Kisah Fatimah dan Gilingan Gandum (Nasehat Nabi SAW Kepada Para Wanita/Istri)

Kisah Fatimah dan Gilingan Gandum (Nasehat Nabi SAW Kepada Para Wanita/Istri)

wanita membuat roti
ilustrasi via pixabay 

Salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yakni Abu Hurairah RA pernah bercerita: 

Pada suatu hari, Rasulullah SAW pergi berkunjung ke rumah puterinya yaitu Fatimah az-Zahra'. Sesampainya di sana, dijumpainya puterinya itu sedang menggiling biji gandum menggunakan gilingan batu sambil menangis. Nabi pun bertanya kepadanya, "Apa yang menyebabkan kamu menangis wahai Fatimah?, mudah-mudahan Allah tidak menjadikan kedua matamu menangis". 

Fatimah menjawab, "Yang menyebabkan aku menangis adalah gilingan batu ini dan kesibukanku di rumah setiap hari". 

Ayahnya (Nabi SAW)) kemudian mendekati Fatimah dan duduk di samping puteri tercintanya itu. Fatimah kemudian melanjutkan perkataannya, "Bapakku, aku mohon engkau menyuruh suamiku Ali agar dia membelikan budak untukku, sehingga ia dapat membantuku dalam menggiling gandum dan kesibukan di rumah". 

Mendengar perkataan Fatimah seperti itu, Rasulullah langsung berdiri menghampiri gilingan gandum tersebut lantas mengambil gandum dengan tangannya sendiri untuk dituangkan ke dalam gilingan. Dengan membaca Basmalah, beliau pun menggilingnya. Atas izin Allah SWT, sungguh ajaib gilingan itu dapat berputar dengan sendirinya. Selanjutnya Nabi menuangkan lagi gandum ke dalam gilingan yang sudah berputar sendiri itu. 

Lebih ajaibnya lagi, gilingan itu dapat membaca tasbih dengan bahasa yang berbeda-beda sampai selesainya penggilingan. Nabi kemudian berkata kepada gilingan itu, "Berhentilah engkau dengan izin Allah!" 

Gilingan itu pun berhenti dan dengan izin Allah pula gilingan itu berkata dengan fasih seperti halnya lisan orang-orang Arab, "Ya Rasulullah, demi Dzat yang mengutus engkau sebagai Nabi dan Rasul. Seandainya engkau memerintahkan aku untuk menggiling biji gandum yang ada di ujung timur sampai di ujung barat, pasti aku akan menggilingnya semua. Dan sesungguhnya aku telah mendengar firman Allah:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوٓا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim, 6)

Oleh karenanya, aku khawatir kalau aku termasuk batu yang dimasukkan ke dalam neraka. 

Nabi berkata, "Berbahagialah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah batu dari sebagian gedungnya Fatimah az-Zahra' kelak di surga". 

Setelah mendengar penuturan Nabi seperti itu, gilingan batu itu pun merasa tenteram dan senang. 

Nabi SAW kemudian berkata kepada Fatimah:

"Seandainya Allah menghendaki, niscaya gilingan ini akan menggiling dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki lain. Dengan jerih payahmu, Allah mencatat beberapa kebaikan untukmu dan menghapus beberapa kejelekan darimu, serta mengangkat derajatmu. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka tidak lain kecuali Allah mencatat baginya kebaikan dari setiap biji gandum yang dibuatnya tersebut. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang berkeringat lantaran membuat tepung untuk suaminya, maka tidak lain kecuali Allah membuatkan tujuh pintu baginya untuk memisahkan antara dirinya dengan neraka. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang meminyaki rambut anaknya, menyisir dan mencucikan pakaiannya, maka tidak lain kecuali Allah menetapkan baginya pahala orang yang memberi makan seribu orang lapar serta pahala orang yang memberi pakaian orang yang telanjang. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang mencegah atau menghalangi kebutuhan tetangganya, maka Allah akan mencegahnya untuk meminum air telaga kautsar kelak di hari kiamat. 

Hai Fatimah, yang lebih utama dari semua yang aku sebutkan tadi adalah ridha suami terhadap istrinya. Seandainya suamimu tidak meridhaimu, niscaya aku juga tidak akan mendoakan kebaikan untukmu. Apakah engkau tidak mengetahui hai Fatimah?, Sesungguhnya ridha suami itu sebagian dari ridha Allah. Dan murka suami itu sebagian dari murka Allah. 

Hai Fatimah, jika seorang wanita hamil, maka para malaikat akan memintakan ampun baginya. Dan Allah akan mencatat baginya seribu kebaikan setiap hari. Serta melebur darinya seribu kejelekan. Jika sewaktu mengandung dia merasakan kepayahan, maka Allah mencatat baginya pahala sebagaimana pahalanya orang yang berjihad di jalanNya. Apabila dia melahirkan, bebaslah dia dari dosa-dosanya, sehingga seperti bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang melayani suaminya dengan niat yang baik, maka tidak lain kecuali dia bebas dari dosa-dosanya seperti saat baru dilahirkan ibunya. Dia tidak akan keluar dari dunia dengan membawa dosa sedikitpun. Dia akan merasakan bahwa kuburnya laksana taman dari sebagian taman surga. Allah memberinya pahala sebagaimana pahalanya seribu orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan para malaikat selalu memintakan ampun baginya sampai hari kiamat tiba. 

