Asal Usul Nama dan Sejarah Kabupaten Rembang


Menjadi pintu gerbang bagi provinsi Jawa Tengah di bagian timur lautnya, Kabupaten Rembang berbatasan dengan Kabupaten Tuban di wilayah provinsi Jawa Timur, Kabupaten Blora (Jawa Tengah) di selatan, Kabupaten Pati di barat, serta Teluk Rembang (Laut Jawa) di sebelah utaranya.

Kabupaten berjuluk The Cola of Java, Little Tiongkok dan kota garam ini memiliki kontur tanah berdataran rendah dengan ketinggian wilayah maksimum kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut. Sedangkan bagian selatan wilayah ini merupakan daerah perbukitan bagian dari Pegunungan Kapur Utara, dengan puncaknya Gunung Butak setinggi 679 meter.

Kabupaten Rembang mempunyai semboyan "Rembang BANGKIT" yang bermakna Bahagia, Aman, Nyaman, Gotong-royong, Kerja keras, Iman, Takwa. 

Alun alun Rembang
alun-alun kota Rembang via matalensaku.com

Asal Usul Nama Rembang


Menilik dari sejarahnya, ada beragam versi mengenai asal usul nama dari kota kabupaten satu ini. Versi pertama sebagaimana dikutip dari wikipedia mengatakan bahwa asal nama Rembang bersumber dari sebuah manuskrip/tulisan tidak di terbitkan oleh Mbah Guru.

Manuskrip tersebut menyebutkan: ”kira-kira pada tahun Syaka 1336, ada rombongan berjumlah delapan keluarga asal Campa Banjarmlati yang dikenal pandai dalam membuat gula tebu di negaranya”. Mereka pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat di patahkan itu, berangkat melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau. 

Kepindahan itu di pimpin oleh seorang kakek yang bernama Pow Ie Din. Setelah mendarat, mereka kemudian mengadakan doa dan semedi, dilanjutkan dengan mulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya. Tanah lapang itu kemudian dibuat tegalan dan pekarangan, serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan. Perkampungan itu kemudian dinamakan kampung KABONGAN, mengambil kata dari sebutan pohon bakau sehingga menjadi Ka-bonga-an (Kabongan). 

Pada suatu hari saat fajar menyising di bulan Waisaka, orang-orang akan memulai ngrembang (mbabat/ memangkas) tebu. Sebelum dimulai mbabat, diadakanlah upacara suci Sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dikepras/ dipangkas dua pohon, untuk tebu “Penganten”. Upacara pengeprasan itu dinamakan “ngRembang sakawit”.

Begitulah  tadi asal mula kata “ngRembang”, hingga akhirnya dijadikan sebagai nama Kota Rembang hingga saat ini. Menurut Mbah Guru , upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat dinyanyikan Kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala: Sabda Tiga Wedha Isyara. 

Selain versi di atas, versi lain ada juga yang mengatakan bahwa asal usul nama Rembang berkaitan dengan peristiwa datangnya seorang saudagar kaya asal negeri Cina yang bernama Dampo Awang. Pada awalnya, dia pergi bersama para pengawal setianya hendak pergi ke suatu tempat untuk mengajarkan ajaran Kong Hu Cu dengan mengarungi samudera yang luas.

Suatu ketika, dia telah sampai di tanah jawa bagian timur dan kemudian berlabuh di sana. Senang dengan daerah yang disinggahinya, dia pun bermaksud untuk menetap sambil mengembangkan ajaran Kong Hu Cu yang dibawanya.

Suatu ketika, Dampo Awang bertemu dengan seorang wali tanah jawa yaitu Sunan Bonang. Sunan Bonang sendiri dikenal sebagai salah satu anggota dari 9 wali (Walisongo) yang menyebarkan agama islam di tanah jawa. Dampo Awang tampak tidak suka dengan keberadaan Sunan Bonang, sehingga ia memperlihatkan sikap kurang baik kepadanya. Ia khawatir dengan adanya Sunan Bonang, maka ajaran yang selama ini dia ajarkan akan hilang dan digantikan dengan ajaran agama islam yang dibawa oleh Sunan Bonang.

Saat Sunan Bonang hendak mendirikan sholat ashar, Dampo Awang berpikir untuk mencelakai Sunan Bonang. Dia pun menyuruh pengawalnya untuk menaruh racun ke dalam air putih di dalam kendi yang berada di atas meja.

Selesai sholat, Sunan Bonang kemudian berjalan menuju ke arah meja. Dampo Awang pun mengira bahwa Sunan Bonang akan meminum air dalam kendi tersebut, namun dugaannya keliru. Ternyata Sunan Bonang menuju meja untuk mengaji.

