Setiap amal perbuatan yang bertujuan pada kebaikan, hendaknya selalu dilandasi rasa ikhlas karena Allah (lillaahi Ta'ala). Menolong orang lain, menuntut ilmu, bersedekah kepada yang membutuhkan, berjihad di jalan Allah dan sebagainya haruslah kita niatkan lillaahi ta'ala (kerono Gusti Allah Ta'ala). Kita seringkali mudah mengucapkannya, namun apakah hal itu benar-benar terpatri dalam hati sanubari kita? Ataukah hanya manis di bibir memutar kata agar kita terlihat alim di mata orang lain sehingga berharap pujian dari mereka?. Jika kita masih tergolong yang demikian, marilah kita pelajari kembali ilmu ikhlas ini.
Ikhlas dalam pengertian karena Allah (Lillaahi Ta'ala) adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, terbebas dari berbagai tendensi pribadi. Ada pula yang berpendapat bahwa ikhlas adalah merefleksikan setiap tujuan semata hanya kepada Allah SWT. Ajaran Islam menyatakan bahwa Ikhlas merupakan syarat diterimanya suatu amal shaleh yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam kalamNya Allah berfirman:
"Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.." (QS. Al Bayyinah, 5)
Diriwayatkan dari Umamah RA. Ia mengatakan bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW dan bertanya, "Apakah pendapat Tuan tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri, dan kelak apa yang akan dia dapatkan?". Rasulullah menjawab, "Dia tidak mendapatkan apa-apa!". Orang itu mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali, tetapi Rasulullah tetap menjawabnya, "Dia tidak menerima apa-apa!". Kemudian beliau menambahkan:
"Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan hanya mengharap ridhaNya" (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)
Abu Sa'id al Khudry pernah meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang menunaikan haji wada', beliau bersabda, "Semoga Allah menjadikan baik orang yang mendengar ucapanku lalu memahaminya, sebab banyak orang yang menyampaikan ilmu (memahami agama), tetapi dia bukan seorang yang faqih (memahami esensinya). Tiga perkara yang menjadikan hati seorang Mukmin tidak akan menjadi pengkhianat yaitu: Ikhlas beramal karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada para pemimpin kaum Muslimin dan senantiasa komitmen terhadap jamaah" (HR. Al Bazzar dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya).
Dengan berpegang teguh pada tiga perkara ini, maka terwujudlah hati yang lebih sejuk dan shaleh. Barangsiapa menjadikan hal itu sebagai perilakunya, maka sucilah hati dan jiwanya serta jauh dari sifat khianat, dengki, juga zalim. Seseorang tidak akan terlepas dari setan, kecuali dengan berlaku ikhlas dalam segala hal. Iblis sendiri telah mengatakan -semoga laknat Allah atasnya- sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur'an:
"Iblis berkata, "Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka" (QS. Shad, 82-83)
Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung dan condong padanya, maka kemurnian amal itu akan ternoda dan hilanglah keikhlasannya. Pada umumnya manusia selalu terpaku dengan perkara-perkara yang bersifat kebendaan (materi) di dunia fana ini. Sebagaimana dikatakan oleh seorang yang shaleh, "Barangsiapa melakukan satu menit saja dari umurnya untuk berbuat ikhlas hanya kepada Allah, maka selamatlah dia". Dikatakan demikian itu karena berbuat ikhlas memang berat dan sulit bagi kita untuk membersihkan hati dari hal-hal yang mengotori kemurniannya. Karenanya, ikhlas adalah menyucikan hati dari segala kekotoran, dan tidak boleh tertinggal sedikit pun, sehingga yang ada dalam hati hanyalah tujuan taqarrub kepada Allah SWT.