Mana saja wanita yang melayani suaminya dengan ikhlas dan niat yang baik, maka tidak lain kecuali Allah mengampuni dosa-dosanya kelak di hari kiamat, memberinya pakaian yang hijau-hijau, mencatat baginya dari setiap rambut yang ada pada dirinya dengan seribu kebaikan serta memberinya pahala seperti pahalanya seratus orang yang melakukan haji dan umrah. 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang selalu tersenyum di hadapan suami, maka tidak lain kecuali Allah memandangnya dengan pandangan penuh rahmat. Dan mana saja wanita yang berkumpul bersama suaminya dengan baik hati, maka tidak lain ada orang yang akan berkata kepadanya, "Hadapi amalmu! Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang". 

Hai Fatimah, mana saja wanita yang mau memberi minyak pada rambut suami beserta jenggotnya, mau mencukur kumisnya, memotong kukunya, maka tidak lain kecuali Allah akan memberinya minuman arak dari surga yang masih murni, minuman dari bengawan surga, meringankan ketika sakaratul maut, dia akan merasakan bahwa kuburnya seperti taman surga, Allah mencatatnya sebagai orang yang selamat dari neraka dan dipermudah di saat melewati Shirath di hari kiamat kelak." (dinukil dari Syarh ′Uqud al Lujjain fi Bayaani Khuquuqi Az Zawjain karya Syaikh Nawawi al-Bantani)

Selengkapnya
Pentingnya Kerukunan dalam Kehidupan Bersama Umat Manusia

Pentingnya Kerukunan dalam Kehidupan Bersama Umat Manusia

Di negeri nan indah ini, dijumpai berbagai golongan umat beragama yang tentu saja memiliki perbedaan dalam keyakinan, keimanan, dan cara peribadahannya. Walaupun demikian, masing-masing umat beragama tersebut memiliki keinginan yang sama yakni terwujudnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang damai, aman, tenteram, adil, serta makmur secara materiil dan spiritual. 

rukun

Dalam Islam, kerukunan termasuk ajaran yang harus diwujudkan dalam kehidupan bersama umat manusia. Hal ini karena kerukunan merupakan modal utama untuk terwujudnya ketenteraman, kedamaian, dan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, perselisihan atau permusuhan merupakan penyebab datangnya berbagai kerugian dan bencana. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kerukunan berarti perihal hidup rukun; rasa rukun; kesepakatan. Sedangkan arti rukun itu sendiri adalah baik dan damai; bersatu hati atau sepakat. 
Islam merupakan agama yang mencintai kerukunan dan perdamaian. Hal ini sering dicontohkan oleh Rasulullah SAW misalnya saat terjadi perselisihan di antara para pengikutnya. Beliau mengajarkan agar pihak-pihak yang berselisih melakukan usaha-usaha dengan segera dan dengan cara yang bijaksana agar perselisihan di antara mereka segera berakhir, dan mereka kembali hidup rukun. 

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Janganlah kamu putus-memutuskan hubungan, belakang-membelakangi, benci-membenci dan hasut-menghasut. Hendaklah kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara satu sama lain dan tidaklah halal bagi (setiap) muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari". (HR. Bukhari dan Muslim). 

Jika pihak-pihak yang berselisih atau bermusuhan tidak mampu menyelesaikan sendiri perselisihan atau permusuhan mereka, maka pihak ketiga hendaknya segera berusaha dengan cara yang bijaksana untuk merukunkan orang-orang atau sekelompok orang yang berselisih atau bermusuhan itu. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

"Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya."... (QS. Al-Hujurat, 9)

Dalam hadits lain, Rasulullah juga pernah bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada kalian perkara yang lebih utama dari puasa, shalat, dan sedekah?". Mereka (para sahabat) menjawab, "Tentu saja mau wahai Rasulullah!". Rasulullah SAW bersabda, "Yaitu mendamaikan di antara kamu, karena rusaknya perdamaian (kerukunan) di antara kamu merupakan pencukur (perusak) agama". (HR. Abu Daud dan Turmudzi) 

Begitu pula dalam kehidupan bersama dengan umat lain, Rasulullah juga senantiasa mengajarkan umatnya untuk dapat hidup berdampingan dengan umat lain secara damai, rukun, dan saling menghargai akan perbedaan yang ada. Berikut ini merupakan beberapa contoh praktek pergaulan antarumat beragama sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW:
  • Seorang sahabat Nabi bernama Ka'ab bin Ajzah RA pernah bercerita kepada Rasulullah bahwa dirinya bekerja pada seorang beragama Yahudi lalu memperoleh upah darinya. Nabi Muhammad SAW membolehkan perbuatan tersebut. 
  • Rasulullah SAW pernah memberikan hadiah kepada Raja Najasyi dan orang Yahudi, dan pernah pula menerima hadiah dari beberapa raja non-Muslim pada masa itu.
  • Tatkala Rasulullah SAW dan para sahabatnya sedang berkumpul, tiba-tiba lewatlah sekelompok orang mengusung jenazah. Ketika jenazah itu lewat, seraya Nabi SAW berdiri sebagai tanda hormat. Lalu ada seorang sahabat yang bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah itu mayat Yahudi?". Rasulullah SAW kemudian menjawab, "Bukankah itu nyawa juga?". "Ya", jawab orang itu. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, "Setiap nyawa menurut Islam harus dihormati dan mempunyai tempat"
  • Abu Thalib adalah seorang paman dari Nabi Muhammad SAW yang mengasuh, merawat, dan melindungi beliau semenjak beliau berusia 8 tahun. Setelah Nabi diangkat menjadi Rasul, beliau mengajak pamannya tersebut agar masuk Islam. Tetapi ajakan Nabi tersebut tidak dipenuhinya hingga pamannya itu meninggalkan dunia tetap dalam kekafiran. Meskipun begitu, hubungan antara Nabi SAW dengan pamannya itu tetap terjalin baik. Rasulullah SAW tetap sayang dan hormat kepada Abu Thalib, pamannya. Sebaliknya, Abu Thalib pun juga tetap sayang dan melindungi Nabi SAW dari gangguan orang-orang kafir Quraisy.

