Dari Republik Indonesia Serikat (RIS) Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Dari Republik Indonesia Serikat (RIS) Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Ada beragam bentuk pemerintahan yang dianut oleh negara-negara di dunia ini. Satu di antaranya yaitu bentuk negara federal atau sering juga disebut dengan negara serikat. Negara federal yaitu negara yang di dalamnya terdapat beberapa negara bagian. Kekuasaan antara Pemerintah Federal dan Pemerintah Negara Bagian dibagi sedemikian rupa sehingga masing-masing pemerintah memiliki bidang kekuasaannya. 

Kita tentu familier dengan negara-negara penganut bentuk pemerintahan federal seperti misalnya Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Australia, dan sebagainya. Namun tahukah anda bahwa negeri kita tercinta, Indonesia, dahulu juga pernah menganut bentuk pemerintahan seperti ini sebelum akhirnya kembali dengan bentuk Negara Kesatuan seperti sekarang ini. 

bendera Indonesia
via shutterstock

Indonesia pernah menganut bentuk pemerintahan Republik Federal yang terbentuk sejak tanggal 27 Desember 1949 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1950. Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah sebuah negara republik parlementer federal di Asia Tenggara yang terbentuk setelah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. 

Negara ini merupakan perserikatan antara Republik Indonesia dan negara-negara yang dibentuk Belanda di Nusantara dari tahun 1946 hingga 1949. Federasi RIS lahir sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), yakni Republik Indonesia, Majelis Permusyawaratan Federal (BFO), dan Belanda. Kesepakatan tersebut juga disaksikan oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan dari PBB.

Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) 


Pada tanggal 4 Agustus 1949, pemerintah Indonesia menyusun dan membentuk delegasi untuk menghadiri KMB yang terdiri atas Drs. Moh. Hatta, Moh. Roem, Prof. Dr. Supomo, dr. Leimena, Ali Sastroamijoyo, Ir. Juanda, dr. Sukiman, Suyono Hadiwinoto, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Sumardi. Sedangkan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. 

Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda, dan menghasilkan beberapa kesepakatan. Hasil-hasil yang didapat dari perundingan tersebut antara lain sebagai berikut:
  1. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 
  2. Status Irian akan diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan. 
  3. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerja sama sukarela dan sederajat. 
  4. RIS mengembalikan hak milik Belanda serta memberikan hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
  5. RIS harus membayar semua utang-utang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942. 
KMB
via detik.com

Sebelumnya, antara pihak RI dan BFO telah ditandatangani persetujuan mengenai Konstitusi RIS pada tanggal 29 Oktober 1949. Hasil KMB kemudian diajukan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tanggal 6 Desember 1949, KNIP bersidang untuk membahas hasil KMB tersebut. Sebanyak 226 suara menyetujui hasil KMB, 62 suara menolak, dan 31 orang meninggalkan sidang. Dengan demikian, hasil KMB akhirnya diterima dengan suara mayoritas di KNIP. 

Pada tanggal 15 Desember 1949, diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Pada tanggal 16 Desember 1949, Ir. Soekarno dipilih sebagai Presiden RIS dan pada keesokan harinya diambil sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949, Kabinet RIS pertama dibentuk dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai perdana menterinya. Pada tanggal 23 Desember 1949, delegasi RIS yang dipimpin oleh Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk menandatangani akta “penyerahan” kedaulatan dari pemerintah Belanda. 

Pada tanggal 27 Desember 1949, baik di Belanda maupun di Indonesia dilakukan upacara penandatanganan naskah “penyerahan” kedaulatan. Di Belanda bertempat di Ruang Tahta Amsterdam, Ratu Juliana, Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.MJ.A. Sassen, dan Ketua Delegasi RIS Moh. Hatta bersama membubuhkan tanda tangan pada naskah “penyerahan” kedaulatan kepada RIS.

Pada saat yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menenima “penyerahan’” kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink melalui suatu upacara. Dengan demikian, secara formal Belanda telah memberikan pengakuan kemerdekaan Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda, kecuali Papua.

