Profil Singkat Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi Indonesia

Profil Singkat Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi Indonesia

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah salah seorang Pahlawan Revolusi Indonesia yang lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Juni 1922. Ia merupakan putra dari pasangan Sarjo (ayah) dan Murtini (ibu). Ayahnya bekerja di sebuah pabrik gula yang dimiliki oleh orang Belanda. Pada tahun 1927, Ahmad Yani bersama keluarganya pindah ke Batavia karena ayahnya dipindahkan bekerja disana.

Jenderal Ahmad Yani

Ahmad Yani mengawali pendidikan formalnya di HIS (setingkat sekolah dasar) di Bogor dan selesai pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke MULO (setingkat sekolah menengah pertama) kelas B di Bogor. Setelah tamat dari MULO (1938), Ahmad Yani melanjutkan sekolah di AMS (setingkat sekolah menengah atas) bagian B di Jakarta. Di sekolah ini, ia hanya sampai di kelas dua karena pada tahun 1940 ia mengikuti pendidikan militer Pemerintah Hindia Belanda.

Ahmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang yang dilanjutkan secara lebih intensif di Bogor. Dari sinilah Ahmad Yani mengawali karier dalam militernya dengan pangkat Sersan. Akan tetapi, pendidikannya ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Ahmad Yani dan keluarganya kemudian memutuskan untuk pindah kembali ke Jawa Tengah. 

Pada masa pendudukan Jepang (1942), Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang, Jawa Tengah. Selanjutnya pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihannya, Ahmad Yani mengikuti pelatihan sebagai komandan peleton PETA di Bogor. Setelah pelatihan ini selesai, ia dikirim kembali ke Magelang dan bertugas sebagai instruktur. 

Pada masa perang kemerdekaan, Ahmad Yani berhasil menyita senjata tentara Jepang di Magelang. Ketika terbentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan TKR Purwokerto. Selama bulan-bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, Ahmad Yani membentuk batalion dan berhasil memenangkan pertempuran melawan Inggris di Magelang. 

Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I, pasukan Ahmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Oleh karenanya, ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Ahmad Yani diberikan kepercayaan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. 

Ahmad Yani juga berperan penting ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta melawan Belanda. Sebelum dilakukan serangan, pasukan yang dipimpin Ahmad Yani melakukan serangan gerilya sehingga berhasil mengalihkan perhatian tentara Belanda dan memudahkan jalan bagi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. 

Setelah pengakuan kedaulatan, Ahmad Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah pada Desember 1949. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Untuk menghadapi kelompok pemberontakan ini, Ahmad Yani membentuk pasukan khusus yang diberi nama The Banteng Raiders. Pasukan ini mendapatkan pelatihan khusus sehingga pasukan DI/TII berhasil dikalahkan. Setelah menumpas DI/TII, Ahmad Yani kembali ke Staf Angkatan Darat. 

Pada bulan Desember 1955, Ahmad Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk bersekolah di Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat selama 9 bulan. Pada tahun 1956, ia kembali mengikuti pendidikan selama dua bulan di Spesial Warfare Course di Inggris.

Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Ahmad Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta yang dipimpin oleh A. H. Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat ini, Ahmad Yani kemudian menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat. 

Saat terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat pada tahun 1958, Ahmad Yani yang pada waktu itu masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan terhadap pemberontakan PRRI. Pasukan Ahmad Yani berhasil menumpas pemberontakan tersebut dengan merebut kembali Padang dan Bukittinggi. 

Atas keberhasilannya, pada tanggal 1 September 1962, Ahmad Yani dipromosikan menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Kemudian pada tanggal 13 November 1963, dengan pangkat Letnan Jenderal, ia diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jenderal A. H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab). 

Ahmad Yani merupakan seorang jenderal yang sangat dekat dan setia kepada Presiden Soekarno. Saking cinta dan setianya, ia pernah berkata, "Siapa yang berani menginjak bayang-bayang Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966), Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya". Bahkan berkembang isu bahwa Ahmad Yani telah dipersiapkan oleh Presiden Soekarno sebagai calon penggantinya menjadi presiden RI. 

Meski dekat dengan Bung Karno, Ahmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari Soekarno. Tidak mengherankan, Ahmad Yani memang dikenal sebagai seorang jenderal yang sangat berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itulah ia menjadi salah satu target penculikan PKI ketika terjadi peristiwa G30S/PKI 1965.