Selengkapnya
Ghibah, Fitnah, dan Cara Kita Menyikapi Datangnya Suatu Berita

Ghibah, Fitnah, dan Cara Kita Menyikapi Datangnya Suatu Berita

ilustrasi nggunjing
ilustrasi via istockphoto 

Secara bahasa, kata ghibah (jawa: ngerasani) berasal dari bahasa Arab غيبة yang artinya tidak tampak atau tersembuyi. Pengertian ghibah yaitu mengumpat/ menggunjing, menyebut atau membicarakan hal-hal yang tidak disukai oleh orang yang digunjing, seperti kekurangannya, keburukannya, atau aibnya, kepada orang lain dengan maksud buruk untuk mengolok-olok atau mencemarkan nama baiknya. Disebut ghibah juga karena orang yang digunjing atau diumpat tersebut tidak ada di tempat terjadinya percakapan (tidak mendengarkan langsung).

Adapun fitnah (فتنة) adalah kabar bohong tentang keburukan (aib) seseorang atau sekelompok orang yang disampaikan atau disebarkan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain atau masyarakat umum. Fitnah merupakan perbuatan buruk yang sangat dilarang oleh agama. Demikian buruknya akibat dari perbuatan fitnah ini, sehingga Allah SWT berfirman:

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ .... 

"..... Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.." (QS. Al-Baqarah, 191)

Juga sabda Rasulullah SAW:

لايدخل الجنة قتات

"Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba (menyebarkan fitnah)" (HR. Bukhari dan Muslim) 

Terkait perbedaan antara ghibah dan fitnah, mungkin kita bisa cermati percakapan antara Rasulullah SAW dan para sahabat berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:

"Tahukah engkau apakah ghibah itu?". Para sahabat menjawab, "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui". Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan, "(Ghibah itu adalah) engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan kata-kata yang tidak disenanginya". Para sahabat kemudian bertanya, "Bagaimana pendapat engkau wahai Rasulullah, jika memang terdapat pada saudaraku apa-apa yang saya katakan?". Nabi SAW kemudian menjawab, "Jika memang ada padanya apa yang kamu katakan itu, berarti kamu telah mengumpat/ menggunjing. Namun jika tidak ada berarti kamu telah berbuat kebohongan yang keji terhadap dirinya (fitnah)". (HR. Muslim). 

Antara ghibah dan fitnah, keduanya adalah termasuk perilaku tercela yang dilarang Allah SWT. Bahkan dalam kehidupan sosial masyarakat, kedua perilaku ini juga dapat mendatangkan kerugian dan bencana. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim kita mesti selalu berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku di dalam keseharian kita. 

Memang dalam kehidupan sosial antar warga masyarakat tidak jarang muncul kabar-kabar berita miring yang belum pasti kebenarannya. Kabar-kabar berita tersebut dengan begitu mudahnya tersebar dari mulut ke mulut dan dari rumah ke rumah hingga menjadi topik pembicaraan. Terkait hal itu, lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita terhadap datangnya suatu kabar berita tentang keburukan (aib) seseorang atau suatu kelompok?. 

Berikut ini beberapa cara yang bisa kita lakukan agar tidak mudah terjerumus pada perbuatan ghibah dan fitnah:

1. Jangan cepat-cepat kita mempercayai kebenaran berita itu, karena mungkin saja pembawa berita itu orang fasik yang sengaja membuat fitnah. Kalau memang dirasa perlu dan ada manfaatnya, seyogyanya berita itu dicek dulu kebenarannya. Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًۢا بِجَهٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِينَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat, 6)

2. Memberi nasihat dengan bijaksana (mengingatkan) kepada pembawa berita tersebut bahwa menceritakan keburukan (aib) seseorang itu adalah perilaku tercela yang seharusnya dihindari.

3. Jangan ikut menyiarkan berita tentang keburukan (aib) seseorang yang kita terima (dengar) kepada orang lain. Karena kalau hal tersebut dilakukan, berarti kita ikut melakukan ghibah atau fitnah yang dilarang Allah, dan kita berdosa karenanya. 

4. Jangan langsung berprasangka buruk kepada orang yang keburukannya (aibnya) disampaikan kepada kita. Dalam firmanNya Allah SWT menyebutkan:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ  ۖ  وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا  ۚ  أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ  ۚ  وَاتَّقُوا اللَّهَ  ۚ  إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat, 12)

5. Sebagai orang Islam, hendaknya kita membenci perbuatan ghibah dan fitnah karena Allah SWT, dan hendaknya kita selalu berusaha agar jangan sampai terpancing untuk melakukan ghibah, apalagi fitnah. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menghindarkan api neraka dari wajahnya". (HR Ahmad)

Selengkapnya
Hidup Bersanding, Bukan Bertanding

Hidup Bersanding, Bukan Bertanding

peringatan sumpah pemuda
via radarsurabaya 


28 Oktober 1928 menjadi hari yang luar biasa bersejarah bagi bangsa Indonesia karena ketika itu para pemuda yang terdiri dari berbagai suku dan etnis bersatu untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda. Namun dalam proses menjadi Indonesia, setidaknya ada tiga tahapan yang menjadi tonggak sejarah amat penting untuk diacu kembali guna menata kembali kerangka pikir kita sebagai bangsa yang kini sedang dalam kondisi krisis di segala bidang. 

