Seringkali kita dianjurkan oleh para Ulama untuk selalu bermuhasabah (introspeksi diri) agar bisa menjadi hamba Allah yang semakin baik ke depannya. Introspeksi diri memang penting, bahkan sebuah hadits atau maqalah yang cukup terkenal mengatakan bahwa siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung, siapa yang hari ini keadaannya sama dengan kemarin maka dia rugi, dan siapa yang keadaan hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia celaka. Salah satu faedah penting dari introspeksi diri adalah untuk melawan dan menyiasati nafsu ammarah atas hati orang Mukmin agar tidak selalu memperturutkan kemauan-kemauannya.
Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang pandai ialah orang yang mau menyiasati nafsunya dan beramal untuk bekal kehidupan sesudah mati. Dan orang yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah (dengan angan-angan kosong)". (HR. Ahmad). Dalam haditsnya yang lain beliau juga bersabda, "Hisablah dirimu sebelum dihisab dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum ditimbang (di hadapan Allah). Sebab lebih ringan bagimu, jika kamu mau menghisab diri pada hari ini, daripada menunggu nanti diperhitungan pada hari penghisaban dan penimbangan, yaitu pada hari pertemuan besar antara para makhluk dengan Tuhan mereka". (HR. Ahmad dari Umar bin Khattab RA).
Hasan al Bashri pernah berkata, "Setiap mukmin adalah pemimpin bagi dirinya, dia menghisab nafsunya karena Allah. Dan penghisaban pada hari Kiamat itu hanya diringankan bagi golongan yang mau menghisab nafsunya di dunia, dan penghisaban kelak akan berat bagi mereka yang melakukan perbuatannya tanpa penghisaban (perhitungan) terhadap dirinya sendiri".
Bagi seorang Mukmin, apabila dia mendapati sesuatu yang dia senang dan kagum padanya, maka dia katakan, "Demi Allah, aku senang terhadapmu, dan aku sangat membutuhkanmu, tetapi Allah tidak memberiku jalan bagiku untuk menggapaimu, memang teramat jauh jarak antara kita". Namun apabila dia lalai dan melakukan sesuatu yang tidak terpuji, maka dia segera introspeksi diri sendiri dan berkata, "Sungguh aku tidak menginginkan ini! Mengapa aku melakukan ini? Demi Allah, aku tidak akan mengulanginya lagi". Malik bin Dinar pernah berkata, "Semoga Allah merahmati hambaNya yang mau menegur dirinya sendiri dan berkata, 'Bukankah kamu yang melakukan ini? Bukankah kamu yang melakukan itu?. Kemudian mencelanya, berusaha menguasai dan mengalahkannya lalu mewajibkannya agar mengikuti Kitabullah. Maka jadilah dia sebagai pembimbing bagi nafsunya".
Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan bagi seorang Mukmin yang kuat imannya kepada Allah dan hari Akhir agar tidak alpa terhadap perhitungan nafsunya dan mempersempit peluang ke arahnya. Setiap helaan nafas dalam kehidupan adalah butiran-butiran mutiara, yang setiap butirnya mampu menebus satu istana idaman yang kenikmatannya kekal dan abadi. Membiarkan nafas-nafas itu hilang atau menyalahgunakan di jalan yang sesat adalah kerugian yang besar. Hanya orang yang tidak berakal saja yang membiarkan mutiara-mutiara itu hilang begitu saja. Kerugian besar ini akan dirasakannya kelak di hari ditampakkannya segala kesalahan dan penyelewengan manusia. Allah SWT berfirman:
"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala amal kebajikannya di hadapannya, begitu juga kejahatan yang pernah dikerjakannya, dia ingin sekiranya antara dirinya dan hari itu ada masa yang jauh". (QS. Ali Imran, 30).
Ada dua cara untuk mengadakan penghisaban (introspeksi) terhadap nafsu, yaitu:
1. Mengevaluasi diri sebelum beramal
Ketika pertama kali bermaksud untuk memulai tindakan, hendaknya seseorang berhenti untuk berpikir terlebih dahulu, dan jangan tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum jelas baginya bahwa keputusannya itu tidak berdampak negafif. Hasan Al Bashri berkata, "Semoga Allah merahmati hambaNya yang mau berpikir sejenak ketika dia mau melakukan perbuatan, jika memang perbuatan itu karena Allah, maka dia teruskan, dan jika karena selainNya, maka dia batalkan".