Dengan adanya hasil persetujuan KMB, terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas tujuh negara bagian dan sembilan negara satuan (daerah otonom). Republik Indonesia merupakan negara bagian terpenting yang memiliki daerah paling luas dan jumlah penduduk paling banyak. 

peta RIS
via wikimedia.org

Adapun negara-negara bagian RIS berdasarkan Piagam Konstitusi RIS adalah sebagai berikut:

a. Negara Bagian

  1. Negara Republik Indonesia 
  2. Negara Indonesia Timur 
  3. Negara Pasundan 
  4. Negara Jawa Timur 
  5. Negara Madura 
  6. Negara Sumatra Timur 
  7. Negara Sumatra Selatan

b. Negara Satuan Yang Berdiri Sendiri

  1. Jawa Tengah 
  2. Belitung 
  3. Kalimantan Barat 
  4. Daerah Banjar 
  5. Kalimantan Timur 
  6. Bangka 
  7. Riau 
  8. Dayak Besar 
  9. Kalimantan Tenggara

c. Distrik Federal

  1. Distrik Federal Jakarta

d. Daerah Swapraja

  1. Kotawaringin
  2. Padang dan sekitarnya 
  3. Sabang

Kembali Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 


Seperti telah disinggung di atas, terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS) ternyata tidak bertahan lama. Sejak awal, mayoritas orang Indonesia memang sejatinya menentang sistem federal yang dihasilkan dari Konferensi Meja Bundar ini. Pada akhirnya, RIS resmi dibubarkan dan terbentuklah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

NKRI
via sekolahan.co.id

Faktor-faktor yang menyebabkan semakin kuatnya dorongan pembubaran RIS adalah sebagai berikut:
  1. Anggota kabinet RIS pada umumnya orang-orang republiken pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya dua orang yang tetap mendukung sistem federal (serikat), yaitu Sultan Hamid II dan Anak Agung Gede Agung. Oleh karena itu, opini untuk membubarkan RIS dan pembentukan negara kesatuan sangat kuat. 
  2. Ada anggapan di kalangan rakyat Indonesia bahwa pembentukan sistem federal (RIS) merupakan upaya Belanda untuk kembali memecah bangsa Indonesia. 
  3. Pembentukan RIS tidak didukung oleh ideologi yang kuat dan tanpa tujuan kenegaraan yang jelas. 
  4. Pembentukan RIS tidak mendapatkan dukungan rakyat banyak. 
  5. RIS menghadapi rongrongan dari sisa-sisa kekuatan Belanda seperti KNIL dan KL serta golongan yang takut kehilangan hak-haknya setelah Belanda meninggalkan Indonesia.

Oleh karena itu, di beberapa daerah dan negara bagian timbul gerakan menuntut pembubaran RIS dan pembentukan negara kesatuan. Gerakan itu bersamaan dengan munculnya pemberontakan bersenjata oleh bekas tentara KNIL di beberapa negara bagian seperti APRA, Andi Azis, dan RMS. 

Karena semakin kuatnya tuntutan pembubaran RIS, maka pada tanggal 8 Maret 1950 dengan persetujuan parlemen, Pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor II tahun 1950. Berdasarkan Undang Undang (UU) tersebut, negara-negara bagian diperbolehkan bergabung dengan Republik Indonesia. 

Beberapa negara bagian yang menyatakan bergabung dengan RI yaitu Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, Negara Kalimantan Timur, Tenggara, dan Dayak, Daerah Bangka dan Belitung, serta Daerah Riau. Beberapa daerah lain seperti Padang masuk ke daerah Sumatra Barat, Sabang sebagai daerah Aceh, dan Kotawaringin masuk ke wilayah RI. Hingga tanggal 5 April 1950, hanya tinggal dua negara bagian yang belum bergabung dengan Rl yaitu Negara Sumatra Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT).

Pembentukan negara kesatuan terjadi setelah pemerintah Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Selanjutnya, pada tanggal 19 Mei 1950 diadakan persetujuan RIS-RI untuk mempersiapkan prosedur pembentukan negara kesatuan. Pihak RIS diwakili oleh Perdana Menteri RIS Moh. Hatta dan pihak RI diwakili oleh Perdana Menteri RI dr. Abdul Halim. Pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia akan dibentuk oleh RIS-RI di Yogyakarta. 

Guna mewujudkan rencana itu dibentuklah Panitia Gabungan RI-RIS yang bertugas merancang UUD Negara Kesatuan RI. Panitia Perancang UUDS NKRI ini diketuai oleh Menteri Kehakiman RIS Prof. Dr. Mr Supomo. Panitia itu berhasil menyusun Rancangan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 20 Juli 1950. 

