Ramadhan kembali menyapa, dan umat Islam pun kembali merayakannya meski dengan kesederhanaan karena adanya wabah pandemi ini. Ramadhan, bulan yang dimaknai penuh rahmat, barokah, sekaligus waktu berintrospeksi diri bagi umat yang menjalankan. Selama sebulan penuh, ganjaran atas perbuatan baik dilipatgandakan, umat yang bersedekah dimuliakan, dan derajat amalan dari ajaran agama ditinggikan.
Inilah Ramadhan, bulan yang diyakini penuh maghfirah, bulan pengampunan atas dosa, salah, khilaf, serta perbuatan masa lampau yang tidak sesuai dengan rukun dan tuntunan.
pic. via wikipedia |
Berbagai kejadian serasa menyesakkan kesadaran kita sebagai insan yang memiliki banyak kelebihan. Singularisme seolah-olah menjadi mindset sikap bagi sebagian orang. Tak hanya bagi mereka yang memiliki otoritas dalam birokrasi, tetapi juga menggejala di masyarakat.
Kita melihat berita di media massa maupun elektronik tentang aparat penegak hukum yang patgulipat dengan terdakwa untuk mengatur tinggi-rendahnya vonis di pengadilan. Atau bahkan makin sering terjadi dimana penegak hukum tertangkap tangan kasus suap yang dilakukannya. Padahal semestinya di tangan merekalah hukum ditegakkan. Bukannya malah belepotan dalam genggaman pelaku hukum itu sendiri.
Atau kasus lain misalnya saat terjadi pembongkaran lahan berdasarkan vonis yang telah ditetapkan, acapkali kita dikejutkan pula dengan terjadinya kericuhan sehingga tidak jarang berakibat akan jatuhnya korban.
Sikap mengedepankan egoisme jelas hanya menguntungkan kelompok atau golongan sendiri dan merugikan kelompok lain. Di tengah perbedaan masyarakat, pluralisme seringkali menjadi tawaran jalan tengah. Namun kenyataanya, alih-alih menjadi solusi, justru intoleransi yang terjadi. Berbagai diskusi dan pemutaran film yang dipersepsikan sebagai "kiri" dan suara minoritas dianggap sebagai kegiatan yang melanggar norma. Pembubaran pun sering disertai dengan kekerasan atau ancaman.
Karena itulah, di tengah aneka peristiwa yang menitikkan air mata, nilai-nilai altruisme sebagai lawan dari keegoisan seharusnya dikedepankan. (Mengutip dari wikipedia, altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini juga sering digambarkan sebagai aturan emas etika).
Prularisme sebagai realitas memang tidak bisa disangkal. Ada kesediaan individu untuk menghormati individu lain. Sangatlah eman-eman jikalau energi kita disia-siakan dengan mempertajam konflik dan bentrok antar kelompok masyarakat. Jangan ada peperangan di antara kita, sebab perang senyatanya adalah melawan hawa dan nafsu. Yakni pengendalian diri akan perilaku iri, dengki, dan sirik.
Dalam perspektif kebhinekaan, perbedaan menjadi kekayaan guna mewujudkan nilai kebersamaan. Kebersamaan dalam konteks agama adalah makna sejati. Hidup saling mengasihi, mencintai sesama, dan menebar rasa empati. Puasa menjadi refleksi kesediaan umat untuk berbagi dengan sesama dan menciptakan ketenangan. Bukan hanya berperilaku dan ritual, melainkan wujud transformasi dari kesalehan sosial. Selamat menjalankan puasa Ramadhan.
Artikel di atas dikutip dengan sedikit perubahan dari Koran Suara Merdeka edisi 8 Juni 2016. Isinya yang menarik dan menggelitik membuat saya ingin membagikannya di artikel ini.
Labels:
Refleksi
Thanks for reading Ramadhan dan Transformasi Kesalehan Sosial . Please share...!