Ada dua tingkatan bagi seorang hamba yang beriman apabila dia tertimpa sesuatu yang tidak dia inginkan, yaitu tingkatan ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kewajiban mutlak yang perlu dilakukan oleh seorang Mukmin.
Orang yang ridha, ketika ditimpa musibah, dia akan mencari hikmah Allah yang terkandung di balik ujian itu. Sebenarnya Allah telah memilihnya sebagai orang yang tiba gilirannya menerima ujian itu, dan Dia sekali-kali tidak mengharapkan keburukan dari ketentuan cobaan bagi makhlukNya. Di lain pihak, orang yang ridha, justru terlecut semangatnya untuk semakin bertaqarrub, menenggelamkan diri dalam bermusyahadah denganNya, sehingga tiada terasa sakitnya musibah itu.
Orang yang sudah mencapai tingkatan ini adalah mereka yang sudah memiliki ma'rifat dan mahabbatullah yang tinggi. Mereka pun merasakan nikmatnya musibah tersebut, karena melihatnya sebagai sesuatu yang berasal dari Sang Kekasih yang amat mereka cintai.
Perbedaan antara ridha dan sabar, bahwa sabar adalah menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian - sekalipun menyakitkan - dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Di samping hal itu, juga mengekangnya dari sikap perilaku keseharian yang mengarah pada rasa pesimistis terhadap takdir Allah tersebut. Sedangkan ridha ialah, kelapangan jiwa dalam menerima takdir Allah, dengan tidak mengharapkan hilangnya musibah itu - meskipun ada ganjalan di hati - tetapi justru menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab, di dalam hatinya telah tertanam keyakinan dan ma'rifat terhadap Sang Kekasih. Dan apabila ridha ini sudah berurat berakar dalam sanubari, maka dapat menghilangkan semua rasa sakit itu. Dari Anas bin Malik RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إن الله إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فعليه السخط
"Sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya. Barangsiapa ridha terhadap ujianNya, maka dia memperoleh ridhaNya dan barangsiapa tidak suka, maka mendapat murkaNya". (HR. Tirmidzi)
Ibnu Mas'ud RA berkata, "Sesungguhnya Allah, dengan keadilan pengetahuanNya, menjadikan kebahagiaan dan suka cita di dalam sikap yang yakin dan ridha, dan menjadikan duka dan nestapa di dalam sikap ragu-ragu dan benci terhadap ketentuanNya".
Alqamah ketika menafsirkan firman Allah SWT:
مَاۤ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
"Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. At-Tagabun, 11)
Ayat tersebut berkaitan dengan musibah yang menimpa seseorang. Bila ia yakin bahwa semua musibah datangnya dari Allah SWT, maka seyogyanya pasrah dan ridha atas terjadinya musibah itu.
Muawiyah al Aswar saat menafsirkan firmanNya:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ بَاقٍ ۗ وَلَـنَجْزِيَنَّ الَّذِيْنَ صَبَرُوْۤا اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
مَنْ عَمِلَ صَالِحًـا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَـنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةً ۚ وَلَـنَجْزِيَـنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
"Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".
"Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan". (QS. An-Nahl, 96 - 97)
Bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut ialah ridha dan menerima segala sesuatu yang telah menjadi suratan hidup dari Allah SWT (Qanaah).
Suatu hari, Ali bin Abi Thalib RA melihat Ady bin Hatim RA bermuram durja, maka Ali bertanya, "Mengapa engkau tampak bersedih hati?". Ady menjawab, "Bagaimana aku tidak sedih, sedangkan dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran". Maka Ali berkata, "Wahai Ady, barangsiapa ridha terhadap taqdir Allah, maka takdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barangsiapa tidak ridha terhadap taqdirNya, maka hal itu pun tetap berlaku atasnya, dan terhapuslah amalnya".
Suatu kali Abu Darda RA melayat pada sebuah kelurga yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Namun keluarga yang ditinggalkan tetap tabah dan memuji Allah SWT. Maka Abu Darda berkata kepada mereka, "Engkau memang benar, sesungguhnya Allah apabila memutuskan suatu perkara, maka Dia senang jika takdirNya itu diterima dengan rela".
Hasan al Bashri pernah berkata, "Barangsiapa ridha terhadap apa yang sudah menjadi suratan hidupnya, maka jiwanya akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah pun akan memberkahinya. Tetapi, barangsiapa tidak ridha, maka pandangannya menjadi sempit dan Allah juga tidak memberkahinya".
Umar bin Abdul Aziz berkata, "Tidak ada kebahagiaan yang tersisa bagiku, kecuali di dalam takdir Allah". Pernah pula ditanyakan kepada beliau, "Apakah yang anda inginkan dari kehidupan di dunia ini?". Dijawab oleh beliau, "Apa yang telah digariskan oleh Allah SWT untukku".
Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Ridha adalah pintu Allah Yang Maha Agung, dan surga dunia serta tempat bersemayamnya ahli-ahli ibadah". Sebagian Ulama Salaf berpendapat, "Tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah SWT di dalam kondisi apapun. Karenanya, barangsiapa mendapatkan anugerah berupa ridha, maka sesungguhnya dia telah sampai pada derajat yang paling utama".
Labels:
Refleksi
Thanks for reading Ridha Terhadap Takdir Allah. Please share...!
0 Komentar untuk "Ridha Terhadap Takdir Allah"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.