Abu Mihjan ats-Tsaqafi: Berhenti Jadi Pemabuk Demi Ikut Jihad

Abu Mihjan ats-Tsaqafi: Berhenti Jadi Pemabuk Demi Ikut Jihad

Sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, minum arak (khamr) telah menjadi kegemaran dan keseharian bagi masyarakat Arab. Bagi orang Arab masa itu, minum khamr seakan sudah menjadi tradisi seperti halnya minum teh. Saat Islam datang, kebiasaan tersebut tetap saja sulit dihilangkan sehingga tidak heran jika syariat tentang pelarangan minum khamr pun turun secara bertahap. 

pejuang Islam
ilustrasi via shutterstock

Di antara para pecandu khamr tersebut, tersebutlah salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Mihjan ats-Tsaqafi. Meski dikenal gigih dalam memperjuangkan kejayaan Islam, Abu Mihjan tetap belum bisa untuk meninggalkan kebiasaan lamanya yaitu minum khamr. Akibat perbuatannya tersebut, ia pun sering mendapat hukuman cambuk. Meski begitu, ia mengulangi lagi perbuatannya itu karena memang sangat sulit baginya untuk meninggalkannya. Setiap kali kedapatan mabuk, ia pun dihukum cambuk, begitu seterusnya. 

Hingga pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, Abu Mihjan tetap saja belum bisa meninggalkan kecanduannya akan khamr. Sampai pada suatu ketika, meletuslah perang Al Qadisiyah dimana kaum Muslimin yang dipimpin sahabat Sa'ad bin Abi Waqash berperang melawan pasukan Persia. Tidak ketinggalan, Abu Mihjan pun turut andil dalam peperangan tersebut. Ia tampil gagah berani bahkan termasuk yang paling bersemangat dan banyak membunuh musuh.
Namun sayangnya, Abu Mihjan masih saja menyempatkan diri untuk meminum khamr yang sudah menjadi kegemarannya itu. Mengetahui hal itu, Sa'ad bin Abi Waqash pun memberikan hukuman penjara kepadanya serta melarangnya untuk ikut berjihad. Abu Mihjan merasa sedih dan berputus asa karena tidak bisa ikut berjihad memperjuangkan agamanya bersama kaum Muslimin lainnya. Denting suara pedang dan kecamuk perang hanya bisa ia dengar dari balik jeruji besi.

Hal ini pun diketahui oleh istri Sa'ad bin Abi Waqash yang bernama Salma. Abu Mihjan kemudian memohon kepada Salma untuk sudi membebaskannya agar ia bisa segera menyusul rekan-rekannya berjihad. Ia juga berjanji akan lekas kembali ke penjara jika selamat usai pertempuran. Sebaliknya jika ia mati syahid, maka memang itulah yang dia cita-citakan. Melihat kesungguhan Abu Mihjan, istri Sa'ad kemudian membebaskannya sembari meminjamkan kepadanya kuda milik Sa'ad dan senjata untuknya berjihad. 

Dengan wajah tertutup kain, Abu Mihjan pun segera bergabung dengan kaum Muslimin lainnya untuk bertarung di medan laga. Dengan bergabungnya Abu Mihjan, pasukan Muslim yang awalnya sempat kerepotan seakan mendapat kekuatan baru dari prajurit misterius yang gagah berani. Semua pun bertanya-tanya siapakah sosok misterius yang gesit dan gagah berani itu. Namun Sa'ad bin Abi Waqash tampaknya mulai mengenali siapa sosok di balik wajah tertutup kain itu. 

Sa'ad bin Abi Waqash berkata, "Seandainya aku tidak tahu bahwa Abu Mihjan ada di penjara, maka aku katakan orang itu pastilah Abu Mihjan. Seandainya aku tidak tahu di mana pula si Balqa (kuda milik Sa’ad), maka aku katakan kuda itu adalah Balqa". Benar saja, sosok tersebut memanglah Abu Mihjan ats-Tsaqafi. 

Seusai perang yang dimenangkan oleh kaum Muslimin, Abu Mihjan segera memenuhi janjinya dan kembali ke penjara, bahkan dia sendiri yang memborgol kakinya. Sa'ad bin Abi Waqash kemudian mendatangi Abu Mihjan dan melepaskan borgol yang membelenggunya sambil berkata, "Kami tidak akan mencambukmu karena khamr selamanya".

Abu Mihjan kemudian menjawab: "Dan aku, Demi Allah, tidak akan lagi meminum khamr selamanya!". Sejak saat itulah, Abu Mihjan pun benar-benar meninggalkan kebiasaannya minum khamr untuk selamanya. 

Demikianlah kisah Abu Mihjan ats-Tsaqafi, sosok sahabat Nabi yang berhenti jadi pecandu demi ikut berjuang dan berjihad dalam menegakkan syiarnya cahaya Islam. Semoga bermanfaat.