Selain peristiwa pada tanggal 28 Oktober yang diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda, 20 Mei 1908 menjadi tonggak awal sejarah perjuangan bangsa ini dimana pada masa itu berdiri sebuah organisasi kemasyarakatan berpaham kebangsaan (Budi Utomo) yang kemudian diikuti organisasi-organisasi lainnya. Puncaknya, 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa berbagai suku bangsa yang berikrar pada 1928 telah menjadi satu bangsa yang merdeka yakni bangsa Indonesia. 

Dari ketiga peristiwa bersejarah ini, kita hendaknya bisa memahami bagaimana para pejuang dan pendiri bangsa ini telah berjuang sekuat tenaga dan pikiran demi terwujudnya satu wadah bersama dalam satu kesatuan yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di masa-masa krisis seperti ini, hendaknya kita berkaca kembali kepada peristiwa-peristiwa tersebut untuk merekatkan kembali masalah kesatuan bangsa yang kini cenderung retak.

Ketiga peristiwa bersejarah tersebut menjadi gambaran nyata dari pancaran sinar keikhlasan masing-masing suku bangsa untuk bersepakat mengubah statusnya dari berbagai suku bangsa menjadi satu bangsa. Contoh betapa tingginya rasa ikhlas dan toleransi ini juga tercermin dari penggunaan bahasa daerah Melayu-Riau yang diterima oleh semua suku bangsa di negeri ini sebagai bahasa Nasional (bahasa persatuan) sebagaimana tercantum juga dalam ikrar sumpah pemuda.

Menurut data pada tahun 1930, jumlah pemakai bahasa suku bangsa pada saat itu menunjukkan bahwa pemakai bahasa Jawa merupakan jumlah yang paling tinggi (47,02%), bahasa Sunda sebanyak 14,53%, sementara bahasa Melayu hanya 4,97% dari jumlah penduduk Nusantara saat itu. Namun baik masyarakat Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis, dan lain-lain, semuanya menerima dengan ikhlas dan sepakat untuk menjunjung tinggi bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Nasional yakni Bahasa Indonesia.

Namun sayangnya, rasa ikhlas sebagai bangsa yang satu kini semakin menipis. Hampir setiap aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlangsung dan diakhiri dengan tindakan yang mencerminkan tidak adanya keikhlasan apalagi toleran. Mengedepankan kepentingan masing-masing, kegiatan saling menuding, menyalahkan, menjatuhkan, menyerang, merusak, membakar, menyakiti, melukai, bahkan hingga menghilangkan nyawa orang kini seperti menjadi hal yang biasa.

Krisis yang terjadi seperti ini mencerminkan adanya pergeseran tentang apa hak dan kewajiban warga negara untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa. Dewasa ini, sikap kita tidak lagi menjunjung prinsip hubungan bersanding, tetapi telah bergeser ke arah hubungan bertanding. Dalam prinsip bertanding, hubungan tercipta dalam posisi berlawanan dan bersaing sehingga masing-masing berusaha untuk mendapatkan kemenangan. Tampaknya seperti inilah yang kini sedang terjadi, dimana suasana pertandingan antar kelompok yang berkepentingan terjadi tidak hanya di lapisan atas, tetapi juga merebak ke segala lapisan masyarakat.

Dari momentum bersejarah di atas, marilah kita kembali sadar bahwa kita hidup di negeri yang indah ini sebagai satu bangsa yang hidup dalam hubungan bersanding, bukan bertanding. Masing-masing dari kita memang berbeda suku, beda etnis, beda organisasi, atau beda partai, namun kita hidup bersandingan dalam satu wadah yang sama. Bila dalam prinsip bertanding akan tercipta lawan atau musuh, maka dalam prinsip bersanding akan tercipta hubungan persaudaraan dalam kesejajaran untuk saling menghargai, menghormati, mengasihi, menyayangi dan saling menjaga demi keutuhan bangsa ini.

Hubungan antar suku bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada hakikatnya merupakan hubungan persandingan, karena masing-masing suku bangsa memiliki budaya yang berbeda. Konsep hubungan persandingan yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa sangat tepat dan bijaksana karena fokusnya adalah pemahaman masyarakat. Justru dengan adanya perbedaan inilah akan tercipta sebuah mozaik yang indah, unik, dan menarik. Pada intinya, meskipun berbeda-beda, namun pada hakikatnya kita satu, Bhineka Tunggal Ika.


Disarikan dengan berbagai perubahan dan penambahan dari artikel dengan judul yang sama dalam rubrik Opini, Media Indonesia, 2006.

Selengkapnya
Cara Merawat Iman (Analogi Bercocok Tanam)

Cara Merawat Iman (Analogi Bercocok Tanam)

Berkurangnya kualitas iman seseorang memang sangatlah berbahaya. Iman yang tipis akan berdampak pada berkurangnya ketaatan dalam beribadah kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada sesama. Dalam hal ini, memang ada hubungan timbal balik antara iman (aqidah), ibadah (syariah), dan akhlak (mu'amalah). Dari ketiganya ini, iman berada pada posisi dasar yang melahirkan ibadah dan akhlak. Sebaliknya, kualitas ibadah dan akhlak dapat juga berpengaruh kepada kualitas iman. 

