Sebagai orang Jawa, kadang saya merasa cukup miris ketika banyak orang Jawa kurang peduli dengan budaya dan adat istiadatnya. Sebagai contoh, banyak kini dijumpai keluarga Jawa yang mengajari anak-anak balitanya langsung berbahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa yang mana merupakan bahasa ibu mereka.
Bagi masyarakat Jawa di wilayah perkotaan, mungkin hal ini sedikit bisa dimaklumi. Namun lain halnya dengan orang desa yang ternyata juga ikut-ikutan mengajari anak-anak balita mereka langsung berbahasa Indonesia dalam kesehariannya.
Tidak salah memang, bahkan itu bagus untuk memupuk rasa Nasionalisme sejak dini. Namun hendaknya jangan lupa bahwa sebagai orang Jawa, kita juga punya budaya dan adat istiadat yang juga mesti kita jaga kelestariannya agar jangan sampai punah.
Bagi masyarakat Jawa di wilayah perkotaan, mungkin hal ini sedikit bisa dimaklumi. Namun lain halnya dengan orang desa yang ternyata juga ikut-ikutan mengajari anak-anak balita mereka langsung berbahasa Indonesia dalam kesehariannya.
Tidak salah memang, bahkan itu bagus untuk memupuk rasa Nasionalisme sejak dini. Namun hendaknya jangan lupa bahwa sebagai orang Jawa, kita juga punya budaya dan adat istiadat yang juga mesti kita jaga kelestariannya agar jangan sampai punah.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa hal itu tidaklah mengapa, toh seiring waktu anak-anak juga akan lancar berbahasa jawa dengan sendirinya karena mereka hidup di lingkungan masyarakat berbahasa Jawa. Okelah jika memang demikian, tapi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan bahasa krama atau bahasa unggah-ungguh (sopan-santun) nya terhadap orang tua atau orang yang perlu dihormati?.
Inilah yang menjadi perhatian utama saya. Banyak anak-anak atau bahkan pemuda Jawa sekarang saya temui tidak bisa lagi berbahasa krama inggil atau unggah-ungguh (sopan santun) saat berhadapan dengan orang lebih tua. Dengan percaya dirinya, mereka berbicara pada orang yang lebih tua seakan-akan sedang berbincang dengan teman sebaya atau teman mainnya.
Inilah yang menjadi perhatian utama saya. Banyak anak-anak atau bahkan pemuda Jawa sekarang saya temui tidak bisa lagi berbahasa krama inggil atau unggah-ungguh (sopan santun) saat berhadapan dengan orang lebih tua. Dengan percaya dirinya, mereka berbicara pada orang yang lebih tua seakan-akan sedang berbincang dengan teman sebaya atau teman mainnya.
Kita memang berbangsa satu dan bertanah air satu yakni bangsa dan tanah air Indonesia. Dan kita pun mempunyai bahasa yang menyatukan bangsa ini dari Sabang sampai Merauke, yakni bahasa Indonesia. Namun kita juga mesti ingat bahwa bangsa ini memiliki keragaman budaya dan adat istiadat di segenap penjuru negeri ini yang mesti dipertahankan keeksisannya sebagai wujud kekayaan negeri ini, salah satunya yaitu budaya dan adat istiadat Jawa.
Menanggapi fenomena lunturnya tatanan budaya Jawa bagi sebagian masyarakat Jawa, saya sebagai orang Jawa ikut merasa prihatin akan hal ini. Saya khawatir apakah budaya dan adat istiadat Jawa ini akan mampu bertahan di tengah-tengah pusaran zaman yang serba modern ini?.
Menanggapi fenomena lunturnya tatanan budaya Jawa bagi sebagian masyarakat Jawa, saya sebagai orang Jawa ikut merasa prihatin akan hal ini. Saya khawatir apakah budaya dan adat istiadat Jawa ini akan mampu bertahan di tengah-tengah pusaran zaman yang serba modern ini?.
Pada artikel kali ini, saya ingin mengutip sebuah artikel menarik dari majalah Panjebar Semangat terkait fenomena ini. Harapannya, semoga tulisan ini dapat menggugah hati kita sebagai orang Jawa agar sadar kembali dan peduli akan pentingnya menjaga kelestarian budaya Jawa, terutama bahasa Jawa krama untuk unggah-ungguh di tengah-tengah masyarakat kita.
Bahasa krama merupakan tataran bahasa paling tinggi yang dijadikan dasar untuk mengukur keadaan nyata dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendapat ini didasarkan pada penelitian yang dibuat oleh seorang pakar budaya Jawa, Niel Mulder. Namun perlu dicatat bahwa pendapat ini merupakan hasil penelitian secara kasat mata, belum menyentuh rasa batin yang memang tidak bisa dijabarkan hanya menggunakan dasar penelitian fisik semata.