Selengkapnya
Taubatnya Syaqiq al-Balkhi Hingga Memilih Jalan Zuhud

Taubatnya Syaqiq al-Balkhi Hingga Memilih Jalan Zuhud

Syaqiq al-Balkhi adalah salah seorang Sufi di antara tokoh-tokoh besar Khurasan yang hidup pada abad ke 3 Hijriyah. Nama lengkapnya yaitu Syaqiq bin Ibrahim al-Azdi dan memiliki nama kuniyah Abu Ali al-Balkhi. Sedangkan "al-Balkhi" merupakan sematan yang dinisbatkan kepada daerah tempat kelahirannya. Ia merupakan murid sekaligus sahabat karib sufi terkemuka yaitu Ibrahim bin Adham dan guru dari seorang sufi terkenal lainnya yaitu Hatim al Asham. 

ilustrasi sufi
ilustrasi sufi via islami.co

Dikisahkan bahwa sebelum dikenal sebagai seorang sufi ternama, Syaqiq adalah putra dari seorang hartawan yang sering melakukan perjalanan jauh ke berbagai pelosok negeri untuk berniaga. Dalam suatu perjalanan niaganya ke Turki, tanpa sengaja ia bertemu dengan sekelompok penyembah berhala di sana. Ia pun sempat memasuki sebuah rumah yang menjadi tempat penyembahan berhala bagi kelompok tersebut. Di samping banyak dijumpai berhala, di tempat tersebut ia juga menjumpai beberapa orang pendeta yang berkepala gundul plontos dan tidak berjenggot. 

Syaqiq pun mencoba berbincang dengan salah seorang pelayan di tempat tersebut. Ia berkata kepada pelayan tersebut, "Anda diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Hidup, Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa. Sembahlah Dia, jangan engkau menyembah berhala-berhala yang tidak bisa memberikan bahaya maupun manfaat!". 

Pelayan itu kemudian menjawab, "Wahai Syaqiq, ucapanmu tidak sama dengan perbuatanmu. Jika memang benar perkataanmu bahwa Tuhan Maha Kuasa memberimu rezeki di negerimu sendiri, maka mengapa engkau dengan susah payah melakukan perjalanan jauh hingga datang ke sini (negeri ini) untuk berniaga?. Apakah Tuhanmu tidak memberimu rezeki di tempat asalmu?". 

Mendengar jawaban sekaligus pertanyaan pelayan tersebut, Syaqiq pun tersentak hatinya. Sejak peristiwa itu, Syaqiq al-Balkhi lantas kembali ke tempat asalnya dan menyedekahkan seluruh harta kekayaannya. Sejak saat itu pula, ia kemudian memutuskan untuk menempuh kehidupan zuhud. 

Kisah lain menyebutkan bahwa kezuhudan Syaqiq al-Balkhi bermula saat ia melihat seorang hamba sahaya tengah bermain-main padahal ketika itu tengah terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan masyarakat menderita. Syaqiq kemudian bertanya kepada hamba sahaya tersebut, "Mengapa engkau bisa santai-santai begitu, bukankah kita telah dilanda krisis ekonomi?".

Hamba itu lantas menjawab, "Aku tidak mengalami krisis, sebab majikanku memiliki perkampungan subur yang hasilnya cukup untuk mencukupi seluruh kebutuhan kami".

Mendengar jawaban hamba tersebut, Syaqiq pun terketuk hatinya dan berkata, "Jika hamba ini tak lagi memikirkan rezeki disebabkan majikannya memiliki perkampungan yang subur, toh majikan itu sendiri makhluk yang miskin. Lantas bagaimana mungkin seorang Muslim memikirkan rezekinya sedang Tuhannya Maha Kaya Raya?"

Di antara kata-kata bijaknya, Syaqiq al-Balkhi juga pernah mengatakan, "Aku mencari lima perkara kemudian kutemukan pada lima perkara, yaitu:

1. Aku mencari kesanggupan meninggalkan dosa, lalu kutemukan pada shalat Dhuha.

2. Aku mencari pancaran cahaya di dalam kubur lalu kutemukan pada shalat Lail (Qiyamullail). 

3. Aku mencari jawaban terhadap Mungkar dan Nakir lalu kutemukan pada pembacaan Al-Qur'an.

4. Aku mencari kemampuan melintasi titian (shirath) lalu kutemukan pada puasa dan sedekah, dan

5. Aku mencari naungan Arasy lalu kutemukan dalam khalwat (menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah).

(dinukil dari kitab Nashaihul 'Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani)

Selengkapnya
Kisah Fatimah dan Gilingan Gandum (Nasehat Nabi SAW Kepada Para Wanita/Istri)

Kisah Fatimah dan Gilingan Gandum (Nasehat Nabi SAW Kepada Para Wanita/Istri)

wanita membuat roti
ilustrasi via pixabay 

Salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yakni Abu Hurairah RA pernah bercerita: 

Pada suatu hari, Rasulullah SAW pergi berkunjung ke rumah puterinya yaitu Fatimah az-Zahra'. Sesampainya di sana, dijumpainya puterinya itu sedang menggiling biji gandum menggunakan gilingan batu sambil menangis. Nabi pun bertanya kepadanya, "Apa yang menyebabkan kamu menangis wahai Fatimah?, mudah-mudahan Allah tidak menjadikan kedua matamu menangis". 

