Ketika membaca riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, baik itu dari buku-buku sejarah atau dari nukilan hadits-hadits beliau, kita mendapati kesan bahwa seakan-akan Rasulullah SAW hidup sangat miskin dan serba kekurangan. Diceritakan pula bahwa hingga akhir hayatnya, beliau tidak meninggalkan harta warisan apa pun kepada keluarganya. Bahkan ketika itu sebuah perisai perangnya tergadaikan pada seorang Yahudi untuk menafkahi keluarganya.
Memang riwayat tersebut benar adanya. Namun jika dirunut dari sejarah perjuangan hidup beliau, sesungguhnya Rasulullah adalah seorang yang kaya. Sebelum menikah dengan Khadijah, beliau adalah seorang pekerja keras, mulai dari menjadi seorang penggembala sampai menjadi pedagang. Terlebih setelah kemudian beliau menikah dengan Khadijah, tentu saja harta kekayaannya semakin banyak. Tetapi, Rasulullah SAW tidak terjebak oleh harta kekayaannya. Beliau tetap hidup sederhana, sehingga dalam tarikh, yang ditonjolkan adalah suatu kesan bahwa beliau adalah orang yang miskin. Sikap sederhana dan bersahaja ini juga beliau contohkan kepada keluarga dan para sahabatnya.
Sejalan dengan perkembangan perjuangan Islam, maka harta kekayaan Rasulullah SAW seluruhnya digunakan untuk pembiayaan jihad dan kepentingan umat. Dalam ajaran tasawuf, inilah yang disebut zuhud. Zuhud Rasulullah bukan berarti beliau benci harta dan menghindarinya, bentuk zuhud beliau adalah menghindari memperkaya diri dan hidup bermewah-mewahan. Oleh karenanya jika harta kekayaan telah ada di tangannya, harta tersebut beliau gunakan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Padahal seandainya Rasulullah mau, beliau mampu bergaya hidup mewah seperti Abu Sufyan sebelum masuk Islam atau orang-orang kaya Quraisy lainnya. Namun keagungan pribadinya membuatnya memilih menjadi orang yang sederhana.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, suatu ketika sahabat Ibnu Mas'ud datang ke rumah Rasulullah SAW. Ketika itu, Rasulullah SAW sedang berbaring di atas selembar anyaman daun kurma. Pada saat beliau bangun dari tidurnya, tampak membekas guratan daun kurma pada pipi Rasulullah. Ibnu Mas'ud berpikir bahwa Muhammad adalah Nabi Allah, pemimpin umat yang ditauladani, bahkan beliau adalah seorang pembesar.
Menurut pemikiran Ibnu Mas'ud, tidaklah pantas seorang yang mulia tidur seperti itu. Ibnu Mas'ud kemudian berkata, "Wahai Rasul, sebaiknya kucarikan bantal untukmu". Mendengar demikian buru-buru Rasulullah SAW mencegah, "Tiada keinginanku untuk itu, Wahai Ibnu Mas'ud. Aku dan dunia ini, bagaikan seseorang yang sedang bepergian yang sebentar berteduh ketika matahari terik. Bernaung di bawah pohon rindang, kemudian setelah berkurang rasa lelah, akan melanjutkan perjalanan ke arah tujuan. Bukannya terus menerus ingin berteduh."
Sebagai seorang yang mulia, pemimpin umat, disegani oleh penguasa-penguasa negeri lain, Rasulullah tetap sederhana. Kesederhanaan itu tidak hanya diterapkan bagi dirinya sendiri, namun juga bagi keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Beliau seorang pembesar, namun seringkali dapur keluarganya tidak mengepul.
Dalam riwayat lain diterangkan tentang pengakuan Aisyah, istri beliau kepada kemenakannya, Urwah, "Kamu lihat sendiri, seringkali berhari-hari dapurku tidak menyala". Urwah bertanya, "Lalu, apa yang sehari-hari kalian makan?". Aisyah menjawab, "Paling banter makan kurma beberapa butir dan air putih saja. Kecuali jika ada para tetangga Anshar yang berbaik hati mengantarkan makanan kepada Rasulullah, dari mereka kami bisa merasakan seteguk susu". Lalu Rasulullah menimpali, "Kami ini segolongan yang tidak akan makan kecuali jika lapar. Sedangkan jika kami makan, tidak harus sampai kenyang".