Amalan ibadah seperti ini, tidak mungkin terlintas dalam angan-angan dan benak seseorang, kecuali bagi yang mencintai Allah (mahabbatullah) dan memfokuskan tujuannya hanya untuk kebahagiaan akhirat. Tidak ada sisi ruang di dalam batinnya sedikit pun yang tersisa bagi rasa cinta pada dunia (hubbuddunya). Orang yang seperti ini apabila dia makan, minum atau buang hajat sekalipun, maka perbuatan-perbuatan itu atas dasar ikhlas dan karena Allah semata. Adapun orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat seperti itu, maka jarang bahkan tertutup baginya pintu menuju ikhlas.
Orang yang nafsunya dapat terkalahkan oleh mahabbatullah dan kecintaannya untuk "memetik" buah hasilnya di akhirat, maka setiap perbuatan yang merupakan kebiasaan (seperti makan, minum, tidur), akan mengambil sifat tujuan utama hidupnya. Karena itu, perbuatannya itu bernilai ikhlas. Sebaliknya orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara diniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka yang demikian itu karena nafsunya terkalahkan oleh tujuan selain kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, setiap tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga tidak akan murni ibadah yang dia lakukan, seperti shalat atau puasa, dan sebagainya.
Karenanya, dengan terapi ikhlas, maka akan dapat mencabut motif-motif yang dikendalikan hawa nafsu, menghilangkan nafsu keserakahan terhadap dunia dan dapat meluruskan tujuan perjalanan hidupnya hanya untuk akhirat. Dengan demikian, hawa nafsu dapat terkendali dan menjadikan sifat itu sebagai penguasa atas hati. Untuk itu, setiap kita melangkah hendaknya berangkat dari rasa ikhlas semata karena Allah SWT. Betapa banyak amal perbuatan dimana orang berat melakukannya, sekalipun dia percaya betul bahwa amalannya itu ikhlas karena Allah. Orang yang seperti ini pada dasarnya tertipu oleh perasaannya sendiri (egoistis), disebabkan dia tidak mengetahui sumber utama penyakit yang dapat menghancurkan setiap amal perbuatannya.
Diceritakan, ada seorang Ulama Salaf yang selalu shalat berjamaah di shaf terdepan. Suatu hari dia datang terlambat, maka dia pun terpaksa shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbesit rasa malu kepada para jamaah lain. Maka pada saat itulah dia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf terdepan, pada hari-hari sebelumnya (sebelum dia menyadari), adalah karena ingin dilihat oleh orang lain.
Masalah ikhlas memang responsibel dan sulit untuk dilakukan, sehingga sedikit sekali perbuatan yang bisa dikatakan murni ikhlas karena Allah, dan sedikit pula orang yang tertarik terhadapnya, kecuali mereka yang mendapat taufiq (pertolongan, kemudahan) dari Allah SWT. Adapun orang yang lalai akan masalah ikhlas ini, dia senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dia lakukan. Padahal di hari kiamat kelak perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Allah berfirman, "Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?', yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya". (QS. Al Kahfi, 103-104)
Seorang Ulama Salaf berkata, "Orang ikhlas adalah orang yang dapat merahasiakan kebaikannya, sebagaimana dia merahasiakan keburukannya".
As Syuusy berkata, "Ikhlas ialah hilangnya 'ikhlas' itu sendiri dari pandangan. Orang yang dapat menyaksikan dalam perbuatannya (yang didasari keikhlasan itu) sebagai suatu keikhlasan, maka sesungguhnya itu masih membutuhkan rasa ikhlas". Maqalah lain mengatakan, "Berbuat ikhlas sesaat berarti keselamatan seabad, akan tetapi ikhlas itu berat".
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa pernah ditanyakan suatu perkara kepada Suhail, "Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?". Dia menjawab, "Ikhlas, sebab memang nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas".
Al Fadhail berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya".
Labels:
Refleksi
Thanks for reading Makna Ikhlas Kerana Allah (Lillahi Ta'ala) . Please share...!
0 Komentar untuk "Makna Ikhlas Kerana Allah (Lillahi Ta'ala) "
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.