Fatimah menjawab, "Yang menyebabkan aku menangis adalah gilingan batu ini dan kesibukanku di rumah setiap hari". 

Ayahnya (Nabi SAW)) kemudian mendekati Fatimah dan duduk di samping puteri tercintanya itu. Fatimah kemudian melanjutkan perkataannya, "Bapakku, aku mohon engkau menyuruh suamiku Ali agar dia membelikan budak untukku, sehingga ia dapat membantuku dalam menggiling gandum dan kesibukan di rumah". 

Mendengar perkataan Fatimah seperti itu, Rasulullah langsung berdiri menghampiri gilingan gandum tersebut lantas mengambil gandum dengan tangannya sendiri untuk dituangkan ke dalam gilingan. Dengan membaca Basmalah, beliau pun menggilingnya. Atas izin Allah SWT, sungguh ajaib gilingan itu dapat berputar dengan sendirinya. Selanjutnya Nabi menuangkan lagi gandum ke dalam gilingan yang sudah berputar sendiri itu. 

Lebih ajaibnya lagi, gilingan itu dapat membaca tasbih dengan bahasa yang berbeda-beda sampai selesainya penggilingan. Nabi kemudian berkata kepada gilingan itu, "Berhentilah engkau dengan izin Allah!" 

Gilingan itu pun berhenti dan dengan izin Allah pula gilingan itu berkata dengan fasih seperti halnya lisan orang-orang Arab, "Ya Rasulullah, demi Dzat yang mengutus engkau sebagai Nabi dan Rasul. Seandainya engkau memerintahkan aku untuk menggiling biji gandum yang ada di ujung timur sampai di ujung barat, pasti aku akan menggilingnya semua. Dan sesungguhnya aku telah mendengar firman Allah:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوٓا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim, 6)

Oleh karenanya, aku khawatir kalau aku termasuk batu yang dimasukkan ke dalam neraka. 

Nabi berkata, "Berbahagialah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah batu dari sebagian gedungnya Fatimah az-Zahra' kelak di surga". 

Setelah mendengar penuturan Nabi seperti itu, gilingan batu itu pun merasa tenteram dan senang. 

Nabi SAW kemudian berkata kepada Fatimah:

"Seandainya Allah menghendaki, niscaya gilingan ini akan menggiling dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki lain. Dengan jerih payahmu, Allah mencatat beberapa kebaikan untukmu dan menghapus beberapa kejelekan darimu, serta mengangkat derajatmu. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka tidak lain kecuali Allah mencatat baginya kebaikan dari setiap biji gandum yang dibuatnya tersebut. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang berkeringat lantaran membuat tepung untuk suaminya, maka tidak lain kecuali Allah membuatkan tujuh pintu baginya untuk memisahkan antara dirinya dengan neraka. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang meminyaki rambut anaknya, menyisir dan mencucikan pakaiannya, maka tidak lain kecuali Allah menetapkan baginya pahala orang yang memberi makan seribu orang lapar serta pahala orang yang memberi pakaian orang yang telanjang. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang mencegah atau menghalangi kebutuhan tetangganya, maka Allah akan mencegahnya untuk meminum air telaga kautsar kelak di hari kiamat. 

Hai Fatimah, yang lebih utama dari semua yang aku sebutkan tadi adalah ridha suami terhadap istrinya. Seandainya suamimu tidak meridhaimu, niscaya aku juga tidak akan mendoakan kebaikan untukmu. Apakah engkau tidak mengetahui hai Fatimah?, Sesungguhnya ridha suami itu sebagian dari ridha Allah. Dan murka suami itu sebagian dari murka Allah. 

Hai Fatimah, jika seorang wanita hamil, maka para malaikat akan memintakan ampun baginya. Dan Allah akan mencatat baginya seribu kebaikan setiap hari. Serta melebur darinya seribu kejelekan. Jika sewaktu mengandung dia merasakan kepayahan, maka Allah mencatat baginya pahala sebagaimana pahalanya orang yang berjihad di jalanNya. Apabila dia melahirkan, bebaslah dia dari dosa-dosanya, sehingga seperti bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang melayani suaminya dengan niat yang baik, maka tidak lain kecuali dia bebas dari dosa-dosanya seperti saat baru dilahirkan ibunya. Dia tidak akan keluar dari dunia dengan membawa dosa sedikitpun. Dia akan merasakan bahwa kuburnya laksana taman dari sebagian taman surga. Allah memberinya pahala sebagaimana pahalanya seribu orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan para malaikat selalu memintakan ampun baginya sampai hari kiamat tiba. 