Ahmad Yani ditembak didepan kamar tidurnya oleh para penculik pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Jasadnya ditemukan beberapa hari kemudian pada tanggal 4 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazah Ahmad Yani kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965, Ahmad Yani dinyatakan gugur sebagai Pahlawan Revolusi dan dinaikkan pangkatnya dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal Anumerta.

Selengkapnya
Slamet Riyadi, Pahlawan Muda Asal Solo Yang Gagah Berani

Slamet Riyadi, Pahlawan Muda Asal Solo Yang Gagah Berani

Bagi warga kota Solo, mendengar nama Slamet Riyadi mungkin tidak asing lagi. Ia adalah pahlawan nasional asal kota Surakarta (Solo) yang gagah berani, rela berkorban jiwa dan raga hingga gugur pada usia muda (23 tahun) demi memperjuangan keutuhan kedaulatan NKRI. Meski begitu, harum namanya masih dikenang dan diabadikan, bahkan patungnya yang berada di jalan yang juga diambil dari namanya (Jl. Slamet Riyadi) kini menjadi salah satu landmark terkenal di Kota Solo.

pahlawan Slamet Riyadi
patung Slamet Riyadi via shutterstock

Slamet Riyadi lahir di Donokusuman, Surakarta, pada tanggal 28 Mei 1926. Ia adalah putra kedua dari pasangan Raden Ngabehi Idris Prawiropralebdo, seorang perwira anggota legium Kasunanan Surakarta dan Soetati, seorang penjual buah. Pada mulanya, Slamet Riyadi terlahir dengan nama Soekamto. Namun sebagaimana lazimnya dalam tradisi jawa, orang tuanya kemudian mengganti namanya menjadi Slamet karena sewaktu kecil ia sering sakit-sakitan. 

Sebagai putra seorang prajurit, sejak kecil Slamet Riyadi sudah diajarkan disiplin oleh ayahnya. Slamet Riyadi menempuh pendidikan dasar di HIS kemudian melanjutkan MULO Afd B di Mangkunegaran. Ketika bersekolah di sekolah menengah ini, ia memperoleh nama belakang Riyadi karena banyaknya siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut. 

Sewaktu Jepang menduduki Indonesia, Slamet Riyadi melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dan lulus dengan menyandang predikat sebagai lulusan terbaik. Setelah lulus, kemudian ia bekerja sebagai navigator pada kapal laut milik Jepang. Ketika sedang tidak bekerja di laut, ia tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Pada saat itu, ia juga sering menyempatkan diri untuk bertemu dengan para pejuang bawah tanah. 

Setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi bersama rekannya sesama pelaut berhasil melarikan kapal kayu Jepang dan mengambil sejumlah persenjataan. Slamet Riyadi kemudian pulang ke Surakarta dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana. Ia menggalang kekuatan dari para pemuda eks PETA, Heiho, dan Kaigun sehingga terbentuk pasukan setingkat batalion. Salah satu keberhasilan pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi yaitu saat mereka berhasil merebut dan melucuti senjata tentara Jepang. 

Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia lewat Agresi Militernya, Slamet Riyadi pun mengkampanyekan perang gerilya melawan Belanda. Oleh karena itulah ia mendapatkan kepercayaan untuk memimpin Resimen 26 di Surakarta. Saat meletus Agresi Militer Belanda I, Slamet Riyadi memimpin pasukan di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang. Ia juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu. Selanjutnya pada bulan September 1948, Slamet Riyadi mendapatkan kepercayaan untuk memimpin empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. 

Ketika Belanda melancarkan serangan Agresi Militer keduanya ke Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibu kota negara, pasukan yang dipimpin oleh Slamet Riyadi melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten. Dengan menerapkan siasat "berpencar dan menaklukan", Slamet Riyadi berhasil menghalau tentara Belanda dalam waktu empat hari (7-11 Agustus 1949). Meski akhirnya tentara Belanda berhasil memasuki kota Solo, serangan pasukan Slamet Riyadi yang dilakukan secara frontal dan berlangsung siang malam telah mengakibatkan kerugian besar bagi Belanda. 

Ketika terjadi gencatan senjata yang disusul dengan penyerahan Solo ke pangkuan Indonesia, Panglima Divisi Belanda di Jawa, Mayor Jenderal Frits Mollinger dan Komandan pasukan Belanda di Solo, Letkol Van Ohl terkejut saat berhadapan dengan Slamet Riyadi. Keduanya tidak mengira jika komandan gerilyawan yang telah memporak-porandakan pasukannya itu ternyata masih muda belia, bahkan belum genap berumur 24 tahun.

