Dilihat dari hasil karya-karyanya, ada cukup banyak penyair tanah air yang digolongkan ke dalam penyair yang melahirkan puisi-puisi kontemporer. Sutardji Calzoum Bachri, Yudhistira Ardinugraha, Linus Suryadi A.G., Leon Agusta, Hamid Jabbar, F. Rahardi, Rahim Qahar, Ibrahim Sattah, dan Husni Djamaluddin adalah beberapa di antara tokoh-tokoh penyair yang dikenal sebagai pencipta puisi-puisi kontemporer di Indonesia.
gambar via media Indonesia |
Ciri-Ciri Puisi Kontemporer
Jika diperhatikan, tampak ada beberapa kesamaan pada ciri-ciri puisi kotemporer. Puisi-puisi kontemporer biasanya menonjolkan bentuk grafis, misalnya disajikan dalam bentuk kotak, bentuk anak panah, atau bentuk-bentuk lainnya. Pada puisi kontemporer, bentuk-bentuk tersebut memang dipentingkan. Misalnya, ada puisi yang berbentuk pot, zig-zag, dan gunung. Tentu saja bentuk-bentuk seperti itu memiliki arti tersendiri yang juga membantu pembaca dalam memaknai puisinya.
Karakteristik puisi kontemporer adalah bebas tidak ada aturan. Artinya, puisi-puisi tersebut tercipta sesuai dengan keinginan penyair. Dalam hal ini, penyair bebas bermain diksi, bebas dalam tipografi, dan bebas menggunakan lambang/simbol. Terkait dengan ciri paling dominan pada puisi tersebut adalah bebas bermain diksi, yaitu ketidaklaziman menggunakan pasangan kata.
Selain itu, puisi kontemporer juga mengutamakan kekuatan bunyi daripada makna, bahkan sepintas kata-kata dalam puisi seperti tidak mengandung makna. Penggunaan kata-kata itu lebih tertuju pada permainan bunyi. Misalnya dalam puisi "Pada Mulanya Sepi" karya Husni Djamaluddin, penyair menggunakan kata sepi, tak, yang, dan kata-kata lainnya sehingga membentuk perulangan bunyi yang semakin tegas dan jelas, walaupun bagian ujungnya berupa ceceran huruf dari kata kau dan aku.
Dengan karakternya yang seperti itu, puisi karya Husni Djamaluddin ataupun puisi-puisi kontemporer lainnya dapat dirumuskan sebagai puisi yang mengutamakan permainan bunyi dan mengabaikan arti. Hal itu berbeda dengan puisi Chairil Anwar atau sastrawan lain yang seangkatan dengannya yang lebih mengutamakan arti daripada bunyi. Berbeda pula dengan puisi Amir Hamzah yang mengutamakan arti sekaligus bunyi.
Berikut ini adalah salah satu contoh puisi kontemporer berjudul Tragedi Winka & Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri, penyair dan sastrawan Indonesia yang juga dijuluki sebagai Presiden Puisi Indonesia. Puisi unik ini cukup populer di kalangan penggiat sastra sehingga menarik untuk kita cermati dan pahami maknanya.
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Perhatikan dan cermati kembali puisi "Tragedi Winka & Sihka" di atas. Dalam puisi tersebut, bentuk grafis lebih dipentingkan. Tentunya bukan tanpa maksud penyair menulis puisi dengan bentuk zig-zag. Ia sebenarnya mempunyai maksud tertentu dengan membalik kata-kata yang digunakan karena di dalam puisi yang tidak bermakna diberi makna; dan mungkin pula kata yang sudah bermakna diberi makna baru. Maju-mundurnya baris dan maju-mundurnya pernyataan juga mungkin mengandung maksud tersendiri. Dengan kata lain, bentuk, larik, dan kata dalam puisi di atas membentuk makna tersembunyi.
Meskipun makna puisi tersebut tidak diungkapkan, tetapi bentuk fisik puisi tersebut membentuk makna tersendiri. Puisi di atas adalah tragedi, yakni tragedi winka dan sihka. Pembalikan kata /kawin/ menjadi /winka/ dan /kasih/ menjadi /sihka/ mengandung makna bahwa perkawinan antara suami istri itu berantakan dan kasih antara suami dan istri tersebut sudah berbalik menjadi kebencian.
Baris-baris puisi yang membentuk zig-zag mengandung makna terjadinya kegelisahan dalam perjalanan perkawinan itu. Pada baris ketujuh, kata /kawin/ berjalan mundur. Hal ini mengandung makna bahwa cinta dalam perkawinan yang tadinya besar, berubah menjadi semakin kecil. Di baris ke-15, kata /kawin/ sudah berubah menjadi /winka/ yang dapat ditafsirkan sebagai percekcokan dan perpisahan yang sudah sering terjadi sehingga kata /kasih/ itu berubah menjadi /sihka/. Dengan kata lain, kasih itu sedang benar-benar berubah menjadi kebencian.
Di baris ke-22, kasih itu sangat mundur sampai akhirnya tinggal sebelah saja, yakni /sih/. Akhir puisi ini menjelaskan bahwa /kawin/ dan /kasih/ kini telah menjadi kaku atau menjadi tragedi. /Ku/ dimulai dengan huruf kapital yang bermakna bahwa sang Penyair akhirnya berpaling kepada Tuhan.
Thanks for reading Puisi Kontemporer dan Makna Puisi Tragedi Winka & Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri. Please share...!