan pembelajaran secara fisik dengan usaha yang sungguh-sungguh, memperhatikan akhlaqul karimah dan kepasrahan yang tulus kepada Allah SWT.

Dengan laku perbuatan tersebut, maka akan terbuka bagi mereka ilmu yang secara langsung diberikan oleh Allah SWT. Ilmu laduni merupakan hidayah yang bisa diperoleh atau dimiliki setiap orang. Hanya saja memang terdapat beberapa tingkatan cara mencapainya, ada yang lambat, sedang-sedang saja, biasa, dan ada pula yang secepat kilat memahami sebuah pelajaran yang sedang berlangsung. Semua itu sangat tergantung pada kesungguhan, keimanan, dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.



Disarikan dari buku Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern, karya A. Busyairi Harits, M.Ag.
Labels: Kajian Islam

Thanks for reading Ilmu Laduni dalam konteks Teori Belajar Modern. Please share...!

0 Komentar untuk "Ilmu Laduni dalam konteks Teori Belajar Modern"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.