Hari demi hari telah berlalu, setiap masuk waktu shalat Sunan Bonang mengumandangkan adzan dan kemudian shalat. Setelahnya Sunan Bonang kemudian mengaji di teras rumahnya. Setiap orang – orang berlalu lalang lewat di depan rumah Sunan Bonang, mereka yang mendengar suara Sunan Bonang saat mengaji dan adzan menjadi kagum akan ayat-ayat Allah. Tidak lama kemudian, para penduduk pun banyak yang kemudian menjadi pemeluk agama Islam. 

Seiring berjalannya waktu, para pengikut Sunan Bonang pun semakin banyak jumlahnya. Mendengar hal itu, Dampo Awang sangat marah karena pengikutnya semakin berkurang dan banyak yang beralih menjadi pengikut Sunan Bonang. Dampo Awang pun kemudian mengirim pengawalnya untuk menjemput Sunan Bonang.

Pada mulanya, Sunan Bonang menolak saat hendak dijemput. Namun karena merasa kasihan kepada para pengawal Dampo Awang yang akan dihukum pancung jika tidak berhasil membawanya, Sunan Bonang pun akhirnya bersedia untuk datang ke rumah Dampo Awang. 

Setibanya di rumah Dampo Awang, Sunan Bonang disambut dengan ramah oleh  Dampo Awang. Namun ternyata dibalik keramahan tersebut Dampo Awang telah merencanakan sesuatu. Dampo Awang memberikan suguhan kepada Sunan Bonang berupa buah-buahan segar, makanan enak, minuman lezat, dan sebagainya. Sunan Bonang tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Dampo Awang, meskipun Dampo Awang mungkin punya maksud buruk kepadanya.

Di tengah perjamuan, Dampo Awang tiba-tiba meminta Sunan Bonang untuk segera pergi meninggalkan daerah itu. Mendengar hal itu, Sunan Bonang pun menolak karena dia sudah berniat untuk mengajarkan agama islam di daerah itu.

Dampo Awang menjadi sangat marah mendengar penolakan Sunan Bonang. Dampo Awang kemudian menyuruh para pengawalnya untuk menyerang Sunan Bonang, tetapi dengan waktu yang sangat singkat Sunan Bonang dengan mudah dapat mengalahkan pengawal-pengawal Dampo Awang.

Tidak terima dengan kekalahannya, Dampo Awang kemudian kembali ke negaranya untuk menyusun stategi dan kekuataan baru guna melawan Sunan Bonang. Selang beberapa tahun kemudian, Dampo Awang akhirnya kembali lagi ke tanah jawa dengan membawa jumlah pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. 

Menginjakkan kembali kakinya di daerah yang dulu disinggahinya, dia sangat kaget karena semua penduduk di daerah itu sudah menganut agama islam. Dampo Awang yang marah kemudian pergi mencari Sunan Bonang.

Saat keduanya kembali bertemu, Dampo Awang yang tidak bisa lagi menahan amarahnya langsung menyerang Sunan Bonang lebih dulu, tetapi dengan singkat Sunan lagi-lagi dapat mengalahkan Dampo Awang dan pengawalnya dengan mudahnya. Dampo Awang kemudian diikat di dalam kapalnya dan setelah itu Sunan Bonang menendang kapal itu hingga seluruh bagian kapal itu tersebar kemana-mana. 

Sebagian kapal ada yang terapung di laut sehingga Dampo Awang menyebutnya "kerem" (tenggelam), sedangkan Sunan Bonang menyebutnya "kemambang" (terapung). Lama kelamaan, kalimat dari kedua tokoh tersebut kemudian oleh masyarakat diucapkan menjadi Rembang, yang berasal dari kata Kerem dan Kemambang.

Demikianlah, akhirnya daerah itu kemudian dinamakan Rembang, yang sekarang menjadi salah satu Kabupaten yang ada di provinsi Jawa Tengah. Konon jangkar kapal Dampo Awang sekarang ada di Taman Kartini, dan layarnya berada di batu atau biasanya sering disebut "Watu Layar". Sedangkan kapalnya konon menjadi Gunung Bugel di kecamatan Pancur karena bentuknya menyerupai sebuah kapal besar, dan di atas gunung ada sebuah makam yang konon merupakan makam Dampo Awang.

Itulah di antara beberapa versi yang menyebutkan mengenai asal usul nama Kabupaten Rembang. Tidak menutup kemungkinan ada versi lain yang melengkapi kedua versi di atas.

