Home
» Mozaik
» Sejarah
» Sejarah Sriwijaya Sebagai Pusat Pendidikan dan Penyebaran Agama Budha
Meski kini merupakan agama minoritas di Indonesia, agama Budha pernah jaya dan berkembang pesat di negeri ini. Hal ini bisa terlihat dari keberadaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di wilayah Nusantara. Pada masa itu, Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini juga sesuai dengan berita dari seorang bhiksu Cina bernama I-Tsing yang pernah mengunjungi Sriwijaya antara tahun 671 - 672 M.
Candi Muaratakus via tribunnewswiki
Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat pertemuan antara para jemaah agama Budha dari Cina ke India dan dari India ke Cina. Melalui pertemuan itu, di kerajaan Sriwijaya berkembang ajaran Budha Mahayana. Berita Cina dari I-Tsing menyebutkan bahwa Sriwijaya merupakan sebuah kota berbenteng karena dikelilingi tembok. Kota ini juga dihuni oleh kurang lebih 1000 orang bhiksu yang mendalami ajaran agama Budha seperti halnya di India. Para bhiksu itu belajar di bawah bimbingan gurunya yang terkenal bernama Sakyakirti.
I-Tsing adalah seorang biksu Budha dari Cina yang pada tahun 671 berangkat dari Kanton ke India untuk belajar agama Budha. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa Sansekerta. Di sana, ia juga belajar kepada guru agama Budha terkenal yaitu Sakyakirti yang menulis buku berjudul Hastadandasastra. Sepulangnya dari India, I-Tsing kembali ke Sriwijaya dan menetap selama 6 tahun untuk memperdalam agama Budha. Salah satu karya yang dihasilkannya adalah Ta Tiang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M.
Melihat pesatnya kemajuan agama Budha di Sriwijaya, I-Tsing juga menganjurkan agar pendeta atau biksu Cina yang hendak belajar ke India terlebih dahulu singgah di Sriwijaya untuk mempelajari dasar-dasar agama Budha dan tata bahasa Sansekerta selama setahun atau dua tahun. Terkait hal ini I-Tsing mengatakan:
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Tiongkok ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
Selain Sakyakirti, guru besar agama Budha dari Sriwijaya lainnya adalah Dharmapala yang pernah mengajar agama Budha di Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala). Sedangkan tokoh lainnya yang pernah mengunjungi Sriwijaya di antaranya yaitu dua pendeta Tantris yaitu Wajrabodhi dan Amoghawajra pada tahun 717 dan pendeta asal Tibet bernama Attisa yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 1011 - 1023 M. Hal ini semakin menunjukan eksistensi Sriwijaya sebagai pusat agama Budha di luar India.
Selain berita dari I-Tsing, berita dari India juga menyebutkan mengenai hubungan baik antara Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan di India seperti kerajaan Nalanda dan kerajaan Cholomandala. Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda, India, telah membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima desa itu wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Hal ini merupakan wujud penghargaan sebab Raja Sriwijaya saat itu, Balaputradewa telah mendirikan vihara di Nalanda.
Sebagai salah satu pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara, kerajaan Sriwijaya juga memiliki beberapa peninggalan agama Budha yang tersebar di sejumlah tempat seperti di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, bahkan Thailand. Hal ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan Maritim yang selalu berpindah-pindah, alias tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama.
Peninggalan-peninggalan tersebut di antaranya yaitu bangunan suci seperti stupa, candi atau arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus (Riau), Gunung Tua (Padang Lawas), dan di Bukit Siguntang (Palembang). Peninggalan kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar Batu, Candi Astono, Kolam Telagorajo, dan Situs Muarojambi.
Selain itu juga ditemukan berbagai jenis arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang (Palembang), arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan langgam sama yang disebut Langgam Sriwijaya yang memiliki kemiripan dengan langgam Amarawati, India dan langgam Syailendra dari Jawa Tengah sekitar abad ke 8 sampai ke 9.
