"Ora Ngapak Ora Kepenak", mungkin di antara anda sekalian sering kali melihat kalimat tersebut tertulis di kaos yang dipakai oleh orang-orang yang berasal dari kawasan wilayah Banyumas, Kebumen, Cilacap dan sekitarnya. Bahasa Ngapak atau bahasa jawa logat Banyumasan adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh sebagian masyarakat jawa tengah, khususnya yang berada di daerah sekitar gunung Slamet seperti Cilacap, Tegal, Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Banjarnegara, sebagian Pekalongan, Pemalang, dan sebagian Wonosobo.
Ciri khas dialek ini dapat dilihat dari pengucapan akhiran kata “a” yang tetap dibaca “a” bukan “o” , seperti kata Sapa (Ind: Siapa) yang tetap dibaca Sapa, berbeda dengan masyarakat jawa lain yang pengucapannya menjadi Sopo (dengan "o"). Ciri khas lain yaitu penyebutan akhiran kata “k” yang dilafalkan “k’’ secara mantap. Aja kaya kuwe, enyong, maning, kepriwe, kencot, dll adalah sebagian dari kosakata unik dialek ngapak yang cukup familier di telinga. Bahasanya yang tegas, blak-blakan dan apa adanya memang menjadi keunikan dari dialek ngapak ini.
Aksen ngapak hadir sebagai wujud kekayaan bahasa Jawa dan juga Indonesia. Menurut Uhlenbeck, dialek bahasa Jawa dari wilayah Yogyakarta dan Solo dibagi menjadi 4 dialek dan 13 subdialek. Dialek-dialek tersebut adalah dialek Banyumas, dialek Pesisir, dialek Surakarta, dan dialek Jawa Timur. Adapun sub-subdialeknya yaitu subdialek Purwokerto, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal, Semarang, Rembang, Surakarta (Solo), Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Banyuwangi, dan Cirebon. Sementara itu, dalam dokumen Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 berjudul ‘Peta Bahasa di Jawa Tengah’, bahasa Jawa di Jawa Tengah menjadi lima dialek, yaitu dialek Banyumas, dialek Semarang, dialek Pekalongan, dialek Wonosobo, dan dialek Tegal mencakup Kabupaten Tegal dan Brebes. Sementara aksen Ngapak didapati di dialek Banyumas, Wonosobo, dan Tegal.
Asal Usul Bahasa Ngapak
Asal usul dialek ngapak berawal dari nenek moyang orang Banyumas yang berasal dari Kutai, kalimantan Timur pada masa Pra-Hindu. Menurut catatan seorang Orientalis Ahli Islam dan Ahli Sejarah Van Der Muelen, pada abad ke 3 sebelum masehi, pendatang dari Kutai mendarat ke tanah jawa tepatnya di Cirebon. Mereka kemudian sebagian mendiami lereng gunung Ciremai, sedangkan sebagian lainnya menetap di sekitar Gunung Slamet. Pendatang yang mendiami daerah sekitar gunung Ciremai berkembang menjadi peradaban Sunda, sedangkan yang berada di sekitar gunung Slamet mendirikan kerajaan Galuh Purba. Kerajaan Galuh purba inilah yang menjadi cikal bakal kerajaan kerajaan lain di tanah jawa.
Menurut sejarah, Kerajaan Galuh adalah wilayah merdeka. Oleh sebab itu, wilayah Galuh saat itu disebut sebagai mancanegara oleh orang-orang Mataram. Kemungkinan karena inilah dialek Ngapak bebas dari pengaruh dialek “Mbandhek” / Jawa Wetanan. Kerajaan Galuh Purba mempunyai wilayah kekuasaan yang cukup luas mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kedu, Kebumen, Kulonprogo, dan Purwodadi (Purworejo).
Berdasarkan prasasti Bogor, kerajaan Galuh Purba mengalami kemunduran sehingga ibukota kerajaan dipindahkan ke daerah Kawali (dekat Garut) dan berganti nama menjadi Galuh Kawali. Kerajaan Galuh kawali berada di bawah kerajaan Tarumanegara yang dipimpin oleh Purnawarman. Ketika Tarumanegara dipimpin oleh Candrawarman, Kerajaan Galuh Kawali mendapatkan kekuasaannya kembali. Pada masa Tarumanegara diperintah oleh Raja Tarusbawa, Wretikandayun (raja Galuh Kawali) memisahkan diri dari Tarumanegara dan mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga, kemudian menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh inilah yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran di Jawa barat.