Oleh karenanya, iman yang telah kita miliki ini wajiblah kita syukuri dengan cara menjaga dan merawatnya. Lantas bagaimana caranya kita merawat dan menumbuh suburkan keimanan kita agar semakin meningkat kualitasnya?. Mungkin kita bisa belajar dari analogi ilmu bercocok tanam berikut ini.

benih tumbuh
via pixabay

Suatu tanaman akan dapat tumbuh dengan subur sangat dipengaruhi oleh empat hal, yaitu tanah, air, sinar matahari, dan pupuk. Apabila salah satu atau beberapa dari keempat unsur tersebut tidak dapat terpenuhi, maka benih tanaman yang telah disemaikan akan kurus, tidak sehat, berpenyakitan, atau bahkan mati sebelum berkembang dan menghasilkan buah. 

Iman dapat diibaratkan seperti benih bervaritas unggul yang tahan terhadap segala sesuatu. Ia telah disemaikan oleh Allah kepada setiap roh manusia, semenjak roh tersebut berada di alam arwah, atau sebelum Allah meniupkannya ke rahim sang ibu saat ibu hamil. 

Ya, iman telah kita terima langsung dari Allah sejak kita masih berada di alam arwah. Saat itu, tiap-tiap roh ditanya oleh Allah, "alastu birabbikum?" (bukankah Aku ini Tuhanmu?). Kemudian roh kita menjawabnya: "balaa syahidna" (benar, kami telah bersaksi). Hal ini juga sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلٰىٓ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ  ۖ  قَالُوا بَلٰى  ۛ  شَهِدْنَآ  ۛ  أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِينَ

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini". (QS. Al-A'raf, 172)

Adapun lingkungan, dalam ilmu bercocok tanam dapat diibaratkan seperti halnya tanah atau tempat bersemainya benih. Pencerahan atau siraman rohani ibarat air, hidayah Allah ibarat sinar matahari, dan ibadah ibarat pupuknya. Pemilihan tempat persemaian yang tepat menjadi hal penting agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Begitu juga dengan iman, lingkungan yang baik juga ikut menentukan sejauh mana kadar keimanan seseorang.

Pada kenyataannya, lingkungan tempat kita berada memang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan kualitas iman. Sampai-sampai untuk memilih rumah sebagai tempat tinggal, Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita agar mendahulukan memilih tetangga. Beliau bersabda:

إلتمسوا الرفيق قبل الطريق والجار قبل الدار

"Carilah kawan sebelum berjalan dan pilihlah tetangga sebelum memilih rumah (tempat tinggal)" (HR. al-Khatib dari Ali). 

Mengenai siraman rohani yang diibaratkan air, tepatlah kebijaksanaan Allah yang mewajibkan setiap laki-laki muslim yang sudah baligh, sekali dalam seminggu untuk menerima siraman rohani melalui khutbah jum'at. Bahkan Rasulullah SAW juga mewajibkan bagi setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu sepanjang hidupnya. Karena dengan landasan ilmulah, seseorang akan dapat lebih khusyu', tunduk, taat kepada Allah, dan imannya menjadi lebih kuat dan teguh. 

Adapun hidayah Allah yang diibaratkan sinar matahari, hal ini mesti diperhatikan betul-betul agar Allah berkenan untuk memberikan pancaran hidayahNya kepada kita.  

Mengenai hal ini, kita dapat mengambil pelajaran dari wafatnya pamanda Nabi yaitu Abu Thalib yang masih dalam keadaan kafir (wallahu a'lam). Padahal sebenarnya lingkungannya cukup mendukung karena dekat dengan Nabi yang merupakan keponakannya sendiri. Siraman Nabi pun tidak kurang-kurang agar sang paman segera beriman kepada Allah. Bahkan sebelum wafat, Nabi pun sempat mentalqinkannya. Karena kesedihan Nabi merenungi nasib buruk sang paman, beliau kemudian menerima wahyu dari Allah yang menyatakan:

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِى مَنْ يَشَآءُ  ۚ  وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk". (QS. Al-Qasas, 56)

Persoalan hidayah Allah memang tidak sembarang orang dapat memperolehnya. Oleh karenanya, kita harus senantiasa berusaha agar kita dianugerahi iman yang kuat. Pancaran hidayahNya ini haruslah kita minta melalui permohohan doa. Salah satu doa yang diajarkan Nabi agar selalu kita amalkan ialah:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

"Ya Allah, tolonglah saya untuk dapat dengan mudah mengingatMu, mensyukuri rahmatMu, dan meningkatkan kualitas ibadahku kepadaMu"

Terakhir, ibadah adalah laksana pupuk yang berfungsi untuk membuat tanaman menjadi sehat dan subur. Islam adalah agama amal, bukan hanya soal keyakinan. Setiap muslim tidak hanya dituntut untuk beriman, tetapi juga dituntut untuk beramal sholeh. Keimanan harus diwujudkan dalam bentuk amal yang nyata, yaitu ibadah yang dilakukan hanya semata karena Allah. Ibadah juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim selagi hayat masih di kandung badan. Allah SWT berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

"dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu". (QS. Al-Hijr, 99)

Analogi ibadah laksana pupuk juga akan lebih tepat kiranya jika kita kaitkan dengan amalan ibadah sunnah untuk melengkapi ibadah wajib yang memang diperintahkan. Pengamalan ibadah-ibadah sunnah akan memupuk rasa keimanan kita sehingga akan semakin kuat dan tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai godaan. Amalan-amalan tersebut dapat kita wujudkan misalnya melalui perbanyak shalat sunnah, memperbanyak baca Al Qur'an, memperbanyak sedekah, dan lain sebagainya. 