Santos el SalamJanuari 06, 2021AdminBandung Indonesia
Sejarah Sriwijaya Sebagai Pusat Pendidikan dan Penyebaran Agama Budha
Santos el Salam
6 Januari 2021
Meski kini merupakan agama minoritas di Indonesia, agama Budha pernah jaya dan berkembang pesat di negeri ini. Hal ini bisa terlihat dari keberadaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di wilayah Nusantara. Pada masa itu, Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini juga sesuai dengan berita dari seorang bhiksu Cina bernama I-Tsing yang pernah mengunjungi Sriwijaya antara tahun 671 - 672 M.
Candi Muaratakus via tribunnewswiki
Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat pertemuan antara para jemaah agama Budha dari Cina ke India dan dari India ke Cina. Melalui pertemuan itu, di kerajaan Sriwijaya berkembang ajaran Budha Mahayana. Berita Cina dari I-Tsing menyebutkan bahwa Sriwijaya merupakan sebuah kota berbenteng karena dikelilingi tembok. Kota ini juga dihuni oleh kurang lebih 1000 orang bhiksu yang mendalami ajaran agama Budha seperti halnya di India. Para bhiksu itu belajar di bawah bimbingan gurunya yang terkenal bernama Sakyakirti.
I-Tsing adalah seorang biksu Budha dari Cina yang pada tahun 671 berangkat dari Kanton ke India untuk belajar agama Budha. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa Sansekerta. Di sana, ia juga belajar kepada guru agama Budha terkenal yaitu Sakyakirti yang menulis buku berjudul Hastadandasastra. Sepulangnya dari India, I-Tsing kembali ke Sriwijaya dan menetap selama 6 tahun untuk memperdalam agama Budha. Salah satu karya yang dihasilkannya adalah Ta Tiang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M.
Melihat pesatnya kemajuan agama Budha di Sriwijaya, I-Tsing juga menganjurkan agar pendeta atau biksu Cina yang hendak belajar ke India terlebih dahulu singgah di Sriwijaya untuk mempelajari dasar-dasar agama Budha dan tata bahasa Sansekerta selama setahun atau dua tahun. Terkait hal ini I-Tsing mengatakan:
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Tiongkok ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
Selain Sakyakirti, guru besar agama Budha dari Sriwijaya lainnya adalah Dharmapala yang pernah mengajar agama Budha di Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala). Sedangkan tokoh lainnya yang pernah mengunjungi Sriwijaya di antaranya yaitu dua pendeta Tantris yaitu Wajrabodhi dan Amoghawajra pada tahun 717 dan pendeta asal Tibet bernama Attisa yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 1011 - 1023 M. Hal ini semakin menunjukan eksistensi Sriwijaya sebagai pusat agama Budha di luar India.
Selain berita dari I-Tsing, berita dari India juga menyebutkan mengenai hubungan baik antara Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan di India seperti kerajaan Nalanda dan kerajaan Cholomandala. Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda, India, telah membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima desa itu wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Hal ini merupakan wujud penghargaan sebab Raja Sriwijaya saat itu, Balaputradewa telah mendirikan vihara di Nalanda.
Sebagai salah satu pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara, kerajaan Sriwijaya juga memiliki beberapa peninggalan agama Budha yang tersebar di sejumlah tempat seperti di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, bahkan Thailand. Hal ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan Maritim yang selalu berpindah-pindah, alias tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama.
Peninggalan-peninggalan tersebut di antaranya yaitu bangunan suci seperti stupa, candi atau arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus (Riau), Gunung Tua (Padang Lawas), dan di Bukit Siguntang (Palembang). Peninggalan kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar Batu, Candi Astono, Kolam Telagorajo, dan Situs Muarojambi.
Selain itu juga ditemukan berbagai jenis arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang (Palembang), arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan langgam sama yang disebut Langgam Sriwijaya yang memiliki kemiripan dengan langgam Amarawati, India dan langgam Syailendra dari Jawa Tengah sekitar abad ke 8 sampai ke 9.