Meskipun saat itu ada dua kerajaan besar, dengan Galuh di jawa barat dan kalingga di Jawa Tengah, namun keduanya memiliki hubungan yang terjalin dengan baik dengan adanya perkawinan antar kerajaan. Dari perkawinan antar keduanya inilah kemudian muncul Dinasti Sanjaya. Dari dinasti Sanjaya inilah kemudian mempunyai keturunan raja-raja di tanah Jawa sebagai keturunan Galuh Purba.
Berdasarkan kajian bahasa yang dilakukan oleh E. M Uhlenbeck, 1964, dalam bukunya: “A Critical Survey of Studies on the Language of Java and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff, bahasa yang digunakan oleh “keturunan Galuh Purba” masuk ke dalam Rumpun Basa Jawa Bagian Kulon yang meliputi Sub Dialek Banten Lor, Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumasan, dan Sub Dialek Bumiayu. Bahasa yang mereka gunakan inilah yang saat ini kita kenal dengan bahasa ngapak atau dialek ngapak.
Keunikan Bahasa Ngapak
Bagi masayarakat Jawa atau Nusantara pada umumnya, seringkali bahasa Ngapak ini dianggap unik, lucu, aneh dan sebagainya. Padahal sejatinya dialek Ngapak merupakan identitas kebudayaan suatu daerah yang bebas dari budaya feodalisme dan budaya asli yang bebas dari pengaruh rekayasa politik (Kerajaan). Sebagaimana diketahui bahwa dalam budaya Jawa, bahasa dan perilaku mempunyai kaitan yang erat. Jawa Tengah yang saat itu dikuasai Kesultanan Mataram Islam memiliki kebiasaan untuk penerapan pendisiplinan perilaku dan bahasa yang dimiliki oleh rakyatnya. Oleh karenanya, dalam bahasa Jawa dikenal istilah Ngoko, Kromo dan Kromo Inggil, yaitu penuturan bahasa yang berjenjang bergantung lawan bicara.
Namun tampaknya bahasa ngapak mampu bebas dari bayang-bayang dialek Keraton. Menurut buku Banyumas: Sejarah Budaya dan Watak yang ditulis Budiono Herusatoto, lokasi daerah berbahasa ngapak yang jauh dari pusat kekuasaan membuat budaya yang ada di masyarakat tersebut masih jarang yang terpengaruhi oleh budaya ningrat. Masyarakat penutur ngapak disebut sebagai ‘adoh ratu cedhak watu’ (jauh dari raja dan dekat dengan batu), yang artinya mereka jauh dengan rajanya baik secara geografis maupun interaksi kebudayaan. Hal inilah yang membuat kultur bahasa yang dibentuk oleh kerajaan tidak banyak masuk ke wilayah Banyumas dan beberapa wilayah penutur logat Ngapak lainnya.
Ngapak adalah Bahasa Jawa Ngoko Jawadhwipa, sebuah aliran Jawa murni yang berada di strata enam tingkat di bawah Bagongan yang dituturkan kalangan bangsawan. Perbedaan antara logat Ngapak dengan logat Keraton terletak pada vokal dan intonasi. Mereka memiliki pengucapan huruf vokal dan huruf konsonan seperti h, d, g, b, c, k, l, w, dengan penekanan, atau dalam bahasa linguistik adalah fonem vokal dan fonem konsonan. Aksen ini membuat bahasa Ngapak terkesan kasar dan tidak menaruh rasa hormat, lain halnya dengan bahasa Jawa Yogyakarta yang terkesan halus dengan unggah-ungguh yang telah diatur.