Dalam Islam, ibadah bertujuan untuk mewujudkan kedekatan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yakni berupa bentuk ketundukan, kepatuhan, dan kerendahan diri dihadapan Allah SWT. Bukan hanya itu saja, dalam pemahaman lain ibadah juga merupakan tujuan hidup manusia yang menunjukkan tugas kita sebagai salah satu makhluk ciptaanNya.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku". (QS. Az-Zariyat, 56). 



*Artikel di atas bersumber dari tulisan H. A. Manan Idris dalam "Penyejuk Hati Penjernih Pikiran", Misykat, Malang. 

Selengkapnya
Tugas Manusia Sebagai Pengemban Amanat (Khalifah) Allah di Muka Bumi

Tugas Manusia Sebagai Pengemban Amanat (Khalifah) Allah di Muka Bumi

lingkungan hidup

Allah menciptakan alam semesta dan segala isinya meliputi daratan, lautan, angkasa raya, flora, fauna dan sebagainya, semua ini adalah untuk kepentingan manusia. Dalam firmanNya disebutkan:


هُوَ الَّذِىٓ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً  ۖ  لَّكُمْ مِّنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ

"Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu". (QS. An-Nahl, 10). 

يُنۢبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنٰبَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ  ۗ  إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir". (QS. An-Nahl, 11)

وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ  ۖ  وَالنُّجُومُ مُسَخَّرٰتٌۢ بِأَمْرِهِۦٓ  ۗ  إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَءَايٰتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu, dan bintang-bintang dikendalikan dengan perintah-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti". (QS. An-Nahl, 12). 

وَمَا ذَرَأَ لَكُمْ فِى الْأَرْضِ مُخْتَلِفًا أَلْوٰنُهُ ۥ ٓ  ۗ  إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ

"dan untukmu di bumi ini dengan berbagai jenis dan macam warnanya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran". (QS. An-Nahl, 13). 

وَهُوَ الَّذِى سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِۦ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur". (QS. An-Nahl, 14). 

وَأَلْقٰى فِى الْأَرْضِ رَوٰسِىَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهٰرًا وَسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk". (QS. An-Nahl, 15). 

وَعَلٰمٰتٍ  ۚ  وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ

"dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk". (QS. An-Nahl, 16). 

Dari gambaran ayat-ayat di atas kita memahami bahwa segala apa yang diciptakan Allah SWT di bumi ini semua diperuntukkan untuk makhluknya, terutama umat manusia. Namun sayangnya karena ketamakan, alam beserta isinya justru menjadi rusak dan terancam kelestariannya. Padahal ketamakan umat manusia terhadap alam tersebut akibat buruknya justru menimpa mereka sendiri. Akibat buruk dimaksud misalnya bencana tanah longsor, banjir, kekeringan, tata alam yang tidak karuan, serta udara dan air yang tercemar. 

Hal ini juga sebagaimana disinggung dalam firmanNya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِى عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (QS. Ar-Rum, 41). 

Ayat di atas menegaskan bahwa Allah sendiri telah mengingatkan sebelumnya kepada umat manusia bahwa terjadinya berbagai kerusakan di daratan dan lautan adalah akibat ulah atau perbuatan manusia. Hal tersebut hendaknya disadari betul-betul oleh manusia dan karenanya segala perbuatan-perbuatan yang menyebabkan timbulnya kerusakan alam ini harus segara dihentikan dan menggantinya dengan perbuatan baik dan bermanfaat untuk kelestarian alam (lingkungan hidup). 

hutan alam

Manusia sebagai khalifatullah diamanati oleh Allah untuk melakukan usaha-usaha agar alam semesta dan segala isinya tetap lestari, sehingga umat manusia dapat mengambil manfaat, menggali, dan mengolahnya untuk kesejahteraan umat manusia dan sekaligus sebagai bekal dalam beribadah dan beramal shalih. 

Larangan Berbuat Kerusakan di Bumi


وَلَا تُفْسِدُوا فِى الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلٰحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا  ۚ  إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan". (QS. Al-A'raf, 56). 

Ayat di atas adalah larangan Allah kepada manusia untuk berbuat kerusakan (fasad) di muka bumi ini. Kata fasad menurut bahasa berarti rusak, hilangnya bentuk dari sesuatu setelah bentuk itu terwujud. 

Larangan berbuat fasad dalam surah Al-A'raf ayat 56 ini sebetulnya lebih mempertegas firman Allah dalam surah Ar-Rum ayat 41-42, yaitu umat manusia dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan hal-hal yang membahayakan kelestariannya sesudah diperbaiki, karena apabila hal itu dilakukan tentu akan mendatangkan bencana bagi semua umat manusia. 

Agar tidak menjadi kaum perusak, ayat di atas juga memerintahkan kita untuk selau berdoa kepada Allah agar Allah senantiasa menurunkan rahmatNya kepada kita. Rahmat artinya adalah karunia Allah SWT yang mendatangkan manfaat dan nikmat. Agar doa dikabulkan, kita hendaknya berupaya untuk masuk ke dalam golongan muhsiniin, yaitu dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan segala laranganNya. 

Bukti Kekuasaan Allah


وَهُوَ الَّذِى يُرْسِلُ الرِّيٰحَ بُشْرًۢا بَيْنَ يَدَىْ رَحْمَتِهِۦ  ۖ  حَتّٰىٓ إِذَآ أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنٰهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَآءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِۦ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ  ۚ  كَذٰلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتٰى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran". (QS. Al-A'raf, 57). 

وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ ۥ  بِإِذْنِ رَبِّهِۦ  ۖ  وَالَّذِى خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا  ۚ  كَذٰلِكَ نُصَرِّفُ الْأَايٰتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ

"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur". (QS. Al-A'raf, 58). 

Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menghembuskan angin, menggiring awan, dan menurunkan hujan di berbagai tempat yang dikehendakiNya seperti di daerah tandus. Air hujan yang diturunkan Allah itu, menyebabkan tanah yang tandus menjadi subur, tempat tumbuhnya berbagai jenis tanaman yang bermanfaat. Demikian pula Allah juga berkuasa menghidupkan orang-orang yang telah mati pada hari Kiamat kelak, sebagaimana Allah berkuasa menghidupkan tanah yang tandus menjadi subur. 

Setiap umat Islam mesti meyakini bahwa segala apa yang terjadi dan terdapat di alam dunia ini, seperti angin, hujan, tanah subur, tanah tandus, tanaman yang hidup subur dan hidup merana itu semua merupakan bukti-bukti kekuasaan Allah yang harus disyukuri. Cara mensyukurinya yaitu dengan melestarikan dan memanfaatkannya dengan bijaksana dan sebaik mungkin untuk memperoleh ridha Allah dan rahmatNya. 

hutan dan kota

Ada banyak cara untuk menjaga alam agar tetap lestari dan dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Beberapa di antaranya yaitu dengan cara menggalakkan penanaman pohon yang banyak menyerap air, mengolah lahan tandus, penanaman kembali hutan yang gundul (reboisasi), meminimalisir faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, menyaring asap hasil pembakaran proses industri, termasuk juga hal-hal sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya, mendaur ulang sampah plastik, dan lain sebagainya. 

Demikianlah, langit, bumi, dan segala isinya sengaja diciptakanNya untuk kemanfaatan seluruh makhluk hidup, khususnya umat manusia. Sebagai orang beriman kita juga meyakini bahwa tidak ada satu pun yang diciptakan Allah tanpa hikmah. Maka diperlukan upaya yang keras dan konsisten dari kita semua, sebagai khalifah Allah SWT, agar kewajiban untuk memelihara dan melestarikan alam demi kesejahteraan bersama tetap terjaga. Wallahu A'lam. 

Selengkapnya
Cara Agar Kita Terhindar dari Melakukan Dosa Besar

Cara Agar Kita Terhindar dari Melakukan Dosa Besar

Kerasnya hidup kadang kala membuat sebagian orang kehilangan kewarasannya sehingga apa pun dilakukannya demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Tidak jarang orang-orang tersebut kemudian berani menerobos norma-norma agama dan terjerumus dalam perbuatan dosa besar yang sangat dilarang oleh agama.

berdoa agar dihindarkan dari dosa
via shutterstock

Secara umum, dosa-dosa besar dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, seperti dosa terhadap Allah SWT  (syirik, kufur), dosa kepada orang tua (durhaka), dosa terhadap diri sendiri (bunuh diri), dosa dalam kehidupan bermasyarakat (mencuri, merampok, membunuh, dll), dan dosa-dosa besar lainnya. 

Bagi seorang Muslim, penting bagi kita untuk membentengi diri agar terhindar dari berbuat dosa-dosa besar tersebut. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan, beberapa di antaranya yaitu:

1. Senantiasa Ingat Kepada Allah

Dengan banyak mengingat Allah (dzikrullah), maka kita akan senantiasa terjaga dari berbuat dosa-dosa besar yang diharamkan oleh Allah SWT. Jika kita terhindar dari melakukan dosa besar, tentu kita akan memperoleh ampunan Allah SWT, dan kelak di alam akhirat akan dimasukkan ke dalam surgaNya. Allah SWT berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَآئِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيمًا

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)". (QS. An-Nisa', 31)

2. Pahami Dampak dari Melakukan Dosa Besar

Setiap umat manusia, khususnya umat Islam hendaknya mesti menyadari bahwa ketika melakukan dosa besar, akibat buruknya terutama akan menimpa pelakunya sendiri. Akibat buruk (kemudharatan) dari perbuatan dosa besar akan menimpa pelakunya sendiri baik saat masih di dunia maupun ketika di akhirat kelak. Sebagai gambarannya anda bisa pahami firman Allah berikut ini:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَئًا  ۚ  وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلٰىٓ أَهْلِهِۦٓ إِلَّآ أَنْ يَصَّدَّقُوا  ۚ  فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ  ۖ  وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثٰقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلٰىٓ أَهْلِهِۦ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ  ۖ  فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللَّهِ  ۗ  وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ ۥ  جَهَنَّمُ خٰلِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ ۥ  وَأَعَدَّ لَهُ ۥ  عَذَابًا عَظِيمًا

"Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah, (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak mendapatkan (hamba sahaya) maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."

"Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah Neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya". (QS. An-Nisa', Ayat 92 - 93)

3. Berusaha Menjadi Mukmin Seutuhnya

Orang-orang beriman, di mana pun dan kapan pun dia berada tentu tidak akan melakukan dosa besar. Hal ini disebabkan karena mereka menyadari bahwa jika melakukannya tentu akan mengalami kegelisahan batin dan ketidaktentraman jiwa. Mereka akan dikejar-kejar rasa bersalah, takut kalau perbuatan dosanya diketahui orang lain. 

