Home
» Sejarah
» Praktek Toleransi Beragama Pada Zaman Majapahit
Sebagai negara multietnik, masyarakat Indonesia memang dituntut untuk saling menghormati dan saling menghargai akan perbedaan yang ada, termasuk dalam urusan keyakinan. Untuk itulah kerukunan antar umat beragama menjadi penting untuk diwujudkan. Namun sebelum orang masa kini mengenal istilah toleransi dan menjalankannya, masyarakat pada zaman kerajaan Majapahit ternyata sudah lebih dulu mempraktekkannya dalam keseharian mereka.
Pada masa itu, berkembang agama Hindu Siwa dan agama Budha. Meski Hindu Siwa menjadi agama mayoritas saat itu, kedua umat beragama ini memiliki toleransi yang tinggi sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Berdasarkan sumber-sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dan aliran Siwasiddhanta, kecuali ratu Tribhuwanatunggadewi (ibunda Hayam Wuruk) beragama Buddha Mahayana. Meskipun begitu, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga sekitar tahun 1447 M.
Raja keempat Majapahit, Hayam Wuruk (1350-1389) merupakan seorang penganut agama Siwa, sedangkan Mahapatih Gajah Mada adalah penganut Budha. Meski begitu, keduanya dapat bekerja sama dengan baik untuk membawa Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Bahkan dalam kitab Negarakertagama pada pupuh ke LXXXI, dijelaskan bahwa Raja Hayam Wuruk pernah berusaha keras untuk menyatukan tiga aliran agama di wilayah Majapahit yang disebut dengan Tripaksa (tiga sayap) yaitu agama Siwa, Budha, dan Brahma.
Pupuh ini juga menyebutkan bahwa para pendetanya yang disebut caturdwija tunduk rungkup kepada ajaran tutur. Sedangkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa-Buddha. Hal itu juga ditegaskan lagi dalam kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Artinya yaitu Walaupun berbeda atau beraneka ragam, tetap dalam satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
Pada masa itu, urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut Dharmmaddhyaksa. Jabatan ini dibagi lagi menjadi dua yaitu Dharmmaddhyaksa Ring Kasaiwan untuk urusan agama Syiwa dan Dharmmaddhyaksa Ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmmaaupatti. Pejabat-pejabat itu, pada zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada 7 orang yang disebut dengan sang upatti sapta. Di samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga dikenal sebagai kelompok cendekiawan atau pujangga. Misalnya, Empu Prapanca adalah seorang Dharmmaddhyaksa dan juga seorang pujangga besar dengan kitabnya Negarakertagama.
Sedangkan untuk pelaksanaan upacara keagamaan, maka dibangunlah bangunan-bangunan suci seperti candi, pemandian suci (petirthan) dan gua-gua pertapaan. Bermacam-macam candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur yaitu terbuat dari bata seperti Candi Panataran, Candi Tigawangi, dan Candi Surawana. Bangunan-bangunan suci ini merupakan tempat pemujaan agama Siwa. Sementara sebagian kecil lainnya merupakan tempat pemujaan agama Buddha seperti Candi Jago, Candi Bhayalangu, Candi Sanggrahan, dan Candi Jabung.
Perpaduan antara agama Siwa dengan agama Buddha pada masa ini terbilang cukup unik. Pembauran agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit ini antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat. Beberapa tokoh raja Majapahit didharmakan pada dua candi yang berbeda, seperti Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha, Raja Jayanegara yang didharmakan di Shila Ptak sebagai wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha.
Meski begitu, pembauran Agama Siwa-Buddha ini sebenarnya hanyalah sebatas mempersamakan kenyataan tertinggi (the Supreme Being) kedua agama beserta segala emanasinya, disertai pembauran beberapa konsep kedua agama tersebut, namun bukan pembauran seluruh sistem. Kedua agama tersebut masih tetap eksis dengan penganut masing-masing yang menjalankan tata upacara sesuai ajaran dan aturan agama mereka. Demikian pula mereka masih tetap memiliki bangunan-bangunan suci sendiri.
Selain agama Hindu dan Budha, menurut catatan yang ditulis oleh Ma Huan dari Cina juga terdapat masyarakat yang menganut agama Islam utamanya para pedagang di pelabuhan. Hal ini juga menunjukkan kompleksnya penduduk Majapahit pada masa itu. Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, pembawa agama Islam ke Majapahit adalah Raden Rahmat alias Sunan Ngampel. Raden Rahmat adalah pendatang dari Campa pada pertengahan abad ke 14 untuk mengunjungi bibinya, puteri Campa yang menikah dengan raja Brawijaya (Bhre Kertabhumi). Hal ini terbukti dari angka tahun pada batu nisan puteri Campa di Trowulan yaitu 1370 Saka (1448 M).