Sejarah Kabupaten Rembang


Pada masa kerajaan Majapahit, keberadaan kota Rembang sebagai wilayah pemerintahan memang masih belum bisa dibuktikan kebenarannya dengan jelas dan tepat. Hal ini karena terbatasnya sumber-sumber atau bukti-bukti tertulis yang menceritakan tentang keberadaan wilayah ini pada masa itu.

Sebuah sumber tertulis pada masa Majapahit pernah menyebutkan bahwa nama Rembang memang telah di sebutkan di dalam Kitab Negara Kertagama pada Pupuh XXI sebagai berikut: “…Menuruni surah melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan langsung ke payaman, Tepasana ke arah kota Rembang sampai di kemirakan yang letaknya di pantai lautan”.

Selain itu, sumber tertulis yang berasal dari Tome Pires juga pernah menyebutkan Nama kota Rembang bersama-sama dengan kota-kota pantai lainnya di pulau Jawa.

Dalam catatannya, Tome Pires (1512-1515) menyebutkan : Now comesjava and we mustspeak of the King within the hinterland. The land of Cherimon (Cherobaan), the land Jayapura, the land of Losari (Locari), the land of Tegal (Tegeguall), the land of Semarang (Camaram), the land of Demak (Demma), Tidunan (Tudumar), the land of Japara, the land of Rembang (Remee), the land of Tuban (Toban), the land of Sidayu (Cedayo), the land of Gresee (Agacij), the land of Surabaya (Curubaya), the land of Gamta, the land of Blambangan, the land of Pajarakan (Pajarucam), the land of Camta, the land of Panaruakan (Panarunca), the land of Chamdy, and when is ended we will speak of the great island of Madura.

Adapun mengenai hari jadi Kabupaten Rembang, ketentuan yang dipakai adalah berdasarkan suatu peristiwa besar yang terjadi pada masa pemerintahan Ngabehi Anggadjaja, Bupati Rembang pada masa itu.

Munculnya pemerintahan Rembang secara tidak langsung erat kaitannya dengan peristiwa pemberontakan Cina atau perang pacina yang terjadi pada masa pemerintahan Paku Buwana II (1726-1749) di Kerajaan Mataram Kartasura. Pada masa itu, pemberontakan orang-orang Cina yang pada awalnya terjadi di wilayah Batavia (Jakarta) akibat tindakan sewenang-wenang kolonial Belanda (VOC) terhadap orang-orang Cina akhirnya meluas hampir ke seluruh jawa.

Saat pemberontakan merembet ke wilayah Jawa bagian Tengah, Paku Buwana II memberikan dukungan sepenuhnya kepada pemberontakan tersebut yang dipimpin oleh Tai Van Sen. Bahkan dengan semboyan Perang Suci, Paku Buwana II memerintahkan kepada para bupati di seluruh wilayah Mataram untuk bergabung dengan pemberontakan Cina guna menghancurkan kompeni.

Di wilayah Rembang, perlawanan terhadap kompeni yang dilandasi oleh Perang Suci ini betul-betul meletus setelah datangnya gerombolan pemberontak Cina dari Batavia dibawah pimpinan Pajang. Pada waktu itu, kota Rembang dikepung selama 1 bulan, sampai-sampai garnisun kompeni yang ada di kota ini tidak mampu menghadapi serangan dari pemberontak. 

Bupati Rembang saat itu, Ngabehi Anggajaya bersama para prajuritnya juga dikabarkan ikut bergabung dengan orang-orang Cina untuk bersama-sama menghancurkan garnisun kompeni di wilayah mereka. Pada akhirnya, garnisun kompeni berhasil dihancurkan dan residen Rembang saat itu ikut terbunuh.

Peristiwa penghancuran Garnisun Kompeni di Rembang yang menurut sejarah terjadi pada tanggal 27 Juli 1741 ini dinilai merupakan peristiwa heroik dan awal mula pergerakan rakyat Rembang dalam ikut berjuang melawan penjajah, sehingga tanggal inilah yang hingga sekarang kemudian digunakan sebagai hari jadi dari Kabupaten Rembang. Demikian. Semoga bermanfaat. 


Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Rembang
https://betulcerita.blogspot.com/2015/02/asal-usul-kota-rembang-jawa-tengah.html
https://rembangkab.go.id/uncategorized/mengungkap-sejarah-rembang/
http://priyatmaja.blogspot.com/2012/11/sejarah-hari-jadi-kabupaten-rembang-27.html

Labels: Sejarah

Thanks for reading Asal Usul Nama dan Sejarah Kabupaten Rembang. Please share...!

0 Komentar untuk "Asal Usul Nama dan Sejarah Kabupaten Rembang"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.