Mana saja wanita yang melayani suaminya dengan ikhlas dan niat yang baik, maka tidak lain kecuali Allah mengampuni dosa-dosanya kelak di hari kiamat, memberinya pakaian yang hijau-hijau, mencatat baginya dari setiap rambut yang ada pada dirinya dengan seribu kebaikan serta memberinya pahala seperti pahalanya seratus orang yang melakukan haji dan umrah. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang selalu tersenyum di hadapan suami, maka tidak lain kecuali Allah memandangnya dengan pandangan penuh rahmat. Dan mana saja wanita yang berkumpul bersama suaminya dengan baik hati, maka tidak lain ada orang yang akan berkata kepadanya, "Hadapi amalmu! Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang". 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang mau memberi minyak pada rambut suami beserta jenggotnya, mau mencukur kumisnya, memotong kukunya, maka tidak lain kecuali Allah akan memberinya minuman arak dari surga yang masih murni, minuman dari bengawan surga, meringankan ketika sakaratul maut, dia akan merasakan bahwa kuburnya seperti taman surga, Allah mencatatnya sebagai orang yang selamat dari neraka dan dipermudah di saat melewati Shirath di hari kiamat kelak." (dinukil dari Syarh ′Uqud al Lujjain fi Bayaani Khuquuqi Az Zawjain karya Syaikh Nawawi al-Bantani)

Selengkapnya
Jika Kalian Sedang Marah, Maka Mandilah/Berwudhulah!

Jika Kalian Sedang Marah, Maka Mandilah/Berwudhulah!

orang marah
ilustrasi marah via pixabay 

Suatu ketika, Muawiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Dinasti Umayyah) berdiri di atas mimbarnya setelah ia menunda sebagian pemberian harta kepada beberapa orang Muslim hingga dua bulan ke depan. Ia berkata, "Dengarkanlah dan taatilah perkataanku!"

Maka Abu Muslim Al-Khulani berdiri mendekat untuk mengkritiknya sehubungan dengan tindakan Muawiyah yang salah itu. Abu Muslim berkata, "Kami tidak wajib mendengarkan dan menaatimu, hai Muawiyah!".

Muawiyah kemudian menanyakan alasannya, "Mengapa, wahai Abu Muslim?"

Abu Muslim berkata, "Hai Muawiyah, bagaimana mungkin engkau menghentikan (menunda) pemberian, sedangkan harta yang diberikan bukan hasil jerih payahmu, bukan hasil jerih payah ayah dan ibumu. Mengapa engkau menahannya begitu lama?"

Mendengar jawaban Abu Muslim, Muawiyah pun tampak menahan emosi. Tanda kemarahan jelas tersirat di wajahnya. Namun sebelum ia melampiaskan amarahnya, buru-buru ia lekas turun dari mimbar dan mengatakan kepada yang hadir agar mereka tetap di tempatnya masing-masing. Untuk sesaat Muawiyah menghilang dan tidak tampak kemana perginya.

Beberapa saat kemudian ia pun muncul kembali seraya berkata, "Abu Muslim telah mengatakan sesuatu yang membuatku marah, sedangkan aku mendengar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

إن الغضب من الشيطان وإن الشيطان خلق من النار وإنماتطفأ النار بالماء فإذاغضب أحدكم فليغتسل

'Sesungguhnya marah itu dari syetan, sedangkan syetan itu dibuat dari api, dan api hanya dapat dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kamu marah, mandilah!' 

Kemudian aku pulang dan masuk ke rumah untuk mandi. Benar apa yang dikatakan oleh Abu Muslim bahwa harta yang diberikan itu bukan hasil kerja kerasku dan bukan pula hasil kerja keras ayahku. Maka dari itu, marilah dan ambillah pemberian untuk kalian." 

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya', sedangkan kisahnya disebutkan oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya'-nya, V: 70. Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari Athiyyah dengan redaksi akhir kalimat "falyatawadhdha', artinya: maka berwudhulah!".
 
Selengkapnya
Kisah Seorang Kyai dan Macan Pembawa Kayu

Kisah Seorang Kyai dan Macan Pembawa Kayu

kyai dan macan alias harimau

Alkisah pada zaman dahulu, ada seorang kiyai mempunyai saudara laki-laki yang shalih. Setahun sekali, saudaranya itu selalu datang berkunjung untuk bersilaturrahim dengan kyai tersebut. Pada suatu hari, tibalah saatnya bagi saudara shalih itu untuk mengunjungi rumah sang kyai, saudaranya. Setelah sampai di depan rumah dan berucap salam, istri kyai menyambutnya sambil bertanya, "Siapakah saudara ini?"

Saudara kyai yang shalih itu menjawab, "Saya adalah saudara suamimu, hendak perlu bersilaturrahim dengannya".

Istri kyai itu kemudian menimpalinya, "Dia tidak ada di rumah. Dia pergi ke hutan sedang mencari kayu. Saya doakan semoga dia tidak akan kembali lagi". Tidak hanya itu saja, istri kyai tersebut juga masih mengucapkan kata-kata jelek lainnya tentang suaminya yang tidak pantas untuk diucapkan. 