Orang-orang beriman akan senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan baik yang diridhai Allah SWT, yang mana salah satu hikmahnya dapat memberikan kedamaian, ketentraman, dan ketenangan jiwa. Rasulullah SAW bersabda:

"Perbuatan baik adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa dan tidak menentramkan hati, meskipun engkau mendapat fatwa dari orang-orang". (HR. Imam Ahmad) 

Juga sabda Rasulullah yang lain:

"Dosa adalah sesuatu yang berbekas di hatimu dan engkau tidak suka orang lain mengetahuinya". (HR. Imam Ahmad) 

4. Disiplin Mengerjakan Sholat Fardhu

Muslim/Muslimah yang disiplin dalam mengerjakan shalat fardhu, apalagi kalau ditambahkan dengan melaksanakan shalat sunnah, tentu akan mampu mengendalikan dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. 

Perbuatan keji adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan seperti menipu, mencuri, merampok, dan membunuh. Sedangkan perbuatan mungkar adalah perbuatan yang menyimpang dari ajaran Allah SWT dan RasulNya seperti kufur, syirik, dan nifak. Terkait fungsi shalat dalam menangkal perbuatan-perbuatan dosa tersebut, Allah SWT berfirman:

اتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَأَقِمِ الصَّلٰوةَ ۖ إِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

"Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-'Ankabut, 45)

5. Senantiasa Beramal Shaleh

Orang-orang beriman akan berusaha agar senantiasa beramal shaleh dan mengendalikan diri untuk tidak berbuat dosa besar, baik itu lewat perkataan maupun perbuatannya. Selain itu, ia juga mesti meyakini bahwa setiap amal baik dan perbuatan jahat akan dicatat oleh dua malaikat yaitu Raqib dan 'Atid. Allah SWT berfirman:

مَّا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)". (QS. Qaf, 18)

Selengkapnya
Pengertian Taubat dan Syarat-Syarat Diterimanya

Pengertian Taubat dan Syarat-Syarat Diterimanya

Setiap orang pasti pernah berbuat dosa sehingga untuk menghapusnya ia wajib segera bertaubat dengan sebenar-benarnya. Dengan bertaubat, maka dosa-dosa itu dapat dihapus sehingga ia akan memperoleh ampunan dari Allah SWT. Bahkan dengan bertaubat sungguh-sungguh (taubat nasuha), ia akan kembali menjadi seperti orang yang tidak berdosa. Rasulullah SAW bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

"Orang yang bertaubat dari dosanya, maka ia seperti orang yang tidak berdosa" (HR. Ibnu Majah). 

ilustrasi taubat
ilustrasi

Bertaubat artinya adalah memohon ampunan Allah dengan benar-benar menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi lagi kesalahan serupa. Kata taubat berasal dari bahasa Arab at-taubah (التوبة), dari kata kerja taaba-yatuubu (تاب - يتوب) yang berarti ruju' atau kembali. 

Menurut istilah yang dikemukakan Ulama, kata taubat mencakup 3 pengertian, yaitu:
  • Kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan atau kembali dari jalan yang jauh dari Allah kepada jalan yang lebih dekat kepada Allah.
  • Membersihkan hati dari segala dosa.
  • Meninggalkan keinginan untuk melakukan kejahatan seperti yang pernah dilakukan, karena untuk mengagungkan nama Allah SWT dan menjauhkan diri dari kemurkaanNya.

Hukum bertaubat adalah wajib bagi setiap Muslim atau Muslimat yang sudah mukallaf (baligh dan berakal). Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوٓا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسٰى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰت

"Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga...". (QS. At-Tahrim, 8).

Taubat dianggap sah dan dapat menghapus dosa apabila telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Apabila dosa itu terhadap Allah SWT, maka syarat taubat ada empat macam, yaitu:
  1. Menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah diperbuat (nadam). 
  2. Meninggalkan perbuatan maksiat tersebut. 
  3. Bertekad dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan maksiat tersebut. 
  4. Mengikutinya dengan perbuatan baik, karena perbuatan baik akan menghapus kejahatan. Allah SWT berfirman:

...إِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَات...

"...Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan..."

Namun apabila dosanya juga terhadap sesama manusia, maka syarat taubatnya selain yang empat macam tersebut ditambah dengan dua syarat, yaitu:
  1. Meminta maaf terhadap orang yang telah dizalimi (dianiaya) atau dirugikan. 
  2. Mengganti kerugian setimbang dengan kerugian yang dialaminya, yang diakibatkan perbuatan zalim atau meminta kerelaannya. 

Perlu pula diketahui dan disadari oleh setiap orang yang telah berbuat dosa, bahwa seseorang yang membaca istighfar (mohon ampunan dosa kepada Allah), tetapi terus menerus berbuat dosa, maka ia akan dianggap telah mengolok-olok Tuhannya. Rasulullah SAW bersabda:

المستغفر من الذنب وهو مقيم عليه كالمستهزئ بربه 

"Orang yang memohon ampunan kepada Allah (membaca istighfar), tetapi ia terus menerus berbuat dosa, maka ia dianggap memperolok-olok Tuhannya". (HR. Baihaqi). 

Demikian juga seseorang yang berbuat dosa dan baru bertaubat ketika sakaratul maut (nyawanya sudah berada di tenggorokan) maka taubatnya tidak akan diterima oleh Allah. Dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الله عزَّ وجَلَّ يقْبَلُ توْبة العبْدِ مَالَم يُغرْغرِ

"Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung akan menerima taubat seorang hamba selama ia belum mengalami sakratul maut (nyawa sudah di tenggorokan)". (HR. At-Tirmizi). 

Selengkapnya