Perubahan UUD tersebut dilakukan dengan cara mengubah UUD RIS sedemikian rupa sehingga tidak mengubah esensi UUD 1945, terutama Pasal 27, 29, dan 33 ditambah dengan bagian-bagian yang masih dianggap baik dari UUD RIS. Rancangan UUD ini kemudian diserahkan kepada perwakilan negara-negara bagian untuk disempurnakan. 

Pada tanggal 14 Agustus 1950, Rancangan UUD itu diterima dengan baik oleh Senat dan Parlemen RIS serta KNIP. Pada tanggal 15 Agustus 1950, melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1950, Presiden Soekarno menandatangani rancangan UUD tersebut menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS 1950). Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan resmi RIS dibubarkan dan terbentuklah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selengkapnya
Sejarah Pertempuran Palagan Ambarawa (Peringatan Hari Juang Kartika TNI AD)

Sejarah Pertempuran Palagan Ambarawa (Peringatan Hari Juang Kartika TNI AD)

Ketika saya masih kuliah di Semarang, setiap pulang kampung (Kebumen) saya pasti selalu melewati kota Ambarawa di mana di sana berdiri sebuah monumen bersejarah yang menjadi saksi bisu perjuangan para pahlawan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Ya, anda betul sekali, monumen Palagan (pertempuran) Ambarawa. 

monumen palagan ambarawa
via wisatajateng.com

Palagan Ambarawa


Palagan Ambarawa adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap pasukan sekutu yang terjadi di Ambarawa, sebuah wilayah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang, Jawa Tengah. Peristiwa ini terjadi mulai dari tanggal 20 Oktober hingga 15 Desember 1945 yang berakhir dengan kemenangan Indonesia dimana kota Ambarawa berhasil direbut kembali oleh pasukan Indonesia. 

Usai Jepang menyerah kepada sekutu, masuknya tentara sekutu ke wilayah Nusantara ternyata membawa masalah baru bagi bangsa Indonesia yang telah bertekad untuk mempertahankan eksistensi negara kebangsaan Indonesia. Kedatangan tentara sekutu yang diboncengi NICA menyebabkan terjadinya berbagai konflik dan pertempuran di sejumlah daerah di tanah air. 

Selain kisah heroik perjuangan arek-arek Suroboyo (baca: Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945), peristiwa lain yang tidak kalah heroik juga terjadi di Jawa tengah, tepatnya di kota Ambarawa, yakni ketika pecah juga perlawanan rakyat melawan pasukan tentara sekutu. 

Kronologi Pertempuran Ambarawa


Pada tanggal 20 Oktober 1945, Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigjen Bethell mendarat di Semarang, Jawa Tengah. Pemerintah Indonesia memperkenankan pasukan sekutu untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. 

Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah, Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu. Namun, mereka ternyata diboncengi oleh NICA dan mempersenjatai para bekas tawanan. Akibatnya, pada tanggal 26 Oktober 1945 pecahlah insiden di Magelang yang berlarut menjadi insiden antara TKR dan tentara Sekutu. 

Tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini pun membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Soekarno dan Brigjen Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945. 

Keduanya mengadakan perundingan dan menghasilkan kesepakatan yang dituangkan ke dalam 12 pasal, antara lain sebagai berikut:

1. Sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi tawanan perang. 

2. Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan Sekutu. 

3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawah kekuasaannya. 

Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Kesempatan dan kelemahan dalam pasal-pasal itu dipergunakan untuk menambah jumlah pasukannya. Sementara itu, pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan pasukan Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan Sekutu yang ada di Magelang ditarik ke Ambarawa.

Pada hari yang sama, pasukan TKR dari Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar dari arah Magelang. Pasukan ini berhasil menduduki Desa Pingit dan kemudian merebut desa-desa sekitarnya. Ketika batalion Imam Androngi sedang melakukan pengejaran datang bantuan 3 batalion dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10 Divisi III dipimpin Mayor Suharto, Batalion 8 dipimpin Mayor Sardjono, dan Batalion Sugeng sehingga musuh menjadi terkepung. 

Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan yang berasal dari Purwokerto, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Pimpinan pasukan kemudian diambil alih oleh Kolonel Soedirman, Panglima Divisi Purwokerto. Koordinasi pun diadakan di antara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. 