Tidak berapa lama kemudian, sang kyai datang dari hutan dengan menggiring seekor macan yang menggendong kayu-kayunya. Setelah sampai di depan rumah, kayu-kayu itu pun diturunkan dari punggung si macan. Pak kyai kemudian melepas kepergian si macan untuk kembali ke hutan seraya berkata, "Pergilah engkau sekarang, mudah-mudahan Allah memberi keberkahan kepadamu". 

Melihat saudaranya telah menunggu di depan rumahnya, pak kyai pun mempersilahkannya untuk masuk. Keduanya saling melepaskan kangen dengan saling bertukar kabar mengenai kehidupan masing-masing. Kyai juga mendoakan agar kehidupan saudaranya itu selalu dalam keadaan selamat dan bahagia. Diajaknya pula saudaranya itu untuk makan bersama-sama di rumah kyai tersebut. 

Setelah mengobrol lama dan telah selesai urusannya, saudara yang shalih itu pun minta diri hendak pamit pulang. Dengan penuh keheranan, saudaranya itu juga menyampaikan rasa kagumnya terhadap kyai atas kesabarannya dalam menghadapi istrinya yang berakhlak buruk lagi kotor perkataannya. Maka pulanglah saudara shalih itu. 

Waktu terus berjalan hingga pada tahun berikutnya, saudaranya itu pun datang berkunjung lagi ke rumahnya. Sambil mengetuk pintu, saudara shalih itu mengucapkan salam kepada orang di rumah. Tidak lama kemudian istri kyai keluar menyambutnya sembari bertanya, "Siapakah saudara"? 

Saudara kyai yang shalih itu menjawab, "Saya saudara suamimu, hendak bertemu dengannya". Rupanya istri kyai yang menyambutnya itu bukan istri yang dahulu sehingga ia tidak mengetahui siapa dirinya. 

Istri kyai menyambut kedatangan saudara suaminya itu seraya berkata, "Selamat datang wahai saudaraku". Selanjutnya istri kyai itu memuji suaminya dan mendoakan kepadanya dan juga kepada saudaranya itu dengan harapan agar tetap diberi keselamatan dan senantiasa hidup diliputi kebahagiaan. Tidak lupa istri kyai juga mempersilahkan tamunya untuk duduk sambil menunggu kedatangan suaminya. 

Tidak lama kemudian, pak kyai pulang dari hutan dengan membawa seonggok kayu di punggungnya. Ia menggendong sendiri kayu-kayu tersebut tanpa ditemani macan yang dahulu membantu membawakannya. Setelah meletakkan kayu dan membersihkan diri, pak kyai mengajak saudaranya itu untuk makan bersama. 

Setelah bercengkerama panjang lebar, tamu (saudaranya) itu pun pamit hendak pulang. Namun sebelum pulang, saudaranya itu bertanya kepada kyai tentang caranya membawa kayu. Saudaranya itu heran mengapa kali ini dia tidak membawa macan untuk menggendong kayu-kayunya seperti dulu. Mendengar pertanyaan saudaranya itu, sang kyai kemudian menjawab:

"Ketahuilah saudaraku, istriku yang dulu sangat buruk perkataannya dan aku sabar menghadapinya. Maka Allah menundukkan seekor macan untukku. Macan yang dahulu membantuku adalah anugerah dari Allah atas kesabaranku terhadap kejelekkan akhlak isteri ku. Setelah istriku yang dahulu telah wafat, sekarang aku menikahi wanita shalihah ini dan aku merasa tenteram bersamanya. Oleh karenanya, Allah tidak lagi mengutus macan untuk membantuku. Maka sekarang aku harus membawa sendiri kayu-kayu itu di punggungku. Sebab aku telah beristri wanita shalihah ini". (kisah dinukil dari Syarh ′Uqud al Lujjain fi Bayaani Khuquuqi Az Zawjain karya Syaikh Nawawi al-Bantani)

Selengkapnya
Kisah Para Salafuna Shalih Yang Kecanduan (Gemar) Membaca

Kisah Para Salafuna Shalih Yang Kecanduan (Gemar) Membaca

Imam Ahmad pernah berkata, "Kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan itu porsinya lebih besar daripada makan dan minum, karena orang membutuhkan makan dan minum dalam sehari hanya sekali atau sampai tiga kali. Akan tetapi kebutuhan terhadap ilmu adalah sebanyak bilangan tarikan napasnya" (Tahdzib Madarij ash-Shalihin

santri membaca kitab kuning
ilustrasi via islami.co

Ada banyak cara bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhannya akan ilmu pengetahuan. Salah satu di antaranya yaitu dengan membaca. Pada dasarnya, kegiatan membaca dapat membantu seseorang menjadi lebih baik. Membaca juga merupakan salah satu cara terbaik untuk memanfaatkan waktu. Semakin rajin membaca, meneliti, dan mengasah, maka seseorang akan semakin banyak memiliki ilmu untuk diamalkannya.

Dengan terus membaca dan menelaaah isi berbagai macam buku atau kitab, maka akan memberikan kepada seseorang suatu kemampuan untuk menganalisa dan mengemukakan pendapatnya secara benar, dan apabila ia mengkritik suatu masalah maka dilakukannya dengan kacamata dan bahasa ilmu pengetahuan. Bahkan membaca juga dapat membuat seseorang menjadi lebih sehat, terutama secara mental. 