Bahasa krama merupakan tataran bahasa paling tinggi yang dijadikan dasar untuk mengukur keadaan nyata dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendapat ini didasarkan pada penelitian yang dibuat oleh seorang pakar budaya Jawa, Niel Mulder. Namun perlu dicatat bahwa pendapat ini merupakan hasil penelitian secara kasat mata, belum menyentuh rasa batin yang memang tidak bisa dijabarkan hanya menggunakan dasar penelitian fisik semata.
Apa sih sebenarnya yang menjadikan bahasa krama semakin hilang penggunaannya dalam keseharian masyarakat Jawa, terutama bagi kalangan kawula muda?.
Setidaknya ada tiga asumsi yang menjadikan bahasa krama semakin hilang, atau setidak-tidaknya berkurang penggunaannya dalam keseharian masyarakat Jawa, yaitu:
Setidaknya ada tiga asumsi yang menjadikan bahasa krama semakin hilang, atau setidak-tidaknya berkurang penggunaannya dalam keseharian masyarakat Jawa, yaitu:
1. Kompleksitas, Njlimet, dan Birokratis
Memang tidak dipungkiri bahwa bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang njlimet dan mempunyai tingkatan (hierarkial) serta sistematis. Setiap orang mesti tahu dengan siapa dia berbicara atau bercakap-cakap.
Dalam prakteknya, membiasakan penggunaan bahasa krama untuk bertutur kata memang bukanlah perkara mudah, membutuhkan waktu serta proses yang cukup lama. Bahkan ketika hati sudah niat untuk membiasakannya namun lingkungan keluarga atau masyarakat tidak mendukung, maka hal ini tidaklah akan bisa terlaksana.
Dalam prakteknya, membiasakan penggunaan bahasa krama untuk bertutur kata memang bukanlah perkara mudah, membutuhkan waktu serta proses yang cukup lama. Bahkan ketika hati sudah niat untuk membiasakannya namun lingkungan keluarga atau masyarakat tidak mendukung, maka hal ini tidaklah akan bisa terlaksana.
2. Mengandung Stratifikasi Sosial
Siapapun tahu bahwa bahasa Jawa mengandung unggah-ungguh yang menentukan kelas (derajat) masing-masing orang dalam kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi pada masa kini, adanya kelas-kelas tersebut tidak begitu disukai seiring dengan dijunjungnya azas demokratisasi, serta semangat pendidikan agama yang menyebutkan bahwa semua orang itu sama, yang membedakan hanyalah derajat ketaqwaan di sisi Gusti Allah. Penggunaan unggah-ungguh bahasa ini juga dianggap semakin memperlebar jarak antara seseorang dengan sesamanya, sehingga sudah semestinya ditinggalkan.
3. Tidak Mengikuti Zaman
Kita semua maklum bahwa modernisasi, kecanggihan ilmu serta teknologi membutuhkan kecepatan serta ketepatan. Era digital dan perkembangan teknologi yang serba cepat ini membuat bahasa Jawa menjadi tidak laku untuk digunakan.
Terlebih dengan adanya propaganda modernitas yang santer digaungkan bangsa Barat, membuat para muda-mudi tidak mau lagi berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Intinya, sebagian kawula muda menganggap bahwa bahasa Jawa (terutama krama) sudah tidak sesuai dengan zaman, semangat demokrasi, serta modernisasi.
Terlebih dengan adanya propaganda modernitas yang santer digaungkan bangsa Barat, membuat para muda-mudi tidak mau lagi berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Intinya, sebagian kawula muda menganggap bahwa bahasa Jawa (terutama krama) sudah tidak sesuai dengan zaman, semangat demokrasi, serta modernisasi.
Tiga hal inilah kiranya yang menjadikan generasi muda kita tidak mau lagi menggunakan bahasa Jawa (krama inggil). Memang tiga poin ini hanya asumsi secara umum, karena bisa jadi setiap orang punya alasan masing-masing mengapa tidak mau untuk menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian mereka.
Berikan Teladan
Setelah mengetahui alasan-alasan di atas, lantas bagaimana sebaiknya?. Memang tidaklah bijaksana dan jangan sampai untuk kita menyalahkan, apalagi menjadikan para kawula muda sebagai terdakwa atas fenomena lunturnya penggunaan bahasa Jawa krama ini.