Slamet Riyadi 2
Mollinger menyalami Slamet Riyadi via kaskus.co.id

Tugas selanjutnya, pasukan Brigade V/Senopati yang dipimpin oleh Slamet Riyadi kemudian diberangkatkan ke Jawa Barat untuk mengejar sisa-sisa gerombolan APRA di Bandung. Ketika meletus pemberontakan RMS yang dipimpin oleh Dr. C.S.R Soumokil, pasukan Slamet Riyadi sedang sibuk melaksanakan tugas lanjutan untuk menumpas pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Pemerintah Indonesia pun mencoba mengupayakan misi damai dengan mengutus Dr. Leimena untuk menyelesaikan pemberontakan RMS. 

Setelah upaya penyelesaian damai dengan RMS menemui jalan buntu, maka dibentuklah operasi militer gabungan dengan nama Komando Pasukan Maluku Selatan (KOPASMALSEL) di bawah pimpinan Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Komando Tentara dan Teritorium Indonesia Timur yang bermarkas di Makassar. Sedangkan Komando Operasi, ditetapkan Letnan Kolonel Ign. Slamet Riyadi, Komandan Brigade V/Panembahan Senopati dari Solo, Jawa Tengah. 

Bersama Kolonel Alex E. Kawilarang, Slamet Riyadi memimpin tiga serangan; pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Slamet Riyadi berhasil merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau dengan perjalanan memakan waktu selama sebulan. Selama dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Slamet Riyadi hingga sering kali membuat mereka terjepit.

Setibanya di Benteng New Victoria, pasukan Slamet Riyadi langsung diserang oleh pasukan RMS. Ketika ia sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, selongsong peluru senjata mesin menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal, Rijadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Slamet Riyadi gugur pada malam itu, dan pertempuran juga berakhir pada hari yang sama. Slamet Riyadi dimakamkan di Ambon.

Atas jasa-jasa dan perjuangannya, pemerintah Indonesia menganugerahi beberapa tanda kehormatan secara anumerta pada tahun 1961. Slamet Riyadi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 2007. Selain itu, Pemerintah Kota Surakarta juga membangun monumen patung Slamet Riyadi di tengah persimpangan jalan Kelurahan Gladak, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Namanya juga kemudian diabadikan sebagai nama jalan di lokasi patung tersebut dengan nama Jalan Slamet Riyadi.

Selengkapnya
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Perannya dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Perannya dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI

Sultan Hamengkubuwono IX
via shutterstock 

Memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Dorojatun, Sultan Hamengku Buwono IX lahir pada Sabtu 12 April 1912 di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 Yogyakarta dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Hamengku Buwono IX memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930 -an, Sang Sultan muda juga pernah merantau ke negeri kincir angin untuk menimba ilmu dengan kuliah di Universiteit Leiden, Belanda.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, keadaan perekonomian saat itu sangatlah buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri pun rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri menjadi terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di wilayah Yogyakarta. 

Sebagai Raja sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal diam melihat sulitnya keadaan pada masa itu. Untuk menjamin agar roda pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengku Buwono IX pun menyumbangkan kekayaannya sekitar enam juta Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan atau memenuhi kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya. 

Setelah berlangsungnya perundingan Renville pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali ke Indonesia untuk melakukan agresi miiternya yang ke - 2. Sasaran penyerbuan mereka adalah ibukota Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya ditangkap Belanda dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. 

Sementara Sultan Hamengku Buwono IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa sehingga dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, Belanda pada waktu itu juga sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat. 

Meski begitu, Sultan menolak ketika Belanda mengajaknya untuk bekerja sama dengan mereka. Untuk itu, Sultan Hamengku Buwono IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh wilayah Yogyakarta. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunduran diri Sultan ini kemudian juga diikuti oleh Sri Paku Alam di kadipaten Pakualaman. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu, langkah ini diambil agar Sultan tidak dapat diperalat untuk membantu musuh (Belanda). 

Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono IX secara diam-diam membantu perjuangan para pejuang RI dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI, dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton, Sultan juga menyediakan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI.