Itulah kesederhanaan Rasulullah SAW terhadap harta benda. Kesederhanaan hidup demikian yang menimbulkan kesan bahwa Rasulullah SAW sangat miskin karena benci terhadap harta benda. Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak mengajarkan kepada umatnya untuk menempuh jalan kemiskinan, melainkan mengajarkan kepada umatnya untuk hidup sederhana dan tidak rakus terhadap harta kekayaan. Sebab seandainya Rasulullah mau, maka beliau pun bisa menjadi kaya raya. Bukankah beliau juga adalah seorang pembesar "laksana raja" yang disegani oleh penguasa-penguasa di jazirah Arab hingga sampai daratan Asia?
Disarikan dari Mukasyafatul Qulub karya Syaikh Imam Al- Ghazali.
Padahal seandainya Rasulullah mau, beliau mampu bergaya hidup mewah seperti Abu Sufyan sebelum masuk Islam atau orang-orang kaya Quraisy lainnya. Namun keagungan pribadinya membuatnya memilih menjadi orang yang sederhana.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, suatu ketika sahabat Ibnu Mas'ud datang ke rumah Rasulullah SAW. Ketika itu, Rasulullah SAW sedang berbaring di atas selembar anyaman daun kurma. Pada saat beliau bangun dari tidurnya, tampak membekas guratan daun kurma pada pipi Rasulullah. Ibnu Mas'ud berpikir bahwa Muhammad adalah Nabi Allah, pemimpin umat yang ditauladani, bahkan beliau adalah seorang pembesar.
Menurut pemikiran Ibnu Mas'ud, tidaklah pantas seorang yang mulia tidur seperti itu. Ibnu Mas'ud kemudian berkata, "Wahai Rasul, sebaiknya kucarikan bantal untukmu". Mendengar demikian buru-buru Rasulullah SAW mencegah, "Tiada keinginanku untuk itu, Wahai Ibnu Mas'ud. Aku dan dunia ini, bagaikan seseorang yang sedang bepergian yang sebentar berteduh ketika matahari terik. Bernaung di bawah pohon rindang, kemudian setelah berkurang rasa lelah, akan melanjutkan perjalanan ke arah tujuan. Bukannya terus menerus ingin berteduh."
Sebagai seorang yang mulia, pemimpin umat, disegani oleh penguasa-penguasa negeri lain, Rasulullah tetap sederhana. Kesederhanaan itu tidak hanya diterapkan bagi dirinya sendiri, namun juga bagi keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Beliau seorang pembesar, namun seringkali dapur keluarganya tidak mengepul.
Dalam riwayat lain diterangkan tentang pengakuan Aisyah, istri beliau kepada kemenakannya, Urwah, "Kamu lihat sendiri, seringkali berhari-hari dapurku tidak menyala". Urwah bertanya, "Lalu, apa yang sehari-hari kalian makan?". Aisyah menjawab, "Paling banter makan kurma beberapa butir dan air putih saja. Kecuali jika ada para tetangga Anshar yang berbaik hati mengantarkan makanan kepada Rasulullah, dari mereka kami bisa merasakan seteguk susu". Lalu Rasulullah menimpali, "Kami ini segolongan yang tidak akan makan kecuali jika lapar. Sedangkan jika kami makan, tidak harus sampai kenyang".
Itulah kesederhanaan Rasulullah SAW terhadap harta benda. Kesederhanaan hidup demikian yang menimbulkan kesan bahwa Rasulullah SAW sangat miskin karena benci terhadap harta benda. Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak mengajarkan kepada umatnya untuk menempuh jalan kemiskinan, melainkan mengajarkan kepada umatnya untuk hidup sederhana dan tidak rakus terhadap harta kekayaan. Sebab seandainya Rasulullah mau, maka beliau pun bisa menjadi kaya raya. Bukankah beliau juga adalah seorang pembesar "laksana raja" yang disegani oleh penguasa-penguasa di jazirah Arab hingga sampai daratan Asia?
Disarikan dari Mukasyafatul Qulub karya Syaikh Imam Al- Ghazali.
Labels:
Kisah Hikmah
Thanks for reading Kesederhanaan Rasulullah SAW. Please share...!
0 Komentar untuk "Kesederhanaan Rasulullah SAW"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.