Setelah mendapat laporan dari para komandan sektor, Kolonel Soedirman menyimpulkan bahwa musuh telah terjepit. Oleh karena itu, pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing-masing. Kota Ambarawa dikepung selama 4 hari 4 malam. Akhirnya, pada tanggal 15 Desember 1945 tentara sekutu meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang.

peta pertempuran ambarawa
Peta pertempuran Ambarawa

Kemenangan pertempuran rakyat saat melawan tentara sekutu tersebut mempunyai arti penting karena apabila musuh berhasil menguasai Ambarawa, maka akan mengancam tiga kota lainnya sekaligus, yaitu Surakarta, Magelang, dan Yogyakarta sebagai Markas Tertinggi TKR. Kemenangan tersebut juga menjadi bukti akan kegigihan rakyat dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan NKRI tercinta.

Hari Juang Kartika TNI AD


Untuk mengenang pertempuran heroik tersebut, maka setiap tanggal 15 Desember kini diperingati sebagai Hari Juang Kartika TNI AD (sebelumnya disebut Hari Infanteri). Sementara di kota Ambarawa, peristiwa bersejarah tersebut juga diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa yang terletak di Jalan Mgr Sugiyopranoto, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Selengkapnya
Sejarah Kesultanan Banten, Awal Berdiri, Kejayaan, Hingga Kemunduran

Sejarah Kesultanan Banten, Awal Berdiri, Kejayaan, Hingga Kemunduran

Kesultanan Banten adalah kerajaan Islam yang pernah berdiri di wilayah Banten, Indonesia. Keberadaannya berawal sekitar tahun 1526, ketika Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Cirebon bersama putranya, Hasanuddin dibantu pasukan dari kesultanan Demak berupaya memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa. 

Demi merealisasikan hal itu, Sunan Gunung Jati bersama bala tentaranya berupaya untuk menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan di pesisir barat pulau Jawa yang kemudian dijadikan sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis pada tahun 1522. 

Setelah berhasil menduduki wilayah Banten, Sunan Gunung Jati kemudian berkuasa di daerah tersebut. Adapun Cirebon diserahkan kepada putranya bernama Pangeran Pasarean. Namun setelah Pangeran Pasarean wafat, Sunan Gunung Jati menyerahkan Banten kepada putranya, Hasanuddin. Sedangkan Sunan Gunung Jati memilih untuk memerintah di Cirebon. Hasanuddin diangkat sebagai penguasa Banten pada tahun 1552 M.

Maulana Hasanuddin dikenal sebagai sultan pertama di Banten. Ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Lampung sehingga Banten menjadi penguasa tunggal dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di Selat Sunda. Untuk memperkuat kedudukannya, Hasanuddin juga menikah dengan putri Indrapura. Raja Indrapura kemudian menyerahkan sebidang tanah yang menghasilkan lada kepadanya. 

masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten, dibangun pada masa Sultan Hasanuddin, via kompas.com

Pada masa itu, bandar Banten sering dikunjungi pedagang-pedagang asing dari berbagai negeri seperti Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu (Burma Selatan), dan Keling. Banten pada masa ini mengalami perkembangan yang pesat sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam. Bahkan Banten telah melepaskan diri dari Demak. Wilayah kekuasaan Banten saat itu meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung, Indrapura sampai Solebar. Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf. 

Sepeninggal ayahnya, Panembahan Yusuf berupaya memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1579, kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat yaitu Pakuan Pajajaran berhasil ia taklukkan. Panembahan Yusuf wafat pada tahun 1580 M. la digantikan oleh putranya yang masih berusia 9 tahun, yakni Maulana Muhammad dengan gelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan. 

Maulana Muhammad memegang tampuk kekuasaan dalam usia yang terlalu muda, sehingga pemerintahan kemudian dipegang oleh seorang mangkubumi hingga ia dewasa. Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad ini, datanglah untuk pertama kalinya orang Belanda di Nusantara dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1596 M. 

Maulana Muhammad wafat dalam sebuah serangan ke Palembang saat ia mencoba menguasai Palembang pada tahun 1596. la kemudian digantikan oleh putranya bernama Abdul Mufakir yang baru berumur 5 bulan. Oleh karena itu, roda pemerintahan kemudian dipegang oleh seorang mangkubumi. Sultan Abdul Mufakir berkuasa penuh sebagai sultan Banten mulai dari tahun 1624 hingga tahun 1651 dengan Pangeran Ranamenggala sebagai patih dan penasehat utamanya.