Tidak hanya itu saja, seseorang yang banyak membaca dan menelaah bermacam-macam buku, maka masyarakat akan melihatnya dengan pandangan kewibawaan dan kehormatan. Kiranya para Ulama Salaf juga tidak akan sampai pada tingkat kharisma dan kedudukan serta kepribadian yang sedemikian itu andaikata mereka tidak memiliki ilmu dan minat baca yang tinggi.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada artikel kali ini saya akan berbagi cuplikan kisah dari para Salafuna Shalih yang gemar membaca sebagaimana dikutip dari buku Efisiensi Waktu Konsep Islam (Al Waqt 'Amaar au Damaar) karya Jasiem M. Badr al-Muthawi. Semoga menginspirasi. 

1. Ibnul Mubarak: Berteman dengan Para Sahabat


Ibnul Mubarak adalah termasuk generasi ketiga setelah Rasulullah SAW (atba' at-tabi'in). Meski demikian, beliau selalu menyempatkan diri untuk 'duduk' bersama para sahabat Rasul dengan memahami ucapan-ucapan dan riwayat-riwayat mereka. Pernah suatu ketika murid-murid beliau gelisah karena beberapa hari tidak menemukan kehadiran sang guru. Ketika berjumpa, mereka pun bertanya, "Mengapa Tuan tidak duduk mengajar kami?". Ibnul Mubarak menjawab, "Aku pergi untuk berteman dengan para sahabat dan tabi'in". Ibnul Mubarak berkata demikian sambil memberi isyarat bahwa beliau membaca kitab-kitab mereka. 

2. Al-Anbari: Sakit karena Banyak Membaca


Alkisah, seorang tabib didatangkan untuk mengobati Abu Bakar al-Anbari ketika sakitnya sudah teramat parah. Sang tabib kemudian memeriksa urine (air kencing) nya seraya berkata, "Anda telah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun, sebenarnya apa yang telah anda lakukan?". Al-Anbari menjawab, "Aku membaca setiap pekan sebanyak sepuluh ribu lembar". Benar-benar suatu peristiwa langka dan menakjubkan dari orang yang gemar membaca. Bahkan karena sakit itulah yang mengantarkannya pada kematian. 

3. Az-Zubairi: Tetap Membaca Meski Kitabnya telah Dirusak Tikus


Mus'ab az-Zubairi adalah orang yang memiliki kegemaran membaca. Suatu ketika, beliau bercerita bahwa Yahya bin Zakariya telah mewasiatkan kepadanya kitab-kitab milik Sulaiman bin Bilal. Berada di kediamannya, seiring waktu kitab-kitab tersebut rusak dan telah dikotori (dikencingi) oleh tikus. Meski begitu, Az-Zubairi tetap membacanya untuk ditelaahnya. Az-Zubairi berkata, "Aku membaca tulisan-tulisan yang masih jelas dan kutinggalkan tulisan yang tidak terlihat (pudar).

4. Abu Dawud: Memikirkan Kitab-Kitabnya Sekalipun Sedang Menjahit Baju


Imam Abu Dawud memang dikenal sangat kecanduan membaca, sampai-sampai baju yang dikenakannya pun didesain khusus untuk mendukung kegemarannya tersebut. Beliau biasa membawa dan meletakkan kitabnya pada lengan baju yang memang sengaja dijahit longgar. Ibnu Dasah menceritakan, "Baju Imam Abu Dawud ada yang berlengan longgar dan ada yang sempit. Ketika ditanyakan alasannya, Imam Abu Dawud menjawab, "Lengan yang longgar sebagai tempat menyimpan kitab dan yang sempit tidak memiliki kegunaan". 

5. Pengakuan Istri Az-Zuhri: Mengeluh karena Suami Banyak Membaca


Istri Imam Az-Zuhri berkata, "Demi Allah, sesungguhnya kitab-kitab ini sangat menyakitkanku sebagai seorang istri, melebihi sakit hatiku bila dimadu dengan tiga orang istri". Pengakuan ini terjadi karena sang istri melihat sang suami terus menerus membaca buku-bukunya. Kecintaan Az-Zuhri terhadap buku-buku bacaan dan penelaahannya tersebut telah mengantarkan beliau sebagai salah seorang fuqaha (ahli fiqih) dan muhadditsin (ahli hadits) serta salah seorang tokoh Ulama di Madinah al Munawwarah.

6. Ishaq al-Muradi: Sibuk Membaca Hingga di Keheningan Malam


Syaikh Abdul Adzim bercerita, "Belum pernah aku melihat dan mendengar orang yang lebih banyak kesibukannya melebihi Ishaq al-Muradi. Beliau senantiasa terbenam dalam kesibukannya sepanjang siang hingga larut malam. Aku bertetangga dengannya dan rumah beliau dibangun setelah dua belas tahun rumahku berdiri. Setiap kali aku terjaga di keheningan malam, selalu terbias sinar lentera dari dalam rumahnya, dan beliau sedang sibuk dengan pencarian ilmu. Bahkan sewaktu makan pun diselinginya dengan membaca kitab-kitab". 