Meski begitu, justru bahasa ngapaklah yang konon disebut sebagai bahasa Jawa yang masih murni. Ngapak masuk ke dalam Jawadwipa, atau ngoko lugu. Dalam kesusastraan Jawa, bahasa Banyumasan (Ngapak) dianggap sebagai bahasa Jawa murni. Lebih jauh lagi, dialek Ngapak ini juga diindikasikan sebagai bahasa Jawa yang masih terdapat unsur Bahasa Sansekerta. “Bhineka Tunggal Ika” merupakan salah satu contoh bahasa Sansekerta dengan akhiran tetap dibaca “a” sebagaimana dialek Ngapak.
Dialek ngapak menunjukan budaya masyarakat penuturnya yang egaliter dan mengedepankan kesetaraan, sehingga menjadikan mereka memiliki kekuatan solidaritas dan menjunjung tinggi nilai kerukunan. Sikap inilah yang menjadikan masyarakat ngapak jauh dari sifat feodalisme yang memandang seseorang dari kedudukan, pangkat, dan harta dalam kehidupan sosial. Hal ini dapat juga dilihat dari karakter khas orang Banyumas dan sekitarnya yang cenderung blak-blakan (blakasuta). Mereka menganggap golongan priyayi atau ningrat sama saja dengan orang biasa. Mereka bersifat universal dan selalu mengedepankan sikap kesetaraan. Mungkin letak geografis daerah para penutur Ngapak yang berada di antara Sunda dan Mataram inilah yang menjadikan bahasa ngapak menjadi bahasa yang netral, sehingga berpengaruh ke dalam kehidupan berbudaya masyarakatnya.
Karakter masyarakat dengan dialek Ngapak yang egaliter juga merupakan sisi positif sehingga jarang kita temui mereka merendahkan/mengolok-olok bahasa atau dialek orang lain. Justru yang terjadi sebaliknya, sebagian orang Jawa ada yang menganggap dialek bahasa Jawa Ngapak sebagai bahasa yang lucu dan rendahan. Ada juga pandangan stereotip yang menganggap bahwa sebagian besar generasi muda masyarakat Ngapak merasa inferior (rendah diri) ketika menggunakan bahasa asli mereka. Hal ini bisa dilihat dari bahasa yang digunakan oleh mereka saat berinteraksi dengan orang Jawa Wetan. Kalau tidak menyesuaikan diri dengan membandhekan ke-ngapakannya, maka dipastikan mereka akan menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi dengan orang yang berbahasa Jawa Wetan.
Padahal jika dicermati, inilah salah satu keunggulan Orang Ngapak dibanding orang jawa lainnya. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan bahasa yang digunakannya ketika berhadapan dengan masyarakat yang berbeda-beda. Sebagai orang jawa, mereka bisa mengikuti untuk menggunakan logat bandhek seperti orang wetan, meski tidak jarang tetap kelihatan aksen ngapaknya. Namun inilah bentuk adaptasi orang-orang Ngapak dengan orang dialek lain. Kelebihan lain orang ngapak yaitu mereka juga bisa menggunakan bahasa Jawa Ngoko, Kromo, dan Kromo Inggil, sebagai bahasa unggah-ungguh sebagaimana umumnya masyarakat jawa.
Hanya saja memang menjadi hal yang sangat disayangkan jika sesama orang Ngapak berdialog dengan tidak menggunakan dialek Ngapaknya. Oleh sebab itu, jika anda berlogat ngapak, banggalah dengan kengapakan anda. Lestarikan dialek Ngapak paling tidak saat ngobrol dengan sesama orang ngapak, di mana pun anda berada. Jangan pernah merasa minder dengan logat ngapak anda, karena itu adalah identitas unik anda. Selain itu, kepada sebagian orang yang menganggap dialek Ngapak sebagai bahasa lucu atau rendahan, pahamilah bahwa bahasa ngapak bukan sekedar bahan lawakan atau guyonan. Membuat anda terhibur, bolehlah, bisa jadi pahala pula, bahkan bisa jadi penghasilan juga seperti kreasi konten-konten youtube warga ngapak yang semakin populer di masyarakat kita. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai anda memandang rendah orang yang berlogat ngapak. Marilah kita saling menghargai keragaman budaya di negeri Nusantara ini. Ora Ngapak Ora Kepenak.
Sumber:
kaskus.co.id
kumparan.com
newswantara.com
Wahhh bisa komentar
BalasHapus