Pada masa ini, Sultan Abdul Mufakir berupaya memajukan berbagai bidang seperti bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan. Selain itu, ia juga menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Namun sayangnya, kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran karena semakin kuatnya blokade VOC yang sudah menguasai Batavia. Sepeninggal Sultan Abdul Mufakir, penggantinya adalah Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. 

Sultan Ageng Tirtayasa (berkuasa tahun 1651-1682) merupakan raja terbesar Banten. la berupaya mengembalikan wilayah Priangan, Cirebon sampai Tegal ke tangan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga berhasil memajukan perdagangan sehingga Banten berkembang menjadi bandar internasional yang dikunjungi oleh kapal-kapal Persia, Arab, Cina, Inggris, Prancis, dan Denmark. Akan tetapi, Sultan Ageng Tirtayasa sangat membenci VOC yang telah merebut Jayakarta dari Banten. Belanda pun selalu berupaya menjatuhkan Banten.

Ketika terjadi perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Abdul Kahar yang dikenal sebagai Sultan Haji, Belanda mengambil kesempatan untuk melancarkan politik adu domba (devide et impera). Sultan Haji meminta bantuan VOC dan terjadilah perang dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Akhirnya, pada tahun 1682 Sultan Ageng Tirtayasa menyerah. la ditawan di Batavia hingga wafatnya pada tahun 1692. Setelah itu, Banten terus mengalami kemunduran dan akhirnya dikuasai sepenuhnya oleh Belanda pada tahun 1775.

Selengkapnya
Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945 (Peringatan Hari Pahlawan)

Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945 (Peringatan Hari Pahlawan)

Bagi masyarakat Indonesia, 10 November merupakan hari istimewa yang selalu diperingati setiap tahunnya. Peringatan hari pahlawan merupakan agenda nasional yang bertujuan untuk menghormati, meneladani, sekaligus mengenang jasa-jasa para pejuang atau pahlawan yang rela berkorban dan bertaruh nyawa demi mempertahankan kemerdekaan negeri kita tercinta. 

Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945 (Peringatan Hari Pahlawan)
via shutterstock

Sejarah mencatat bahwa setelah Jepang menyerah kepada sekutu, bangsa Indonesia dengan segera memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun beberapa waktu kemudian, pasukan tentara sekutu mulai berdatangan ke Indonesia. 

Pada mulanya, kedatangan pasukan Sekutu disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia. Namun, setelah diketahui bahwa Sekutu membawa NICA (Netherland Indies Civil Administration), masyarakat menjadi curiga karena NICA adalah pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan sipil di Indonesia. Situasi keamanan menjadi semakin buruk sejak NICA mempersenjatai kembali tentara KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang.

Kedatangan Tentara Sekutu yang diboncengi NICA menyebabkan terjadinya konflik dan pertempuran di berbagai daerah. Keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia berhadapan dengan rakyat Indonesia yang bertekad untuk mempertahankan kemerdekaannya. Oleh karena itu, terjadilah pertempuran di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu di antaranya yaitu pertempuran heroik di Surabaya. 

Pertempuran 10 November di Surabaya


Pasukan sekutu di bawah pimpinan Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Mereka mendapat tugas dari Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherland East Indies) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan interniran Sekutu. 

Kedatangan pasukan sekutu diterima dengan enggan oleh pemerintah Jawa Timur yang dipimpin oleh Gubernur R.M.T.A Suryo. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Brigjen A.WS. Mallaby, maka dihasilkan kesepakatan sebagai berikut. 
  1. Inggris berjanji di antara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda. 
  2. Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. 
  3. Akan segera dibentuk Kontak Biro agar kerja sama dapat terlaksana sebaik-baiknya. 
  4. Inggris hanya akan melucuti senjata tentara Jepang. 
Dalam perkembangannya, pihak Inggris ternyata mengingkari janji. Pada tanggal 26 Oktober 1945 malam hari, satu peleton dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw melakukan penyergapan ke Penjara Kalisosok. Penyergapan itu bertujuan membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Angkatan Laut Belanda dan kawan-kawannya. 

Tindakan Inggris tersebut dilanjutkan keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital lainnya. 

Pada hari yang sama pukul 14.00 terjadi kontak senjata pertama antara para pemuda dengan pihak Inggris. Bentrokan meluas menjadi serangan umum terhadap kedudukan Inggris di beberapa sektor. Pada tanggal 28 Oktober 1945, tank-tank Inggris berhasil dilumpuhkan. Beberapa objek vital pun dapat direbut kembali oleh para pemuda. 