7. Ibnu Qayyim al-Jauziyah: Selalu Lapar Untuk Menelaah Kitab-Kitab


Ibnu Qayyim pernah mengisahkan tentang dirinya, "Aku tidak pernah merasa kenyang menelaah kitab-kitab. Apabila aku melihat sebuah buku yang tidak pernah kulihat sebelumnya, maka seolah-olah aku menemukan harta karun. Aku telah menelaah lebih dari dua puluh ribu jilid, dan masih tetap mencari kitab-kitab lain untuk kutelaah. Dengan mengkaji kitab-kitab para Ulama, maka aku dapat mengambil faedah berupa pengenalan terhadap biografi para salaf, tingkat ketinggian semangat mereka, kemampuan hafalan, serta tradisi di kalangan mereka dan juga untuk mengetahui berbagai ilmu yang tidak diperoleh orang yang enggan membaca".

Selengkapnya
Kisah Khalifah Umar Dimarahi Sang Istri

Kisah Khalifah Umar Dimarahi Sang Istri

Hidup memang tidak selamanya berjalan mulus. Begitu pula dalam kehidupan berumah tangga. Kehidupan setelah menikah tidaklah selalu berjalan indah, bahkan tidak jarang diwarnai dengan berbagai masalah yang menguji komitmen pasangan suami-istri. Tidak sedikit pula diwarnai riak-riak ombak yang sesekali datang untuk menguji kokohnya bahtera rumah tangga yang sedang mengarungi luasnya samudra kehidupan. 

riak dalam rumah tangga
ilustrasi

Keniscayaan tersebut memang sesuatu yang tidak dapat diprediksi kemunculannya. Meski begitu, setiap masalah dalam rumah tangga hendaknya bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Oleh karenanya, diperlukan kedewasaan dan kebijaksanaan masing-masing pihak agar setiap masalah yang muncul dapat teratasi dengan baik. Berkenaan dengan hal tersebut, ada sebuah kisah menarik dari Khalifah Umar bin Khattab yang saya nukil dari kitab 'Uqud al-Lujain karya Syekh Nawawi al-Bantani. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah berikut ini. 

Pada suatu hari, datanglah seorang laki-laki ke kediaman khalifah Umar bin Khattab untuk mengadukan tentang masalah akhlak istrinya. Sebelum laki-laki tersebut masuk ke dalam rumah sang khalifah, dia berhenti di depan pintu. Hal itu ia lakukan karena ketika itu ia mendengar istri khalifah Umar sedang bicara keras memarahinya (Umar). Tetapi mendapat perlakuan seperti itu dari istrinya, Umar tidak membalas bicara.

Mendapati keadaan demikian, laki-laki tersebut pun tidak jadi masuk dan memutuskan untuk pulang. Saat hendak jalan pulang, laki-laki itu berkata dalam hatinya, "Jika keadaan Umar saja begini, lantas bagaimana dengan keadaanku ini?"

Tidak lama kemudian, Umar pun keluar dan melihat laki-laki tersebut yang tengah dalam perjalanan pulang. Umar pun memanggilnya dan bertanya kepadanya, "Apa keperluanmu datang kemari?"

Laki-laki tersebut menjawab, "Hai Amirul Mukminin, aku datang kemari hendak mengadukan masalah istriku. Dia sering memarahiku. Tetapi sesampainya di sini, aku pun mendengar istri tuan juga sedang memarahi tuan. Maka aku memutuskan untuk pulang saja. Aku jadi bertanya-tanya, kalau begini keadaan tuan, lalu bagaimana dengan aku sekarang ini? ".

Mendengar penuturan laki-laki tersebut, khalifah Umar kemudian berkata, "Wahai saudaraku, aku menahan bicara dan tidak balas memarahi istriku karena aku tahu bahwa hak-hak istriku sebagai wanita itu banyak sekali yang harus aku penuhi. Padahal dia sudah memasak makanan untukku, mencucikan pakaianku, serta mengasuh anak-anakku. Itu semua bukan kewajibannya, namun tetap dia lakukan. Dan aku merasa tentram dengan adanya dia di sampingku".

Laki-laki itu kemudian berkata, "istriku juga demikian tuan". Khalifah Umar lantas berpesan, "Tahanlah marahmu! Sesungguhnya yang demikian itu tidak lama".

Dari cerita di atas, dapat diambil hikmah bahwa seorang suami haruslah mampu menempatkan diri dengan sebaik-baiknya. Seorang suami hendaknya mampu bertindak sebagai teladan, pendidik dan pembimbing yang bijaksana bagi istrinya. Selain kewajiban memberi nafkah kepada istri menurut kemampuannya, seorang suami juga harus bersabar jika istrinya menyakitkan hati. Jelaslah bahwa tugas seorang suami adalah berbuat dan memperlakukan istrinya dengan baik, di samping dia juga berkewajiban atas pangan dan sandang bagi keluarganya. 