Pada bulan Februari 1949, Sultan mencoba menghubungi Panglima Besar Sudirman lewat bantuan seorang kurir. Sultan meminta persetujuan Panglima Sudirman untuk melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapatkan persetujuannya, Sultan langsung menghubungi Letnan Kolonel Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Pada akhirnya, sesuai dengan hasil perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama proses penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu pun dilaksanakannya dengan baik.

Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat). Sultan Hamengku Buwono IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.

Sepanjang hayatnya, Sultan Hamengku Buwono IX telah banyak mengabdikan dirinya demi kedaulatan bangsa dan negaranya. Selain ikut berjuang pada masa kemerdekaan, Sultan juga pernah mengemban amanah sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir hingga Kabinet Hatta I (1946-1949), sebagai Menteri Pertahanan pada masa kabinet Hatta II hingga masa RIS (1949-1950), menjabat Wakil Perdana Menteri pada masa Kabinet Natsir (1950 - 1951), bahkan dipercaya menjabat sebagai Wakil Presiden RI yang kedua (1973-1978).

Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat di Washington DC, Amerika Serikat pada 2 Oktober 1988 pada usia 76 tahun. Atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara, tokoh yang juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia ini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasar SK Presiden Repulik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990.

Selengkapnya
Kisah Sukses Perjalanan Hidup Jokowi Hingga Menjadi Presiden RI

Kisah Sukses Perjalanan Hidup Jokowi Hingga Menjadi Presiden RI

Tidak mudah memang menjadi figur seorang pemimpin, apalagi memimpin negara sebesar Indonesia. Berbagai pro dan kontra selalu mengiringi langkah Bapak Jokowi dalam menahkodai jalannya pemerintahan di negeri ini. Namun terlepas dari perbedaan pandangan politik yang ada, beliau tetap adalah seorang kepala negara yang wajib dihormati dan ditaati oleh rakyatnya. 

Sebagai motivasi dan penggugah semangat kita dalam berjuang menggapai kesuksesan, berikut ini sekelumit kisah perjalanan hidup Jokowi dari menjalani hidup sebagai orang biasa hingga berhasil menjadi sosok presiden di negeri kita tercinta ini. 

Jokowi Presiden RI
via shutterstock

Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama Jokowi lahir di Solo pada 21 Juni 1961 dari pasangan Notomihardjo dan Sujiatmi. Putra sulung dari empat bersaudara ini bukanlah berasal dari keluarga yang berkecukupan. Jokowi dibesarkan dari keluarga sederhana, bahkan dia pernah mengalami beberapa kali pindah rumah karena tempat tinggalnya digusur. Masa kecilnya dilalui dengan hidup prihatin dan besar di sekitar bantaran sungai sehingga ia mengetahui bagaimana menjadi orang miskin yang sebenarnya. 

Ayahnya, Notomihardjo adalah seorang pedagang kayu di pinggir jalan. Meski demikian, Jokowi tidak ingin menyusahkan kedua orang tuanya. Sejak duduk di sekolah dasar (SD), ia telah berupaya hidup mandiri dengan cara berdagang apa saja demi mengumpulkan rupiah demi rupiah. Ia bahkan lebih memilih untuk tetap berjalan kaki saat pergi ke Sekolah meskipun anak-anak lain pergi ke sekolah dengan menaiki sepeda. 

Berbagai pekerjaan lain seperti mengojek payung atau menjadi kuli panggul juga pernah ia lakoni untuk membiayai keperluan sekolah dan kebutuhan hidup lainnya. Hidup prihatin telah membawa Jokowi dalam suasana disiplin. Keadaan ini membuat Jokowi mampu menerjemahkan kehidupan prihatinnya melalui bahasa kemanusiaan bahwa dalam kondisi susah orang akan menghargai tindakan-tindakan manusiawi, di sinilah ia belajar untuk rendah hati. 

Saat menginjak usia 12 tahun, ia belajar untuk menekuni usaha penggergajian kayu. Latar belakang orang tuanya sebagai tukang kayu cukup membantunya dalam mengasah keahliannya. Keahlian inilah yang membawanya ingin lebih memahami lagi ilmu tentang kayu. Selepas SMA, Jokowi pun memutuskan untuk menimba ilmu di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Di perguruan tinggi ini, Jokowi dengan tekun mempelajari tentang struktur, pemanfaatan kayu, serta teknologinya. 