Untuk menyelamatkan pasukan Inggris dari kehancuran, Komando Sekutu menghubungi Presiden Soekarno. Keesokan harinya pukul 11.00, Bung Karno bersama Jenderal D.C. Hawthorn, atasan Mallaby, tiba di Surabaya. Presiden didampingi oleh Wakil Presiden Moh. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin segera mengadakan perundingan dengan Mallaby. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan penghentian kontak senjata. Perundingan dilanjutkan malam hari yang menghasilkan kesepakatan bahwa inggris mengakui kedaulatan RI. 

Untuk menghindari bentrokan senjata, maka diatur dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:
  1. TKR dan Polisi Indonesia diakui oleh pihak Sekutu.
  2. Kota Surabaya tidak dijaga tentara Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan dijaga tentara Sekutu bersama TKR. 
  3. Untuk sementara waktu, Tanjung Perak dijaga bersama oleh TKR, Polisi, dan tentara Sekutu guna penyelesaian tugas menerima obat-obatan untuk tawanan perang. 
Agar hasil perundingan itu dapat dilaksanakan dengan baik dan untuk menghindari kesalahpahaman, dibentuklah Kontak Biro yang anggotanya terdiri atas unsur pemerintah RI di Surabaya dan tentara Inggris. Pada pukul 17.00, seluruh anggota Kontak Biro mendatangi beberapa tempat untuk menghentikan kontak senjata. Tempat terakhir yang dikunjungi adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. 

Ketika anggota Kontak Biro tiba di tempat tersebut sedang terjadi insiden tembak-menembak antara para pemuda dengan pasukan Sekutu. Insiden itu mengakibatkan Brigjen A.WS. Mallaby terbunuh.

Pihak Inggris kemudian menuntut pertanggungjawaban atas terbunuhnya Mallaby. Pada tanggal 31 Oktober 1945, Jenderal Christison memperingatkan kepada rakyat Surabaya agar segera menyerah. Apabila tidak menyerah, mereka akan dihancurleburkan. Selanjutnya, pihak Inggris mendatangkan pasukan baru di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Marsergh. Pihak Inggris mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya, yang disertai dengan instruksi agar semua pimpinan Indonesia, pimpinan pemuda, kepala Polisi, dan kepala pemerintahan harus melapor pada tempat dan waktu yang ditentukan dengan meletakkan tangan mereka di atas kepala. 

Selanjutnya, mereka harus menandatangani dokumen tanda menyerah tanpa syarat, sedangkan bagi pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris serta membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Apabila tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut, dan udaranya untuk menghancurkan Surabaya. 

Adanya ultimatum itu kemudian dilaporkan oleh para pemimpin Indonesia di Surabaya kepada presiden. Namun, mereka hanya berhasil ditemui oleh Menteri Luar negeri Achmad Subardjo. Menteri Luar Negeri menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada rakyat Surabaya. Oleh karena itu, pada tanggal 9 November 1945 pukul 22.00, Gubernur Suryo melalui radio menyatakan menolak ultimatum Inggris. 

Sementara itu, para pemuda mulai membuat pertahanan di dalam kota. Komandan pertahanan kota, Soengkono, pada pukul 17.00 telah mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri atas TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, dan TKR Laut untuk berkumpul di Markas Pregolan 4. Soengkono sebagai komandan pertahanan membagi Surabaya dalam tiga sektor pertahanan. Sektor Barat dipimpin oleh Koenkiyat, Sektor Tengah dipimpin oleh Kretarto dan Marhadi, serta Sektor Timur dipimpin oleh Kadim Prawirodihardjo. Dari Jalan Mawar No. 4, Bung Tomo membakar semangat juang rakyat melalui radio. 

Setelah batas waktu ultimatum Sekutu habis, pada tanggal 10 November 1945, keadaan menjadi lebih menegangkan. Kontak senjata pertama terjadi di Tanjung Perak yang berlangsung sampai pukul 18.00. Inggris berhasil menguasai garis pertahanan pertama "Arek Suroboyo". Inggris terus melakukan penggempuran dengan menggunakan senjata berat dan modern. 