Sebab jika dicermati, para kawula muda tersebut pada dasarnya juga hasil didikan para orang tuanya, sehingga tidak sepatutnya mereka dimarahi dan disalahkan jika mereka tidak mau atau tidak bisa menggunakan bahasa krama. Kita percaya bahwa para orang tua juga telah berupaya memberikan teladan yang baik dalam usahanya menerapkan penggunaan bahasa krama di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Sebab jika dicermati, para kawula muda tersebut pada dasarnya juga hasil didikan para orang tuanya, sehingga tidak sepatutnya mereka dimarahi dan disalahkan jika mereka tidak mau atau tidak bisa menggunakan bahasa krama. Kita percaya bahwa para orang tua juga telah berupaya memberikan teladan yang baik dalam usahanya menerapkan penggunaan bahasa krama di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Yang perlu diminta dari para kawula muda sejatinya bukan hanya persoalan bahasa krama ini saja, lebih dari itu para orang tua juga harus bisa memberikan contoh atau teladan yang baik untuk anak-anaknya, terutama pada persoalan akhlak atau moralitas.
Jangan sampai para orang tua hanya bisa menasehati namun tidak mau memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya. Atau jangan sampai orang tua punya sikap diam saja (permissive) ketika melihat keadaan yang tidak pantas dicontoh oleh anak-anaknya.
Bagi para orang tua jawa, pentingnya pembinaan akhlak bagi anak sebagai calon penerus generasi muda ini bisa diterapkan salah satunya yaitu dengan mengajarkan bahasa krama sebagai bahasa sopan santun.
Jangan sampai para orang tua hanya bisa menasehati namun tidak mau memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya. Atau jangan sampai orang tua punya sikap diam saja (permissive) ketika melihat keadaan yang tidak pantas dicontoh oleh anak-anaknya.
Bagi para orang tua jawa, pentingnya pembinaan akhlak bagi anak sebagai calon penerus generasi muda ini bisa diterapkan salah satunya yaitu dengan mengajarkan bahasa krama sebagai bahasa sopan santun.
Terkait pembinaan akhlak atau budi pekerti lewat penggunaan bahasa krama ini, sebenarnya hal ini juga menjawab atau mematahkan alasan pada poin kedua di atas. Memang di satu sisi, agama (baca: Islam) datang dengan tidak membeda-bedakan status sosial masing-masing orang.
Semua orang di hadapan Allah adalah sama derajatnya, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Namun di sisi lain, Islam juga menekankan akan pentingnya pembinaan akhlak atau budi pekerti dalam kehidupan sosial, sehingga penggunaan bahasa krama untuk unggah-ungguh ini sebetulnya justru selaras dengan ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sebagai sosok teladan (uswah hasanah) bagi umat manusia di bumi ini. Intinya, dalam hal ini lihatlah konteksnya, dan jangan asal sembarangan dalam mengambil suatu kesimpulan.
Semua orang di hadapan Allah adalah sama derajatnya, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Namun di sisi lain, Islam juga menekankan akan pentingnya pembinaan akhlak atau budi pekerti dalam kehidupan sosial, sehingga penggunaan bahasa krama untuk unggah-ungguh ini sebetulnya justru selaras dengan ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sebagai sosok teladan (uswah hasanah) bagi umat manusia di bumi ini. Intinya, dalam hal ini lihatlah konteksnya, dan jangan asal sembarangan dalam mengambil suatu kesimpulan.
Revitalisasi
Agar harapan ini dapat terlaksana, ada beberapa cara agar supaya para kawula muda mau menggunakan bahasa krama dengan baik. Pertama, bahasa krama mesti direvitalisasi. Siapa saja yang mampu berkomunikasi dengan bahasa jawa krama mesti berpartisipasi dan ikut serta bersama-sama melestarikan bahasa jawa krama ini.
Maksudnya, gunakanlah bahasa krama di mana saja anda berada. Di lingkungan paling kecil, yaitu keluarga hingga sampai lingkungan pemerintahan. Kebiasaan ini mesti menjadi program bersama, bergotong royong, semua orang Jawa mesti diajak mendukung program ini, dari lapisan masyarakat bawah sampai masyarakat atas mesti mempunyai tekad yang sama.
Maksudnya, gunakanlah bahasa krama di mana saja anda berada. Di lingkungan paling kecil, yaitu keluarga hingga sampai lingkungan pemerintahan. Kebiasaan ini mesti menjadi program bersama, bergotong royong, semua orang Jawa mesti diajak mendukung program ini, dari lapisan masyarakat bawah sampai masyarakat atas mesti mempunyai tekad yang sama.