Ada sebagian Ulama Salaf yang merinci masalah ini dan berkata, "Apabila hati tergerak untuk melakukan sesuatu pekerjaan, maka ia berhenti dahulu dan berpikir, apakah ia memiliki kemampuan untuk melakukannya atau tidak. Jika tidak siap untuk melaksanakannya, maka diputuskan untuk mengundurkan diri saja. Andaikata ternyata dia yakin sanggup, maka dipertimbangkan lagi, apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau sebaliknya?. Jika cenderung pada alternatif kedua, maka tuntaslah permasalahannya, karena tidak ada niatan untuk melakukannya. Namun jika cenderung pada alternatif pertama, maka dipertimbangkannya lagi, motif apakah yang mendorongnya melakukan itu, apakah hanya karena Allah dan mengharap pahalaNya atau karena jabatan, popularitas dan harta kekayaan dari selainNya?.
Jika keputusan yang diambil justru membawanya pada tendensi pribadi untuk meraih kenikmatan duniawi semata, maka dengan lapang dada ia mundur darinya. Keputusan ini diambilnya supaya tidak membudayakan jiwa berbuat syirik yang pada akhirnya jiwa menjadi ringan untuk berbuat seperti itu. Karenanya, ia merasa berat untuk melakukan hal yang sia-sia itu semata karena Allah SWT. Sebaliknya jika ia condong pada alternatif pertama, maka ia pun akan berpikir, apakah sudah mempunyai kawan (pengikut) yang akan membantu dan menolongnya atau tidak, seandainya pekerjaan itu tidak mungkin diatasinya sendiri. Andaikata belum mempunyai pengikut, maka ditundanya pekerjaan itu sebagaimana Rasulullah SAW juga pernah menunda untuk menaklukan kota Makkah sampai beliau memiliki kekuatan dan pengikut yang cukup. Jika ternyata ia mendapatkan simpatisan dan memiliki bekal yang cukup, maka segeralah ia merealisasikan harapannya, sebab ia akan memperoleh kemenangan dengan izin Allah. Kesuksesan dalam beramal akan teraih, kecuali bagi orang yang meninggalkan salah satu cara-cara ini. Empat tingkatan berpikir inilah yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh seorang hamba Allah sebelum melakukan suatu amal pekerjaan.
2. Mengevaluasi diri setelah beramal
Dalam hal ini, ada tiga tingkatan evaluasi. Pertama, mengevaluasi nafsu atas ketaatan yang dilakukannya, tetapi ia kurang dalam memenuhi hak Allah dalam perbuatan itu, sehingga dalam pelaksanaannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adapun hak Allah dalam suatu perkara ketaatan itu ada enam perkara: ikhlas berbuat, nasihat (mengharap kebaikan) karena Allah, mengikuti ajaran Rasul SAW, menampakkan sisi ikhsan dalam beramal, mengakui karunia Allah atasnya dan setelah itu mengakui akan kekurangannya dalam melakukan perbuatan itu. Maka dihisablah dirinya sendiri dari keenam kriteria yang ditetapkan Allah tersebut.
Kedua, menghisab diri atas setiap perbuatan yang apabila ditinggalkan lebih utama daripada dikerjakan.
Ketiga, menghisab diri atas suatu perbuatan yang boleh (mubah) hukumnya, sebab dia telah melakukannya. Terlepas dari apakah dia melakukannya karena Allah dan kehidupan akhirat supaya beruntung, ataukah demi mengejar kebahagiaan dunia yang semu dan temporal ini, sehingga dia akan menyesal di hari Kemudian?.