Setelah lulus kuliah, ia tetap menggeluti usaha penggergajian kayu. Namun dengan wawasan yang dimilikinya, Jokowi mampu mengembangkan usahanya tersebut hingga berhasil menjadi pengusaha mebel yang sukses. Kemajuan bisnis mebelnya ini tentu saja didorong oleh kerja keras dan kejujurannya dalam berbisnis. Dalam perkembangannya, produk mebelnya bahkan telah menembus pasar Eropa, Amerika, dan Timur Tengah.

Setelah sukses di dunia bisnis, Jokowi terjun ke dunia politik sebagai bentuk tanggung jawab moralnya untuk terus berkontribusi pada negara. Diawali dengan menjadi Walikota Solo pada periode 2005-2011, nama Jokowi kian melambung dalam kancah politik nasional. Pembawaannya yang sederhana, pekerja keras, serta gaya kepemimpinannya yang dekat dengan rakyat menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat luas untuk memberi dukungan kepadanya. 

Pada tahun 2012, bersama Basuki Cahaya Purnama, Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017. Namun, belum genap masa jabatannya berakhir, banyak masyarakat menginginkan Jokowi untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Berbagai hasil survey yang diadakan jelang Pemilu Presiden 2014 menempatkannya pada urutan teratas sebagai tokoh yang paling populer sebagai calon presiden. 

Pada Pilpres 2014, dengan diusung oleh PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem dan Hanura, Joko Widodo pun terpilih sebagai Presiden ke 7 Republik Indonesia untuk masa bhakti 2014-2019. Jokowi menjadi Presiden Indonesia pertama sepanjang sejarah yang bukan berasal dari latar belakang elite politik atau militer Indonesia. Pada Pilpres 2019, Joko Widodo kembali terpilih untuk kedua kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2019 hingga 2024. (dirangkum dari berbagai sumber

Selengkapnya
R. Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut, Perintis Bidang Pertambangan di Indonesia

R. Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut, Perintis Bidang Pertambangan di Indonesia

Sejarah pertambangan dan geologi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran Raden Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut. Keduanya merupakan tokoh perjuangan yang berjasa besar dalam membangun kelembagaan tambang dan geologi nasional pada masa awal kemerdekaan Indonesia. 

pahlawan pertambangan Indonesia

Raden Soenoe Soemosoesastro (lahir 5 Oktober 1913 di Klaten, Jawa Tengah) dan Arie Frederik Lasut (lahir 6 Juli 1918 di Minahasa, Sulawesi Utara), keduanya adalah sedikit dari pemuda Indonesia yang menaruh minat pada bidang geologi dan pertambangan pada masa itu. 

Pertemuan R. Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut terjadi ketika keduanya menjadi peserta Asistent Geologen Cursus (Kursus Asisten Geologi) angkatan pertama yang diselenggarakan oleh Dienst van den Mijnbouw pada tahun 1939 hingga tahun 1941. Setelahnya, keduanya kemudian diangkat menjadi pegawai Mijnbouw, Dinas Pertambangan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Jepang, Mijnbouw berganti nama menjadi Chisitsu Chosasho

Pasca kemerdekaan, tepatnya pada 28 September 1945, sekelompok pemuda yang dipelopori oleh Raden Soenoe Soemosoesastro, Arie Frederik Lasut, dan Sjamsoe M. Bahroem mengambil alih paksa kantor Chisitsu Chosasho dari pihak Jepang. Sejak saat itu, Chisitsu Chosasho kemudian berganti nama menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi yang dipimpin oleh Raden Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut. 

Selama perang kemerdekaan (Desember 1945-Desember 1949), kantor Poesat Djawatan Tambang dan Geologi sempat berpindah-pindah tempat. Untuk mengembangkan Poesat Djawatan Tambang dan Geologi, Raden Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut kemudian mendirikan Sekolah Pertambangan Geologi Tinggi (SPGT), Sekolah Pertambangan Geologi Menengah (SPGM), dan Sekolah Pertambangan Geologi Pertama (SPGP). 

Untuk menghargai jasa-jasa serta perjuangan kedua tokoh tersebut dalam memperjuangkan bidang pertambangan di Indonesia, maka pemerintah indonesia menetapkan tanggal 28 September sebagai Hari Pertambangan dan Energi. Penetapan tanggal ini diambil berdasarkan peristiwa saat para tokoh geologi dan pertambangan mengambil alih kantor jawatan dari pihak Jepang. Penetapan ini juga tersurat dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2008.

Selengkapnya