Dengan gigih, para pemuda berhasil mempertahankan Kota Surabaya hampir selama tiga minggu. Pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari pada tanggal 28 November 1945, tetapi perlawanan sporadis masih dilakukan. Markas pertahanan Surabaya kemudian dipindahkan ke Desa Lebaniwaras, yang dikenal sebagai Markas Kali. Meski lebih banyak jatuh korban dari pihak Indonesia, rakyat Surabaya telah berhasil mempertahankan kota mereka dari gempuran Inggris. 

Pertempuran 10 November 1945 tersebut menunjukkan kegigihan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Oleh karenanya, untuk memperingati kepahlawanan rakyat Surabaya, maka Pemerintah RI kemudian menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Selengkapnya
Sejarah Lahirnya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928)

Sejarah Lahirnya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928)

hari sumpah pemuda
via shutterstock

Keinginan para pemuda Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda semakin kuat. Hal inilah yang kemudian mendasari lahirnya berbagai organisasi pergerakan nasional Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1908, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.

Pada dasarnya, organisasi-organisasi tersebut berpendapat bahwa persatuan Indonesia adalah senjata yang paling kuat dalam melawan penjajahan Belanda. Oleh karena itu, pandangan bersifat kedaerahan harus dihilangkan dengan menyatukan semua organisasi kepemudaan yang ada di Indonesia pada masa itu.

Kongres Pemuda I


Dalam perjalanannya, rasa persatuan sebagaimana telah didengung-dengungkan oleh organisasi-organisasi pergerakan nasional tersebut semakin tertanam di dalam sanubari pemuda-pemuda Indonesia. Untuk itu, pada tanggal 30 April - 2 Mei 1926 diadakan Kongres Pemuda Indonesia yang pertama di Jakarta. Kongres itu diikuti oleh semua perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan. 

Dalam kongres itu, dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia bersatu. Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan yang harus tumbuh di atas kepentingan golongan, bahasa, dan agama. Selanjutnya juga dibicarakan tentang kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia kelak di kemudian hari. 

Para mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang upaya mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan gabungan (fusi). Walaupun pembicaraan mengenai fusi ini belum membuahkan hasil yang memuaskan, kongres itu telah memperkuat cita-cita Indonesia bersatu. 

Kongres Pemuda II


Kongres Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia pertama, tepatnya pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928. Kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan pemuda ketika itu antara lain Pemuda Sumatera, Pemuda Indonesia, Jong Bataksche Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten Bond, Jong Java, Jong Ambon, dan Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini sengaja mengarahkan kongres pada terjadinya fusi organisasi-organisasi pemuda. 

Susunan panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak bulan Juni 1928 adalah sebagai berikut: 

Ketua : Sugondo Joyopuspito dari PPPI 

Wakil Ketua : Joko Marsaid dari Jong Java 

Sekretaris : Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond 

Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataksche Bond 

Pembantu II : Johan Moh. Cai dari Jong Islamiten Bond 

Pembantu II : Koco Sungkono dari Pemuda Indonesia 

Pembantu III : Senduk dari Jong Celebes 

Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon 

Pembantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi 

para peserta kongres pemuda II
para peserta kongres pemuda II

Kongres Pemuda II dilaksanakan selama dua hari, yakni 27 - 28 Oktober 1928. Persidangan yang dilaksanakan sebanyak tiga kali ini di antaranya membahas persatuan dan kebangsaan Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Kongres tersebut berhasil mengambil keputusan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Adapun isinya yaitu sebagai berikut:

Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia

Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Rumusan tersebut dibuat oleh sekretaris panitia yaitu Moh. Yamin, dan kemudian dibacakan secara khidmat di depan kongres oleh ketua kongres yaitu Sugondo Joyopuspito. Selanjutnya diperdengarkan pula lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya di muka umum yang diciptakan dan dibawakan oleh W.R Supratman dengan gesekan biolanya.

Peristiwa bersejarah tersebut merupakan hasil kerja keras para pemuda pelajar Indonesia. Walaupun para peserta kongres berasal dari organisasi pemuda kedaerahan dengan latar belakang berbeda, mereka ikhlas melepaskan sifat kedaerahannya itu. Dengan tiga butir Sumpah Pemuda itu, setiap organisasi pemuda kedaerahan secara konsekuen meleburkan diri ke dalam satu wadah yang telah disepakati bersama, yaitu Indonesia Muda.

Sumpah Pemuda ini menjadi salah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia. Untuk itu, pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 kemudian menetapkan tanggal 28 Oktober sebagai peringatan Hari Sumpah Pemuda.

Selengkapnya