Kedua, tidak hanya memperbaiki persoalan bahasa semata, semua nilai, etika, serta aturan yang berdasarkan akhlak serta moralitas juga mesti dijaga dan dilestarikan agar tidak menyebabkan ringkihnya mentalitas Jawa. Kita tidak dapat memungkiri bahwa ruh bangsa Indonesia ini adalah ruh Jawa, jadi baik buruknya bangsa ini juga tergantung dari perilaku orang-orang Jawa. Inilah tantangan dari tatanan Jawa.
Ketiga, orang jawa juga mesti cerdas. Orang jawa mesti gemar dalam menuntut ilmu pengetahuan serta teknologi. Perihal menimba ilmu serta pengetahuan ini baiknya kita bisa mencontoh semangat orang Jepang dalam belajar (mencari ilmu).
Bangsa Jepang yang pernah remuk akibat dibom oleh sekutu tahun 1945 sampai sekarang masih tetap menjadi salah satu bangsa Asia yang menonjol lantaran para warga dan pemerintahnya benar-benar memperhatikan akan keberadaan para ilmuwan. Setelah Jepang takluk oleh sekutu, banyak para pemuda Jepang disekolahkan di negara-negara barat guna mencari cara untuk membangun kembali bangsanya menggunakan teknologi modern.
Bangsa Jepang yang pernah remuk akibat dibom oleh sekutu tahun 1945 sampai sekarang masih tetap menjadi salah satu bangsa Asia yang menonjol lantaran para warga dan pemerintahnya benar-benar memperhatikan akan keberadaan para ilmuwan. Setelah Jepang takluk oleh sekutu, banyak para pemuda Jepang disekolahkan di negara-negara barat guna mencari cara untuk membangun kembali bangsanya menggunakan teknologi modern.
Setelah berhasil, tidak lama kemudian para pelajar dari Jepang itu pun menyelesaikan belajarnya, dan segera pulang ke negaranya untuk lekas bergegas bahu membahu membangun bangsanya. Tidak kurang dari dua dasawarsa, bangsa Jepang telah mampu berdiri mandiri sama seperti bangsa-bangsa barat lainnya.
Contoh tersebut mestinya menjadi perhatian dan pembelajaran bagi para pejabat serta pemangku kekuasaan di negeri ini agar bangsa Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi martabatnya di mata dunia. Jangan jadi bangsa yang diam saja, tidak jelas apa hendak dicari.
Contoh tersebut mestinya menjadi perhatian dan pembelajaran bagi para pejabat serta pemangku kekuasaan di negeri ini agar bangsa Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi martabatnya di mata dunia. Jangan jadi bangsa yang diam saja, tidak jelas apa hendak dicari.
Itulah diantara beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mengangkat kembali budaya Jawa lewat penggunaan bahasa krama sebagai sarana pembinaan akhlak dan pentingnya semangat menuntut ilmu bagi kemajuan bangsa ini.
Kita memang cukup prihatin akan lunturnya tatanan Jawa seperti halnya perihal unggah-ungguh bahasa ini. Namun hal ini juga hendaknya jangan sampai membuat kita memaksa generasi muda supaya menuruti kemauan kita, jika kita sendiri belum bisa memberikan contoh yang baik kepada mereka. Intinya, lestarikan bahasa dan semangat mentalitas Jawa agar jangan sampai kita dikatakan "Wong Jawa ilang Jawane". Demikian. Semoga bermanfaat.
Kita memang cukup prihatin akan lunturnya tatanan Jawa seperti halnya perihal unggah-ungguh bahasa ini. Namun hal ini juga hendaknya jangan sampai membuat kita memaksa generasi muda supaya menuruti kemauan kita, jika kita sendiri belum bisa memberikan contoh yang baik kepada mereka. Intinya, lestarikan bahasa dan semangat mentalitas Jawa agar jangan sampai kita dikatakan "Wong Jawa ilang Jawane". Demikian. Semoga bermanfaat.
*Tulisan di atas bersumber dari artikel berbahasa jawa yang saya terjemahkan dari majalah Panjebar Semangat edisi Oktober 2010 dengan beberapa perubahan dan penambahan agar mudah dipahami. Sebagai informasi, Panjebar Semangat adalah majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit sejak tahun 1933 atas prakarsa Dr. Soetomo, pendiri pergerakan Budi Utomo sebagai salah satu media untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Labels:
Horizon,
Seni Budaya
Thanks for reading Melestarikan Bahasa Jawa Krama di Tengah Pusaran Zaman Modern. Please share...!
0 Komentar untuk "Melestarikan Bahasa Jawa Krama di Tengah Pusaran Zaman Modern"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.