Menyia-nyiakan nafsu tanpa kontrol (muhasabah) dan menyepelekan permasalahannya serta mengumbarnya begitu saja, akan menggiring seseorang pada kerusakan yang nyata. Hal demikian sudah membudaya pada diri orang yang terbius dan tertipu oleh nafsu dan dunianya. Dia menutup kedua matanya dari kenyataan akibat-akibat perbuatannya, dengan mengandalkan bahwa Allah akan mengampuninya, sehingga meremehkan nafsunya dan melihat pengaruh (efeknya) dari sesuatu yang diperbuatnya tanpa pertimbangan yang bijaksana. Apabila seseorang sudah berbuat demikian, maka akan ringan baginya untuk melakukan dosa dan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Jika realitanya sudah seperti itu, maka ia akan merasa kesulitan untuk melepaskan diri dari perbuatan dosa.
Seseorang yang hendak bermuhasabah dengan nafsu, maka pertama-tama haruslah bertanya pada dirinya sendiri, apakah sudah memenuhi kewajibannya sebagai hamba Allah. Jika merasa masih belum secara optimal melaksanakannya, maka sepatutnyalah diikuti dengan qadha atau perbaikan. Kemudian bermuhasabah dalam soal larangan Allah. Andaikata ia sudah terlanjur melakukan suatu dosa, maka segeralah mengikutinya dengan tobat, memohon ampunanNya dan melakukan kebajikan yang dapat menghapus dosa itu.
Selain itu, juga bermuhasabah dengan nafsu atas kelalaiannya. Andaikata dia khilaf dan lupa akan hakikat hidup di dunia ini, maka segeralah berdzikir dan menghadapkan hati ke hadirat Allah SWT. Kemudian bermuhasabah atas nafsunya terhadap apa yang diucapkan lisannya, atau kemana melangkahkan kakinya, atau apa yang dilakukan tangannya, atau apa yang didengar kedua telinganya. Dia senantiasa bertanya, "Apa yang aku harapkan dalam melakukan perbuatan ini? Mengapa aku melakukannya? Untuk siapa aku melakukannya? Dan atas dasar apa aku melakukan hal ini?". Dia sadar sepenuhnya bahwa selalu timbul pertanyaan dalam benaknya setiap akan memulai suatu perbuatan, "Kamu melakukan itu semua karena siapa? Bagaimana kamu melakukannya?". Kalimat pertama merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan masalah keikhlasan dan yang kedua pertanyaan tentang mutaba'ah, yakni apakah ia melakukannya sesuai dengan syariat Rasulullah SAW atau tidak.
Faedah Menyiasati Nafsu
Pertama, Untuk mengenali aib (kekurangan) pada diri sendiri. Orang yang tidak mengenali kekurangannya, mustahil baginya untuk menghilangkan atau menutupinya. Muhammad bin Wasi' berkata, "Sekiranya dosa itu berbau, niscaya tidak seorang pun yang tahan duduk berdekatan denganku". Rasulullah SAW bersabda, "Seseorang tidak akan memiliki ilmu pemahaman (wawasan) secara baik sebelum dia membenci orang lain karena Allah, kemudian kembali kepada dirinya sendiri, maka dia lebih membencinya karena melakukan pelanggaran terhadap perintahNya". (HR. Ahmad dari Abu Darda').
Kedua, Supaya tahu akan hak Allah yang wajib atas dirinya. Berangkat dari kesadaran inilah, akan melahirkan sikap membenci nafsu sendiri dan membersihkannya dari sifat ujub serta membanggakan amal perbuatannya. Akan membukakan baginya pintu untuk merendahkan diri dan bertaqarrub kepada Allah SWT. Pesimis akan kebaikan dirinya sendiri dan merasa bahwa sesungguhnya keselamatan itu tidak akan tercapai kecuali atas ampunan dan rahmat Allah SWT. Karena itu, di antara hak yang harus dipenuhi terhadap Allah ialah berusaha untuk selalu taat dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan dan disyukuri tidak untuk dikufuri.
Labels:
Refleksi
Thanks for reading Pentingnya Muhasabah (Introspeksi diri) Untuk Menyiasati Nafsu. Please share...!
0 Komentar untuk "Pentingnya Muhasabah (Introspeksi diri) Untuk Menyiasati Nafsu"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.