Santos el SalamDesember 31, 2020AdminBandung Indonesia
Praktek Toleransi Beragama Pada Zaman Majapahit
Santos el Salam
31 Desember 2020
Sebagai negara multietnik, masyarakat Indonesia memang dituntut untuk saling menghormati dan saling menghargai akan perbedaan yang ada, termasuk dalam urusan keyakinan. Untuk itulah kerukunan antar umat beragama menjadi penting untuk diwujudkan. Namun sebelum orang masa kini mengenal istilah toleransi dan menjalankannya, masyarakat pada zaman kerajaan Majapahit ternyata sudah lebih dulu mempraktekkannya dalam keseharian mereka.
Pada masa itu, berkembang agama Hindu Siwa dan agama Budha. Meski Hindu Siwa menjadi agama mayoritas saat itu, kedua umat beragama ini memiliki toleransi yang tinggi sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Berdasarkan sumber-sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dan aliran Siwasiddhanta, kecuali ratu Tribhuwanatunggadewi (ibunda Hayam Wuruk) beragama Buddha Mahayana. Meskipun begitu, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga sekitar tahun 1447 M.
Raja keempat Majapahit, Hayam Wuruk (1350-1389) merupakan seorang penganut agama Siwa, sedangkan Mahapatih Gajah Mada adalah penganut Budha. Meski begitu, keduanya dapat bekerja sama dengan baik untuk membawa Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Bahkan dalam kitab Negarakertagama pada pupuh ke LXXXI, dijelaskan bahwa Raja Hayam Wuruk pernah berusaha keras untuk menyatukan tiga aliran agama di wilayah Majapahit yang disebut dengan Tripaksa (tiga sayap) yaitu agama Siwa, Budha, dan Brahma.
Pupuh ini juga menyebutkan bahwa para pendetanya yang disebut caturdwija tunduk rungkup kepada ajaran tutur. Sedangkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa-Buddha. Hal itu juga ditegaskan lagi dalam kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Artinya yaitu Walaupun berbeda atau beraneka ragam, tetap dalam satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
Pada masa itu, urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut Dharmmaddhyaksa. Jabatan ini dibagi lagi menjadi dua yaitu Dharmmaddhyaksa Ring Kasaiwan untuk urusan agama Syiwa dan Dharmmaddhyaksa Ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmmaaupatti. Pejabat-pejabat itu, pada zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada 7 orang yang disebut dengan sang upatti sapta. Di samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga dikenal sebagai kelompok cendekiawan atau pujangga. Misalnya, Empu Prapanca adalah seorang Dharmmaddhyaksa dan juga seorang pujangga besar dengan kitabnya Negarakertagama.
Sedangkan untuk pelaksanaan upacara keagamaan, maka dibangunlah bangunan-bangunan suci seperti candi, pemandian suci (petirthan) dan gua-gua pertapaan. Bermacam-macam candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur yaitu terbuat dari bata seperti Candi Panataran, Candi Tigawangi, dan Candi Surawana. Bangunan-bangunan suci ini merupakan tempat pemujaan agama Siwa. Sementara sebagian kecil lainnya merupakan tempat pemujaan agama Buddha seperti Candi Jago, Candi Bhayalangu, Candi Sanggrahan, dan Candi Jabung.
Perpaduan antara agama Siwa dengan agama Buddha pada masa ini terbilang cukup unik. Pembauran agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit ini antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat. Beberapa tokoh raja Majapahit didharmakan pada dua candi yang berbeda, seperti Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha, Raja Jayanegara yang didharmakan di Shila Ptak sebagai wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha.
Meski begitu, pembauran Agama Siwa-Buddha ini sebenarnya hanyalah sebatas mempersamakan kenyataan tertinggi (the Supreme Being) kedua agama beserta segala emanasinya, disertai pembauran beberapa konsep kedua agama tersebut, namun bukan pembauran seluruh sistem. Kedua agama tersebut masih tetap eksis dengan penganut masing-masing yang menjalankan tata upacara sesuai ajaran dan aturan agama mereka. Demikian pula mereka masih tetap memiliki bangunan-bangunan suci sendiri.
Selain agama Hindu dan Budha, menurut catatan yang ditulis oleh Ma Huan dari Cina juga terdapat masyarakat yang menganut agama Islam utamanya para pedagang di pelabuhan. Hal ini juga menunjukkan kompleksnya penduduk Majapahit pada masa itu. Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, pembawa agama Islam ke Majapahit adalah Raden Rahmat alias Sunan Ngampel. Raden Rahmat adalah pendatang dari Campa pada pertengahan abad ke 14 untuk mengunjungi bibinya, puteri Campa yang menikah dengan raja Brawijaya (Bhre Kertabhumi). Hal ini terbukti dari angka tahun pada batu nisan puteri Campa di Trowulan yaitu 1370 Saka (1448 M).