Pengajaran, Pitutur, dan Nasehat dalam Tembang Macapat

Saat ini, keberadaan tembang Jawa memang kurang begitu diminati oleh para kawula muda di negeri ini. Semenjak terjadinya perubahan zaman, berkembangnya lagu-lagu pop, rock, atau dangdut justru semakin menenggelamkan keberadaan tembang Jawa, bahkan bagi masyarakat Jawa itu sendiri.

Para kawula muda lebih dekat dengan irama pop dan dangdut ketimbang senandung irama Pocung, Gambuh, Pangkur, Kinanthi, Dhandanggula, dan lainnnya. Di daerah pedesaan pun juga kini jarang terdengar para kawula muda yang mau menyanyikan macapat.

Tembang macapat 1
via jogja.tribunnews.com

Kalaupun disiarkan di televisi, penyanyi atau pembawa tembang macapat pada umumnya adalah orang-orang tua yang sudah sepuh. Suara dan iramanya berat, kadang salah, dan lemah (tidak nyaring). Memang tidak dipungkiri saat ini tembang Jawa telah terdesak oleh kemajuan zaman.

Masuknya budaya luar lewat televisi dan perkembangan era digital yang semakin pesat pun membuat sastra dan budaya Jawa menjadi semakin terpinggirkan. Irama musik barat, pop, rock, dan dangdut yang membuat badan bergoyang memang lebih populer ketimbang macapat yang halus dan ada iramanya.

Sebagian kaum muda ada yang beranggapan bahwa tembang macapat itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Musiknya kurang gaul dan bahasanya kadang sulit untuk dipahami. Meski demikian, ternyata saat ini masih bisa dikatakan bahwa tembang macapat belum hilang terlindas oleh kemajuan zaman.

Masih ada orang-orang yang mencintai dan peduli akan keberadaan tembang macapat. Tembang Jawa yang disebut sekar macapat ini masih sering dibawakan pada saat acara-acara tertentu. Pada diskursus pengajaran yang mempelajari tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa, tembang macapat juga masih diajarkan.

Tembang macapat juga biasa dinyanyikan di sanggar-sanggar pengajaran bahasa Jawa. Di pertunjukan orkes karawitan Jawa, penabuh gamelan dan penyanyi juga turut andil dalam ikut melestarikan tembang Jawa ini.

Perlombaan tembang macapat juga sesekali masih sering ditemui di berbagai daerah. Begitu pula di pertunjukan jagad pewayangan, Gareng dan Petruk juga sering berjoged serta membawakan tembang Pocung, Pangkur, Kinanthi, atau Gambuh.

Selain itu, macapat juga biasa dibawakan dalam acara pernikahan Jawa. Para pengisi acara biasanya ada yang nyekar (nembang) khusus ditujukan untuk pasangan pengantin. Isinya bermacam-macam terutama berupa pitutur luhur untuk calon pengantin yang akan membangun sebuah keluarga.

Tembang macapat 2
via sahabatguru.com

Menurut buku Mbombong Manah karangan R. Tedjohadisumarto, tembang Jawa terbagi menjadi 5 macam, yaitu: lagu dolanan, sekar macapat, sekar tengahan, sekar ageng, dan sekar gendhing. Disebut sekar macapat karena tembang ini dibawakan dengan maca papat-papat (membaca empat-empat), maksudnya yaitu cara membacanya terjalin tiap empat suku kata.

Dalam sejarah, sekar macapat pada mulanya diciptakan oleh Prabu Banjaransari di Sigaluh pada tahun Jawa 1191. Dulunya syair tembang macapat ditulis menggunakan bahasa Kawi yang berupa kakawin. Selanjutnya, tembang macapat bisa ditemui dalam buku-buku yang mempelajari tentang tembang dari zaman dulu hingga sekarang.
Namun ada pula pendapat yang mengatakan bahwa sekar macapat adalah karangan dari Para Wali, khususnya Walisongo (sembilan Wali Penyebar agama Islam dari tanah jawa). Maka dalam perkembangan berikutnya kemudian dijumpai pula sastra berupa suluk dan wirid.

Para Wali mencipta, menggubah, dan melakukan perubahan yang adiluhung untuk menebarkan syiar Islam lewat sarana tembang macapat. Sekar macapat pun oleh para Wali dibuat agar isinya sesuai dan cocok dengan ajaran Islam. Tidak heran, nuansa Islam memang banyak ditemukan dalam sekar (tembang) macapat.

Selanjutnya oleh para pujangga khususnya di Keraton Surakarta atau Pura Mangkunegaran, sekar macapat ditulis atau digubah kembali menjadi jumlah sangat banyak. Jika dicermati dari beberapa tembang macapat yang ada, sangat banyak pengajaran, nasehat, petuah, atau pitutur luhur dalam hal watak atau kepribadian di dalamnya.

Lebih luas lagi, isi tembang macapat juga bisa merambah dan membumbung tinggi hingga ranah "ke-Ilahi-an", pengetahuan tentang kejiwaan, ketajaman mata batin, ngelmu, laku, budi pekerti, sopan-santun, tatakrama, unggah-ungguh, dan lain-lain. Intinya, apa yang terkandung dalam sekar macapat dapat menjadi sumber pengajaran, petuah, dan pitutur, untuk membangun watak dan karakter bangsa. 

Diterjemahkan dengan semampunya dari artikel berbahasa Jawa karya Ki Sutadi Pangarsa Persatuan Pedalangan Indonesia Komisariat Jawa Tengah- Ki Demang

Labels: Seni Budaya

Thanks for reading Pengajaran, Pitutur, dan Nasehat dalam Tembang Macapat. Please share...!

0 Komentar untuk "Pengajaran, Pitutur, dan Nasehat dalam Tembang Macapat"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.