Mengenal 10 Tokoh Penyair Kenamaan Indonesia


Beberapa hari yang lalu (28/4), kita baru saja memperingati Hari Puisi Nasional, dimana dalam sejarahnya penentuan tanggal ini bertepatan dengan tanggal wafatnya salah seorang penyair kenamaan tanah air yakni Chairil Anwar. Chairil Anwar dikenal dengan gagasan puisinya yang mendobrak, sehingga beberapa kalangan menganggapnya sebagai orang yang pertama-tama merintis jalan dan membentuk aliran baru dalam kasusastraan Indonesia. 

Sepeninggal Chairil Anwar, bermunculan pula tokoh-tokoh penyair lainnya di negeri ini dengan kehebatannya masing-masing. Karya-karya puisi gubahan mereka juga melegenda dan sangat berpengaruh terhadap kesusastraan tanah air. 

Penyair dan Sastrawan kenamaan Nusantara

Penasaran siapa saja mereka?. Berikut ini kami rangkumkan beberapa di antaranya untuk anda. 

1. Chairil Anwar


Meski sudah sedikit disinggung di atas, kurang elok kiranya jika nama sosok ini kurang mendapat ulasan di artikel ini. Sosok kelahiran Medan 26 Juli 1922 ini memang telah begitu banyak menyumbangkan peninggalan di bidang sastra. Karya puisinya diketahui berjumlah kurang lebih 70 karya dari 96 karya sastra yang telah dituliskan. Chairil Anwar dikenal piawai dalam melahirkan karya-karya heroik dan menggugah kehidupan. Puisi-puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

Dijuluki "Si binatang jalang", Chairil Anwar juga dinobatkan H. B Jasin sebagai pelopor sastrawan angkatan 45 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin. Salah satu karya legendarisnya berjudul "Aku", puisi yang besar pengaruhnya pada angkatan 45. Karyanya ini juga menggambarkan alam individualistis dan vitalitasnya sebagai seorang penyair. Chairil Anwar memang telah berpulang di usia muda, tepatnya pada usia 26 tahun (wafat 28 April 1949). Meski begitu, namanya akan selalu dikenang melalui karya-karyanya yang melegenda hingga kini. 

2. WS. Rendra


Penyair berjuluk "Si Burung Merak" ini lahir di Solo, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada usia 73 tahun. Sejak muda, Rendra telah menulis berbagai puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Tahun 1967, ia mendirikan Bengkel Teater, yang telah banyak melahirkan seniman-seniman berbakat seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, dan lain-lain. 

Sebagai seorang sastrawan, WS Rendra mempunyai pengaruh besar terhadap kesusastraan Indonesia. Karyanya mengalun menurut kebiasaannya sendiri. Ia menggubah puisi atau karya-karyanya dengan kata yang rapi dan apik dibaca maupun didengar. Karya-karyanya tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Beberapa karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. 

3. Sitor Situmorang


Penulis asal Tapanuli Utara, Sumatera Utara ini merupakan seorang penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar. Sebagai seorang pengagum Soekarno, Sitor Situmorang juga terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an. Sitor Situmorang menulis sajak, cerita pendek, esai, naskah drama, naskah film, karya terjemahan, dan telaah sejarah lembaga pemerintahan Batak Toba. Sepanjang hidupnya, ia telah berkelana ke berbagai negara mulai dari Singapura, Amsterdam (Belanda), Paris (Prancis), dan Pakistan. 

Sitor memulai kariernya sebagai wartawan di beberapa Surat Kabar, dimana dia bergaul dengan dunia tulis menulis. Sitor menampilkan corak simbolik dalam sajak-sajaknya, terutama sajak-sajak awalnya yang terhimpun dalam Surat kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama. Karya-karya Sitor Situmorang ini telah memberi oksigen bagi pembaca yang haus komposisi. Puisinya yang amat terkenal sebagai puisi paling pendek berjudul "Malam Lebaran". Pujangga kelahiran 2 Oktober 1923 ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 21 Desember 2014 di Apeldoorn, Belanda, pada usia 91 tahun. 

4. Goenawan Mohamad


Sastrawan bernama lengkap Goenawan Soesatyo Mohamad ini lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Selain sebagai sastrawan, ia juga merupakan budayawan dan seorang intelektual yang memiliki pandangan terbuka. Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Pada tahun 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time.

Pemikiran-pemikiran Goenawan Mohamad yang terbuka turut berpengaruh terhadap karya-karyanya. Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan, di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir (Caping), sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang Majalah Tempo. Hingga kini, ia juga masih aktif menulis Catatan Pinggir tersebut. 

5. Sutardji Calzoum Bachri


Lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941, Sutardji Calzoum Bachri adalah sastrawan kenamaan tanah air yang mendapat julukan Presiden Penyair Indonesia. Ia merintis bidang sastra saat masih menjadi mahasiswa di Universitas Padjadjaran dengan menulis di beberapa surat kabar. Sajak-sajaknya sempat dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Ia juga pernah menjadi redaktur rubrik budaya "Bentara" di Kompas dan kemudian menjadi redaktur Horison sejak tahun 1979.

Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri adalah karya sastra yang mengusung konsep kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian. Ia berhasil mengeluarkan konsep puisi keluar dari pakemnya. Ia menyatakan bahwa penciptaan puisi pada dasarnya pembebasan kata-kata yang berarti mengembalikan kata pada mulanya, yaitu mantra. Selain itu, ia juga banyak menggunakan bahasa figuratif atau bahasa yang digunakan penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara tidak biasa, melalui makna kias atau lambang. Salah satu karyanya yang terkenal adalah "Tragedi Winka Sihka". 

6. Joko Pinurbo


Tokoh kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat pada 11 Mei 1962 ini merupakan salah seorang penyair terkemuka Indonesia yang karya-karyanya telah menorehkan gaya dan warna tersendiri dalam dunia puisi Indonesia. Joko Pinurbo  telah menggeluti puisi sejak remaja dan mulai menulis pada usia 20 tahun. Berbagai penghargaan berhasil ia raih seperti Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014) dan South East Asian (SEA) Write Award (2014).

Joko Pinurbo banyak melahirkan karya-karya yang memadukan unsur naratif, ironi refleksi diri, dan tak jarang membubuhkan unsur "nakal". Ia dikenal piawai menggunakan dan mengolah citraan yang mengacu pada peristiwa dan objek sehari-hari dengan bahasa yang cair tapi tajam. Puisi-puisinya banyak mengandung refleksi dan kontemplasi yang menyentuh absurditas sehari-hari. Sejumlah puisinya juga telah dimusikalisasi antara lain oleh Oppie Andaresta dan Ananda Sukarlan.

7. Widji Thukul


Widji Thukul, atau bernama asli Widji Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963) adalah salah seorang sastrawan kenamaan Indonesia. Selain sebagai sastrawan, ia juga merupakan seorang aktivis hak asasi manusia yang ikut berjuang melawan penindasan pada masa rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang, tidak diketahui dimana keberadaannya, dan dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh pihak militer. Ia menjadi salah satu dari belasan aktivis yang hilang saat itu. 

Lewat karya-karyanya, Widji Thukul mengorasikan perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok. Tulisan-tulisannya menggugah semangat kaum-kaum tertindas. Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sastrawan asal Surakarta ini masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000. Tidak tahu, ia kini masih hidup atau telah menyatu dengan alam.

8. Remi Silado


Bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong, sastrawan kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945 ini merupakan salah satu pelopor penulisan Puisi mBeling, bersama Jeihan dan Abdul Hadi WM. Dia menyebut bahwa Puisi mBeling adalah puisi konkret pertama dalam sejarah kasusastraan kontemporer Indonesia. Berkat puisi mBeling ini, Remi pernah diganjar tiga penghargaan yaitu Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI, Anugerah Ahmad Bakri, dan penghargaan dari Raja Thailand. 

Dia menulis kritik, puisi, cerpen, novel (sejak usia 18 tahun), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Tulisan-tulisannya lekat dengan kritik terhadap berbagai persoalan sosial dan budaya. Dalam karyanya, Remi Silado kerap menggunakan kata-kata arkais atau kata-kata yang sudah lama tidak digunakan. Hal ini membuat karya sastranya menjadi unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi. Selain menulis, ia juga dikenal piawai dalam melukis, berdrama, dan tahu banyak akan film. 

9. Sapardi Djoko Damono


Siapa yang tak kenal Bapak Hujan Juni?. Sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Sejak remaja, Sapardi Djoko Damono sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Berbagai penghargaan pernah ia raih seperti anugerah SEA Write Award pada tahun 1986 dan penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Dalam karya-karyanya, Sapardi Djoko Damono dikenal selalu memasang diksi-diksi yang tepat sehingga terkesan sederhana namun sarat makna. "Hujan Bulan Juni" dan "Aku Ingin" adalah salah satu karya monumentalnya. Saat ini, Sapardi Djoko Damono masih aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sembari tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.

10. Taufiq Ismail


Taufiq Ismail (lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 25 Juni 1935) adalah seorang penyair dan sastrawan Indonesia yang karya-karya puisinya sering dinyanyikan oleh para penyanyi ternama seperti Himpunan Musik Bimbo (pimpinan Samsudin Hardjakusumah), Chrisye, Ahmad Al bar dan Ucok Harahap. Sejak masih SMA, Taufiq memang telah bercita-cita menjadi seorang sastrawan. Sepanjang karirnya, ia juga pernah menulis di berbagai media, menjadi wartawan, dan menjadi salah seorang pendiri Horison (1966). 

Taufiq sering membacakan puisinya di depan umum. Di luar negeri, ia pernah membacakan puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota di Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak tahun 1970. Baginya, puisi baru akan 'memperoleh tubuh yang lengkap' jika setelah ditulis kemudian dibaca di depan orang. Beberapa karyanya yang cukup dikenal terhimpun dalam buku kumpulan puisi, di antaranya yaitu Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Puisi-Puisi Langit, dan lain sebagainya. 

Itulah di antara beberapa tokoh penyair Senior Kenamaan Indonesia. Semoga bermanfaat. (diolah dari berbagai sumber). 

Labels: Profil Tokoh

Thanks for reading Mengenal 10 Tokoh Penyair Kenamaan Indonesia. Please share...!

0 Komentar untuk "Mengenal 10 Tokoh Penyair Kenamaan Indonesia"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.