Pada umumnya, kaum wanita adalah orang yang lemah akal serta agamanya, sehingga suami harus menyayanginya dengan membiasakan bergaul dengan baik terhadap dirinya. Ketahuilah bahwa seorang suami itu dituntut untuk menasehati, mengasihi, dan menyayangi istri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: "Mudah-mudahan Allah mengasihi suami yang berkata, 'Hai keluargaku, peliharalah shalatmu, puasamu, dan zakatmu. Belas-kasihilah orang miskin, anak yatim, serta peliharalah tetanggamu. Mudah-mudahan Allah mengumpulkan kamu semua bersama mereka di surga kelak'".

Selengkapnya
Keajaiban Membaca Basmalah

Keajaiban Membaca Basmalah

Kiranya semua sudah tahu akan keutamaan membaca basmalah bagi setiap muslim. Banyak keutamaan yang bisa kita dapatkan jika membaca kalimat tersebut. Rasulullah SAW juga senantiasa menganjurkan kepada umatnya untuk membaca basmalah dalam mengawali setiap perbuatan atau aktivitas sehari-hari. Beliau pernah bersabda, "Setiap perkara baik yang tidak diawali dengan membaca bismillahirrahmanirrahim, maka akan terputus berkahnya"

basmalah

Terkait hal ini, Syaikh Nawawi al-Bantani juga pernah mengatakan, "Ketahuilah bahwa Basmalah itu banyak berkahnya. Barang siapa yang selalu ingat dan memulai suatu pekerjaan dengan membaca basmalah, niscaya akan berhasil dengan baik. Dan barang siapa yang membiasakan membaca basmalah, niscaya akan memperoleh berkah serta semua kebutuhannya akan dikabulkan Allah SWT".

Dikatakan bahwasanya kitab (shuhuf) yang diturunkan ke bumi ini ada sebanyak 104 buah. 60 buah diturunkan kepada Nabi Syits, 30 kepada Nabi Ibrahim, dan 10 kepada Nabi Musa yakni sebelum diturunkannya kitab Taurat. Kemudian ditambah 4 kitab lagi yaitu Taurat, Injil, Zabur, dan Al Qur'an sehingga jumlahnya genap menjadi 104 buah.

Keterangan-keterangan yang ada dalam semua kitab tersebut seluruhnya termaktub di dalam Al Qur'an, intisarinya terkumpul dalam surah Al-Fatihah. Kemudian, keterangan-keterangan yang ada dalam Al-Fatihah itu intisarinya ada di dalam basmalah (ayat pertama). Dan pada kalimat basmalah, intisarinya terdapat pada huruf Ba' nya.

Dikisahkan ada seorang alim sedang diuji dengan sakit yang menimpanya. Sakitnya itu terlampau parah sampai-sampai dokter tidak sanggup lagi untuk mengobatinya. Pada suatu hari, orang alim tersebut ingin beribadah yang dapat menyebabkan sakitnya menjadi sembuh. Kemudian, ia membaca basmalah sebanyak-banyaknya. Berkah bacaan basmalah tersebut, ternyata Allah memberikan kesembuhan kepadanya. 

Dikisahkan lagi, ada seorang wanita shalih mempunyai suami yang munafiq. Dalam setiap ucapan dan perbuatannya, sang wanita tersebut selalu memulainya dengan membaca basmalah. Suatu ketika, sang suami berniat untuk mengerjainya seraya berkata dalam hati, "Aku akan melakukan sesuatu agar dia malu". Lantas pada suatu hari suaminya menyerahkan sebuah kantong berisi sesuatu yang belum diketahui istrinya. Suami itu berkata, "Simpanlah kantong ini dengan baik".

Sang wanita (istrinya) pun menyimpan kantong tersebut dengan baik dan tertutup. Namun sang suami ternyata diam-diam mengetahui dimana istrinya menyimpan kantong tersebut. Ketika istrinya sedang terlena, si suami mengambil kantong tersebut dari tempat penyimpanannya dan membuangnya ke dalam sumur. Setelah menjalankan aksinya itu, kemudian dia pura-pura meminta kepada istrinya untuk mengambilkan kantong yang telah disimpannya. 

Mendengar permintaan suaminya, wanita tersebut kemudian pergi ke tempat dimana ia menyimpannya semula dengan membaca basmalah (Bismillaahirrahmaanirrahiim). Pada saat itulah, Allah kemudian mengutus Malaikat Jibril agar dengan segera turun untuk mengembalikan kantong yang ada dalam sumur itu ke tempatnya semula. 

Sesampainya di tempat yang dituju, ternyata kantong itu masih utuh di tempatnya. Maka wanita itu pun mengambilnya dan kantong tersebut diserahkan kepada suaminya. Melihat hal itu, suaminya terkejut dengan keajaiban tersebut. Pada akhirnya, sang suami kemudian memutuskan bertaubat kepada Allah atas kemunafikannya.

Selengkapnya